Share

Part 4 Bertahan Sampai Kapan 2

Mataku memejam, tapi aku masih bisa mendengar percakapan Mas Yoshi dan Ayun di seberang sana. Mereka memang melakukan video call. Gadis kecil itu ngotot supaya besok papanya datang lagi membawakan mainan. "Papa, harus datang besok!" teriaknya di akhir kalimat sebelum Mas Yoshi menyudahi panggilan.

Setelah meletakkan ponselnya di nakas, Mas Yoshi memeluk dari belakang tanpa bicara apa-apa. Tidak juga memberitahuku kalau anaknya menginginkan papanya datang lagi besok.

Sampai kapan kehidupan rumah tanggaku seperti ini. Apa karena aku hanya diam dan diam, jadi mereka merasa aku baik-baik saja. Apa karena di sana ada anak, makanya selalu diprioritaskan meski sudah bercerai?

Sebab aku belum bisa memberikan keturunan, harus terus mengalah. Begitu?

Kadang merasa sakit begini, aku tetap harus melaksanakan tanggungjawabku disaat ia mulai beraksi tak hanya sekedar memeluk.

Apa aku selemah itu, hanya sekali saja untuk berkata 'tidak', aku tak mampu. Tetap meladeni dan dia menganggap aku baik-baik saja.

***L***

Jam tiga pagi aku sudah bangun. Mandi keramas terus ke dapur. Membuat puding untuk kubawa ke rumahnya Ruli, juga untuk Ayunda. Kalau Mas Yoshi mau membawanya. Aku yakin hari ini dia pasti ke sana lagi.

Seperti biasa waktunya salat subuh, kami salat berjamaah. Setelah berdoa dan mencium tangannya, aku tergesa melepas mukena.

"Mau ke mana?"

"Aku mau nglanjutin bikin puding."

"Kan mas udah bilang nggak usah?"

"Aku bikin untuk anaknya Ruli. Kalau Mas mau bawa untuk Ayun silakan. Nggak juga nggak apa-apa," jawabku sambil lantas melangkah ke luar kamar dan turun ke dapur yang ada di lantai satu.

Aku kembali sibuk di sana, sekalian untuk menyiapkan sarapan.

Di antara ketiga anak mama, akulah yang pandai memasak. Sebab hampir tiap hari berkutat di dapur, ikut para ART memasak. Bercanda dengan mereka. Sebab mereka lah temanku di rumah. Jadi akhirnya aku yang bodoh ini pintar memasak. Jangan diragukan rasanya. Mas Yoshi suka dengan masakanku. Bahkan mertuaku pun memuji. Mama, meskipun suka, tetap tidak akan pernah mengutarakan pujian padaku. Beliau lebih suka disodori hasil ulangan dengan nilai sempurna. Maka apapun yang kita minta, pasti akan dikabulkannya.

Apalagi kalau pulang bawa piala lomba olimpiade, mama langsung membelikan mobil untuk kakak sulungku waktu dia masih SMA. Dan mobil itu yang sekarang kupakai, setelah Mbak Lidia punya mobil baru.

Sedangkan kedua kakakku, jangankan memasak. Mencuci piring bekas makannya sendiri saja tidak pernah. Semua dilakukan oleh pembantu. Eh, maklumlah mereka orang-orang yang memiliki segudang kesibukan, berbeda denganku yang pengangguran.

"Sarapan dulu, Mas," ucapku saat lelaki paling tampan di mataku ini memeluk dari belakang.

Mas Yoshi menarik kursi dan duduk. Matanya berbinar melihatku masak gulai ikan kakap kesukaannya. Sepagi ini aku sudah bisa menjamu dengan masakan yang lumayan ribet. Biasanya orang bikin untuk sarapan hanya sekedarnya saja. Namun sebisa mungkin aku memanjakannya dalam segala sisi. Urusan dapur, sumur, kasur. Kulakukan dengan sempurna dan paripurna.

Ketika kami tengah asyik makan sambil berbincang. Ponselnya yang diletakkan di bufet berdering.

Tidak lama kemudian dia kembali dengan wajah cemas. "Mas harus ke rumah Ayun. Dia demam lagi."

"Bujuk untuk opname saja, Mas." Aku juga ikut bingung.

