Karena gairah Baskara semakin meningkat, pria itu tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Terlebih Tari berkali-kali mendesah tanpa perlawanan sedikit pun.
Baskara segera membawa Tari ke dalam kamar. Dia sudah lupa dengan masakannya di atas kompor ataupun cucian yang masih belum rampung di wastafel. Begitu sampai kamar, tubuh Tari langsung dibanting ke ranjang dan Baskara kembali menyesapi sekujur tubuhnya dengan lebih liar lagi. Baskara mulai melepas satu per satu pakaian yang membalut Tari. Setelah itu dia beralih melucuti dirinya sendiri. Wanita itu mengenakan bra yang hampir serupa seperti kemarin malam. Berwarna merah, dengan sedikit hiasan di tengahnya. Bra itulah yang membuat Baskara semakin dan bermain jauh lebih beringas dari sebelum-sebelumnya. Begitu seluruh pakaian mereka terlepas, adegan panas kembali terjadi. Tari hanya bisa pasrah karena pertahanan Baskara jauh lebih kuat dari dirinya. "Tuan ..., sakit ...." "Biar aku ajari cara bermain yang sesungguhnya. Aku harap permainanmu bisa jauh lebih luwes dari kemarin." "Emph, Tuan ...." Baskara tidak peduli. Gairahnya semakin memuncak. Dia meneruskan permainannya jauh lebih brutal dari kemarin. Ternyata malam pertama mereka belum berarti apa-apa buat pria itu. Begitu Baskara sudah mencapai puncak, pria itu melakukan pelepasan dan kembali menciumi tubuh Tari seperti sebelumnya. Kemudian ketika bibir Baskara menempel di telinga kiri Tari, pria itu berbisik pelan. "Kita akan menikah, Sayang." Tari menggeliat geli. Apa katanya? Menikah? Mengingat ide gila Mona tadi sore, Tari lebih keras berpikir. Apakah dia perlu menerima pernikahan itu atau dia harus kabur sampai Baskara tidak bisa menemukannya lagi? "Aku akan menyiapkan pesta paling mewah untuk pernikahan kita nanti," ucap Baskara lagi. 'Buat dia benar-benar mencintai lo. Peras hartanya. Manfaatin kekayaannya. Buat dia bener-bener takluk sama lo!' Suara Mona memenuhi kepala Tari. Jika Tari ingin balas dendam pada pria ini, menikah adalah langkah yang tepat supaya Tari bisa jauh lebih mudah menghancurkan hidupnya. Namun, menikah dengan pria yang beberapa waktu lalu dia beberkan keburukannya di depan media terasa seperti ... menggali lubang sendiri. Tari tidak bisa membayangkan lebih jauh. Yang jelas namanya akan beralih menempati posisi trending topik di sosial media. "Tapi, Tuan ...." "Jangan membantah! Ingat! Kini tubuhmu sudah menjadi milikku seutuhnya! Aku bebas melakukan apa pun terhadapmu!" Itu kata-kata yang semalam Baskara ucapkan. "Selama skandal itu masih tersebar di seluruh sosial media, aku tidak akan pernah melepasmu, Sayang." Mendengar panggilan sayang di situasi panas seperti ini, rasanya Tari ingin mual. Kini Baskara ikut merebahkan tubuh di ranjang. Dia membalut tubuhnya dan tubuh Tari dengan satu selimut yang sama lalu memeluk tubuh feminin itu erat-erat. "Tuan ...." Tari berkata parau. Entah kenapa sikap Baskara jauh lebih lembut ketimbang sebelumnya. Bentakannya tidak begitu keras. Bahkan ketika memanggil Tari dengan panggilan menjijikkan itu, suara Baskara terdengar sangat lembut. "Mulai sekarang, jangan panggil aku Tuan. Panggil aku dengan panggilan cinta." Kalimat formal yang biasa Baskara suarakan itu hilang. Berganti