Share

Part 5 Maaf 1

last update Last Updated: 2023-12-21 20:27:19

(Bukan) Istri Pilihan

Part 3 Maaf

Salahku juga. Aku memaksakan diri memberikan sesuatu yang orang lain tidak mau.

Namun, tidakkah Mas Yoshi pun tidak bisa menjaga perasaanku? Andai dia buang puding ini, malah lebih aman bukan? Tidak akan ada yang tahu. Pasti aku mengira, Ayunda bisa menerima pemberianku.

Dengan hati yang tercabik, aku membawa Tupp*rware masuk ke dalam rumah. Kulihat puding belum basi dan kumasukkan ke dalam kulkas. Besok aku akan memakannya.

Beberapa lauk aku keluarkan dari lemari penyimpan makanan. Kupanaskan sebentar, lalu menyiapkan makan malam.

Astaga! Kenapa aku tidak tanya dulu dia sudah makan apa belum. Ini kan sudah malam.

"Mas, sudah makan?" tanyaku pada suami yang kembali turun beberapa saat kemudian.

Mas Yoshi mengangguk dengan tatapan penuh rasa bersalah. Tanpa pikir panjang, segera kukembalikan piring ke dalam lemari makanan.

"Kamu belum makan?" tanya Mas Yoshi sambil menahan lenganku. "Ayo, mas temani. Mas makan habis maghrib tadi. Yuk, kita makan lagi."

"Aku nggak lapar," jawabku dengan suara bergetar.

Kulepaskan cekalan tangannya. Kala itu, dalam dada rasanya hendak meledak. Ada yang menyumbat di kerongkongan dan tak mampu tertampung lagi. Ingin marah, tapi suaraku tercekik di tenggorokan. Mereka pasti sudah makan bersama di rumah sakit.

"Maafkan mas, Sayang." Dia merangkulku erat.

"Nggak apa-apa." Kulepaskan rangkulannya. Kemudian kuambil ponselnya dari saku bajuku dan kuletakkan di atas meja. Sejauh ini aku tidak pernah 'kepo' dengan isi ponselnya. Aku selalu menahan diri untuk tahu, meski benda itu selalu tergeletak begitu saja. Tanpa memakai password.

Aku tidak akan membahas masalah puding tadi. Dan ini kali terakhir aku memaksakan diri membuat sesuatu untuk putrinya. Aku tidak perlu penjelasan apapun. Karena semuanya akan sama seperti alasan sebelumnya.

"Nastasya." Kembali lenganku ditahan dengan cekalan yang lebih kuat.

Biasanya begini tangisku sudah tumpah, tapi kali ini tidak. Aku bisa menahannya meski dada rasanya hendak meledak.

"Maaf. Mas mengecewakanmu. Seharusnya mas ngasih tahu kamu tadi. Untuk pudingnya, akan mas taruh kulkas dan besok mas kasihkan ke Ayun. Tadi mas panik sampai pudingnya ketinggalan di mobil." Lelaki ini benar-benar menampakkan wajah penyesalan.

Tanpa menjawab. Aku melepaskan tangannya dan melangkah menaiki tangga. Kulihat Mas Yoshi keluar, mungkin untuk mengambil puding. Padahal sudah kutaruh kulkas. Biarlah dia tahu sendiri, tak perlu aku ngasih tahu padanya. Rupanya dia yang sengaja tidak memberikan pada Ayunda.

Aku tetap diam meski dia memelukku sepanjang malam, meminta maaf berkali-kali sampai dia tertidur. Dan aku tidak bisa tidur hingga dini hari.

Lelah sekali dengan semua ini. Apa yang sebenarnya terjadi di belakangku? Benarkah ini demi anak? Demi anak sampai tidak tahu bagaimana menjaga perasaan istrinya. Mungkin dalam bidang akademis aku bodoh, tapi aku punya perasaan. Sama seperti mereka.

