“Kenapa kau tiba – tiba memintaku membereskan pakaian?” tanyaku sembari menarik koper masuk ke dalam mobil.
Axe aneh. Setengah jam yang lalu dia membangunkanku dan memberikan koper berukuran sedang, tak lupa memintaku menyiapkan beberapa pakaian. Kemudian sekarang aku dituntun keluar mansion dengan berbagai pertanyaan di dalam kepala.Apa yang akan Axe lakukan?“Kita akan pergi ke Canada,” jawabnya masih sibuk dengan laptop di atas paha.“Untuk apa?”“Aku sedang membangun sekolah di sana. Meninjau langsung ke lokasi, memastikan sudah berapa persen gedung itu didirikan.”“Aku boleh ikut?”“Tidak. Kau akan langsung ke hotel setelah kita sampai.”“Kenapa?”“Kau tidak boleh ikut. Di situ sangat berbahaya.” Axe menutup laptop kasar, menyampirkan benda persegi itu ke samping lalu menarik tubuhku di atas pangkuannya.“Aku tidak ingin“Akh!”Axe meringis saat cubitan tak seberapa dariku malayang ke perutnya. Tidak biasanya dia seperti itu. Aku tahu Axe sedang tidak bercanda, sebab di raut wajahnya mengatakan keseriusan. Dia juga tipikal orang yang sanggup menahan rasa sakit fisik. Apa yang terjadi? Jika hanya cubitan dariku, tidak mungkin Axe bereaksi seperti itu.Tidak!Aku rasa aku melewatkan banyak hal di sini. Ada yang tidak beres, pasti ada luka tidak biasa yang bersembunyi di balik kaos hitam polosnya.“Apa yang kau lakukan?” tanyanya waspada melihat tanganku bergerak menyentuh ujung kaosnya.“Aku—“ Kuhentikan sejenak kalimat yang mengambang di tenggorokan. Kutatap matanya dalam – dalam hingga menyadari sesuatu. Aku harus memulai segalanya secara pelan, termasuk mencari tahu apa yang membuatnya meringis seperti itu.“Aku menginginkanmu.”Tanganku bergerak menyentuh rahang tegas miliknya. Mengelusnya pelan ke
Mataku menatap lurus punggung lebar pria yang berdiri di depan kasir, sedang membayar barang belanjaanku yang sedikit banyak itu. Napasku terembus kasar, setelah Axe bercerita kemarin malam. Aku tak lagi bertanya lebih lanjut tentang kecelakaan kerja yang dia katakan. Anggaplah aku menerima segala bentuk alasan yang dia lontarkan, meskipun sebenarnya aku sedikit ragu akan kebenaran yang ada. Tapi aku tak ingin memperpanjang itu semua hanya karena rasa penasaranku. Sudahlah. Lagipula kejujuran tak akan bersembunyi terlalu lama jika yang Axe katakan adalah kebohongan.“Sudah selesai?” tanyaku begitu Axe menghampiriku sambil menenteng barang belanjaan di kedua tangannya.“Ya. Let’s go home.”Kata ‘home’ maksud Axe adalah hotel yang saat ini kami tempati selama di Kanada. Jangan merasa heran, itu memang kebiasaanya menyebut segala bentuk tempat tinggal adalah rumah.“Untuk apa kau membeli mainan anak laki – laki sebanyak ini, Bridgette?” tanya Axe sambil mengangkat barang be
“Oh. Astaga. Jadi pria itu kakakmu, Bridgette?"Aku meringis mendengar nada tak percaya yang Rose lontarkan. Dia tampak syok mengetahui kenyataan itu. Kenyataan bahwa pria yang bersamaku dan begitu lengket bersama Oracle adalah pria yang sudah menghamiliku lima tahun lalu—kakakku sendiri.Tentu saja Rose tahu siapa Axe dan apa status hubungan kami. Dia satu – satunya orang yang kuberitahu saat tak ada siapa pun yang bisa kupercaya di dunia ini. Jangan tanya seperti apa reaksi Rose saat kuceritakan permasalahan hidupku padanya. Dia begitu sakit membayangkan seorang pria seperti Axe benar – benar ada dan secara tidak langsung masuk ke dalam kehidupannya.“Kenapa kau bisa bersamanya, Bridgette?” tanyanya setengah mendesah.“Ceritanya panjang.” Aku menghela napas sejenak. Mungkin sudah takdirku seperti ini, aku bisa apa?“Kau tidak ingin pergi darinya?” bisik Rose hati – hati. Matanya bergerak cep
“Tapi sepertinya tuan sedang tidur, Nona,” lanjutnya sukses membuat langkah kakiku terhenti.“Apa Axe tidur bersama Oracle?”“Ya, Nona,” jawabnya membuatku dan Rose kompak saling melirik.“Buka saja pintunya, Bridgette,” ucap Rose mulai tak sabar.Aku menarik napas dalam – dalam memantapkan hati membuka pintu mobil. Kira – kira seperti apa pose mereka saat sedang tidur bersama? Apa mereka akan terlihat sama miripnya ketika mata mereka terbuka, atau justru sebaliknya?Membayangkan hal itu, perasaan asing tiba – tiba menyergap dadaku. Aku tidak tahu. Haruskah aku sedih atau senang menyadari bahwa Axe dan Oracle begitu mudah akrab. Tapi aku tak bisa bohong kalau di lubuk hatiku paling dalam, terbesit sebuah harapan yang dilambungkan setinggi angkasa.Aku ingin suatu saat nanti bisa jujur pada Oracle siapa aku sebenarnya. Selama ini yang dia ketahui adalah Rose ibunya, bukan aku. Aku juga kasihan padanya, sejak kecil dia tidak pernah merasakan kehadiran seorang a
