Bujang datang tepat waktu di rumah Pak Iwan. Sebuah mobil Toyota Anvanza telah terparkir manis di depan rumah Keke. Bujang yakin, inilah mobil yang akan dibawa ke acara Wisuda Keke di kota, tepatnya di Pekanbaru.
"Masuk, Bang!"
Keke muncul, dia sudah memakai kebaya pink dengan bawahan kain songket, wajahnya sudah dipoles. Tapi bawaannya tidak bersemangat.
Bujang masuk ke rumah, dia sendiri memakai baju batik, baju yang sama ketika acara sunatan Bayu adiknya Keke.
"Buatkan kopi, Bu!" Seru Pak Iwan.
"Iya," sahut ibu Keke.
"Tunggu bentar, tantenya Keke belum datang."
"Ini yang membuat Keke kesal, Yah. Kita harus masuk aula jam delapan tepat, Tante Silvi ini tidak pernah berubah, lelet minta ampun." Keke mengomel, dia memakai sepatu tinggi tumit. Sesekali menggerutu karena tak nyaman dengan benda itu, dia terbiasa memakai sandal
"Saya akan katakan pada ayah, bahwa saya menerima perjodohan Abang dengan saya."Bujang tertegun. Dia memandang Keke tak percaya. Keputusan dari mana itu, dia tau pasti Keke tak menyukainya, gadis kampung tapi bergaya modren itu terlalu kekanak-kanakan. Baru saja dia menangis karena patah hati, sekarang minta dijodohkan dengannya.Dia bukan anak-anak yang bisa dijadikan lelucon sesuka hati Keke. Bagaimana bisa, wanita patah hati itu membuat keputusan sepihak tanpa bertanya dulu padanya.Wanita ini cantik, sangat. Bunga desa yang menjadi buah bibir karena kecantikannya. Karakternya yang percaya diri dan cuek menjadi pesona tersendiri bagi siapa yang melihatnya. Namun, Bujang bukanlah anak SMA yang akan terpesona dengan kecantikan remaja yang emosinya masih labil itu. Bujang tau pasti, wanita itu sedang patah hati.Bujang telah puas makan asam garam kehidupan, dia telah lelah berharap akan memiliki istri, bahkan dia ikhlas jika tak memilik
Menikahi Keke? Bujang tersenyum hambar. Rasanya tak perlu menanggapi gadis itu, gadis kecil yang masih labil. Namun, apa yang disampaikan Keke begitu mengganggunya. Entah kenapa dia memikirkan ide gila Keke itu sampai saat ini.Sudah seminggu berlalu, Bujang menganggap ucapan Keke hanya lelucon yang tak serius, tapi tetap saja mengganggunya. Biasanya dia tak ambil pusing."Hey, bermenung lagi, kau sedang jatuh cinta?" Luqman tiba-tiba sudah berada di depannya sambil merebut rokok yang hendak dibakar."Jatuh cinta? Bang Luqman ngawur.""Kalau beneran jatuh cinta baru tau rasa kamu, Jang."Bujang mengabaikan ucapan Luqman. Dia mengeluarkan satu batang rokok lagi dan membakarnya, mereka tengah beristirahat untuk makan siang."Bang, aku boleh nanya?""Wah, sepertinya akan ada hal serius ini." Luqman memperbaiki posisi duduk bersilanya, jarang-jarang Bujang mau bercerita."Menurut Abang, Keke gimana?"Luqman tersenyum l
Keke tak mampu menyembunyikan raut kesalnya. Kenapa pria itu begitu cuek dengan motornya sendiri, bukankah dia orang yang sebenarnya punya banyak uang, kalau membangun mesjid saja bisa, masa membeli motor baru tidak mampu. Keke mengusap wajahnya lalu berjalan ke arah Bujang."Korslet lagi?""Habis minyak.""Huff.""Maaf, Ke. Motornya terpaksa didorong, jadi kita sama-sama jalan kaki.""Ya gimana lagi, Bang? Nggak ada pilihan lain, kan? Lagi pula, kenapa nggak beli motor baru, sih, Bang? Atau yang bekas tapi yang kondisinya masih bagus.""Ini banyak historinya, Ke. Banyak kisahnya, sayang kalau dijual cuma laku satu juta.""Segitunya, Bang."Bujang tak menyahut, mereka beriringan berjalan di jalan desa yang sudah sepi karena para hadirin telah pulang dengan motor mereka masing-masing. Zaman sekarang, ke wa
Keke meyakinkan dirinya, bahwa yang dia lakukan ini telah benar. Dia baru jatuh cinta sekali, pada kevin yang dulu sangat manis.Kevin laki-laki dengan fisik sempurna dan keluarga berada, dia juga perhatian dan penyayang, bahkan dari hal-hal kecil. Namun Keke tak menyangka, laki-laki yang dicintainya itu ternyata bukan jodohnya.Keke tak butuh cinta lagi, rasa sakit itu masih membekas ibarat luka yang membusuk. Ayahnya ingin dia segera menikah, umurnya sudah cukup, kuliah selesai, apa lagi? Dia tak butuh lagi laki-laki yang akan membuatnya jatuh cinta. Ayahnya suka Bujang, Keke rasa alasan itu cukup. Bujang punya banyak uang, dia tak perlu bekerja setelah mereka menikah. Iya, kan?Keke memantapkan hatinya, perhatiannya teralih ke pekarangan rumah, tepatnya pada mobil pick-up milik Bujang. Pria itu datang tepat waktu, tak sendiri, tapi dengan Luqman.Kemeja kotak-kotak, kemeja yang sama d
