Mag-log inMalam itu, Lysandra terbangun dengan sekali hentakan.
Tubuhnya basah oleh keringat dingin. Nafasnya tersengal-sengal, seperti baru berlari sejauh bermil-mil. Kamar kecilnya di koridor utara gelap dan sunyi, jauh berbeda dengan mimpi buruk yang penuh teriakan. Pelipisnya berdenyut-denyut. Dia segera duduk di tempat tidur, memeluk lutut, mencoba menghalau bayangan-bayangan itu. Namun itu bukan sekadar mimpi. Itu adalah kenangan buruk yang semakin diperparah oleh ketakutannya. Itu adalah gambaran nyata tentang apa yang mungkin sedang terjadi di kerajaan lamanya saat ini, di bawah kekuasaan Clara yang haus darah dan ibu tirinya. Rasa sakit, kemarahan, dan ketakutan bergolak di dalam dadanya. Lysandra mengusap keringat di dahinya. Matanya menatap kegelapan di depan, seolah bisa menembus dinding istana, menyeberangi gunung dan sungai, hingga mencapai rumah lamanya. “Tidak,” bisiknya, penuh keyakinan. “Aku belum mati. Dan aku tidak akan mudah mengalah padanya.” Lysandra berdiri, berjalan pelan ke jendela kecil. Di luar, langit malam mulai terang, tanda fajar akan segera tiba. Istana Kaisar Xylas masih sunyi. Dia memutar liontin bunga matahari kecil yang sekarang selalu disembunyikan di balik baju. Benda itu, dan mimpinya tadi, adalah pengingat yang jelas. Tujuannya bukan lagi sekadar bertahan hidup sebagai budak. Lysandra mengepalkan tangan. “Aku harus menjadi budak yang berguna” katanya, lebih keras, pada diri sendiri. “Aku akan berguna untuk Kaisar Xylas. Hanya dengan dekat dengannya, dengan mendapatkan kepercayaannya atau setidaknya, dengan membuatnya merasa aku berharga, aku bisa mendapatkan akses.” Kaisar Xylas adalah tiran. Dia dingin, berbahaya, dan tak terduga. Namun dia juga adalah penguasa yang paling dekat dengan pusat kekuasaan di benua ini. Dan dia, entah kenapa, tertarik padanya. Meski dia yakin bukan sebagai pria pada seorang wanita. “Mulai besok,” bisiknya, menatap cahaya pertama fajar yang menyingsing. “Tidak ada lagi Lyra yang ketakutan dan selalu menunduk. Aku akan menjadi Lyra yang paling cekatan, paling tajam pengamatan, dan paling diam yang pernah dia miliki.” ‘Aku akan pelajari kebiasaannya. Aku akan ingat setiap buku yang dia sentuh, setiap tamu yang dia temui, setiap keputusan kecil yang bisa kudengar. Aku akan menjadi seperti bayangan yang berguna, selalu ada, selalu memperhatikan, tetapi tidak pernah meminta.’ ‘Semua ini, demi satu tujuan. Untuk mengetahui keadaan kerajaan lamaku. Untuk mengetahui apakah Clara benar-benar telah mengubahnya menjadi neraka. Dan untuk menemukan cara, bagaimanapun kecilnya, untuk meruntuhkannya.’ Tak lama setelah fajar, seorang pelayan datang dengan pesan singkat. “Kaisar memanggilmu. Ke ruang audiensi kecil. Sekarang.” Jantungnya berdebar. Ruang audiensi? Itu bukan tempat untuk budak sepertinya. Saat aku masuk, Kaisar Xylas sedang berdiri di dekat jendela, membelakanginya. Ruangan itu tidak kosong. Seorang pria asing dengan jubah perjalanan berdebu dan luka di pipinya sedang duduk, wajahnya letih. “Lyra,” kata Kaisar tanpa menoleh. “Orang ini adalah kurir. Dia membawa kabar dari perbatasan sebelah timur.” Kaisar akhirnya berbalik. Matanya yang abu-abu menatap Lysandra. “Dia membawa berita tentang Kerajaan Utara. Tentang Ratu yang baru.” Lysandra membeku. Darahnya seolah berhenti mengalir. “Aku memanggilmu ke sini,” lanjut Kaisar, suaranya datar. “Karena aku ingin kau mendengarkan laporannya.” Kurir itu melihat ke arah Lysandra, lalu pada Kaisar. Tatapannya bingung mengapa