Mas Yoshi ini lelaki pertama yang dekat denganku. Sejak remaja tidak ada yang berani mendekatiku. Walaupun orang bilang aku cantik. Tapi mereka takut karena tahu aku dari keluarga mana. Alhasil aku tidak pernah pacaran. Mama juga membatasiku bergaul dengan lawan jenis. Bukan apa-apa, beliau hanya khawatir aku yang bodoh ini akan mendapatkan suami yang tidak setara dengan keluarga kami.

Makanya Mas Yoshi adalah lelaki pertama yang membuatku jatuh cinta. Kupikir aku akan tenang hidup bersamanya yang pernah gagal dalam berumah tangga.

Istrinya selingkuh makanya mereka bercerai. Namun setelah berpisah, ternyata itu hanya berita bohong. Apa Mas Yoshi menyesal telah menceraikan Mbak Mayang? Menyesal karena percaya fitnah.

Kalau mereka menyesal bercerai, lalu aku bagaimana? Tetap menjadi boneka di sini?

"Jangan memaksakan diri jika kamu nggak sanggup, Nak. Sudah cukup lama kamu besabar. Kamu berhak bahagia, Cantik." Aku ingat ucapan Bu Eri beberapa waktu yang lalu. Saat aku bercerita padanya.

Perempuan yang dibilang mama sebagai selingkuhan papa ini ternyata orang yang peduli padaku daripada mama kandungku sendiri. Dia istri kedua yang memberikan nasehat padaku seperti itu. Kalau kedengaran mama, pasti beliau menertawakannya. Ucapan bijak dari seorang pelak0r.

***L***

Paginya aku melakukan aktivitas seperti biasa. Meski rasanya enggan untuk memasak pagi ini. Kenyataan semalam membuatku malas. Namun tanganku bekerja dengan cekatan. Perkakas, bumbu dapur, sudah menjadi sahabat setiaku.

Mas Yoshi turun dengan pakaian rapi. Dia tersenyum dan mengecup rambutku. Seperti biasa aku melayaninya sarapan.

"Siapkan pudingnya, nanti mas mampir sebentar ke rumah sakit," perintahnya sambil menatapku.

"Nggak usah, Mas. Sudah kubuang."

"Kok dibuang?"

"Sudah basi."

"Tadi malam kan sudah kamu masukkan kulkas?"

"Seharian di dalam mobil. Pasti basi juga akhirnya. Sudah terlambat dimasukkan ke kulkas." Aku menjawab tanpa menatap ke arahnya. Dengan cepat menghabiskan sarapan dan bangkit dari sana tanpa menunggunya selesai makan.

"Maafkan mas, Nastasya."

"Nggak apa-apa," jawabku sambil mencuci perkakas di kitchen sink.

Dia menyusulku sambil membawa piringnya yang sudah kosong. "Jam sepuluh nanti, mas tunggu kamu di dokter Sonia."

Aku mengangguk samar tanpa menoleh. Mas Yoshi masih mematung di sebelahku. Menatap entah dengan pandangan bagaimana. Aku rasanya sudah lelah dengan semua ini. Apalagi saat ingat ada sepupunya yang pernah bilang, "Yosh, kenapa kamu nikah sama anak kecil?"

Usiaku yang menginjak angka dua puluh satu dikatai anak kecil. Namun mama mertua membelaku. Dia sangat sayang dan baik padaku sebenarnya.

"Sayang, kamu marah?"

"Ya, aku marah." Tak perlu lagi aku menutupi kata hati. Sudah seharusnya aku bersuara.

"Mas benar-benar minta maaf."

Kubiarkan dia melingkarkan lengannya di pinggangku. Beberapa menit kemudian pamitan setelah memberikan ciuman.

Biasanya kuantar sampai garasi atau teras. Tapi kali ini aku tetap bertahan di dapur. Kudengar dia membunyikan klakson lantas mobilnya menjauh.

Sepi.