Mas Yoshi mengangguk dan meninggalkan pirongnya yang masih penuh, untuk mengambil kunci mobil di ruang keluarga.

Aku mengikuti.

"Maaf, mas nggak bisa mengantarmu ke rumah Ruli."

"Aku izin ke sana sendiri."

Sambil memakai jaketnya, Mas Yoshi mengangguk.

"Pudingnya dibawa, ya." Ah, aku masih sempat membujuk.

Laki-laki itu kembali mengangguk. Aku berlari ke dapur dan menutup Tupp*rware berisi puding. Kemudian memasukkan ke dalam kantung plastik dan mengantarkannya ke garasi.

Mas Yoshi pergi, aku mematung di teras sendiri. Pantaskah aku sakit hati untuk semua ini?

***L***

Ruli merayakan ulang tahun yang kedua untuk anaknya, sangat sederhana. Kue ulang tahun bernuansa pink juga buatannya sendiri. Yang datang di sana anak-anak kecil sekitar rumahnya di gang sempit itu. Tapi Ruli dan suaminya sangat bahagia. Aku mengabadikan kebahagiaan itu untuk Ruli dan diriku sendiri.

Sahabatku itu tersenyum senang saat melihat hasil jepretanku. Dia membiarkan suaminya mengurus anak yang tengah makan bersama teman-temannya. Ada juga ibunya Ruli yang meladeni mereka.

"Kira-kira kamu tahan seperti ini sampai kapan?" tanya Ruli setelah aku cerita kenapa tidak jadi datang bersama suamiku.

Aku mengangkat bahu. Entah. Memilih berpisah juga bukan menyelesaikan masalah. Bisa-bisa aku dicoret dari daftar anak mama.

"Aku heran sama mantannya Mas Yoshi itu. Apa dia nggak bisa ngasih pengertian ke anak agar nggak membencimu? Anak itu sudah tujuh tahun, lo. Pasti sudah bisa ngerti. Atau justru dia yang menanamkan kebencian Ayun padamu. Kelihatannya saja sok baik. Bisa jadi itu kamuflase."

"Jangan suudzon," jawabku.

Lalu kami terdiam sambil makan kwaci.

"Kamu masih tetap program kehamilan ke dokter, kan?"

"Iya. Besok pertemuan kedua kami."

"Mungkin kalau kamu punya anak lagi, semua bisa berubah, Nas."

Aku tersenyum, tak yakin.

***L***

Biasanya aku akan menunggunya pulang meski sampai malam. Jika ada klien dengan kasus berat, Mas Yoshi sering pulang larut malam. Kantornya berada di pusat kota Surabaya.

Namun malam ini aku tidak akan menunggu. Setelah menutup pintu, aku bergegas naik ke lantai dua. Waktu di tengah tangga, suara mobil Mas Yoshi memasuki garasi.

Aku kembali turun dan membuka pintu. Senyumnya merekah meski dia tampak lelah. "Maaf, mas baru pulang."

"Nggak apa-apa. Bagaimana keadaan Ayun?"

"Setelah mendapatkan infus, kondisinya mulai stabil. Mas pulang telat karena dia nggak mau ditinggal. Tadi Ayun sudah tidur, makanya mas pulang. Oke, mas mandi dulu, ya."

Aku mengangguk lalu kembali menutup pintu.

"Sayang, ambilkan ponsel mas di mobil. Mas lupa bawa turun." Mas Yoshi berkata ketika hendak menaiki tangga.

Aku keluar sambil membawa kunci mobil. Namun alangkah sakitnya hati ini, saat melihat puding yang kubawakan tadi masih utuh di jok sebelah kemudi. Apa dia tidak memberikannya pada Ayun? Atau Ayun yang tidak mau?

Next ....

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Tumin Neng
mulai ada tanda tanda ke ganjilan ...
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
makanya jgn keras kepala. klu udah dibilang g usah ya g usah. si bodoh yg cuma bisa ngebatin. kamu itu cuma punya kemampuan di kasur, di sumur dan di dapur. yg bagi sebagian orang kamu itu level babu.
goodnovel comment avatar
Nuniee
sampai sini paham ya Nas...besok² ga usah bawain apa apa lgii...CUKUP TAHU
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status