Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Setiap kejadian yang kita alami merupakan rancangan sempurna Sang Pencipta. Pun dengan pertemuanku dengan Adrian pagi ini di hotel, aku tidak menganggapnya sebagai kebetulan belaka. Namun, aku masih belum mampu menyelami maksud Tuhan mempertemukan kami kembali disaat aku tengah berusaha memantapkan hati pada Keanu.
Mungkin benar adanya, butuh ujian untuk melihat seberapa kuatnya ketetapan hati ketika mencintai seseorang. Disaat Keanu telah berhasil merebut tempatnya kembali di hatiku, Adrian kembali muncul. Meski setitik rasa yang kemarin sempat membuatku goyah mulai kembali menyapa, tetapi kupaksakan untuk sirna.
Adrian menyantap makanannya dalam diam, terlihat larut dalam pikirannya. Setelah tadi aku sempat menyinggung rencana Kea
Pagi ini mendung. Dari kemarin sore awan gelap terus saja menggantung. Seolah tak mau membiarkan langit tersenyum bersama mentari. Membuat siapa saja yang tidak mempunyai keperluan penting di luar rumah, enggan beranjak dari peraduan. Namun, pagi ini aku merasa suntuk berdiam diri di unitku. Biasanya selalu ada Adrian yang mengusir rasa bosan ini. Dia selalu bisa kuandalkan sebagai teman bercerita. Tak terasa sudah satu tahun pertemananku dan Adrian terjalin. Rasanya sudah sangat lama pria itu hadir dalam kehidupanku. Lalu kini entah kenapa, rasa kosong itu benar-benar terasa ketika tak lagi menghubunginya. Rasa kosong yang berbeda ketika melepas Keanu pergi. Bahkan rasa kosong yang kurasa ketika ditinggal Dendra, tak sekosong ini. Apa benar, aku sebenarnya tanpa sadar sudah jatuh cinta pada Adrian? Denting halus dari ponsel membuyarkan lamunanku tentang Adrian. Sebuah pesan dari Rani. [Beib, ketemuan yuk. Kapan lo nggak terbang?]Gegas k
"Kenapa lo?" tanya Rani saat dia sudah kembali ke meja. "Lo masih suka kontak sama Dendra?" Aku balik bertanya dengan tatapan nanar. Tak menyangka sahabat yang kukenal baik selama ini akan berkhianat. "Uhm, nggak kok." Rani mengendikkan bahu. Kemudian duduk dengan ekspresi biasa di kursinya. Terbukti bahwa Rani tak jujur. Jika dia memang tidak pernah berhubungan lagi dengan Dendra, kenapa pesan dari Dendra tadi menunjukkan kalau lelaki itu mengetahui rencana kami bertemu hari ini. "Lo tau nggak, pas kita habis liat apartemen kemarin, Dendra juga ada di sana. Tu orang kayak hantu juga ya. Gentayangin gue mulu." Aku berusaha memancing dan melihat reaksi Rani. Sekilas kulihat Rani mengerjap sebelum dia berkata, "Dia ngapain di situ?""Nggak tau, gue nggak nanya ...." Kalimatku terhenti saat melihat sosok itu mendekat ke meja kami. "Terus sekarang orangnya juga lagi datang ke sini tuh!" aku menunjuk dengan dagu ke arah yang kutuju. "
Aku mematut kembali penampilan di cermin. Rambutku telah tergelung rapi dalam tatanan rambut frenchtwist, model gelungan rambut standar ketika sedang bertugas. Tas hitam kecil dari kulit telah tersampir di bahu. Koper pun telah siap. Aku melenggang turun ke lobi, menyeret koperku.Hari ini aku akan berangkat ke London. Sengaja tak kuberi tahu Keanu perihal jadwalku hari ini, berniat memberinya kejutan. Alamatnya telah kukantongi, hasil mengorek informasi dari Sarah, adik perempuannya. Aku juga mewanti-wanti agar dia tidak memberi tahukan Keanu perihal keberangkatanku hari ini ke negara asal Pangeran Charles tersebut."Bismillah." Kurapalkan kembali doa, ketika pesawat bergerak pelan di taxi way untuk persiapan ke landasan pacu.
