Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pergi atau bertahan. Kalau pergi alasanku apa. Tak ada bukti perselingkuhan Mas Yoshi. Dia selalu pulang setiap hari meski kadang larut malam. Jika ke luar kota selalu mengajakku ikut serta. Memang ada beberapa kali dia pergi bersama timnya, tanpa aku.
Jika alasanku anak, apa itu alasan yang tepat? Aku yang sudah seumur segini kalah sama anak kecil. Apa cemburu, suami kurang perhatian, sudah pantas kujadikan alasan.Mbak Mayang memang sering menelepon Mas Yoshi saat suamiku itu di rumah. Hanya untuk menceritakan tentang putri mereka. Dan aku hanya diam, karena selalu percaya semua itu demi anak. Mereka tetap menjadi orang tua yang baik setelah berpisah.Pagi-pagi sekali tadi perempuan itu juga sudah menelepon. Aku harus maklum karena anak mereka sedang sakit.Apa aku kurang sabar? Kalau seperti ini dikatakan kurang sabar, lalu sabar itu seperti apa?Aku lelah, tapi aku mencintainya.Aku meraih ponsel di minibar. Panggilanku langsung dijawab."Assalamu'alaikum, Cantik." Hanya Bu Eri yang memanggilku begitu. Dia bilang, "Ibu suka manggil kamu cantik. Karena kamu memang cantik, imut, dan menarik.""Wa'alaikumsalam. Ibu, lagi ngapain?""Ibu baru pulang belanja. Ibu mau bikin pepes ikan. Kamu mau?""Enggaklah, Bu. Aku malas keluar hari ini.""Biar Fauzi yang nganterin nanti sore sepulang kerja.""Nggak usah, Bu. Ngrepotin Mas Fauzi saja. Pengen istirahat malah disuruh nganterin pepes.""Nggak apa-apa. Kayak kamu nggak tahu masmu saja. Mana pernah dia nolak kalau ibu suruh nganterin sesuatu ke kamu. Nanti ibu masak banyak. Bisa kamu taruh kulkas dan diangetin pakai microwave.""Iya.""Eh, kok lemes gitu. Ada apa?"Tanpa pikir panjang, aku menceritakan semua beban di dada ini. Walaupun perjalanan hidup Bu Eri tidak semulus jalan tol, tapi bagiku beliau orang yang tepat untuk mencurahkan rasa dan berkeluh kesah.Walaupun bagi mama, Bu Eri ini pelak0r, perempuan tak tahu diri, hanya menginginkan harta papa saja. Namun sejauh ini, hidup ibu tiriku itu tetap sederhana. Justru mama yang semakin glamor."Kalian sudah pernah bicara berdua lagi, membahas ini?""Belum. Jawabannya pasti sama. Disuruhnya aku bersabar. Aku capek, Bu.""Ibu ngerti perasaan kamu. Kalau ada waktu, datanglah ke rumah. Kita bisa bicara leluasa.""Iya. Kalau ada waktu aku ke rumah ibu. Oh ya, papa ada di situ?""Enggak. Sudah seminggu papa nggak ke sini. Ada apa? Kamu mau pesen sesuatu ke papa. Nanti ibu sampaikan.""Enggak, Bu. Ya udah, ibu lanjutin masaknya. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Kuletakkan ponsel di meja. Kalau aku bodoh, bagaimana dengan Bu Eri. Apa beliau bodoh juga. Tetap setia pada papa yang tidak tentu mengunjunginya. Bahkan datang pun di waktu siang, hanya untuk makan sambil ngobrol sebentar. Kemudian papa pergi. Apa ini yang namanya cinta sebenarnya, yang tidak melulu memikirkan urusan ranjang saja.Diam. Kuperhatikan dapur yang sudah kinclong seperti iklan sabun cuci piring. Padahal aku tidak perlu membersihkan sedetail ini. Sebab besok jadwalnya Mak Ijah datang untuk bersih-bersih rumah. Wanita setengah baya itu bekerja tiga kali dalam seminggu.Aku menolak memiliki ART yang menetap di rumah. Akhirnya Mas Yoshi memaksa untuk mengambil pekerja yang datang tiga kali dalam seminggu untuk membereskan rumah dan halaman.Oh, aku ingat kalau masih memiliki bahan untuk membuat cup cake. Aku mau bikin sekarang. Nanti sore kalau Mas Fauzi mengantarkan pepes, aku bisa nitip buat ibu. Juga meminta ojek online untuk mengantarkan cake pada mama. Dimakan atau tidak, aku akan tetap mengirim buat beliau. Kalau tidak mau, biar dimakan oleh papa atau para mbak-mbak yang bekerja di sana.Semua bahan ku keluarkan dari kitchen set. Kutaruh