(Bukan) Istri Pilihan
Part 3 MaafSalahku juga. Aku memaksakan diri memberikan sesuatu yang orang lain tidak mau.Namun, tidakkah Mas Yoshi pun tidak bisa menjaga perasaanku? Andai dia buang puding ini, malah lebih aman bukan? Tidak akan ada yang tahu. Pasti aku mengira, Ayunda bisa menerima pemberianku.Dengan hati yang tercabik, aku membawa Tupp*rware masuk ke dalam rumah. Kulihat puding belum basi dan kumasukkan ke dalam kulkas. Besok aku akan memakannya.Beberapa lauk aku keluarkan dari lemari penyimpan makanan. Kupanaskan sebentar, lalu menyiapkan makan malam.Astaga! Kenapa aku tidak tanya dulu dia sudah makan apa belum. Ini kan sudah malam."Mas, sudah makan?" tanyaku pada suami yang kembali turun beberapa saat kemudian.Mas Yoshi mengangguk dengan tatapan penuh rasa bersalah. Tanpa pikir panjang, segera kukembalikan piring ke dalam lemari makanan."Kamu belum makan?" tanya Mas Yoshi sambil menahan lenganku. "Ayo, mas temani. Mas makan habis maghrib tadi. Yuk, kita makan lagi.""Aku nggak lapar," jawabku dengan suara bergetar.Kulepaskan cekalan tangannya. Kala itu, dalam dada rasanya hendak meledak. Ada yang menyumbat di kerongkongan dan tak mampu tertampung lagi. Ingin marah, tapi suaraku tercekik di tenggorokan. Mereka pasti sudah makan bersama di rumah sakit."Maafkan mas, Sayang." Dia merangkulku erat."Nggak apa-apa." Kulepaskan rangkulannya. Kemudian kuambil ponselnya dari saku bajuku dan kuletakkan di atas meja. Sejauh ini aku tidak pernah 'kepo' dengan isi ponselnya. Aku selalu menahan diri untuk tahu, meski benda itu selalu tergeletak begitu saja. Tanpa memakai password.Aku tidak akan membahas masalah puding tadi. Dan ini kali terakhir aku memaksakan diri membuat sesuatu untuk putrinya. Aku tidak perlu penjelasan apapun. Karena semuanya akan sama seperti alasan sebelumnya."Nastasya." Kembali lenganku ditahan dengan cekalan yang lebih kuat.Biasanya begini tangisku sudah tumpah, tapi kali ini tidak. Aku bisa menahannya meski dada rasanya hendak meledak."Maaf. Mas mengecewakanmu. Seharusnya mas ngasih tahu kamu tadi. Untuk pudingnya, akan mas taruh kulkas dan besok mas kasihkan ke Ayun. Tadi mas panik sampai pudingnya ketinggalan di mobil." Lelaki ini benar-benar menampakkan wajah penyesalan.Tanpa menjawab. Aku melepaskan tangannya dan melangkah menaiki tangga. Kulihat Mas Yoshi keluar, mungkin untuk mengambil puding. Padahal sudah kutaruh kulkas. Biarlah dia tahu sendiri, tak perlu aku ngasih tahu padanya. Rupanya dia yang sengaja tidak memberikan pada Ayunda.Aku tetap diam meski dia memelukku sepanjang malam, meminta maaf berkali-kali sampai dia tertidur. Dan aku tidak bisa tidur hingga dini hari.Lelah sekali dengan semua ini. Apa yang sebenarnya terjadi di belakangku? Benarkah ini demi anak? Demi anak sampai tidak tahu bagaimana menjaga perasaan istrinya. Mungkin dalam bidang akademis aku bodoh, tapi aku punya perasaan. Sama seperti mereka.Mas Yoshi ini lelaki pertama yang dekat denganku. Sejak remaja tidak ada yang berani mendekatiku. Walaupun orang bilang aku cantik. Tapi mereka takut karena tahu aku dari keluarga mana. Alhasil aku tidak pernah pacaran. Mama juga membatasiku bergaul dengan lawan jenis. Bukan apa-apa, beliau hanya khawatir aku yang bodoh ini akan mendapatkan suami yang tidak setara dengan keluarga kami.Makanya Mas Yoshi adalah lelaki pertama yang membuatku jatuh cinta. Kupikir aku akan tenang hidup bersamanya yang pernah gagal dalam berumah tangga.Istrinya selingkuh makanya mereka bercerai. Namun setelah