เข้าสู่ระบบTaman istana adalah satu-satunya tempat di mana Lysandra bisa bernapas lega. Di sana, di antara deretan tanaman obat dan bunga-bunga yang tertata rapi, bau tanah dan dedaunan menutupi bau ketegangan yang selalu menyelimuti istana. Lysandra sedang memeriksa daun mint.
Tanaman yang biasa digunakan untuk sakit perut. Dia mencoba mengingat detail yang tercatat di buku herbal yang pernah dibacanya di masa lalu. “Hei, lihatlah! Si pembersih debu yang tiba-tiba jadi ahli tanaman.” Suara itu, manis seperti sirup gula tetapi jelas mengandung racun. Lysandra mendongak. Lady Inggrid berdiri di balik rumpun mawar, senyum tipis di bibirnya. Dua dayangnya mengikuti dari belakang, juga tersenyum sinis. Lysandra langsung menunduk. “My Lady.” “Jangan pura-pura sopan,” hardik Inggrid, melangkah mendekat. Matanya yang biru tajam menyapu tubuh Lysandra yang hanya mengenakan pakaian abu-abu sederhana. “Aku lihat kau sering di sini. Juga di perpustakaan. Apa yang kau cari, budak? Atau … siapa yang kau cari?” “Hamba hanya melakukan tugas, My Lady. Membersihkan dan merawat taman.” “Tugas?” Inggrid mendecakkan lidah. “Tugasmu seharusnya di dapur atau kandang, bukan di tempat yang dipenuhi buku dan bunga. Kau pikir karena Kaisar memberimu nama dan kamar kecil, kau bisa naik kelas?” Inggrid melangkah mendekat, bisikannya menusuk. “Kau tetap sampah. Dan sampah akan selalu kembali ke tempatnya.” Kata-katanya melukai Lysandra. Namun yang lebih membuatku tegang adalah tatapan kebenciannya. Dia melihat Lysandra sebagai ancaman, dan itu berbahaya. “Hamba tahu posisi hamba, My Lady,” gumamnya, tetap menunduk. “Pastikan kau tidak lupa.” Inggrid mengangkat tangan, seolah ingin menyentuh rambutnya, tetapi gesturnya lebih seperti ancaman untuk menampar. “Atau aku akan—” “Lady Inggrid.” Suara itu datang bagai pisau es, memotong udara taman yang hangat. Semua orang seketika membeku. Kaisar Xylas berdiri di ujung jalan setapak, wajahnya dingin dan tidak terbaca. Dia tidak terlihat marah, tetapi ada sesuatu dalam caranya berdiri. Sikapnya sangat diam, sangat terkendali, hal itulah yang membuat sekaligus lega dan ngeri. Inggrid langsung mengubah sikap. Senyum manisnya kembali terpasang. “Yang Mulia! Saya hanya sedang …” “Aku tahu apa yang ‘hanya’ sedang kau lakukan,” potong Kaisar. Langkahnya tegas mendekat. Dia tidak memandang Lysandra sama sekali, fokusnya sepenuhnya pada Inggrid. “Dan aku ingatkan untuk yang terakhir kalinya. Fokuslah pada tugasmu menyiapkan pertemuan dengan utusan Kerajaan Selatan. Bukan pada hal-hal yang bukan urusanmu.” Wajah Inggrid memerah. “Tapi Yang Mulia, budak ini—” “Budak ini,” Kaisar menyela, suaranya tiba-tiba lebih keras, “adalah milikku.” Kata-kata itu menggema. Milikku. Dia akhirnya menoleh kepada Lysandra. Bukan dengan lembut, tetapi dengan tatapan yang penuh kepemilikan, seperti seorang tuan memandang pedang kesayangannya. Lalu, dalam gerakan yang mengejutkan semua orang termasuk Lysandra sendiri, Kaisar mengulurkan tangannya. “Lyra. Kemari.” Suaranya tidak meninggi, tapi perintahnya jelas. Dengan kaki gemetar, Lysandra melangkah mendekat. Sebelum dia menyadarinya, tangan Kaisar yang besar dan hangat meraih lengannya, menariknya untuk berdiri di sampingnya. Sentuhan Kaisar itu membuat kulit Lysandra merinding. Sentuhan itu seolah sebuah pernyataan di depan Inggrid dan siapa pun yang melihat. Kaisar seolah ingin mengatakan, ‘Dia milikku. Jangan menyentuhnya’. “Dengar baik-baik, Inggrid,” kata Kaisar, matanya yang abu-abu tajam menatap wanita bangsawan itu tanpa ampun. “Apa yang terjadi di istana ini, siapa yang membersihkan debu di perpustakaanku, siapa yang berjalan di tamanku, semuanya adalah urusanku. Bukan urusanmu, atau ayahmu, atau siapa pun. Kau paham?” Inggrid terlihat seperti ingin menangis atau berteriak, tetapi dia menahannya. Dia membungkuk dalam-dalam, suaranya gemetar. “Saya