di meja granit dan tikar yang kubentang di lantai.Aku mulai sibuk. Inilah kegiatan yang membuat pikiranku teralihkan sejenak dari memikirkan kemelut hidup.Dapur yang sudah kinclong, kembali berantakan. Biarlah, nanti bisa dibersihkan lagi.Beberapa waktu sibuk belepotan tepung, akhirnya beberapa cup cake sudah jadi dan tinggal menghias saja nanti. Aku masih terus sibuk, karena membuat banyak cup cake.Buru-buru aku mencuci tangan saat ponsel di mini bar berdering."Halo, Mas.""Sayang, kamu di mana?""Di rumah.""Mas sudah perjalanan ke klinik ini. Tadi dokter Sonia menelepon tapi nggak kamu angkat."Kulihat jam dinding. Sudah pukul setengah sebelas. Harusnya setengah jam tadi aku sudah sampai di klinik bersalin. Bertemu dokter kandungan yang masih kerabat dekat Mas Yoshi."Aku nggak datang hari ini.""Kenapa?""Nggak apa-apa. Aku nggak ingin melanjutkan program itu.""Ada apa, Nastasya?""Nggak ada apa-apa.""Mas jemput ke rumah, ya?""Nggak usah. Aku sibuk dan aku nggak akan ke sana, Mas. Udah, ya!" Kumatikan ponsel dan kulihat memang ada beberapa panggilan masuk dari dokter Sonia. Mungkin karena suara mixer, jadi aku tidak tahu ada telepon masuk.Setelah kuletakkan ponsel di meja, kembali kulanjutkan pekerjaan. Semalaman aku berpikir kalau tidak perlu melanjutkan program kehamilan dengan situasi seperti ini. Toh, sejak awal pun aku yang punya ide dan bersemangat. Mas Yoshi hanya mengikuti saja.Aku tahu dia sibuk. Sebab dia juga lawyer di perusahaan keluarganya. Maklum banyak yang harus dikerjakan. Namun kalau sudah seperti ini, rasanya juga malas. Seperti aku saja yang menginginkan.Suara mixer dan blender meraung-raung bersahutan, meramaikan suasana rumah yang sepi. Karena aku juga sedang membuat jus apel.Tanganku dengan terampil membuat toping cup cake. Bicara sendiri mengekspresikan apa yang tengah kulakukan. Memainkan cream warna-warni di atas cake. Kemudian tersenyum puas dengan hasil kreasiku.Tidak lupa kuabadikan menggunakan kamera ponsel. Jika kedua kakakku memamerkan liburan mewah dengan keluarga kecil mereka, aku bangga pamer karyaku dari dalam dapur.Senyum puasku yang memandangi cup cake memudar saat sosok itu sudah berdiri di seberang meja.Next ....Baru tiga menit memejam, pintu kamar perlahan terbuka. Lidia muncul dari sana. Agung kembali duduk."Kutelepon nggak kamu angkat tadi," ujar Agung. "Aku lagi meeting, Mas. Selesai meeting kutelepon nomer Mas nggak aktif. Aku telepon rumah, katanya Mas sudah pulang." Lidia menjelaskan seraya melepaskan blazer yang dipakainya."Ponselku kehabisan baterai tadi."Agung menarik lengan istrinya supaya duduk di dekatnya. "Aku mau mandi dulu, Mas. Terus nyiapin pakaian. Setelah Lili pulang ngaji kita langsung berangkat, kan?""Iya. Kalau gitu kita mandi bareng.""Jangan. Biasanya Lili nyelonong masuk setelah pulang ngaji. Mas, duluan saja yang mandi. Biar aku nyiapin pakaian." Lidia membuka lemari. "Aku sudah bilang ke mbak yang nganterin Lili ngaji. Kita akan ngajak dia staycation sore ini," kata Agung sambil melepaskan kancing kemeja."Kenapa ngajak si mbak, Mas?""Aku sudah booking dua kamar. Tidak mungkin kita biarkan Lili tidur sendirian, kan?"Lidia diam sejenak. "Mas, memang nggak
(Bukan) Istri Pilihan - Cinta yang Indah Author's POVMobil Agung langsung masuk ke dalam carport rumahnya. Hujan masih deras mengguyur malam. Mereka turun. Agung membuka pintu samping yang terus terhubung dari area carport ke ruang keluarga.Masuk ke dalam suasana rumah sepi. Ruang tamu hanya ada lampu malam yang menyala. Setelah mengunci pintu, ia menggandeng tangan istrinya menaiki tangga. "Mbak ART ke mana, Mas?" tanya Lidia sambil melangkah di samping suaminya."Aku suruh pulang sore tadi. Selama tiga hari dia nggak akan ke sini. Kita habiskan waktu tiga hari hanya berdua saja," jawab Agung sambil memandang sang istri. Tatapannya begitu jahil dan menyiratkan rencana besar dalam benaknya.Lidia bisa menangkap apa yang akan terjadi tiga hari ke depan. Siap-siap saja kalau ia akan dibuat tak berdaya oleh Agung.Mereka berdua masuk kamar. Agung mengunci pintu. Meski tiada sesiapa di sana, ia tidak ingin dibuat was-was. Kamar menguarkan wangi vanila, aroma kesukaan Lidia. Harumny