seorang budak hadir untuk hal seperti itu. Kaisar mengangguk padanya. “Laporkan.” Kurir itu menarik napas. “Yang Mulia, kabarnya ... Ratu Clara, Ratu Kerajaan Utara telah memerintahkan eksekusi massal. Seluruh keluarga dari mantan Pendukung Putri Lysandra diburu. Istana tengah diubah menjadi penjara. Dan ….” Dia berhenti. Seolah ragu. “Dan?” desak Kaisar. “Dan ada desas-desus, Yang Mulia,” kata kurir itu, suaranya berbisik. “Desas-desus bahwa Putri Lysandra ... mungkin tidak mati. Bahwa jasadnya tidak pernah ditemukan.” Napas Lysandra mendadak sesak. Seketika itu juga, seluruh ruangan terasa berputar. Lysandra menggigit bagian dalam pipinya agar Kaisar tidak melihat ekspresi wajahnya. Namun, dia bisa merasakan tatapan Kaisar Xylas menatapnya terus-menerus, mengamati setiap kedipan mata, setiap tarikan napas, setiap detak jantung yang mungkin bisa dia dengar. Tatapan Kaisar Xylas tak beralih dari Lysandra. Meski dia memaksa wajahnya tetap menunduk. Laporan kurir itu masih bergema di telinga Lysandra. Eksekusi massal. Keluarga diburu. Jasad Putri Lysandra tidak pernah ditemukan. Perutnya mulai mual. Rasa melilit di perutnya itu karena ketakutan dan panik. ‘Jika mereka sudah menduga aku tidak mati … apakah mereka sedang mencariku?’ pikir Lysandra. ***Kaisar lalu melangkah pergi, meninggalkan Lysandra sendiri. Lysandra masih terdiam sebelum meninggalkan ruangan itu.Saat dia melangkah pelan menuju kamarnya, tiba-tiba saja dia tergerak untuk melihat ke jendela atas istana. Ada bayangan seorang pria tinggi berdiri di sana.Kaisar Xylas.Dia sedang menunggu.Lysandra mengepalkan tangan, lalu memutuskan untuk berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Dia tidak pergi ke taman.Lysandra memilih untuk tidak memenuhi panggilan Lord Verian. Namun, saat dia melewati koridor yang sepi, tiba-tiba ada tangan yang menariknya ke dalam ceruk gelap!Sebuah tangan menutup mulutnya.“Jangan bersuara,” bisik suara yang sangat dikenalnya berdasarkan ingatan masa lalunya.Suara Lord Verian.Dia masuk ke dalam istana!“Mereka tidak akan peduli jika aku membunuh seorang budak, ‘kan? Kau benar-benar membuatku tertarik,
Kaisar melepaskan tangan Lysandra dan berbalik, lalu kembali ke percakapan dengan utusan kerajaan lain. Seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya.Lysandra berdiri di sana selama beberapa detik, masih terpaku. Namun perintahnya jelas. Lysandra mengangguk pelan pada diri sendiri, lalu mulai berjalan membawa nampan minuman, kali ini dengan kepala sedikit lebih tegak.Namun di dalam hatinya bergejolak. Kaisar baru saja melindunginya dengan terang-terangan. Dia menjadikannya titik pusat perhatian.‘Kenapa dia melakukan itu? Untuk menunjukkan kekuasaannya? Atau … untuk memberiku kesempatan lebih baik untuk mendengarkan, karena sekarang orang-orang akan membicarakan aku, dan mungkin akan membicarakan hal lain dengan lebih bebas karena menganggapku tidak penting?’ pikirnya.Sepanjang acara, Lysandra berkeliling. Beberapa bangsawan meliriknya dengan penasaran. Beberapa lainnya, terutama teman Inggrid, memandangnya dengan tatapan pe