mengerti dengan sangat jelas, Yang Mulia.” “Pergi,” kata Kaisar, singkat. “Dan ingat! Satu lagi gangguan seperti ini, kau bisa pulang ke wilayah ayahmu untuk selamanya.” Tanpa kata lagi, Inggrid berbalik dan pergi dengan langkah cepat, dayang-dayangnya berusaha mengekor. Dan kemudian, hanya ada mereka berdua di taman. Tangan Kaisar masih memegang lengannya. Kaisar memandangnya. Tatapannya lebih dalam dari sebelumnya, seolah ingin memastikan sesuatu. “Apakah dia menyakitimu?” “Tidak, Yang Mulia,” Lysandra menjawab singkat. “Jangan berbohong,” hardiknya, tetapi tidak kasar. “Kau terlihat seperti anak rusa yang dikepung serigala.” Kaisar akhirnya melepaskan pegangannya. “Dia akan terus mengincarmu. Sekarang lebih dari sebelumnya, karena aku baru saja menunjukkan bahwa kau penting.” “Kenapa … Yang Mulia melakukannya?” tanyanya, entah keberanian yang bodoh muncul atau karena rasa penasaran yang kuat. “Hamba cuma budak. Bukan senjata atau harta.” Kaisar terdiam beberapa saat. “Karena,” katanya pelan, seperti berpikir keras, “di istana ini, yang terlihat lemah dan tidak dilindungi akan dimangsa. Aku tidak punya waktu untuk terus menyelamatkanmu dari setiap Inggrid yang iri.” Dia menatapku lagi. “Dan karena … kau bukan ‘cuma budak’. Ada sesuatu di matamu, Lyra. Sesuatu yang membuatku tertarik.” Jantung Lysandra kembali berdegup kencang. “Sekarang,” ujarnya, kembali ke nada datarnya. “Kau bilang kau tahu tanaman. Apa kegunaan Silverthorn yang tumbuh di sudut sana?” Kaisar menunjuk tanaman itu. Lysandra menarik napas, mengingat isi buku herbal yang pernah dia baca dulu. “Daunnya bisa digunakan untuk meredakan demam, Yang Mulia. Tapi akarnya … beracun.” Kaisar mengangguk, sedikit terkesan. “Bagus. Paling tidak kau jujur tentang yang beracun.” Kaisar lalu berbalik untuk pergi, namun kembali berhenti dan menoleh. “Oh ya, satu lagi, Lyra?” “Ya, Yang Mulia?” “Malam besok, jam ketiga setelah matahari terbenam, datanglah ke perpustakaan. Sendirian. Ada sesuatu … yang ingin kutunjukkan.” ***Kaisar lalu melangkah pergi, meninggalkan Lysandra sendiri. Lysandra masih terdiam sebelum meninggalkan ruangan itu.Saat dia melangkah pelan menuju kamarnya, tiba-tiba saja dia tergerak untuk melihat ke jendela atas istana. Ada bayangan seorang pria tinggi berdiri di sana.Kaisar Xylas.Dia sedang menunggu.Lysandra mengepalkan tangan, lalu memutuskan untuk berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Dia tidak pergi ke taman.Lysandra memilih untuk tidak memenuhi panggilan Lord Verian. Namun, saat dia melewati koridor yang sepi, tiba-tiba ada tangan yang menariknya ke dalam ceruk gelap!Sebuah tangan menutup mulutnya.“Jangan bersuara,” bisik suara yang sangat dikenalnya berdasarkan ingatan masa lalunya.Suara Lord Verian.Dia masuk ke dalam istana!“Mereka tidak akan peduli jika aku membunuh seorang budak, ‘kan? Kau benar-benar membuatku tertarik,
Kaisar melepaskan tangan Lysandra dan berbalik, lalu kembali ke percakapan dengan utusan kerajaan lain. Seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya.Lysandra berdiri di sana selama beberapa detik, masih terpaku. Namun perintahnya jelas. Lysandra mengangguk pelan pada diri sendiri, lalu mulai berjalan membawa nampan minuman, kali ini dengan kepala sedikit lebih tegak.Namun di dalam hatinya bergejolak. Kaisar baru saja melindunginya dengan terang-terangan. Dia menjadikannya titik pusat perhatian.‘Kenapa dia melakukan itu? Untuk menunjukkan kekuasaannya? Atau … untuk memberiku kesempatan lebih baik untuk mendengarkan, karena sekarang orang-orang akan membicarakan aku, dan mungkin akan membicarakan hal lain dengan lebih bebas karena menganggapku tidak penting?’ pikirnya.Sepanjang acara, Lysandra berkeliling. Beberapa bangsawan meliriknya dengan penasaran. Beberapa lainnya, terutama teman Inggrid, memandangnya dengan tatapan pe