Usai makan malam, Pak Bastian, Bu Mega, Lidia, dan Agung duduk di ruang keluarga. Sedangkan Lili sedang belajar bersama guru lesnya di ruangan lain yang biasanya digunakan juga untuk bersantai karena langsung menghadap ke taman samping yang ada miniatur air terjun di sana."Papa dan mama merestui kalian berdua jika ingin rujuk. Segera menikah, sama-sama saling mendukung dan memperbaiki diri. Menjadi orang tua yang bisa jadi panutan anak kalian. Tapi papa menyarankan, Agung tetap mengajak Lidia untuk menemui kedua orang tuamu. Minta restu apapun tanggapan mereka. Yang terpenting pada orang tua, jika nggak ingin bertemu keluarga yang lain.""Bener apa kata papamu. Kalian berdua tetap harus menemui kedua orang tuamu, Gung." Bu Mega setuju dengan pendapat sang suami. Apapun tanggapan mereka, yang terpenting tetap meminta restu."Kapan rencana kalian akad nikah?" tanya Pak Bastian."Minggu depan, Pa," jawab Agung spontan. Membuat Lidia menatapnya karena kaget. Sebab mereka belum membahas t
(Bukan) Istri Pilihan - Akad Nikah Author's POV"Beneran kamu mau rujuk sama Lidia? Kamu nggak dengar mama bilang apa sama kamu?"Agung masih diam mendengarkan kemarahan sang mama, saat ia memberitahu akan rujuk dengan Lidia. Sedangkan -Pak Ringgo- papanya diam menatap layar televisi yang menampilkan acara berita."Kenapa kamu keras kepala? Sedangkan keluarga sudah sepakat dengan perjodohanmu dan Grace.""Sejak awal aku nggak setuju dengan rencana, Mama. Aku hanya akan menikah lagi dengan Lidia. Kami punya Lili, Ma. Keluarga setuju atau pun tidak, aku akan kembali menikahi Lidia."Bu Ringgo menatap marah pada putranya. "Mengenai Lili, kamu kan masih bisa menemuinya. Atau ambil dia dan ajak tinggal bersamamu."Tidak semudah itu. Apa mamanya pikir, Lidia akan diam saja kalau Lili diambil darinya?"Kamu nggak ingat apa yang terjadi dua tahun kemarin? Kita harus menanggung malu atas semua yang terjadi," lanjut Bu Ringgo."Itu salahku, Ma," bantah Agung. "Bahkan keluarga Lidia yang telah
"Mas mau meeting di kantor papa nanti jam dua. Makanya mas mampir pulang dulu." Yoshi mengusap pipi Yasha dan mengecupnya. "Yusa, mana?""Barusan tidur.""Kamu belum makan?" Yoshi memandang piring yang masih berisi penuh di atas nakas."Belum. Mau makan keburu Yasha nangis."Yoshi mengambil piring. "Mas suapi."Anastasya makan dari tangan Yoshi hingga makanan di piring tandas. Yasha kembali terlelap dan ditidurkan di atas tempat tidur. Untuk sementara ini kedua anaknya memang tidur di pisah. Khawatir akan saling ganggu jika salah satunya terbangun lebih dulu."Mas, mau makan apa sholat zhuhur dulu?" Anastasya bangkit dari duduknya."Mas sudah sholat sebelum masuk kamar tadi.""Ya udah, kalau gitu aku ambilin makan dulu." Anastasya keluar kamar dan kembali dengan nasi, lauk, potongan buah semangka, dan minum di nampan."Makasih, Sayang." Yoshi mengecup kening istrinya. Kemudian duduk di karpet ditemani Anastasya."Besok mas ada seminar tiga hari di Malang.""Nginep?" tanya Anastasya un
