Bab 26

"Aku nggak mau karena ... aku jijik padamu."Stuart terbangun seketika, lalu panik berlari ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya berulang kali. Dia hampir saja mengelupas kulitnya sendiri. Matanya dipenuhi urat merah, mulutnya terus bergumam.

"Sayang, aku sudah bersih sekarang. Aku nggak kotor lagi, aku nggak menjijikkan lagi .... Makanan yang aku makan juga sudah kumuntahkan, kamu jangan jijik sama aku ya? Aku akan suruh mereka pergi, nggak akan ada yang datang lagi."

Setelah hampir setengah jam, Stuart akhirnya keluar. Melihat kondisinya, ibu Stuart hendak masuk, tetapi langsung dihalangi olehnya.

"Jangan masuk. Kate nggak suka kamu. Aku harus jaga semua barang-barangnya di sini. Aku nggak bisa buat dia marah lagi."

Ibu Stuart hanya bisa duduk di depan pintu, hatinya penuh keputusasaan.

"Kalau aku nggak bisa menghentikanmu, biar aku temani kamu di sini. Aku nggak sanggup melihat situasimu. Stuart, aku lebih baik mati daripada melihatmu begini. Sebenarnya, harus kayak gimana biar kamu bisa benar-benar melepaskan dia?"

Stuart terdiam cukup lama.

"Ibu, aku ingin ketemu dia. Meskipun dia benar-benar nggak mau sama aku lagi, aku ingin dengar langsung dari mulutnya. Kalau nggak, aku nggak bisa melepaskannya."

Tenggorokan Ibu Stuart terasa kering. Meskipun benar-benar bertemu, apakah Stuart bisa benar-benar melepaskan?

"Ibu bantu kamu. Tapi, kamu nggak bisa ketemu dia dengan penampilan kayak gini, 'kan? Biar aku turun dulu dan masakin kamu sesuatu. Boleh?"

Begitu mendengar tentang Kate, Stuart akhirnya melunak. "Oke."

Di seberang lautan.

"Lewat sini."

Jalan setapak itu berbatu dan tidak rata. Adam mengulurkan tangan ke Kate. "Hati-hati."

Kate ragu sejenak, tetapi akhirnya menggenggam tangannya.

Sudah cukup lama mereka berdua berjalan bersama. Awalnya Kate masih mengikuti jadwal yang dia rancang sendiri. Namun, belakangan dia memilih ikut ke mana pun Adam pergi.

Setiap tempat yang ada dalam rencana Kate sepertinya telah dikunjungi oleh Adam. Adam pun membawanya ke semua tempat yang direkomendasikan. Kalau yang tidak direkomendasikan, Adam justru punya alternatif yang anehnya selalu cocok dengan selera Kate.

Saat mereka tiba di toko arak buah di ujung gang, Adam melepaskan tangannya.

"Kamu pasti suka arak buah di sini. Coba deh."

Kate memilih tiga jenis arak buah. Rasa asam manis yang ringan langsung memikat hatinya. Meskipun kadar alkoholnya rendah, Kate merasa agak pusing.

Saat mereka pulang, Adam kembali menggenggam tangannya. "Perhatikan langkahmu. Ikuti aku."

Begitu mereka keluar dari gang, Adam kembali melepaskan tangan itu. Langit mulai gelap. Mereka berjalan berdampingan menuju hotel.

Di tengah jalan, Kate berkata, "Adam, usiaku sudah nggak muda lagi."

"Aku juga."

"Maksudku, kamu punya banyak pilihan. Cewek yang lebih muda, lebih cantik ...."

"Tapi, mereka bukan kamu."

Kate berhenti melangkah. "Kamu tahu 'kan aku pernah melakukan aborsi. Sebelumnya karena janin berhenti berkembang, aku juga harus menjalani induksi. Dokter bilang, kemungkinan aku hamil lagi sangat kecil. Kamu ...."

Sebelum Kate sempat menyelesaikan kalimatnya, dia sudah dipeluk erat oleh Adam. Pelukannya hangat dan kuat. Suara Adam lembut sekaligus tegas saat menyahut, "Semuanya sudah berlalu. Jangan bersedih lagi."

Ada sesuatu yang lembut menyentuh relung hati terdalam Kate. Hidungnya terasa agak tersumbat.

"Ayo, kita balik ke kamar."

Kate mengangguk pelan, lalu masuk ke lift bersama Adam. Ponselnya bergetar beberapa kali. Itu pesan dari ibu Stuart.

[ Kate, bisa nggak kamu temui Stuart sekali saja? Kondisinya sangat buruk, dia hampir membuat dirinya gila. ]

[ Aku tahu aku nggak punya hak untuk minta sesuatu darimu. Anggap saja kamu kasihan padaku. ]

[ Temui dia untuk terakhir kali. Setelah itu, aku janji dia nggak akan ganggu kamu lagi. ]