Bunyi mesin pemotong pohon berbunyi keras, dua anggota yang bekerja sebagai pekerja lepas yang bekerja pada Bujang memindahkan kayu yang berjenis kayu Ulin itu ke samping gudang. Kebetulan, Minggu ini ada pesanan perabot dari sekolah, membuat kursi belajar. Mau tidak mau mereka bekerja lebih keras dari biasanya untuk mencapai target.Luqman menggerutu, pria yang kelihatan lebih tua dari umurnya itu tampak kesal. Dia mengusap keringatnya dengan handuk kecil yang tersampir di bahunya."Lain kali kau cari yang lain sajalah, Jang. Jangan kau pakai lagi si Bambo itu, lain disuruh lain pula yang dikerjakan. Bikin aku darah tinggi saja. Sudah seratus kali dibilang, nggak ngerti-ngerti juga."Bujang memandang sekilas pada Luqman, kemudian kembali menyalakan mesin amplas di tangannya."Sabar saja, aku kasihan sama dia, yatim piatu, nggak punya pekerjaan. Abang hanya perlu bersabar sama dia, walaupun dia nggak ngerti, tapi tenaganya kuat melebihi tenaga Abang."
"Sah." Suara serentak menggema memenuhi kantor KUA, seiring dengan lafaz doa yang dipanjatkan oleh pak penghulu dan diaminkan oleh hadirin yang menjadi saksi. Acara sakral itu hanya dihadiri beberapa orang saja, keluarga terdekat Keke, dan di pihak Bujang, yang hadir adalah Luqman dan istrinya.Keke memejamkan mata, tanggung jawab sudah beralih ke pundak Bujang, dia tak lagi bisa merengek pada ayahnya seperti biasa. Dan sebentar lagi dia akan ikut suaminya, berpisah dengan keluarganya. Keke mengahalau air mata dan rasa sesak di dadanya.Selepas shalat Jumat, dua insan itu sudah terikat oleh yang namanya akad. Banyak yang takjub, dan banyak juga yang mencibir, bagaimana si Bujang lapuk bisa mempersunting bunga desa yang cantik itu, banyak prasangka buruk berdatangan, mulai karena kena guna-guna sampai soal Pak Iwan yang terlilit utang sehingga menggadaikan anak gadisnya untuk membayarnya.Keke sangat cantik dengan kebaya putih dan make-up sederhananya. Sedangkan
"Bang," sapa Keke.Keadaan rumah sudah sepi, para tetangga yang membantu telah pulang ke rumah masing-masing."Ini bantal dan selimutnya," ujar Keke menyodorkan benda itu. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Bujang menerima benda itu tanpa melihat Keke. Sedangkan Bayu telah tidur lelap.Keke berniat meninggalkan pria itu, tapi sebagian hatinya merasa ada yang mengganjal. Akhirnya, dia memutuskan untuk duduk di samping Bujang, tepatnya di ranjang milik Bayu."Pernikahan kita telah terjadi, Bang." Keke menautkan jari-jarinya, senyum gundah itu tak bisa ia sembunyikan."Kamu menyesal, Ke?" Suara rendah Bujang menggema, dia menjaga agar Bayu tidak terbangun. Dia menatap lekat Keke yang tengah menunduk dalam. Sekali lagi, Bujang menemukan raut sedih yang begitu kentara.Mulut Keke terkatup rapat. Tapi detik berikutnya isakan lirih terdengar di telinga Bujang. Isakan pilu yang mengungkapkan betapa menyesalnya
Keke bangun sebelum subuh, bahkan dia tak sadar bahwa dia tak lagi tidur sendiri. Dia masih mengumpulkan nyawa ketika dia meregangkan badannya, tiba-tiba saja tangannya menyentuh bulu. Bulu?Keke terkejut bukan main, Keke langsung terlonjak kaget bangun dari rebahannya, bagaimana bisa tangannya mendarat di dada liat itu? Ini memalukan, tapi Keke kan tidak sengaja. Untung saja si pemilik tak terganggu dan masih meneruskan tidurnya.Wajah Keke memerah. Sejak kapan kaos singlet yang dipakai Bujang terlempar ke atas lantai. Dia juga menendang selimut tipis yang diberikan semalam.Mungkin pria itu kepanasan, padahal kipas angin sudah dinyalakan maksimal.Wajar saja, Riau adalah daerah yang diberi istilah di atas minyak di bawah minyak. Minyak di bawah, minyak bumi, minyak di atas, kebun sawit yang luasnya tak putus-putus. Udaranya panas, tak ada pegunungan.Keke mendengar suara azan sayup-sayup dari mushala, sedangkan bunyi kompor yang dinyalakan itu, pasti ibunya telah bangun lebih dulu.