berpisah, ternyata itu hanya berita bohong. Apa Mas Yoshi menyesal telah menceraikan Mbak Mayang? Menyesal karena percaya fitnah.Kalau mereka menyesal bercerai, lalu aku bagaimana? Tetap menjadi boneka di sini?"Jangan memaksakan diri jika kamu nggak sanggup, Nak. Sudah cukup lama kamu besabar. Kamu berhak bahagia, Cantik." Aku ingat ucapan Bu Eri beberapa waktu yang lalu. Saat aku bercerita padanya.Perempuan yang dibilang mama sebagai selingkuhan papa ini ternyata orang yang peduli padaku daripada mama kandungku sendiri. Dia istri kedua yang memberikan nasehat padaku seperti itu. Kalau kedengaran mama, pasti beliau menertawakannya. Ucapan bijak dari seorang pelak0r.***L***Paginya aku melakukan aktivitas seperti biasa. Meski rasanya enggan untuk memasak pagi ini. Kenyataan semalam membuatku malas. Namun tanganku bekerja dengan cekatan. Perkakas, bumbu dapur, sudah menjadi sahabat setiaku.Mas Yoshi turun dengan pakaian rapi. Dia tersenyum dan mengecup rambutku. Seperti biasa aku melayaninya sarapan."Siapkan pudingnya, nanti mas mampir sebentar ke rumah sakit," perintahnya sambil menatapku."Nggak usah, Mas. Sudah kubuang.""Kok dibuang?""Sudah basi.""Tadi malam kan sudah kamu masukkan kulkas?""Seharian di dalam mobil. Pasti basi juga akhirnya. Sudah terlambat dimasukkan ke kulkas." Aku menjawab tanpa menatap ke arahnya. Dengan cepat menghabiskan sarapan dan bangkit dari sana tanpa menunggunya selesai makan."Maafkan mas, Nastasya.""Nggak apa-apa," jawabku sambil mencuci perkakas di kitchen sink.Dia menyusulku sambil membawa piringnya yang sudah kosong. "Jam sepuluh nanti, mas tunggu kamu di dokter Sonia."Aku mengangguk samar tanpa menoleh. Mas Yoshi masih mematung di sebelahku. Menatap entah dengan pandangan bagaimana. Aku rasanya sudah lelah dengan semua ini. Apalagi saat ingat ada sepupunya yang pernah bilang, "Yosh, kenapa kamu nikah sama anak kecil?"Usiaku yang menginjak angka dua puluh satu dikatai anak kecil. Namun mama mertua membelaku. Dia sangat sayang dan baik padaku sebenarnya."Sayang, kamu marah?""Ya, aku marah." Tak perlu lagi aku menutupi kata hati. Sudah seharusnya aku bersuara."Mas benar-benar minta maaf."Kubiarkan dia melingkarkan lengannya di pinggangku. Beberapa menit kemudian pamitan setelah memberikan ciuman.Biasanya kuantar sampai garasi atau teras. Tapi kali ini aku tetap bertahan di dapur. Kudengar dia membunyikan klakson lantas mobilnya menjauh.Sepi.Seperti orang kesurupan, aku menangis sambil membersihkan dapur. Lalu duduk termenung di ruang makan.Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pergi atau bertahan. Kalau pergi alasanku apa. Tak ada bukti perselingkuhan Mas Yoshi. Dia selalu pulang setiap hari meski kadang larut malam. Jika ke luar kota selalu mengajakku ikut serta. Memang ada beberapa kali dia pergi bersama timnya, tanpa aku.Jika alasanku anak, apa itu alasan yang tepat? Aku yang sudah seumur segini kalah sama anak kecil. Apa cemburu, suami kurang perhatian, sudah pantas kujadikan alasan.Mbak Mayang memang sering menelepon Mas Yoshi saat suamiku itu di rumah. Hanya untuk menceritakan tentang putri mereka. Dan aku hanya diam, karena selalu percaya semua itu demi anak. Mereka tetap menjadi orang tua yang baik setelah berpisah.Pagi-pagi sekali tadi perempuan itu juga sudah menelepon. Aku harus maklum karena anak mereka sedang sakit.Apa aku kurang sabar? Kalau seperti ini dikatakan kurang sabar, lalu sabar itu seperti apa?Aku lelah, tapi aku mencintainya.Aku meraih ponsel di minibar. Panggilanku langsung dijawab."Assal
