“Mas, kamu kapan pulang? Aku sudah kangen,” ucap Melati dengan suara manja dan merajuk ketika menelepon Adam, suaminya.
“Iya, Sayang, sabar. Di sini masih banyak urusan.” Suara Adam terdengar berwibawa.Mendengar suara Adam, membuat Melati semakin merindukan suaminya. Meskipun mereka belum menikah secara resmi, tetap Melati tak peduli. Melati merasa yakin kalau Adam, suatu saat akan meresmikan hubungan mereka.“Kamu nggak bohong, kan, Mas? Bukan karena di situ kamu punya selingkuhan?” tanya Melati mengintimidasi.“Nggak Sayang, aku mana berani selingkuh dari kamu. Kamu istriku yang paling kusayang,” ucap Adam.“Masak? Kalau gitu cepat pulang dong.” Melati merajuk lagi pada Adam.“Pa, siapa? Kok, lama sekali?” Tiba-tiba Melati mendengar ada suara seorang wanita di seberang. Membuat wanita itu mengerutkan keningnya.“Mas lagi di mana? Kok, aku dengar ada suara wanita?” tanya Melati.“Eh, ini, Mas lagi di luar rumah, Sayang. Itu suara ibu-ibu di tetangga sebelah,” jawab Adam.Melati berkerut, tetapi dia tidak mempertanyakan lagi.“Udah dulu, ya, Sayang. Ini ada panggilan tertunda dari teman kerja,” lanjut Adam kemudian.“Ok, Mas. Kalau urusannya udah selesai cepat pulang, ya, aku kangen banget.” Suara manja Melati.“Tenang Sayang,” ucap Adam.Melati dan Adam memang menjalani hubungan jarak jauh, tetapi Melati yakin dan percaya kalau Adam tidak akan pernah macam-macam.Setelah mengakhiri telepon dari Adam, Melati pun memutuskan untuk keluar. Melati merasa bosan di dalam rumah terus menerus. Karena hari masih sore, dia pun pergi mencari makan, Melati mengendarai motor maticnya.Tak perlu waktu lama, tibalah Melati di salah satu warung masakan padang. Saat hendak masuk, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya.“Melati,” ucap wanita itu.Melati kaget bercampur bahagia, karena dia bisa bertemu kembali dengan Reina, sahabatnya. Reina sahabat Melati saat masih bekerja di kafe, sekarang mereka sama-sama sudah tidak bekerja di tempat itu lagi.“Reina, ya Allah, gimana kabar kamu? Lama nggak ketemu lo. Makin cantik aja sekarang, tinggal di Sidoarjo.” Melati menatap Reina tanpa kedip.“Alhamdulillah aku baik. Kamu gimana?” tanya Reina balik.Lalu, mereka pun mengobrol sambil masuk ke warung masakan padang. Sambil menunggu pesanan mereka pun mengobrol banyak hal. Reina sedang pulang ke Surabaya karena ibunya sakit, sementara suaminya tidak ikut karena kerjaannya tidak bisa ditinggal.“Kamu sendiri udah nikah belum?” tanya Reina sambil tersenyum.“Sudah dong. Kamu ingat Mas Adam, kan? Pacar aku waktu itu,” ucap Melati bersemangat.“Iya ingat, kenapa? Kamu nikah sama dia?” Reina menatap Melati dengan intens.Ditatap seperti itu, Melati pun merasa heran.“Iya, aku nikah sama dia, tapi masih siri, insyaallah secepatnya nikah resmi.” Melati menceritakan pernikahannya dengan Adam dengan sangat antusias.“Hah? Kenapa kamu mau, Mel? Kamu udah kenal dan tahu dia?” tanya Reina. “Terus sekarang Adam itu di mana?” lanjut Reina. Sebab, Reina merasa ada yang tidak beres dengan suami sahabatnya itu.“Ya, kan, Mas Adam orangnya baik. Terus dia juga perhatian dan sayang. Dia sekarang di Sidoarjo, karena memang kerjaannya di sana. Pulang ke sini paling satu bulan sekali.” Melati menjawab dengan jujur.“Kamu yakin Adam orang baik?” tanya Reina lagi.“Ya iya pasti itu. Memang kenapa? Mas Adam juga janji bakal ngeresmiin pernikahan kami, kok,” jawab Melati dengan polos.