"Di TPS.""Kenapa kamu nggak bilang ke papa atau ke ibu kalau mau ke luar?""Aku suntuk di rumah. Makanya aku ingin keluar sebentar. Tapi papa jangan khawatir, aku ketemu Ruli ini.""Syukurlah kalau ada teman. Kehamilanmu sudah besar dan kamu harus hati-hati.""Iya. Sebentar lagi aku pulang.""Biar papa jemput.""Nggak usah, Pa. Aku naik taksi saja.""Ya sudah, hati-hati.""Ya, Pa."Ponsel kukembalikan ke dalam tas. "Dengan kehamilan sebesar ini. Kamu tinggal sendirian?" tanya Ruli."Ada ART yang menemaniku. Tapi hari ini dia izin pulang karena ada kerabatnya yang hajatan. Besok pagi baru kembali.""Kamu harus sangat hati-hati, Nas. Jangan sampai lahiran prematur.""Iya.""Sejak kapan kamu berhijab?" Sepertinya Ruli penasaran dengan penampilanku sejak tadi."Belum lama. Baru sekitar dua bulanan."Ruli merangkul pundakku. Netranya berkaca-kaca, terharu.***L***Author's POV"Terima kasih, Pak Yoshi. Anda sudi menemui saya untuk membahas permasalahan saya dengan perusahaan keluarga Pak
(Bukan) Istri Pilihan - Pulang, Nas.Author's POV"Mas, pergi saja nggak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri," kata Anastasya. Tidak sabar ingin segera sampai di rumah dan rebahan, tubuhnya terasa pegal-pegal setelah jalan seharian dalam kondisi hamil besar.Yoshi mengabaikan panggilan ponselnya kemudian meraih paper bag di lantai dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan meraih lengan istrinya. "Mari mas antar."Anastasya bergeming dan berusaha melepaskan cekalan tangannya. Namun jemari itu cukup kuat mencengkeram. Padahal rumah Anastasya berada di lantai tujuh dan tidak ingin suamiya tahu di mana dia tinggal selama ini.Ponsel terus berdering dan Yoshi mengabaikan. Padahal nama baiknya sedang dipertaruhkan sekarang, kalau sampai dia terlambat datang ke sidang. "Mas nggak boleh tahu kamu tinggal di mana?" Yoshi menatap lekat Anastasya. Bola mata bening yang dulu selalu memandangnya penuh kehangatan. Ia kehilangan tatapan yang penuh kerinduan beberapa bulan ini. Anastasya makin anggu
Mobil kembali melaju membelah gerimis menjelang senja. Lampu-lampu jalanan, pertokoan, sudah menyala. Yoshi tidak peduli jika ia harus menunggu di sana, mencari-cari, dan menanti sampai Anastasya mengaktifkan ponselnya lagi.Setengah jam setelah sampai di apartemen, perasaannya kian gundah. Kalau dia nekat naik ke apartemen, bukannya bertemu sang istri, tapi akan timbul permasalahan yang lain lagi.Gerimis berhenti saat Azan Maghrib berkumandang, Yoshi mengambil kaus bersih di jok tengah lalu melangkah menuju musholla yang ada di bagian timur apartemen. Menyempatkan untuk mandi sebentar, lalu salat Maghrib. Sejak dulu di mobilnya pasti ada persediaan sepasang baju bersih. Anastasya yang memberinya saran seperti itu.Seharusnya dia menyadari kesalahannya sebelum istrinya pergi. Kenapa setelah tiada, mata hatinya baru terbuka. Kembali ke mobil, Yoshi menghubungi Anastasya lagi. Kali ini panggilannya masuk. "Jawab, Nas. Please, please ...."Pada panggilan ketiga baru dijawab."Assalamu'
(Bukan) Istri Pilihan - Semalam di Apartemen Author's POVSaat pintu lift terbuka, Yoshi pun ikut masuk juga. Tidak peduli dengan wajah Anastasia yang penuh protes. Terpaksa nomer tujuh di tekan wanita itu. Sudahlah, suaminya tahu tempat tinggalnya tak mengapa. Hendak lari pontang-panting, pindah ke sana ke mari, ujungnya dia yang capek sendiri. Lagian mau sampai kapan seperti ini. Bukankah lebih baik duduk berdua, mencari penyelesaian dengan hati terbuka.Yoshi heran kenapa istrinya menekan angka tujuh sedangkan ia tinggal di lantai tiga. Namun Yoshi diam hingga denting lift berbunyi bersamaan dengan pintu yang terbuka. Mengikuti langkah Anastasya hingga masuk ke dalam apartemennya.Sekarang Yoshi tahu, tadi siang hanya dikelabuhi oleh istrinya."Sayang, kamu bohong tadi siang," ujar lelaki itu setelah masuk rumah.Anastasya tidak menjawab. Dia bergerak ke dapur dan membuatkan segelas teh untuk sang suami. Yoshi masih suaminya. Tidak peduli di mana keberadaannya, pria itu tetap men