(Bukan) Istri Pilihan- Siap Berperang "Mas," panggilku kaget karena Mas Yoshi tiba-tiba sudah berdiri di sana. Lelaki itu kemudian duduk di kursi depanku."Apa yang membuatmu berubah pikiran?" Aku mengambil piring dan menaruh tiga cup cake untuk kuberikan pada suamiku. Namun dia tidak menyentuhnya."Kita tunda saja.""Apa alasannya? Kenapa nggak kita bicarakan sejak kemarin?""Apa Mas punya waktu kemarin itu?" tanyaku serius. Aku sudah siap berperang kali ini."Maaf, kalau mas sibuk ngurusi Ayun sakit. Mungkin buatmu ini salah.""Nggak apa-apa. Siapa yang bilang ini salah. Aku pun diam saja nggak pernah protes. Mas, ingin menjadi papa yang baik meski nggak tinggal serumah dengan Ayun.""Mas banyak pekerjaan, banyak pikiran, karena ada kasus besar yang sedang kami tangani. Mas minta maaf kalau kurang perhatian akhir-akhir ini."Aku mengangguk. Aku harus selalu mengerti. Dia bilang banyak pekerjaan yang menyita waktu dan pikiran, tapi waktu untuk mereka selalu ada. Dia memang tidak p
Saat itu menjadi hari-hari yang sulit. Papa dan mama nyaris bercerai. Tak ada kedamaian di rumah. Selalu saja ribut dan ribut. Ah, sebenarnya mama saja yang mengamuk. Papa hanya diam karena merasa bersalah.Pada akhirnya mereka tidak jadi bercerai. Mama memikirkan reputasi yang bakalan hancur lebur. Orang-orang di luar sana menganggap kedua orang tuaku adalah pasangan yang serasi dan harmonis. Demi selalu dianggap sempurna, sampai mama sanggup bertahan dengan sesuatu yang menyakitkan ini. Aku kasihan. Meski mama selalu pilih kasih.Mama mengajukan syarat, bahwa sampai kapanpun tidak akan mau menandatangani surat pernyataan izin poligami. Jadi Bu Eri akan tetap menjadi istri siri dan tidak boleh di akui di depan publik.Namun setelah sekian lama, pasti sebagian relasi, partner bisnis, sudah tahu. Hanya saja mereka diam atau menggunjing di belakang.Dulu saat mama hamil aku, beliau menginginkan anak laki-laki. Supaya ada yang meneruskan tahta perusahaannya. Tapi ternyata lahir perempuan
(Bukan) Istri Pilihan - Keputusan Besar Aku kehilangan jejak. Padahal jarak antara mereka dan aku saat masuk mall tidak lama. Lagian kenapa anak baru sembuh sudah diajak nge-mall. Apa tidak takut typus-nya kambuh lagi.Dadaku bergemuruh. Sungguh ini lebih sakit daripada sebelumnya. Aku terlalu terlena dengan kata 'baik-baik saja' selama ini. Aku yang polos atau aku yang bodoh.Mungkin mereka tengah makan. Aku naik eskalator ke lantai empat. Di mana pusat game dan food court berada.Ternyata benar. Mereka duduk di kedai western food. Karena pengunjung belum seberapa ramai, jadi gampang untuk mencari. Potret keluarga bahagia terpampang di depan mata. Dari balik pilar besar aku melihat mereka. Dipuncak rasa sakit ini, justru aku tidak bisa menangis. Dipuncak rasa kecewa, aku begitu tenang, tidak gemetar seperti biasanya. Walaupun aku sangat bisa merasakan sesakit apa ini. Kulihat Mas Yoshi berdiri untuk mengambilkan air mineral buat anaknya. Seorang pelayan datang mencatat pesanan. K