Seperti orang kesurupan, aku menangis sambil membersihkan dapur. Lalu duduk termenung di ruang makan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
natasya km kna pinter Masak mending km bisa buka usaha makanan.medning pisah aja lah drpd di nomer3 kan
goodnovel comment avatar
ORTYA POI
Menangislah Natasya biarkan suatu saat akan datang keadilan Tuhan berkeluh kesahlah kepadanya
goodnovel comment avatar
Tumin Neng
tak ada niat buat mengikuti apa tuh istri ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 146 Cinta yang Indah 2

    Baru tiga menit memejam, pintu kamar perlahan terbuka. Lidia muncul dari sana. Agung kembali duduk."Kutelepon nggak kamu angkat tadi," ujar Agung. "Aku lagi meeting, Mas. Selesai meeting kutelepon nomer Mas nggak aktif. Aku telepon rumah, katanya Mas sudah pulang." Lidia menjelaskan seraya melepaskan blazer yang dipakainya."Ponselku kehabisan baterai tadi."Agung menarik lengan istrinya supaya duduk di dekatnya. "Aku mau mandi dulu, Mas. Terus nyiapin pakaian. Setelah Lili pulang ngaji kita langsung berangkat, kan?""Iya. Kalau gitu kita mandi bareng.""Jangan. Biasanya Lili nyelonong masuk setelah pulang ngaji. Mas, duluan saja yang mandi. Biar aku nyiapin pakaian." Lidia membuka lemari. "Aku sudah bilang ke mbak yang nganterin Lili ngaji. Kita akan ngajak dia staycation sore ini," kata Agung sambil melepaskan kancing kemeja."Kenapa ngajak si mbak, Mas?""Aku sudah booking dua kamar. Tidak mungkin kita biarkan Lili tidur sendirian, kan?"Lidia diam sejenak. "Mas, memang nggak

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 145 Cinta yang Indah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Cinta yang Indah Author's POVMobil Agung langsung masuk ke dalam carport rumahnya. Hujan masih deras mengguyur malam. Mereka turun. Agung membuka pintu samping yang terus terhubung dari area carport ke ruang keluarga.Masuk ke dalam suasana rumah sepi. Ruang tamu hanya ada lampu malam yang menyala. Setelah mengunci pintu, ia menggandeng tangan istrinya menaiki tangga. "Mbak ART ke mana, Mas?" tanya Lidia sambil melangkah di samping suaminya."Aku suruh pulang sore tadi. Selama tiga hari dia nggak akan ke sini. Kita habiskan waktu tiga hari hanya berdua saja," jawab Agung sambil memandang sang istri. Tatapannya begitu jahil dan menyiratkan rencana besar dalam benaknya.Lidia bisa menangkap apa yang akan terjadi tiga hari ke depan. Siap-siap saja kalau ia akan dibuat tak berdaya oleh Agung.Mereka berdua masuk kamar. Agung mengunci pintu. Meski tiada sesiapa di sana, ia tidak ingin dibuat was-was. Kamar menguarkan wangi vanila, aroma kesukaan Lidia. Harumny

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 144 Akad Nikah 2

    Usai makan malam, Pak Bastian, Bu Mega, Lidia, dan Agung duduk di ruang keluarga. Sedangkan Lili sedang belajar bersama guru lesnya di ruangan lain yang biasanya digunakan juga untuk bersantai karena langsung menghadap ke taman samping yang ada miniatur air terjun di sana."Papa dan mama merestui kalian berdua jika ingin rujuk. Segera menikah, sama-sama saling mendukung dan memperbaiki diri. Menjadi orang tua yang bisa jadi panutan anak kalian. Tapi papa menyarankan, Agung tetap mengajak Lidia untuk menemui kedua orang tuamu. Minta restu apapun tanggapan mereka. Yang terpenting pada orang tua, jika nggak ingin bertemu keluarga yang lain.""Bener apa kata papamu. Kalian berdua tetap harus menemui kedua orang tuamu, Gung." Bu Mega setuju dengan pendapat sang suami. Apapun tanggapan mereka, yang terpenting tetap meminta restu."Kapan rencana kalian akad nikah?" tanya Pak Bastian."Minggu depan, Pa," jawab Agung spontan. Membuat Lidia menatapnya karena kaget. Sebab mereka belum membahas t