Terlihat senyum getir menghiasi sudut bibir Anastasya menanggapi ucapan suaminya. "Nggak akan mudah untuk itu, Mas. Ayun nggak menyukaiku. Kalian juga nggak ada niat mendekatkan kami. Ketika dia berkata buruk tentangku, apa Mas dan Mbak Mayang mencoba meluruskannya? Nggak, kan?"Mas, juga masih terus berhubungan dengan mantan tanpa melibatkan aku. Memang semuanya demi anak. Tapi apa begini caranya? Mbak Mayang sepertinya juga masih mengharapkanmu. Aku nggak bisa, Mas. Kita cerai saja."Yoshi menghela nafas panjang lalu meraih jemari istrinya untuk digenggam. Namun Anastasya menariknya pelan. "Kita nggak akan bercerai. Mas akan merubah semuanya. Maafkan mas kalau selama ini sudah menyakitimu."Anastasya menatap sekilas sang suami. Disaat seperti ini, Yoshi bisa bicara seperti itu. Tapi tidak tahu bagaimana nanti setelah bertemu kembali dengan mantannya. Siapa bisa menjamin mereka tidak akan saling mendekat lagi. Hening memanjang. Anastasya sibuk dengan ketikan untuk membalas pesan, s
(Bukan) Istri Pilihan - SesalAuthor's POVPak Bastian yang keluar dari kamar, heran melihat putri sulungnya menangis tersedu-sedu dalam rangkulan sang mama di ruang keluarga. Ada apa dengan Lidia sepagi ini?"Ada apa, Lidia?" Pak Bastian duduk di sofa depan istri dan anaknya."Agung ketangkap basah di hotel dengan sekretarisnya tadi malam," jawab Bu Mega dengan nada datar. Namun sukses membuat Pak Bastian terkejut. Masalah apa lagi ini? Ada apa dengan putri-putrinya."Tenangkan dirimu dulu di kamar. Nanti kita bicarakan lagi," ujar Bu Mega seraya mengelus rambut si sulung kesayangannya.Lidia berdiri dan melangkah gontai ke salah satu kamar di lantai satu rumah megah itu. Sebenarnya kamar Lidia ada di lantai dua. Namun ia malas menaiki tangga. Sebelum masuk kamar, ia menoleh pada putrinya yang sedang di gendong oleh salah seorang ART di ruang makan sambil disuapi.Wanita cerdas yang selalu dibanggakan oleh Bu Mega, pada akhirnya tidak berdaya juga setelah mendapati perselingkuhan s
"Maaf, Mbak. Kelamaan nunggu, ya. Tadi saya masih nganterin penumpang ke Wonokromo," kata sopir taksi setelah Anastasya duduk di belakangnya."Nggak apa-apa, Pak. Habis ini langsung ke Celi ya, Pak.""Siap," jawab lelaki tua itu dengan takzim.Taksi meluncur ke arah Celi Culinary Education. Tempat yang sudah sangat dihafal si bapak."Mbak Nastasya, boleh saya bertanya.""Boleh saja. Tanya apa, Pak?""Pria yang bersama Mbak Nastasya tadi apa suaminya, Mbak?" Lelaki itu sangat berhati-hati saat bicara."Iya, Pak."Pak sopir manggut-manggut dan tidak bertanya lagi. Meski ia sudah akrab dengan Nastasya, tapi tetap menjaga diri untuk tidak terlalu banyak ingin tahu. Mendapatkan pelanggan seperti Anastasya merupakan keberuntungan. Wanita itu tak segan memberikan ongkos lebih dan makanan hasil masakannya.Walaupun Anastasya tidak bercerita, tapi laki-laki itu kalau hubungan mereka sedang bermasalah. "Mbak Nastasya nanti kira-kira pulang jam berapa?" tanya si bapak setelah taksi berhenti di
(Bukan) Istri Pilihan - Tidak Akan Menyerah Author's POVSekali, dua kali, tiga kali, hingga berkali-kali, tapi panggilannya tanpa jawaban. Yoshi yang biasanya kesal karena tidak direspon, kini justru sangat khawatir. Bagaimana kalau Anastasya sudah tidak sepeduli itu padanya. "Kurasa wajar saja istrimu bersikap seperti itu. Sudah lama dia diam, bersabar, dan mengalah. Kamu saja yang nggak peka. Perempuan itu nggak mudah untuk meninggalkan seseorang, terlebih suami dan keluarganya. Kalau dia sampai memutuskan untuk pergi, berarti dia sudah sampai pada batasannya. Tentu dia sudah memikirkan berulang kali. Mempertimbangkan tidak hanya sepintas lalu saja. Bahkan sudah mempersiapkan apa yang akan ia lakukan jauh ke depan, setelah hidup tanpa pasangannya. Tanpa keluarganya."Sebodoh apapun manusia, mereka punya perasaan, Bro. Punya rasa marah. Naluri ingin membahagiakan diri sendiri itu ada di setiap diri manusia. Dia akan berjuang untuk dirinya sendiri setelah apa yang ia lakukan pada