Aku sudah menyusun banyak rencana untuk mengunjungi beberapa tempat bersama Keanu ketika berada di London. Suasana romantis setiap sudut kota ini seharusnya bisa menjadi tempat melepas rindu, tetapi Tuhan tidak mengizinkan segala anganku terwujud. Sekali lagi, aku terlalu pongah sebagai manusia, masih saja lupa meminta Sang Pemilik hati, agar menjaga hati Keanu untukku.Semalaman menangis, membuat kepalaku pagi ini terasa begitu berat bagai ditindih ribuan beban. Luka itu kembali hadir di tempat yang sama. Terasa lebih perih.[Mei, kamu menginap di mana? Apa kita bisa bertemu?] sebuah pesan masuk dari pria itu.[Sudah, tidak usah bertemu lagi, Kean. Tidak ada gunanya lagi.] Aku membalas pesannya dengan
"Lalu, apakah kamu tidak takut kalau aku terkesan menerimamu hanya sebagai pelarian?" pertanyaan itu tiba-tiba saja meluncur tanpa berpikir terlebih dahulu."Kalau begitu aku akan menjadi tempat pelarian yang nyaman untukmu. Biar kamu betah." Cengiran lebar menghiasi wajah teduhnya."Ha-ha bisa saja kamu! Masalah hati jangan dibuat main-main lagi, ah!" sergahku.Namun, tidak dapat dipungkiri, hatiku memang terasa nyaman setiap kali bercerita dengan pria ini.Itulah mengapa beberapa bulan yang lalu aku merasa ketar-ketir. Ketika mulai menyadari rasa terhadapnya lebih kuat dari pada rasa terhadap Keanu. Mata hatiku tertutup
Baru saja aku melangkahkan kaki keluar dari pintu kedatangan dan mengaktifkan ponsel, telepon dari Adrian masuk."Mei, coba lihat ke sebelah kiri," perintahnya. Serta merta aku menoleh ke arah yang ditunjukkannya, mencari tau apa yang harus kulihat.Sekitar beberapa meter dari tempatku berdiri, di sebuah meja restoran siap saji, di pelataran luar terminal kedatangan, kulihat pria itu melambaikan tangan dengan wajah cerah.Aku bergegas mendekatinya, "Hei! Kamu ngapain di sini?" tanyaku ketika telah berada tepat di hadapannya."Nungguin, kamu." senyum khasnya kembali terukir, dengan satu sudut bibir yang terangkat lebih tinggi dari sudut yang lain.Seperti biasa, dia menarikkan sebuah kursi untuk kududuki."Mau makan dulu?""Enggak, masih kenyang," tolakku. Sejujurnya selera makanku sedang mengalami penurunan. Padahal biasanya, walaupun selesai makan, aku masih bisa menghabiskan dua porsi burger ukuran jumbo. "Ngapain nungguin aku?" m
Adrian pamit pulang setelah jam menunjukkan pukul delapan malam. Setelah mendengar ceritaku yang berulang-ulang tentang rasa sakit hatiku terhadap Keanu dan Dendra. Tentang bagaimana rasa luka ini dikhianati sahabat sendiri. Adrian mendengarkannya dengan khusuk tak menjeda kalimatku dengan nasihat apapun. Dia tau, aku sedang butuh didengarkan. "Istirahat, ya!" ucap Adrian saat kuantar ke pintu. "Beneran nggak perlu aku anter ke bawah?" tanyaku untuk memastikan kembali. "Nggak usah, kamu pasti capek." Adrian tersenyum lembut. "Makasih, Dri." Lalu entah dari mana keberanian ini datang, tiba-tiba saja aku mendekatkan diri dan melabuhkan kecupan ringan di pipinya. Well, mungkin bagi sebagian orang hal itu biasa, tetapi bagiku hal itu rasanya sangat memalukan. Adrian terpana sambil mengusap pipinya. Wajahnya pun menunjukkan rasa terkejut akibat perbuatanku tadi. Aku buru-buru mengucapkan salam dan menutup pintu, malu rasanya melihat dia menat
"Bundo, aku mau berhenti kerja." kuutarakan rencanaku pada Bundo untuk melihat bagaimana reaksi ibuku. "Apa Keanu yang meminta?"Aku menghela napas panjang. Bingung bagaimana menjelaskan pada Bundo tentang kandasnya hubunganku dengan pria itu. Saat ini aku belum siap mengatakannya pada kedua orangtuaku, karena belum menemukan alasan selain perselingkuhan yang dilakukan Keanu. Aku memilih untuk menyimpannya untuk saat ini, lalu mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya nanti. "Mei?" Panggilan Bundo menyadarkanku bahwa panggilan masih tersambung. "Bukan. Aku sudah merasa capek kerja tak tentu waktu seperti ini. "Kenapa, Bun?" Kali ini suara ayah yang terdengar di samping Bundo. "Mei mau berhenti kerja." Terdengar Bundo menyahut. "Mei, apa rencanamu setelah berhenti kerja?" Ayah mengambil alih percakapan. "Untuk saat ini mau menikmati dulu jadi pengangguran, Yah." Aku terkekeh setelah mengatakan hal itu. "Pulang