Share

Menantu rasa Babu

Mobil Rido yang membawa kami pun sampai ke rumah mertuaku. Anak-anak berhamburan keluar, begitu juga denganku. Ada rasa canggung saat menginjakkan kaki di halaman rumah ini. Entahlah, padahal sudah dua belas tahun aku jadi bagian dari keluarga ini. Itu bukanlah waktu yang sebentar bukan.

"Alif, Pian, Ilham. Dengarkan ibuk, yang tenang di rumah nenek nanti ya. Jangan sentuh barang apa pun, jangan mengambil sesuatu sebelum di tawarkan," pesanku pada ke-tiga anak lelakiku. Mereka bertiga serentak mengangguk.

"Kakak, tolong ingatkan adik-adik ya. Kalau mereka lupa.'' tak lupa aku juga berpesan pada Rina, anak sulungku.

"Siap, Buk," ucap Rina seraya mengangkat tangan ke keningnya. Seolah-olah memberi hormat.

"Ayo masuk, Kak," ajak Rido. Kami pun berjalan mengikuti Rido dari belakang.

"Tuh kak Yati datang!" seru Resti dari arah dapur. Senyumannya sumringah saat melihatku. Adik ipar terbaikku itu seperti sedang meracik bumbu dan emak sedang mengaduk wajan di atas kompor, entah sedang memasak apa. Aku pun berjalan ke arah dapur.

"Rozi mana, Do?" tanya emak pada Rido. Matanya melihat ke sana kemari, mungkin mencari keberadaan anak sulungnya itu.

"Tadi sudah aku telpon, Mak. Kata abang, nanti dia langsung ke sini," jawab Rido. Lalu Rido kembali ke depan, duduk bersama anak-anak di depan TV.

"Emang Rozi kemana, Ti?" tanya emak padaku.

"Lagi ke kampung sebelah, Mak. Lihat kebun juragan Sargawi, yang minta tolong di bersihkan," jawabku.

Ya, memang begitu pekerjaan suamiku. Selain sebagai penyadap getah karet, ia juga kerja serabutan. Apa pun ia kerjakan, kalau ada yang butuh tenaganya. Katanya, yang penting halal.

Tapi, kalau lagi tak ada, ya suamiku kembali ke perkejaan utamanya, menyadap getah karet. Dulu sebelum meninggal orang tuaku mempunyai sebidang kebun karet, setelah keduanya tiada. Kebun karet itu menjadi milikku dan rumah untuk kak Minah. Walau tak luas, Alhamdulillah bisa menjadi mata pencaharian utama buat suamiku.

"Susah banget, sih." Airin menggerutu saat masuk dari arah belakang rumah. Dahinya di penuhi peluh, rambutnya yang biasa tergerai indah terlihat awut-awutan dan ditangannya menempel bulu-bulu seperti bulu ayam.

"Raffa! Ambilkan jepit rambut mama di kamar!" teriak Airin.

"Ini, Ma." tak lama bocah gembul itu datang dengan tergesa-gesa membawa jepitan rambut yang dimaksud mamanya.

"Tangan Kakak bersihkan?" tanya Airin padaku. Aku mengangguk.

"Tolong jepitkan rambutku, Kak," pintanya padaku.

Tanpa berkomentar apapun, aku langsung menjepit rambut perempuan tinggi semampai itu. Tapi, ada yang lain dari Airin. Bau tubuhnya kok agak-agak amis, tak seperti biasanya yang selalu wangi.

"Ayo kebelakang, Kak. Bantuin aku," ajak Airin seraya menarik tanganku.

"Eh...eh... Yati di sini saja menghalus semua bumbu ini. Kalau Resti yang lakukan bisa sampai malam nggak selesai-selesai," cegah emak. Seperti biasa di rumah ini kalau masak semua bumbunya di ulek, katanya tak enak kalau di blender.

Airin merengut, lalu ia menghentakkan kakinya melangkah ke belakang rumah.

"Lagi buat apa dia?" bisikku pada Resti.

"Lagi nyabutin bulu ayam, Kak," jawab Resti sambil menahan tawa. Ini juga kebiasaan di rumah ini, kalau mau makan ayam pasti motong sendiri, bapak mertuaku tak suka makan ayam ras yang dijual di pasar. Oleh karena itu, ia bartenak ayam kampung di belakang rumah, untuk dikonsumsi sendiri.

"Kok tertawa?"

"Ya, Kak. Tadi di suruh ngulek bumbu, kak Airin nggak mau. Takut tangannya panas. Lebih milih nyabutin bulu ayam yang nyata-nyata lebih susah, hahaha mana bapak motongnya tiga ekor lagi." tawa Resti meledak.