menjadi kalimat mesra dengan sebutan klasik 'aku dan kamu'. "Tuan ...." Tari berusaha melepaskan pelukan itu. Namun, semakin keras Tari berusaha, justru pelukan Baskara jauh lebih erat dari sebelumnya. "Panggil aku dengan panggilan yang membuat kita terlihat sangat akrab. Sayang, misalnya?" Di detik ini, sungguhan Tari sangat ingin mual. Suara lembut Baskara benar-benar kontras dengan tubuh tinggi kekar dengan ekspresi tegasnya. "Tuan, tolong lepaskan tangan saya." Tari mengerjap dua kali. Dia baru sadar Baskara memintanya membuat panggilan yang jauh lebih akrab. Sialnya Tari menurut. "Maksud saya ..., Mas." Anehnya, Tari jauh lebih terkejut ketika panggilan itu meluncur cepat dari bibirnya. Raut wajah Baskara berubah teduh. Jika dilihat pada jarak sedekat ini, Tari pun berani mengakui kalau sikap tenang Baskara menambah ketampanannya. Kalau saja di hadapan semua orang Baskara selalu bersikap tenang dan berwibawa seperti ini, Tari yakin semua wanita pun akan melakukan segala cara untuk mendapatkan hatinya. "Tolong lepaskan tangan saya. Tangan saya sakit ..., Mas." "Jangan terlalu formal. Kita nggak lagi di kantor atau bertemu klien." Suara tenang Baskara kembali mengalun. Tari meneguk ludah. Tidak! Dia tidak boleh lupa tujuan utamanya. Dia berencana memikat hati Baskara, mengambil sebagian besar hartanya, lalu menghancurkan hidupnya secara perlahan hingga Baskara menjadi pria paling menderita di dunia. "Tanganku sakit, Mas." Satu-satunya cara supaya segalanya berjalan lancar adalah dengan menyambut baik semua sikap mesra Baskara. Termasuk menerima ajakan menikah darinya. ***Karena gairah Baskara semakin meningkat, pria itu tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Terlebih Tari berkali-kali mendesah tanpa perlawanan sedikit pun.Baskara segera membawa Tari ke dalam kamar. Dia sudah lupa dengan masakannya di atas kompor ataupun cucian yang masih belum rampung di wastafel.Begitu sampai kamar, tubuh Tari langsung dibanting ke ranjang dan Baskara kembali menyesapi sekujur tubuhnya dengan lebih liar lagi.Baskara mulai melepas satu per satu pakaian yang membalut Tari. Setelah itu dia beralih melucuti dirinya sendiri.Wanita itu mengenakan bra yang hampir serupa seperti kemarin malam. Berwarna merah, dengan sedikit hiasan di tengahnya. Bra itulah yang membuat Baskara semakin dan bermain jauh lebih beringas dari sebelum-sebelumnya.Begitu seluruh pakaian mereka terlepas, adegan panas kembali terjadi. Tari hanya bisa pasrah karena pertahanan Baskara jauh lebih kuat dari dirinya."Tuan ..., sakit ....""Biar aku ajari cara bermain yan
"Saya baru saja melihat riwayat lokasi yang kamu kunjungi. Sudah satu jam yang lalu kamu tiba di perusahaan, tapi kenapa kamu tidak kunjung kembali ke ruangan saya?" Sudah Tari duga. Satu langkah masuk ruangan saja omelan sang Bos langsung meledak. Tari memaki, yang tentunya hanya dalam hati. "Tadi ada karyawan yang mengajak saya mengobrol, Tuan." Alibi Tari. Mata Baskara tidak lepas dari komputer di mejanya. Wajahnya terasa semakin mencekam begitu mendengar jawaban Tari. "Di mana?" "Di lobi." Baskara tertawa garing. Tari akui dia salah. Sejak tadi ponselnya dipegang oleh Raka. Yang mana Raka sendiri langsung kembali ke ruangannya begitu tiba di kantor. Beberapa menit lalu Tari memang sempat masuk ruangan Raka dan meminta ponselnya kembali. Sialnya Tari tidak sempat membuat alasan yang cukup logis supaya bosnya itu tidak curiga kenapa Tari bisa ada di ruangan Raka. "Saya yakin GPS yang saya pasang sangat akurat. Kenapa kamu ke ruangannya