(Bukan) Istri Pilihan - Kita Akan Menikah Author's POVLidia bangkit dari duduknya sambil membenahi ikatan kimononya. "Aku nemui Sinta dulu, Mas. Ada hal penting yang akan kami bahas." Selesai bicara Lidia langsung keluar kamar. Sedangkan Agung bangkit dari duduknya dan berdiri di dekat jendela kamar. Menatap langit kelabu di atas sana.Sinta berdehem ketika Lidia masuk ke ruang kerja papanya. Ruangan yang lumayan luas. Ada meja panjang dengan kursi-kursi yang mengitarinya. Juga ada layar proyektor di sana. Biasa digunakan untuk meeting dadakan jika ada sesuatu yang harus dibahas segera."Pasti kamu mikir yang enggak-enggak tadi," ucap Lidia sambil duduk di depan adiknya.Dengan gaun se*si, tipis, dan dibalut kimono luarnya, rambut diikat asal-asalan dan terkesan semrawut, belum lagi wajah dan leher yang basah berpeluh, otomatis pikiran Sinta sudah terbang ke mana-mana. Apalagi jika ingat bagaimana Agung begitu agresif belakangan ini. Mereka manusia dewasa yang pernah hidup bersam
Sambil nyetir, Agung memperhatikan Lidia yang ketiduran bersandar pada jok. Wanita itu tidak bisa menahan kantuknya. Terbesit pula pikiran konyol ingin membawa Lidia pulang saja ke rumah mereka. Sampai mobil berhenti di depan pagar rumah, Lidia tidak terbangun. Akhirnya Agung pun bersedekap dan memejam, karena sudah ngantuk berat. Keduanya sama-sama tertidur hingga azan subuh berkumandang. Lidia yang terbangun lebih dulu, kaget dengan posisinya yang ternyata masih di dalam mobil. Di sebelahnya Agung masih lelap. Kenapa ia tidak dibangunkan ketika mereka sampai?"Mas." Lidia mengguncang pelan lengan mantannya.Dua kali panggilan, Agung membuka mata. Laki-laki itu menegakkan duduknya."Sudah subuh. Kenapa tadi malam mas nggak bangunin aku?""Kamu pules banget tidurnya."Lidia mengambil ponsel dari dalam tas, kemudian menelepon salah satu ART supaya membuka pintu pagar. Tak lama pintu pagar terbuka perlahan secara otomatis."Mas, aku turun dulu, ya. Hati-hati kalau nyetir," pesan Lidia
(Bukan) Istri Pilihan - Menikahlah Denganku Author's POVSuasana bahagia di restoran hotel sejam yang lalu berubah menjadi ketegangan di bangsal rumah sakit. Di akhir acara, Anastasya membisiki sang suami kalau perutnya terasa mulas tak tertahankan. Tanpa banyak bicara, Yoshi pamitan membawa Anastasya ke rumah sakit dan semua keluarga mengikuti. Sampai di rumah sakit sudah bukaan dua ketika diperiksa oleh bidan yang berjaga. Pak Bastian, Deny, Sinta, membawa anak-anak pulang. Sedangkan yang tinggal di rumah sakit, Yoshi, Bu Mega, Lidia, dan Agung. Jarak setengah jam kemudian Bu Nana dan Pak Yudi datang.Yoshi gelisah menemani Anastasya yang berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. Ia ingat saat sang istri melahirkan anak pertama mereka waktu itu. Begitu menegangkan karena keadaan Anastasya yang sedang down. Malah sempat berwasiat pula pada kakaknya yang nomer dua. Semoga kali ini tidak ada drama lagi. Sekarang ini Yoshi menyarankan cesar, tapi Anastasya memilih lahiran pervaginam.
Bu Mega meninggalkan ruangan putrinya. Dia tidak bisa memaksa Lidia harus mengubah keputusannya. Biar putri sulungnya itu membuat keputusan sendiri. Walaupun sebagai nenek, ia sangat kashian pada Lili. Sebab dulu ia bertahan dengan rasa sakit demi melihat anak-anaknya tetap memiliki keluarga yang utuh. Sosok ayah yang ada untuk mereka. Broken home efeknya sangat luar biasa untuk psikologi seorang anak.Setelah sang mama pergi, Lidia membuka map yang diletakkan asistennya di atas meja. Namun jujur saja, pikirannya tidak bisa berkonsentrasi. Adakalanya ia ingin bisa hidup seperti kedua adiknya atau wanita lain di luar sana. Lifestyle yang sangat balance dan no overwork. Tapi kesendirian membuatnya gila kerja untuk menghilangkan kesepian.Sepertinya dialah penerus jejak nasib mamanya. Karena perselingkuhan papanya, sejak awal Lidia sudah dipersiapkan sang mama untuk menjadi wanita kuat, tangguh, dan mandiri. Persis seperti masa muda sang mama. Hanya saja, mamanya hidup dalam keluarga tan