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 143 Akad Nikah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Akad Nikah Author's POV"Beneran kamu mau rujuk sama Lidia? Kamu nggak dengar mama bilang apa sama kamu?"Agung masih diam mendengarkan kemarahan sang mama, saat ia memberitahu akan rujuk dengan Lidia. Sedangkan -Pak Ringgo- papanya diam menatap layar televisi yang menampilkan acara berita."Kenapa kamu keras kepala? Sedangkan keluarga sudah sepakat dengan perjodohanmu dan Grace.""Sejak awal aku nggak setuju dengan rencana, Mama. Aku hanya akan menikah lagi dengan Lidia. Kami punya Lili, Ma. Keluarga setuju atau pun tidak, aku akan kembali menikahi Lidia."Bu Ringgo menatap marah pada putranya. "Mengenai Lili, kamu kan masih bisa menemuinya. Atau ambil dia dan ajak tinggal bersamamu."Tidak semudah itu. Apa mamanya pikir, Lidia akan diam saja kalau Lili diambil darinya?"Kamu nggak ingat apa yang terjadi dua tahun kemarin? Kita harus menanggung malu atas semua yang terjadi," lanjut Bu Ringgo."Itu salahku, Ma," bantah Agung. "Bahkan keluarga Lidia yang telah

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 142 Kita Akan Menikah 2

    "Mas mau meeting di kantor papa nanti jam dua. Makanya mas mampir pulang dulu." Yoshi mengusap pipi Yasha dan mengecupnya. "Yusa, mana?""Barusan tidur.""Kamu belum makan?" Yoshi memandang piring yang masih berisi penuh di atas nakas."Belum. Mau makan keburu Yasha nangis."Yoshi mengambil piring. "Mas suapi."Anastasya makan dari tangan Yoshi hingga makanan di piring tandas. Yasha kembali terlelap dan ditidurkan di atas tempat tidur. Untuk sementara ini kedua anaknya memang tidur di pisah. Khawatir akan saling ganggu jika salah satunya terbangun lebih dulu."Mas, mau makan apa sholat zhuhur dulu?" Anastasya bangkit dari duduknya."Mas sudah sholat sebelum masuk kamar tadi.""Ya udah, kalau gitu aku ambilin makan dulu." Anastasya keluar kamar dan kembali dengan nasi, lauk, potongan buah semangka, dan minum di nampan."Makasih, Sayang." Yoshi mengecup kening istrinya. Kemudian duduk di karpet ditemani Anastasya."Besok mas ada seminar tiga hari di Malang.""Nginep?" tanya Anastasya un

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 141 Kita Akan Menikah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Kita Akan Menikah Author's POVLidia bangkit dari duduknya sambil membenahi ikatan kimononya. "Aku nemui Sinta dulu, Mas. Ada hal penting yang akan kami bahas." Selesai bicara Lidia langsung keluar kamar. Sedangkan Agung bangkit dari duduknya dan berdiri di dekat jendela kamar. Menatap langit kelabu di atas sana.Sinta berdehem ketika Lidia masuk ke ruang kerja papanya. Ruangan yang lumayan luas. Ada meja panjang dengan kursi-kursi yang mengitarinya. Juga ada layar proyektor di sana. Biasa digunakan untuk meeting dadakan jika ada sesuatu yang harus dibahas segera."Pasti kamu mikir yang enggak-enggak tadi," ucap Lidia sambil duduk di depan adiknya.Dengan gaun se*si, tipis, dan dibalut kimono luarnya, rambut diikat asal-asalan dan terkesan semrawut, belum lagi wajah dan leher yang basah berpeluh, otomatis pikiran Sinta sudah terbang ke mana-mana. Apalagi jika ingat bagaimana Agung begitu agresif belakangan ini. Mereka manusia dewasa yang pernah hidup bersam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status