Esok harinya, Lysandra dipanggil ke ruang kerja Kaisar Xylas. Ruangan itu berukuran lebih kecil dibanding perpustakaan pribadinya. Kaisar tidak sendirian di sana. Seorang pria dengan jubah kelabu dan mata yang sangat waspada, berdiri di sampingnya. Dia adalah kepala mata-mata Kekaisaran Barat. “Lyra, ini Arion. Dia akan mengajarimu dasar-dasar,” kata Kaisar. “Cara mendengarkan tanpa terlihat mendengarkan. Cara mengingat percakapan. Cara mengenali pembohong.” Arion mengangguk, matanya yang tajam menatap Lysandra dari ujung kepala hingga kaki. “Kita mulai dengan tamu pertama. Utusan dari Kerajaan Utara,” ujarnya, sengaja menekankan kata itu. Kaisar meneruskan sambil mengamati reaksi Lysandra. “Dia akan tiba besok. Kau akan bertugas sebagai pelayan yang menyajikan minuman. Catat segalanya. Terutama,” dia melirik Arion, yang mengangguk pelan, “terutama jika dia menyebutkan nama Putri Lysandra yang hilang, a
Kaisar menoleh, separuh wajahnya masih dalam bayangan. “Kebenaran. Bukan sekaligus. Tapi sedikit demi sedikit. Dan kesetiaan. Kesetiaan mutlak sebagai seorang budak.”Kaisar kembali ke mejanya, menatap Lysandra dengan serius. “Aku tahu kau bukan budak biasa. Aku tahu kau mungkin menyembunyikan sesuatu. Rahasia yang besar.” Dia menunjuk liontin di tanganku.Kaisar mengambil napas dalam-dalam. “Jadi, ini tawaranku. Kau tetap menjadi Lyra, budak pribadiku. Kau akan melakukan tugas yang kuberikan, termasuk mengamati tamu-tamu. Tapi kau akan melakukannya untukku.”“Dan sebagai imbalan untuk hamba?” Lysandra bertanya, berusaha keras agar suaranya tidak gemetar.“Sebagai imbalan,” ucap Xylas, “aku akan melindungi rahasiamu. Aku akan memberimu pengetahuan, akses, dan kekuatan yang kau butuhkan untuk apa pun tujuan sejatimu di kerjaan ini. Entah itu balas dendam, atau mengambil kembali sesuatu yang hilang. Tugasmu sudah jelas di sini.”Jantung Lysandra kembali berdebar kencang. Kaisar menawark
Kaisar akhirnya benar-benar pergi, langkahnya menghilang di koridor. Lysandra menutup pintu, bersandar di baliknya, cangkir teh masih mengepul di tangannya. Kau mengingatkan aku dengan seseorang. Kata-kata Kaisar itu terus bergema di telinga Lysandra. ‘Siapakah orang yang dimaksud Kaisar? Apa hubungannya denganku? Atau ... apakah ini hanya akal-akalannya untuk membuatku lengah, untuk menjeratku dengan manipulasinya?’ pikir Lysandra. Lysandra mulai meminum tehnya. Rasanya hangat, menenangkan, tetapi juga pahit. Kaisar memberi pilihan yang sebenarnya bukan pilihan pada Lysandra. Menjadi matanya, atau menghadapi konsekuensi dari rahasia yang suatu saat bisa dia ungkap. Esok malamnya, ketukan di pintu kamarnya malam itu terdengar berbeda. Bukan ketukan pelayan yang terburu-buru, bukan pula ketukan pengawal yang tegas. Ini ketukan yang terukur, berat, dan penuh otoritas. Ketukannya hanya tiga kali, tetapi memenuhi seluruh ruangan kecil kamar Lysandra. Dan Lysandra sudah tahu siapa
“Lyra.”Suara Kaisar memecah lamunan Lysandra. Dia mengangkat wajah, berusaha mati-matian menjaga ekspresi agar tetap datar, namun dia tahu matanya pasti memancarkan gelombang kepanikan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.“Ya, Yang Mulia?” suaranya serak.“Kau kenapa?” tanya Kaisar. Kalimatnya pendek, tetapi langsung ke sasaran. Matanya tak berkedip, menangkap setiap ekspresi di wajah Lysandra yang pucat.“Hamba … sakit perut, Yang Mulia,” gumam Lysandra, tangannya secara refleks menekan perut bawah. Dia membungkuk sedikit, berpura-pura kesakitan.“Tiba-tiba … mual.” Dia berharap alasan itu terdengar seperti masalah siklus bulanan pada perempuan, sesuatu yang memalukan dan tidak mungkin dibahas lebih lanjut oleh seorang pria, apalagi seorang Kaisar.Kaisar terdiam. Namun tatapannya tak pernah benar-benar beralih dari Lysandra.“Kembalilah ke kamarmu,” ucap Kaisar, suaranya kembali datar, netral.Tidak ada nada khawatir, tidak ada kemarahan. Hanya sebuah perintah. “Jangan keluar k