“Haduh, Melati, kalau dia pria baik-baik, dia pasti akan langsung menikahimu secara resmi di mata negara, bukan cuma secara agama doang. Nggak akan ada nikah siri itu. Coba kamu tantang suruh dia datang untuk melamar kamu bersama keluarganya, dan menikahimu secara resmi.” Reina menatap Melati. Reina sangat menyayangkan sikap Melati yang begitu polos.“Mas Adam, nggak bisa untuk saat ini, dia aja udah 2 bulan nggak pulang karena katanya di sana masih ada urusan yang nggak bisa ditinggal.” Melati menatap Reina dengan pandangan heran.Reina tak menjawab apa pun. Lalu, dia menyodorkan ponselnya pada Melati. Melati merasa heran karena Reina tiba-tiba memberikan ponselnya padanya.“Ini apa?” tanya Melati.“Coba kamu lihat dulu,” ucap Reina sambil menyodorkan ponselnya pada Melati.Melati pun menurut pada Reina. Lalu, matanya terbelalak saat melihat sesuatu yang tak disangka di ponsel Reina. Melati menatap Reina tak percaya sambil menutup mulutnya.“Apa? Kok bisa, sih?” Melati menatap Reina tak percaya.Melati hanya menggelengkan kepalanya dan matanya berkaca-kaca karena melihat hal yang sama sekali tak terduga di ponsel sahabatnya."Nah, makanya aku tuh tanya kamu. Kamu beneran udah nikah sama Adam?” tanya Reina lagi.“Iya, aku beneran udah nikah sama Mas Adam, meskipun masih nikah secara agama saja.” Melati menjawab dengan yakin.“Tapi, di HP-mu tadi ....” Melati menutup mulutnya lagi, sungguh dia tak sanggup melihat semua itu.Melati hanya terdiam. Lalu, dia meminta Reina mengirimkan foto tersebut. Saat mereka sedang termenung, pesanan sudah siap. Melati menerima bungkusan masakan padangnya, dia tadi sengaja memesan untuk dibungkus. Rasa lapar pun seketika hilang setelah melihat foto yang dikirim oleh Reina tadi.“Makasih, Rei. Aku pulang duluan.” Melati terlihat tak bersemangat.“Iya sama-sama Mel.” Reina menepuk pundak Melati dengan lembut.Melati hanya mengangguk sambil tersenyum. Dia langsung berpamitan dan mengendarai motornya. Setelah sampai di rumah kontrakannya, dia langsung mengempaskan tubuhnya di kursi. Kenangan beberapa waktu lalu, berkelebat di depan mata.Adam dan Melati saling mengenal saat dulu Adam sering mampir ke kafe tempatnya bekerja. Awalnya, Melati hanya menganggap Adam sebagai teman biasa. Seorang customer yang harus dilayani. Namun, entah bagaimana mulanya, Adam mengajak berkenalan. Melati menyambutnya, karena Adam mengaku masih single.Beberapa bulan selanjutnya mereka merasa cocok, bahkan sampai pada tahap nyaman. Begitu juga yang Adam katakan kepada Melati. Adam bilang ingin menjalani hubungan yang serius, bukan hanya sekadar berpacaran. Entah, apa yang ada dalam pikiran Melati, tanpa mencari tahu siapa Adam yang sebenarnya, langsung saja menerima tawarannya.Mereka menikah secara siri, tidak ada yang tahu, sekali pun keluarga mereka. Ayah Melati sudah meninggal karena itu mereka menggunakan wali hakim. Apalagi Melati sedang merantau ke Surabaya, keluarga di Malang tidak ada yang tahu. Biarlah nanti setelah Adam sudah siap, Melati akan memberi tahu ibunya.Melati menarik napas dalam, dia kembali melihat foto yang dikirim Reina tadi. Sesuatu yang sama sekali tak pernah diduga oleh Melati.“Siapa sebenarnya kamu Mas Adam? Aku harus mencari tahu siapa kamu, Mas.”Saat Melati sedang berpikir, tiba-tiba ponselnya berdering dan terlihat nomor asing di layar. Melati mengernyitkan dahinya, tetapi dia menerima telepon tersebut. Betapa kagetnya dia ketika mendengar sesuatu yang sama sekali tak diduganya.“Apa? Kamu siapa?”Esok pagi, Melati mengerjap karena cahaya matahari menerobos masuk jendela. Matanya sebenarnya begitu berat untuk dibuka. Melati masih mengantuk karena semalam tidur sudah sangat larut. Napas dia embuskan dengan kasar. Dengan malas Melati bangun dan melangkah keluar kamar menuju kamar mandi.Melewati dapur untuk ke kamar mandi.