"Ibu nggak bisa memaksamu bertahan atau membenarkanmu berpisah. Ibu tahu kamu akan mengambil keputusan yang terbaik. Empat tahun kamu bertahan seperti ini. Ibu akan selalu berada di belakangmu, Nak. Apapun pilihanmu.""Makasih banyak, Bu.""Lanjutkan niatmu untuk kursus. Ibu dukung. Tadi malam Fauzi sudah cerita ini ke ibu.""Aku akan memulai secepatnya.""Iya.""Gitu aja, Bu. Nanti kukabari lagi. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Baru saja kuletakkan ponsel di mini bar, terdengar suara mobil Mas Yoshi memasuki garasi. Aku malas melihatnya. "Maaf, mas harus nganterin Ayun pulang dulu," ucapnya sambil duduk di depanku.Aku tak menjawab. "Nas, maafkan mas. Jangan salah paham."Apa selama menikah aku nggak cukup paham? Bukankah selama ini aku selalu memahami semuanya, bahkan yang menyakitkan sekalipun."Sayang," panggilnya. Untuk kali pertama aku muak dengan panggilan itu. "Maafkan mas. Maafkan Ayun yang berkata seperti tadi.""Siapa yang ngajarin dia bilang seperti itu? Kami hamp
(Bukan) Istri Pilihan - Surprise Ada telepon masuk saat aku keluar dari kamar mandi. Kujangkau benda pipih yang berpendar di atas tempat tidur."Halo, Pa.""Papa sudah transfer uang ke rekeningmu.""Iya. Sebenarnya aku masih punya uang, Pa." Sebab Mas Yoshi selalu tepat waktu memberikan uang tiap bulannya. "Nggak apa-apa. Papa sudah mendapatkan tempat tinggal untukmu. Ada dua pilihan. Di apartemen atau perumahan? Papa lebih setuju kalau kamu tinggal di apartemen. Di sana lebih aman, Sa.""Aku ikut saja pilihan, Papa.""Oke. Nanti papa kabari lagi kalau sudah beres dan kamu bisa pindah. Yoshi ada menghubungimu?""Mengirimkan pesan, tapi nggak kubuka. Jam segini dia belum pulang dari kantor."Terdengar papa menghela nafas panjang di seberang."Ya sudah. Kalau ada apa-apa kabari papa.""Iya."Setelah menutup telepon aku segera Salat Asar. Usai salat aku menyibak gorden jendela.Dari balik jendela kaca, aku menatap langit barat yang merona keemasan. Tampak matahari terlihat indah, bula
Yoshi menelepon Pak Bastian. Namun tidak dijawab juga. Ingin menelpon Ruli, Yoshi juga tidak tahu nomernya. Dia mana peduli dengan teman istrinya. Namun saat masih bersama Mayang, dia kenal beberapa teman sosialita wanita itu. Bahkan mereka sering mengadakan acara kumpul bersama dengan mengajak pasangan masing-masing. Circle pertemanan Mayang dan Anastasya jauh berbeda.Setelah diam beberapa saat, Yoshi melangkah keluar kamar. Mengambil kunci mobil kemudian pergi ke rumah Bu Eri. Wanita yang paling dekat dengan Anastasya.Bu Eri dan Fauzi kaget dengan kedatangan Yoshi yang tengah mencari istrinya. "Anas nggak datang ke sini, Nak Yoshi," kata Bu Eri. Wanita itu tidak bilang kalau tadi siang, Anastasya sempat meneleponnya. Ia juga ingat apa yang diomongkan tadi, kalau Anastasya ingin bercerai. Berarti permasalahan mereka memang sudah fatal sampai Anastasya pergi dari rumah.Fauzi juga tidak mengatakan kalau sore tadi sempat berkomunikasi dengan adik tirinya untuk membahas tentang kursu
(Bukan) Istri Pilihan - Harga Diri "Apa maksudnya?" Mas Yoshi menegakkan duduknya dan wajahnya mulai tegang."Saya ingin bercerai, Pak. Karena suami saya sepertinya ingin balikan dengan mantannya. Mungkin dia menyesal telah menikahi saya. Karena mantan istrinya jauh lebih sempurna. Dia kelihatan lebih nyaman dengan mantan. Mereka juga punya anak, sedangkan dengan saya tidak ada anak. Pernahlah. Lagian saya ini bukan ibu tiri yang baik."Aku berhenti sebentar. Menarik napas panjang untuk melonggarkan tenggorokan. Semalaman aku tak bisa tidur demi memikirkan apa yang ingin kukatakan hari ini."Apa-apaan, Nastasya.""Bapak, jangan menyela dulu. Biar bapak tahu alasan apa yang membuat saya menggugat cerai. Saya sudah cukup lama hanya diam dan mengalah. Lama-lama saya hanya sebagai tempat persinggahan saja. Tempat pelarian disaat dia sedang patah hati. Sekarang hubungan mantan itu membaik, mantan istrinya juga perempuan baik-baik tentunya. Mereka juga memiliki putri yang cantik dan shole