Esok harinya, Lysandra dipanggil ke ruang kerja Kaisar Xylas. Ruangan itu berukuran lebih kecil dibanding perpustakaan pribadinya. Kaisar tidak sendirian di sana. Seorang pria dengan jubah kelabu dan mata yang sangat waspada, berdiri di sampingnya. Dia adalah kepala mata-mata Kekaisaran Barat. “Lyra, ini Arion. Dia akan mengajarimu dasar-dasar,” kata Kaisar. “Cara mendengarkan tanpa terlihat mendengarkan. Cara mengingat percakapan. Cara mengenali pembohong.” Arion mengangguk, matanya yang tajam menatap Lysandra dari ujung kepala hingga kaki. “Kita mulai dengan tamu pertama. Utusan dari Kerajaan Utara,” ujarnya, sengaja menekankan kata itu. Kaisar meneruskan sambil mengamati reaksi Lysandra. “Dia akan tiba besok. Kau akan bertugas sebagai pelayan yang menyajikan minuman. Catat segalanya. Terutama,” dia melirik Arion, yang mengangguk pelan, “terutama jika dia menyebutkan nama Putri Lysandra yang hilang, a
Kaisar menoleh, separuh wajahnya masih dalam bayangan. “Kebenaran. Bukan sekaligus. Tapi sedikit demi sedikit. Dan kesetiaan. Kesetiaan mutlak sebagai seorang budak.”Kaisar kembali ke mejanya, menatap Lysandra dengan serius. “Aku tahu kau bukan budak biasa. Aku tahu kau mungkin menyembunyikan sesuatu. Rahasia yang besar.” Dia menunjuk liontin di tanganku.Kaisar mengambil napas dalam-dalam. “Jadi, ini tawaranku. Kau tetap menjadi Lyra, budak pribadiku. Kau akan melakukan tugas yang kuberikan, termasuk mengamati tamu-tamu. Tapi kau akan melakukannya untukku.”“Dan sebagai imbalan untuk hamba?” Lysandra bertanya, berusaha keras agar suaranya tidak gemetar.“Sebagai imbalan,” ucap Xylas, “aku akan melindungi rahasiamu. Aku akan memberimu pengetahuan, akses, dan kekuatan yang kau butuhkan untuk apa pun tujuan sejatimu di kerjaan ini. Entah itu balas dendam, atau mengambil kembali sesuatu yang hilang. Tugasmu sudah jelas di sini.”Jantung Lysandra kembali berdebar kencang. Kaisar menawark
Kaisar akhirnya benar-benar pergi, langkahnya menghilang di koridor. Lysandra menutup pintu, bersandar di baliknya, cangkir teh masih mengepul di tangannya. Kau mengingatkan aku dengan seseorang. Kata-kata Kaisar itu terus bergema di telinga Lysandra. ‘Siapakah orang yang dimaksud Kaisar? Apa hubungannya denganku? Atau ... apakah ini hanya akal-akalannya untuk membuatku lengah, untuk menjeratku dengan manipulasinya?’ pikir Lysandra. Lysandra mulai meminum tehnya. Rasanya hangat, menenangkan, tetapi juga pahit. Kaisar memberi pilihan yang sebenarnya bukan pilihan pada Lysandra. Menjadi matanya, atau menghadapi konsekuensi dari rahasia yang suatu saat bisa dia ungkap. Esok malamnya, ketukan di pintu kamarnya malam itu terdengar berbeda. Bukan ketukan pelayan yang terburu-buru, bukan pula ketukan pengawal yang tegas. Ini ketukan yang terukur, berat, dan penuh otoritas. Ketukannya hanya tiga kali, tetapi memenuhi seluruh ruangan kecil kamar Lysandra. Dan Lysandra sudah tahu siapa
“Lyra.”Suara Kaisar memecah lamunan Lysandra. Dia mengangkat wajah, berusaha mati-matian menjaga ekspresi agar tetap datar, namun dia tahu matanya pasti memancarkan gelombang kepanikan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.“Ya, Yang Mulia?” suaranya serak.“Kau kenapa?” tanya Kaisar. Kalimatnya pendek, tetapi langsung ke sasaran. Matanya tak berkedip, menangkap setiap ekspresi di wajah Lysandra yang pucat.“Hamba … sakit perut, Yang Mulia,” gumam Lysandra, tangannya secara refleks menekan perut bawah. Dia membungkuk sedikit, berpura-pura kesakitan.“Tiba-tiba … mual.” Dia berharap alasan itu terdengar seperti masalah siklus bulanan pada perempuan, sesuatu yang memalukan dan tidak mungkin dibahas lebih lanjut oleh seorang pria, apalagi seorang Kaisar.Kaisar terdiam. Namun tatapannya tak pernah benar-benar beralih dari Lysandra.“Kembalilah ke kamarmu,” ucap Kaisar, suaranya kembali datar, netral.Tidak ada nada khawatir, tidak ada kemarahan. Hanya sebuah perintah. “Jangan keluar k