"Ya sudah, biar kakak ngerjain bumbunya. Kamu bantuin Airin gih," perintahku pada Resti.

"Ogah...biar dia ngerasain bagaimana memasak dengan tangan sendiri. Jangan bisanya tinggal makan saja," sewot adik iparku itu. Entah mengapa ia begitu tak suka pada Airin, berbeda dengan emaknya.

"Resti teruskan ini, pusing kepalaku lama-lama berdiri di dekat wajan ini" ucap emak pada Resti.

"Dan Kau Yati, cepat ulek bumbunya. Habis itu gantikan Airin nyabutin bulu ayam di belakang. Kasihan dia nggak biasa melakukan itu," ucap emak pula.

"Eh itu kelapanya belum juga di parut." Emak menunjukkan dua buah kelapa yang tergeletak di bawah meja.

Aku mengangguk. Rupanya ini maksudnya, aku di jemput yang katanya diajak emak untuk makan bersama itu. tapi kenyataannya, aku di suruh kesini hanya untuk memasak, karena menantu kesayangannya tak bisa melakukan semua ini.

Selesai mengulek bumbu dan memarut kelapa. Aku ke belakang melihat Airin, ternyata satu ekor ayam saja belum selesai dikerjakannya.

"Gini amat ya di rumah mertua," gerutunya sambil mencabuti bulu ayam dengan kasar.

"Kalau tidak karena menunggu tanah itu laku, sudah lama aku pulang," lanjutnya lagi dengan kesalnya. Mungkin saking kesalnya, ia sampai tak menyadari aku di belakangnya.

"Sudah selesai, Rin?" tanyaku.

Airin menoleh, "Eh, belum Kak. Kakak aja yang ngelanjutin-nya, rusak semua kukuku dibuatnya," ucap Airin seraya bangkit meninggalkan ayam yang belum sampai separuhnya selesai dicabut bulunya itu. Tanpa beban atau sungkan Airin melenggang pergi.

__________________________

Masakan semua selesai tepat sebelum masuk waktu Zuhur. Ada ayam gulai, ikan goreng, sambel, goreng tahu-tempe dan oseng kangkung semua tertata rapi di atas meja. Dan hampir semua itu aku yang mengerjakan.

Selesai solat Zuhur, kami pun bersiap-siap hendak makan siang. Tapi, sampai saat ini bang Rozi belum juga sampai. Karena perut sudah lapar, emak pun mengajak kami makan duluan.

"Do, mana abangmu, kok belum juga datang?" tanya emak pada Rido. Padahal kami semua sudah siap makan siang.

"Tadi katanya mau ke sini, Mak," jawab Rido sambil mengusap-usap ponselnya. Mungkin dia sedang berusaha menelpon suamiku.

"Tak diangkat telponnya sama abang, Mak," ucap Rido seraya menggelengkan kepalanya.

Aku sudah selesai membereskan semua perkakas bekas kami makan tadi. Semua sudah kucuci dan ku kembalikan ke rak-rak-nya. Rumah pun sudah kinclong ku sapu, tapi suamiku tak kunjung juga datang.

Karena memikirkan saat ku tinggalkan tadi rumah belum selesai ku bersihkan. Aku pun minta diantarkan pulang pada Rido. Saat sampai di rumah, ada sepeda motor bang Rozi terpakir di teras. Ternyata suamiku ada di rumah, dan ia selalu membawa kunci cadangan. Jadi, kalau dia pulang dan aku tak ada di rumah, dia juga bisa masuk tanpa menunggu aku lagi.

"Dari mana Kau, Dek?" tanyanya. Suamiku terlihat rebahan sambil menonton TV.

"Dari rumah emak, Bang," jawabku.

"Siapa yang izinkan Kau ke sana," ucapnya pelan, tapi sangat mengejutkan bagiku.

Aku menoleh, "Aku tak pernah merasa mengizinkan Kau ke sana," ucapnya lagi tapi tetap dengan santainya.

"Ta-tapi Rido bilang..."

"Bilang apa!" suamiku mulai mengeraskan suaranya.

"Dengar ya, Dek. Aku tak izinkan Kau ke sana, kalau hanya di jadikan pembantu!" ucap bang Rozi dengan lantang.

"Bang..."

"Aku kasihan padamu, Dek..." lirihnya.

"Aku tahu mereka menyuruhmu Kau ke sana. Hanya untuk kepentingan mereka saja," ucap suamiku lagi. Kali ini nada suaranya mulai melemah.

Aku menatap suamiku lama. Aku tahu dia berbicara seperti itu, karena tak ingin aku selalu di rendahkan oleh keluarganya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status