Mataku memejam, tapi aku masih bisa mendengar percakapan Mas Yoshi dan Ayun di seberang sana. Mereka memang melakukan video call. Gadis kecil itu ngotot supaya besok papanya datang lagi membawakan mainan. "Papa, harus datang besok!" teriaknya di akhir kalimat sebelum Mas Yoshi menyudahi panggilan.
Setelah meletakkan ponselnya di nakas, Mas Yoshi memeluk dari belakang tanpa bicara apa-apa. Tidak juga memberitahuku kalau anaknya menginginkan papanya datang lagi besok.Sampai kapan kehidupan rumah tanggaku seperti ini. Apa karena aku hanya diam dan diam, jadi mereka merasa aku baik-baik saja. Apa karena di sana ada anak, makanya selalu diprioritaskan meski sudah bercerai?Sebab aku belum bisa memberikan keturunan, harus terus mengalah. Begitu?Kadang merasa sakit begini, aku tetap harus melaksanakan tanggungjawabku disaat ia mulai beraksi tak hanya sekedar memeluk.Apa aku selemah itu, hanya sekali saja untuk berkata 'tidak', aku tak mampu. Tetap meladeni dan dia menganggap aku baik-baik saja.***L***Jam tiga pagi aku sudah bangun. Mandi keramas terus ke dapur. Membuat puding untuk kubawa ke rumahnya Ruli, juga untuk Ayunda. Kalau Mas Yoshi mau membawanya. Aku yakin hari ini dia pasti ke sana lagi.Seperti biasa waktunya salat subuh, kami salat berjamaah. Setelah berdoa dan mencium tangannya, aku tergesa melepas mukena."Mau ke mana?""Aku mau nglanjutin bikin puding.""Kan mas udah bilang nggak usah?""Aku bikin untuk anaknya Ruli. Kalau Mas mau bawa untuk Ayun silakan. Nggak juga nggak apa-apa," jawabku sambil lantas melangkah ke luar kamar dan turun ke dapur yang ada di lantai satu.Aku kembali sibuk di sana, sekalian untuk menyiapkan sarapan.Di antara ketiga anak mama, akulah yang pandai memasak. Sebab hampir tiap hari berkutat di dapur, ikut para ART memasak. Bercanda dengan mereka. Sebab mereka lah temanku di rumah. Jadi akhirnya aku yang bodoh ini pintar memasak. Jangan diragukan rasanya. Mas Yoshi suka dengan masakanku. Bahkan mertuaku pun memuji. Mama, meskipun suka, tetap tidak akan pernah mengutarakan pujian padaku. Beliau lebih suka disodori hasil ulangan dengan nilai sempurna. Maka apapun yang kita minta, pasti akan dikabulkannya.Apalagi kalau pulang bawa piala lomba olimpiade, mama langsung membelikan mobil untuk kakak sulungku waktu dia masih SMA. Dan mobil itu yang sekarang kupakai, setelah Mbak Lidia punya mobil baru.Sedangkan kedua kakakku, jangankan memasak. Mencuci piring bekas makannya sendiri saja tidak pernah. Semua dilakukan oleh pembantu. Eh, maklumlah mereka orang-orang yang memiliki segudang kesibukan, berbeda denganku yang pengangguran."Sarapan dulu, Mas," ucapku saat lelaki paling tampan di mataku ini memeluk dari belakang.Mas Yoshi menarik kursi dan duduk. Matanya berbinar melihatku masak gulai ikan kakap kesukaannya. Sepagi ini aku sudah bisa menjamu dengan masakan yang lumayan ribet. Biasanya orang bikin untuk sarapan hanya sekedarnya saja. Namun sebisa mungkin aku memanjakannya dalam segala sisi. Urusan dapur, sumur, kasur. Kulakukan dengan sempurna dan paripurna.Ketika kami tengah asyik makan sambil berbincang. Ponselnya yang diletakkan di bufet berdering.Tidak lama kemudian dia kembali dengan wajah cemas. "Mas harus ke rumah Ayun. Dia demam lagi.""Bujuk untuk opname saja, Mas." Aku juga ikut bingung.Mas Yoshi mengangguk dan meninggalkan pirongnya yang masih penuh, untuk mengambil kunci mobil di ruang keluarga.Aku mengikuti."Maaf, mas nggak bisa mengantarmu ke rumah Ruli.""Aku izin ke sana sendiri."Sambil memakai jaketnya, Mas Yoshi mengangguk."Pudingnya dibawa, ya." Ah, aku masih sempat membujuk.Laki-laki itu kembali mengangguk. Aku berlari ke dapur dan menutup Tupp*rware berisi puding. Kemudian memasukkan ke dalam kantung plastik dan mengantarkannya ke garasi.Mas Yoshi pergi, aku mematung di teras sendiri. Pantaskah aku sakit hati untuk semua ini?