Usai mengecek langsung ke lokasi proyek, Raka mengajak Tari kembali ke kantor. Namun, Tari segera menolak. Tari bercerita pada Raka bahwa dia punya janji temu dengan salah seorang temannya. Sayangnya Baskara sedang melakukan penjagaan ketat pada Tari lewat sambungan GPS. Makanya dia sempat minta tolong Raka untuk membawa ponselnya kembali ke kantor. Dengan begitu Baskara tidak akan curiga apa pun padanya. Raka menyanggupi. Sebagai bawahan yang juga sering terkena omelan maut Baskara, Raka tahu persis Tari tidak ingin hidupnya habis hari ini juga. Kini Tari sudah bertemu dengan Mona di sebuah kafe yang tidak jauh dari lokasi proyeknya. "Gue harus apa, Mon? Bahkan dia naruh chip di HP gue buat ngelacak tempat mana aja yang gue datengi, jam berapa aja, dan dia selalu monitoring apa pun yang gue lakuin." Tisu di atas meja sudah habis lima. Begitu mereka bertemu dan saling memeluk satu sama lain, Tari tidak bisa mengendalikan diri lagi. Wanita itu langsung m
"Vendor mengadu ke bagian WD dua terkait keterlambatan laporan bulanan, Pak Bas. Data penjualan yang seharusnya sudah kita setor dua minggu yang lalu baru dikirim lima hari kemarin." Salah seorang penanggung jawab dari bagian manajemen pemasaran menemui Baskara ke ruangannya. Saat ini Baskara tengah menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil memejamkan mata. Sesaat dia menghela napas setelah mendengar pengaduan yang sama seperti dua minggu lalu. "Bawa salah satu pimpinan bagian keuangan ke hadapan saya sekarang juga!" "Baik, Pak Bas." Orang itu segera menunduk, memberikan penghormatan pada Baskara lalu pamit pergi. Tentu Baskara tidak memberikan penghormatan balik. Pria itu memang terkesan cukup keras biarpun usianya masih sangat muda. Meski saat ini posisi duduk Tari cukup jauh dari Baskara, tetapi wanita itu bisa mendengar jelas umpatan yang baru saja keluar. "Buatkan saya kopi hitam seperti biasa!" Baskara memerintah tanpa menoleh
"Berani-beraninya kamu melanggar peraturan yang saya buat!"Plak!"Ampun, Tuan, saya memang bersalah. Ampun ..., mohon ampuni saya.""Tidak ada kata ampun untukmu, Perempuan Sialan! Hari ini kamu harus membayar semua kesalahanmu!"Baskara mendorong tubuh asistennya ke kasur. Kini Tari tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah. Tenaga semakin melemah lantaran sang Bos menindasnya habis-habisan."Jangan harap setelah ini kamu bisa lepas dari saya, Tari!"Tubuh Tari ditelentangkan. Kedua kakinya dihimpit menggunakan paha besar Baskara. Sementara, tangannya dicengkeram kuat-kuat hingga Tari tidak mampu berkutik lagi.Tari menangis sejadi-jadinya. Dia terus menggigit bibir, mengamit doa supaya Tuhan menurunkan pertolongan dalam bentuk apa pun. Demi Tuhan dia tidak mau dihabisi oleh bosnya malam ini."Saya tidak akan puas kalau pertanggungjawabanmu hanya sebatas menghapus semua skandal tentang saya di media! Saya baru bisa puas kalau kamu ...."Tari