LOGINPelayan itu terlihat terkejut, tetapi cepat-cepat menutupi ekspresinya. “D-Dengar perintah, Yang Mulia.”
Koridor utara. Di istana Kerajaan Barat, tempat itu adalah bagian istana yang lebih privat, lebih dekat ke ruang kerja dan kamar pribadi sang Kaisar. Bukan tempat untuk budak biasa. Kaisar Xylas akhirnya memalingkan pandangannya, seolah urusan dengan Lysandra sudah selesai. “Bawalah dia, mandikan, dan berikan pakaian yang layak. Bukan seragam pelayan. Tapi pakaian yang ... sederhana, dan bersih.” Lalu, sebelum pergi, dia memberikan pandangan terakhir pada Lysandra. Di mata abu-abu itu, Lysandra melihat maksud tersembunyi. “Aku memberimu nama baru. Aku memberimu tempat yang tak biasa. Sekarang, tunjukkan padaku kenapa aku tidak salah membawamu ke sini.” Pelayan tua itu menghela napas, lalu memandang Lysandra dengan ekspresi tak suka. “Baiklah, Lyra. Ikuti aku. Dan bersyukurlah. Atau ... waspadalah. Karena perhatian Yang Mulia itu seperti matahari. Bisa menghangatkan, tapi juga bisa membakar habis.” Lysandra mengikutinya dengan pikiran kalut. Dia punya nama baru. Punya tempat tidur yang hangat. Namun dia juga punya tuan baru yang misterius dan lebih menakutkan, yang menempatkannya terlalu dekat untuk kenyamanan siapa pun. Dan satu pertanyaan besar menggantung di pikirannya. ‘Apa sebenarnya yang dilihat Kaisar Xylas dari seorang budak kotor seperti aku, sehingga dia menjadikan aku milik pribadinya?’ Kamar kecil di koridor utara itu memang sederhana, tetapi punya jendela dan tempat tidur. Setelah mandi air hangat dan mengenakan pakaian kain lembut berwarna abu-abu, Lysandra disuruh menunggu. Lalu pelayan menyampaikan tugas yang diberikan oleh Kaisar. Membersihkan perpustakaan pribadinya. Esok harinya, Lysandra mulai mengusap debu dengan hati-hati di atas sampul kulit buku-buku tua. Perpustakaan pribadi Kaisar Xylas adalah tempat yang sunyi, penuh dengan pengetahuan yang bisa menghancurkan atau mengangkat seseorang. Sejak beberapa hari lalu Kaisar belum memanggilnya lagi. Namun dia memberi Lysandra tugas tetap, membersihkan perpustakaan setiap pagi. Saat Lysandra merapikan rak di dekat jendela, suara dari luar menarik perhatiannya. Dia mengintip dari balik tirai. Di bawah, di taman batu yang tertata rapi, Kaisar Xylas berdiri dengan postur tegap. Di hadapannya, Lady Inggrid—sosok yang selalu berusaha menarik perhatiannya—tersenyum manis, matanya berbinar. Lysandra bisa melihat dari gerak bibirnya bahwa dia sedang memuji sesuatu, mungkin penampilan Kaisar atau kebunnya. Namun Kaisar Xylas hanya mendengarkan dengan wajah datar. Lysandra tak bisa mendengar dengan jelas, tetapi tiba-tiba suara Kaisar yang rendah dan tegas terbawa angin hingga terdengar olehnya. “Cukup, Inggrid. Fokuslah pada tugas yang kuberikan untuk persiapan pertemuan antar kerajaan. Bukan pada hal-hal yang tidak perlu.” Wajah Inggrid memerah. Senyumnya pudar. Dia mengatakan sesuatu yang tidak didengar Lysandra, lalu membungkuk dan pergi dengan langkah cepat, wajahnya diselimuti kekecewaan dan amarah. Kaisar tak memedulikannya. Dia malah menoleh, dan untuk sesaat, tatapannya seperti mengarah tepat ke jendela tempat Lysandra bersembunyi. Lysandra buru-buru menjauh. Jantungnya berdegup kencang. Beberapa detik kemudian, langkah kaki tegas terdengar mendekati pintu perpustakaan. Lysandra buru-buru kembali ke rak yang sedang dibersihkan, meraih buku pertama yang terlihat. Sebuah buku tebal tentang sejarah perdagangan gandum masa Kekaisaran Orlan IV. Lysandra membukanya dengan acak, memaksakan matanya untuk menatap halaman penuh tabel dan teks padat, berpura-pura sangat tertarik. Pintu terbuka. Kaisar Xylas masuk. Kehadirannya langsung mengisi ruangan, membuat udara terasa lebih tegang. Dia tidak langsung berbicara. Lysandra mendengar langkahnya berjalan perlahan di antara rak-rak buku, seolah memeriksa sesuatu. Lysandra berusaha terlihat tenang, jarinya mengusap halaman buku yang sudah menguning. Namun dalam hatinya, panik. ‘Buku perdagangan gandum? Ini pilihan yang bodoh! Siapa budak yang tertarik pada buku seperti ini?’ Langkah Kaisar berhenti. Lysandra bisa merasakan tatapan di belakangnya. “Lyra.” Lysandra terkejut, seolah baru menyadari kehadirannya. Dia menutup buku dengan cepat dan membungkuk. “Y-Yang Mulia.” “Apa yang kau lakukan?” suaranya datar. “Mem-membersihkan debu, Yang Mulia.” “Membersihkan debu,” ucapnya, lalu mendekat. “Biasanya orang membersihkan sampul bukunya. Bukan membuka halamannya.” Tangan Kaisar yang bersarung tangan hitam mengambil buku dari genggamannya. Dia melihat judulnya, lalu alisnya yang hitam naik sedikit. Ekspresi yang hampir tak terlihat, tapi cukup untuk membuat Lysandra ketakutan. "Sejarah Perdagangan Gandum Era Orlan IV," katanya dengan suara perlahan. Matanya yang abu-abu tajam menatapnya. “Pilihan bacaan yang ... tidak biasa.” Lysandra menelan ludah. “Hamba ... hanya melihat gambarnya, Yang Mulia.” “Gambar?” Kaisar membuka buku, membalik beberapa halaman. “Di buku ini, hanya ada satu peta kecil di awal. Selebihnya,” dia menepuk halaman penuh tabel angka, “adalah ini. Statistik impor, ekspor, harga pasar. Tidak ada gambar bunga atau istana.” Lysandra diam. Pikirannya berputar cepat, tapi tidak menemukan alasan yang masuk akal. “Kau tahu, Lyra,” katanya, meletakkan buku di atas meja di dekatnya. “Orlan IV adalah kaisar yang memperluas kekuasaan melalui perang ekonomi. Dia menggunakan gandum sebagai senjata untuk melemahkan tetangganya, Kerajaan Utara.” “Menarik, bukan?” lanjut Kaisar, memandangnya dengan pandangan membuat Lysandra gemetar. “Seorang budak yang entah dari mana, secara tidak sengaja memilih buku yang berisi sejarah bagaimana musuh lama kekaisaranku ini dikalahkan. Kebetulan yang aneh.” Kaisar melangkah lebih dekat lagi. “Atau ... ini semua bukan kebetulan?” bisiknya, suaranya rendah. “Apakah kau memang mencari tahu sesuatu? Atau mungkin, kau bisa membaca dan mengerti semuanya?” tatapan Kaisar lekat ke wajahnya. Lysandra menggigit bibir dalam-dalam. Setiap jawaban bisa menjadi petaka. Sebelum dia bisa menemukan kata-kata, Kaisar tiba-tiba mengubah sikap. Ekspresi curiganya menghilang, diganti dengan sikap netral. “Sudahlah,” ucapnya, lalu berbalik. “Lanjutkan pekerjaanmu. Tapi, ganti bukumu. Coba bersihkan rak di sebelah sana.” ***Kaisar lalu melangkah pergi, meninggalkan Lysandra sendiri. Lysandra masih terdiam sebelum meninggalkan ruangan itu.Saat dia melangkah pelan menuju kamarnya, tiba-tiba saja dia tergerak untuk melihat ke jendela atas istana. Ada bayangan seorang pria tinggi berdiri di sana.Kaisar Xylas.Dia sedang menunggu.Lysandra mengepalkan tangan, lalu memutuskan untuk berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Dia tidak pergi ke taman.Lysandra memilih untuk tidak memenuhi panggilan Lord Verian. Namun, saat dia melewati koridor yang sepi, tiba-tiba ada tangan yang menariknya ke dalam ceruk gelap!Sebuah tangan menutup mulutnya.“Jangan bersuara,” bisik suara yang sangat dikenalnya berdasarkan ingatan masa lalunya.Suara Lord Verian.Dia masuk ke dalam istana!“Mereka tidak akan peduli jika aku membunuh seorang budak, ‘kan? Kau benar-benar membuatku tertarik,
Kaisar melepaskan tangan Lysandra dan berbalik, lalu kembali ke percakapan dengan utusan kerajaan lain. Seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya.Lysandra berdiri di sana selama beberapa detik, masih terpaku. Namun perintahnya jelas. Lysandra mengangguk pelan pada diri sendiri, lalu mulai berjalan membawa nampan minuman, kali ini dengan kepala sedikit lebih tegak.Namun di dalam hatinya bergejolak. Kaisar baru saja melindunginya dengan terang-terangan. Dia menjadikannya titik pusat perhatian.‘Kenapa dia melakukan itu? Untuk menunjukkan kekuasaannya? Atau … untuk memberiku kesempatan lebih baik untuk mendengarkan, karena sekarang orang-orang akan membicarakan aku, dan mungkin akan membicarakan hal lain dengan lebih bebas karena menganggapku tidak penting?’ pikirnya.Sepanjang acara, Lysandra berkeliling. Beberapa bangsawan meliriknya dengan penasaran. Beberapa lainnya, terutama teman Inggrid, memandangnya dengan tatapan pe