***L***Ruli merayakan ulang tahun yang kedua untuk anaknya, sangat sederhana. Kue ulang tahun bernuansa pink juga buatannya sendiri. Yang datang di sana anak-anak kecil sekitar rumahnya di gang sempit itu. Tapi Ruli dan suaminya sangat bahagia. Aku mengabadikan kebahagiaan itu untuk Ruli dan diriku sendiri.Sahabatku itu tersenyum senang saat melihat hasil jepretanku. Dia membiarkan suaminya mengurus anak yang tengah makan bersama teman-temannya. Ada juga ibunya Ruli yang meladeni mereka."Kira-kira kamu tahan seperti ini sampai kapan?" tanya Ruli setelah aku cerita kenapa tidak jadi datang bersama suamiku.Aku mengangkat bahu. Entah. Memilih berpisah juga bukan menyelesaikan masalah. Bisa-bisa aku dicoret dari daftar anak mama."Aku heran sama mantannya Mas Yoshi itu. Apa dia nggak bisa ngasih pengertian ke anak agar nggak membencimu? Anak itu sudah tujuh tahun, lo. Pasti sudah bisa ngerti. Atau justru dia yang menanamkan kebencian Ayun padamu. Kelihatannya saja sok baik. Bisa jadi itu kamuflase.""Jangan suudzon," jawabku.Lalu kami terdiam sambil makan kwaci."Kamu masih tetap program kehamilan ke dokter, kan?""Iya. Besok pertemuan kedua kami.""Mungkin kalau kamu punya anak lagi, semua bisa berubah, Nas."Aku tersenyum, tak yakin.***L***Biasanya aku akan menunggunya pulang meski sampai malam. Jika ada klien dengan kasus berat, Mas Yoshi sering pulang larut malam. Kantornya berada di pusat kota Surabaya.Namun malam ini aku tidak akan menunggu. Setelah menutup pintu, aku bergegas naik ke lantai dua. Waktu di tengah tangga, suara mobil Mas Yoshi memasuki garasi.Aku kembali turun dan membuka pintu. Senyumnya merekah meski dia tampak lelah. "Maaf, mas baru pulang.""Nggak apa-apa. Bagaimana keadaan Ayun?""Setelah mendapatkan infus, kondisinya mulai stabil. Mas pulang telat karena dia nggak mau ditinggal. Tadi Ayun sudah tidur, makanya mas pulang. Oke, mas mandi dulu, ya."Aku mengangguk lalu kembali menutup pintu."Sayang, ambilkan ponsel mas di mobil. Mas lupa bawa turun." Mas Yoshi berkata ketika hendak menaiki tangga.Aku keluar sambil membawa kunci mobil. Namun alangkah sakitnya hati ini, saat melihat puding yang kubawakan tadi masih utuh di jok sebelah kemudi. Apa dia tidak memberikannya pada Ayun? Atau Ayun yang tidak mau?Next ....Baru tiga menit memejam, pintu kamar perlahan terbuka. Lidia muncul dari sana. Agung kembali duduk."Kutelepon nggak kamu angkat tadi," ujar Agung. "Aku lagi meeting, Mas. Selesai meeting kutelepon nomer Mas nggak aktif. Aku telepon rumah, katanya Mas sudah pulang." Lidia menjelaskan seraya melepaskan blazer yang dipakainya."Ponselku kehabisan baterai tadi."Agung menarik lengan istrinya supaya duduk di dekatnya. "Aku mau mandi dulu, Mas. Terus nyiapin pakaian. Setelah Lili pulang ngaji kita langsung berangkat, kan?""Iya. Kalau gitu kita mandi bareng.""Jangan. Biasanya Lili nyelonong masuk setelah pulang ngaji. Mas, duluan saja yang mandi. Biar aku nyiapin pakaian." Lidia membuka lemari. "Aku sudah bilang ke mbak yang nganterin Lili ngaji. Kita akan ngajak dia staycation sore ini," kata Agung sambil melepaskan kancing kemeja."Kenapa ngajak si mbak, Mas?""Aku sudah booking dua kamar. Tidak mungkin kita biarkan Lili tidur sendirian, kan?"Lidia diam sejenak. "Mas, memang nggak
(Bukan) Istri Pilihan - Cinta yang Indah Author's POVMobil Agung langsung masuk ke dalam carport rumahnya. Hujan masih deras mengguyur malam. Mereka turun. Agung membuka pintu samping yang terus terhubung dari area carport ke ruang keluarga.Masuk ke dalam suasana rumah sepi. Ruang tamu hanya ada lampu malam yang menyala. Setelah mengunci pintu, ia menggandeng tangan istrinya menaiki tangga. "Mbak ART ke mana, Mas?" tanya Lidia sambil melangkah di samping suaminya."Aku suruh pulang sore tadi. Selama tiga hari dia nggak akan ke sini. Kita habiskan waktu tiga hari hanya berdua saja," jawab Agung sambil memandang sang istri. Tatapannya begitu jahil dan menyiratkan rencana besar dalam benaknya.Lidia bisa menangkap apa yang akan terjadi tiga hari ke depan. Siap-siap saja kalau ia akan dibuat tak berdaya oleh Agung.Mereka berdua masuk kamar. Agung mengunci pintu. Meski tiada sesiapa di sana, ia tidak ingin dibuat was-was. Kamar menguarkan wangi vanila, aroma kesukaan Lidia. Harumny