“Biar aku yang gendong.” Axe menarik paksa tubuh Oracle dari dekapanku, membuat rasa kosong menyelimuti ketika tubuh kecil Oracle sudah berpindah ke tangan ayahnya.Tadinya aku ingin protes, tapi karena kami sedang berjalan di lobi hotel. Aku mengurungkan niatku dan membiarkan Axe melangkah lebih dulu meninggalkanku. Punggung tegap Axe terlihat semakin jauh karena langkah lebarnya tak pernah terjeda.Axe terlihat sedang berburu waktu. Memangnya dia akan ke mana setelah ini? Batinku terus bertanya – tanya.Dengan cepat aku mengejar jejaknya yang kini tampak memasuki kamar hotel. Setiap gerakan yang Axe ciptakan terlihat aneh bagiku, atau itu hanya perasaanku? Aku segera menggeleng lalu mendorong pintu yang nyaris tertutup.Napasku terembus cukup lega melihat Axe sudah memindahkan tubuh kecil Oracle ke atas kasur, tidurnya masih senyenyak saat di mobil. Sama sekali tidak terganggu dari perpindahan satu ke perpindahan lain.“Ada ap
“Jadi aku harus memanggil om apa?” tanya Oracle begitu polosnya saat kami sedang jalan bersisian menuju kamar hotel yang kami tempati.“You can call me daddy.”“Daddy?” tanya Oracle kembali seakan memastikan kebenaran dari perkataan Axe.“Ya,” jawab Axe cepat. Pria itu masih setia menggandeng tangan kecil Oracle sembari menuntunnya melangkah.“Aunty. May I?” Kali ini Oracle beralih padaku. Tatapan penuh harap darinya berhasil memporak – porandakan isi hatiku. Kenapa rasanya sakit sekali melihat Oracle berharap agar bisa memanggil Axe dengan sebutan daddy. Sungguh. Dia membuatku merasa seperti orang jahat karena telah memisahkannya dari ayah kandungnya sendiri.“Aunty, kenapa diam? Apa aku boleh memanggil om ganteng dengan sebutan daddy?”Aku tersenyum kecil dan mengangguk sebagai jawaban. Tak ada yang bisa kukatakan selain hanya mengiyakan. Aku segera menghapus air mata yang n
Siapa dia?Mataku terus memperhatikan langkah tak terjamah itu. Semakin lama semakin dekat. Aku yakin napasku mulai tercekat. Wajah pria itu sama sekali tak terlihat, membuatku agak menyesal sudah mematikan seluruh lampu di kamar ini.Aku berusaha mencerna situasi di sini. Perlahan tapi pasti, tanganku bergerak mengambil ponsel dan menyalahkan senter. Cepat – cepat kuarahkan sinar dari ponselku ke arah pria itu. Hal yang tak lain membuatnya segera mengangkat tangan menutup wajah, terganggu akan silauannya cahaya.“Turn it off!” serunya tak suka bersamaan dengan hidupnya lampu di ruangan ini, dia yang menekan saklar lampu.Axe!Mataku seketika membulat mendapati wajah yang sedari tadi kukhawatirkan. “Ke mana saja kau, Axe?” tanyaku tak peduli tatapan tajam darinya. Ada sedikit kelegaan di hatiku melihat kondisinya. Aku senang bahwa Axe baik – baik saja.“Bukan urusanmu!” hardiknya sembari melangkah me
Sedikit terperangah aku melihatnya memegang pisau dapur berukuran sedang. Jangan bilang Axe akan—membuktikan kalimatnya di kamar mandi tadi. Aku benar – benar tak habis pikir.“Jangan lakukan ini!” Langkahku sudah pasti semakin mundur menyadari jarak kami semakin menipis.“Pergi!” pekikku nyaris seperti orang gila. Dadaku naik turun merasa sesak melihat kilatan tak kenal ampun di matanya. Benarkah yang di depanku saat ini adalah Axe? Aku menggeleng sebagai jawaban untuk diriku sendiri. Tentu saja, manusia seperti dirinya hanya satu di muka bumi ini.Degh!Bunyi suara tertahan membuat jantungku seketika bertalu. Celakalah, tak ada lagi ruang gerak bagiku. Aku terkunci dengan tubuh tertahan oleh pantry. “ Berhenti di situ!” seruku berusaha meraih apa saja yang masih tersisa di sana, barangkali para koki meninggalkan beberapa sisa bahan makanan yang bisa kugunakan melempar wajah Axe.“Stop, Axe!” Tangi