Esok harinya, Lysandra dipanggil ke ruang kerja Kaisar Xylas. Ruangan itu berukuran lebih kecil dibanding perpustakaan pribadinya. Kaisar tidak sendirian di sana. Seorang pria dengan jubah kelabu dan mata yang sangat waspada, berdiri di sampingnya. Dia adalah kepala mata-mata Kekaisaran Barat. “Lyra, ini Arion. Dia akan mengajarimu dasar-dasar,” kata Kaisar. “Cara mendengarkan tanpa terlihat mendengarkan. Cara mengingat percakapan. Cara mengenali pembohong.” Arion mengangguk, matanya yang tajam menatap Lysandra dari ujung kepala hingga kaki. “Kita mulai dengan tamu pertama. Utusan dari Kerajaan Utara,” ujarnya, sengaja menekankan kata itu. Kaisar meneruskan sambil mengamati reaksi Lysandra. “Dia akan tiba besok. Kau akan bertugas sebagai pelayan yang menyajikan minuman. Catat segalanya. Terutama,” dia melirik Arion, yang mengangguk pelan, “terutama jika dia menyebutkan nama Putri Lysandra yang hilang, a
Kaisar menoleh, separuh wajahnya masih dalam bayangan. “Kebenaran. Bukan sekaligus. Tapi sedikit demi sedikit. Dan kesetiaan. Kesetiaan mutlak sebagai seorang budak.”Kaisar kembali ke mejanya, menatap Lysandra dengan serius. “Aku tahu kau bukan budak biasa. Aku tahu kau mungkin menyembunyikan sesuatu. Rahasia yang besar.” Dia menunjuk liontin di tanganku.Kaisar mengambil napas dalam-dalam. “Jadi, ini tawaranku. Kau tetap menjadi Lyra, budak pribadiku. Kau akan melakukan tugas yang kuberikan, termasuk mengamati tamu-tamu. Tapi kau akan melakukannya untukku.”“Dan sebagai imbalan untuk hamba?” Lysandra bertanya, berusaha keras agar suaranya tidak gemetar.“Sebagai imbalan,” ucap Xylas, “aku akan melindungi rahasiamu. Aku akan memberimu pengetahuan, akses, dan kekuatan yang kau butuhkan untuk apa pun tujuan sejatimu di kerjaan ini. Entah itu balas dendam, atau mengambil kembali sesuatu yang hilang. Tugasmu sudah jelas di sini.”Jantung Lysandra kembali berdebar kencang. Kaisar menawark
Kaisar akhirnya benar-benar pergi, langkahnya menghilang di koridor. Lysandra menutup pintu, bersandar di baliknya, cangkir teh masih mengepul di tangannya. Kau mengingatkan aku dengan seseorang. Kata-kata Kaisar itu terus bergema di telinga Lysandra. ‘Siapakah orang yang dimaksud Kaisar? Apa hubungannya denganku? Atau ... apakah ini hanya akal-akalannya untuk membuatku lengah, untuk menjeratku dengan manipulasinya?’ pikir Lysandra. Lysandra mulai meminum tehnya. Rasanya hangat, menenangkan, tetapi juga pahit. Kaisar memberi pilihan yang sebenarnya bukan pilihan pada Lysandra. Menjadi matanya, atau menghadapi konsekuensi dari rahasia yang suatu saat bisa dia ungkap. Esok malamnya, ketukan di pintu kamarnya malam itu terdengar berbeda. Bukan ketukan pelayan yang terburu-buru, bukan pula ketukan pengawal yang tegas. Ini ketukan yang terukur, berat, dan penuh otoritas. Ketukannya hanya tiga kali, tetapi memenuhi seluruh ruangan kecil kamar Lysandra. Dan Lysandra sudah tahu siapa
“Lyra.”Suara Kaisar memecah lamunan Lysandra. Dia mengangkat wajah, berusaha mati-matian menjaga ekspresi agar tetap datar, namun dia tahu matanya pasti memancarkan gelombang kepanikan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.“Ya, Yang Mulia?” suaranya serak.“Kau kenapa?” tanya Kaisar. Kalimatnya pendek, tetapi langsung ke sasaran. Matanya tak berkedip, menangkap setiap ekspresi di wajah Lysandra yang pucat.“Hamba … sakit perut, Yang Mulia,” gumam Lysandra, tangannya secara refleks menekan perut bawah. Dia membungkuk sedikit, berpura-pura kesakitan.“Tiba-tiba … mual.” Dia berharap alasan itu terdengar seperti masalah siklus bulanan pada perempuan, sesuatu yang memalukan dan tidak mungkin dibahas lebih lanjut oleh seorang pria, apalagi seorang Kaisar.Kaisar terdiam. Namun tatapannya tak pernah benar-benar beralih dari Lysandra.“Kembalilah ke kamarmu,” ucap Kaisar, suaranya kembali datar, netral.Tidak ada nada khawatir, tidak ada kemarahan. Hanya sebuah perintah. “Jangan keluar k