Usai makan malam, Pak Bastian, Bu Mega, Lidia, dan Agung duduk di ruang keluarga. Sedangkan Lili sedang belajar bersama guru lesnya di ruangan lain yang biasanya digunakan juga untuk bersantai karena langsung menghadap ke taman samping yang ada miniatur air terjun di sana."Papa dan mama merestui kalian berdua jika ingin rujuk. Segera menikah, sama-sama saling mendukung dan memperbaiki diri. Menjadi orang tua yang bisa jadi panutan anak kalian. Tapi papa menyarankan, Agung tetap mengajak Lidia untuk menemui kedua orang tuamu. Minta restu apapun tanggapan mereka. Yang terpenting pada orang tua, jika nggak ingin bertemu keluarga yang lain.""Bener apa kata papamu. Kalian berdua tetap harus menemui kedua orang tuamu, Gung." Bu Mega setuju dengan pendapat sang suami. Apapun tanggapan mereka, yang terpenting tetap meminta restu."Kapan rencana kalian akad nikah?" tanya Pak Bastian."Minggu depan, Pa," jawab Agung spontan. Membuat Lidia menatapnya karena kaget. Sebab mereka belum membahas t
(Bukan) Istri Pilihan - Akad Nikah Author's POV"Beneran kamu mau rujuk sama Lidia? Kamu nggak dengar mama bilang apa sama kamu?"Agung masih diam mendengarkan kemarahan sang mama, saat ia memberitahu akan rujuk dengan Lidia. Sedangkan -Pak Ringgo- papanya diam menatap layar televisi yang menampilkan acara berita."Kenapa kamu keras kepala? Sedangkan keluarga sudah sepakat dengan perjodohanmu dan Grace.""Sejak awal aku nggak setuju dengan rencana, Mama. Aku hanya akan menikah lagi dengan Lidia. Kami punya Lili, Ma. Keluarga setuju atau pun tidak, aku akan kembali menikahi Lidia."Bu Ringgo menatap marah pada putranya. "Mengenai Lili, kamu kan masih bisa menemuinya. Atau ambil dia dan ajak tinggal bersamamu."Tidak semudah itu. Apa mamanya pikir, Lidia akan diam saja kalau Lili diambil darinya?"Kamu nggak ingat apa yang terjadi dua tahun kemarin? Kita harus menanggung malu atas semua yang terjadi," lanjut Bu Ringgo."Itu salahku, Ma," bantah Agung. "Bahkan keluarga Lidia yang telah
"Mas mau meeting di kantor papa nanti jam dua. Makanya mas mampir pulang dulu." Yoshi mengusap pipi Yasha dan mengecupnya. "Yusa, mana?""Barusan tidur.""Kamu belum makan?" Yoshi memandang piring yang masih berisi penuh di atas nakas."Belum. Mau makan keburu Yasha nangis."Yoshi mengambil piring. "Mas suapi."Anastasya makan dari tangan Yoshi hingga makanan di piring tandas. Yasha kembali terlelap dan ditidurkan di atas tempat tidur. Untuk sementara ini kedua anaknya memang tidur di pisah. Khawatir akan saling ganggu jika salah satunya terbangun lebih dulu."Mas, mau makan apa sholat zhuhur dulu?" Anastasya bangkit dari duduknya."Mas sudah sholat sebelum masuk kamar tadi.""Ya udah, kalau gitu aku ambilin makan dulu." Anastasya keluar kamar dan kembali dengan nasi, lauk, potongan buah semangka, dan minum di nampan."Makasih, Sayang." Yoshi mengecup kening istrinya. Kemudian duduk di karpet ditemani Anastasya."Besok mas ada seminar tiga hari di Malang.""Nginep?" tanya Anastasya un
(Bukan) Istri Pilihan - Kita Akan Menikah Author's POVLidia bangkit dari duduknya sambil membenahi ikatan kimononya. "Aku nemui Sinta dulu, Mas. Ada hal penting yang akan kami bahas." Selesai bicara Lidia langsung keluar kamar. Sedangkan Agung bangkit dari duduknya dan berdiri di dekat jendela kamar. Menatap langit kelabu di atas sana.Sinta berdehem ketika Lidia masuk ke ruang kerja papanya. Ruangan yang lumayan luas. Ada meja panjang dengan kursi-kursi yang mengitarinya. Juga ada layar proyektor di sana. Biasa digunakan untuk meeting dadakan jika ada sesuatu yang harus dibahas segera."Pasti kamu mikir yang enggak-enggak tadi," ucap Lidia sambil duduk di depan adiknya.Dengan gaun se*si, tipis, dan dibalut kimono luarnya, rambut diikat asal-asalan dan terkesan semrawut, belum lagi wajah dan leher yang basah berpeluh, otomatis pikiran Sinta sudah terbang ke mana-mana. Apalagi jika ingat bagaimana Agung begitu agresif belakangan ini. Mereka manusia dewasa yang pernah hidup bersam