“Anak gadis bangun, kok, matahari sudah tinggi. Gimana bisa cepet dapat jodoh, jodohnya dipatok ayam.” Ibu menggoda Melati ketika dia hendak masuk ke kamar mandi.Melati menoleh dan tersenyum. Ah, Ibu ... tidak tahu kalau anaknya ini sudah mendapat jodoh meskipun dia tidak lagi single.Tanpa menanggapi perkataan Bu Halimah Melati masuk kamar mandi dan menutup pintu. Melati bersender di balik pintu sambil menumpahkan kesedihan. Napas terasa sesak, cairan hangat pun mengalir membasahi pipi.Tuhan ... ampuni Hamba karena telah berbohong pada Ibu. Hamba tak berani berkata jujur kalau sudah menikah, karena hanya menikah siri dan bukan dengan pria single.Melati sege
Malam ini, Melati duduk di teras rumah bersama Bu Halimah. Menyaksikan kerlap-kerlip bintang di langit. Ya, suasana di rumah Melati ini memang tidak begitu ramai, karena rumahnya jauh dari jalan raya. Hanya jalan kampung kecil dan masih banyak pepohonan di sekitar. Jika malam, suasana hening dan terdengar suara jangkrik, yang sudah tidak terdengar di Kota Surabaya.“Melati, kapan kamu mau menikah?”Pertanyaan Bu Halimah sontak membuat Melati terkejut.Melati langsung menoleh.Aku harus menjawab apa atas pertanyaan Ibu? Aku sudah menikah meskipun hanya siri. Melati berkata dalam hati.“Melati kenapa diam? Ibu berniat menjodohkanmu dengan Rehan, anak Bi Minah yang rumahnya di pojok kampung sana.” Bu Halimah menunjuk ke arah utara.Melati masih bergeming, menunggu Bu Halimah melanjutkan perkataannya.“Dia anak yang baik, udah mapan, dan umurnya juga sudah matang. Dia juga berniat cari jodoh kata ibunya. Kamu kenal dia, ‘kan?” lanjut Bu Halimah.Melati menelan ludah, kemudian menghela nap
Keesokan harinya Melati memutuskan untuk pulang kampung sebentar. Dia ingin menenangkan diri. Selain itu juga kangen pada ibunya. Semalam Melati langsung memesan tiket kereta api secara online. Untung saja langsung ada.Pagi ini, Melati segera menuju stasiun Gubeng. Dia akan pulang menggunakan jasa kereta api.Setelah tiba di stasiun, dia berjalan menyusuri emperan stasiun. Orang-orang berlalu-lalang memenuhi emperan. Hendak pulang dan pergi. Menyatu dengan tukang asongan, penjaja koran, dan penjual makanan serta minuman. Hari masih sangat pagi saat Melati tiba di stasiun. Kereta tidak terlalu penuh, mungkin karena belum banyak orang yang hendak bepergian, mungkin juga memang bukan hari libur besar ataupun hari raya. Melati bernapas lega, karena bisa duduk santai sepanjang perjalanan. Dia bergegas masuk ke gerbong kereta.Tak lama kemudian, kereta api pun berdecit, melaju meninggalkan Kota Surabaya. Dia memandang ke luar jendela kereta. Menghirup napas dalam. Dia tidak izin pada Adam.
“Melati, Aisyah sedang sakit. Dia nggak boleh dengar kabar menyakitkan. Kalau aku cerita yang sesungguhnya di saat dia drop, aku takut dia akan tersiksa.” Adam mendekap Melati dari belakang.Mendengar pengakuan Adam, Melati hanya terdiam. Menahan isak tangis. Dada Melati teramat sesak. Kalau dia takut istrinya tersakiti, kenapa bermain api? Apakah dia tidak memikirkan Melati yang juga menderita karena hubungan tersembunyi ini? Mengapa hanya istri pertamanya saja yang perlu dijaga perasaan hatinya?“Pergi saja kamu, Mas. Jangan pernah ke sini lagi! Sebaiknya kita memang berpisah.” Suara Melati bergetar menahan amarah.“Sayang jangan pernah minta berpisah. Aku nggak mau. Sabarlah sebentar, saat ini Aisyah sedang sakit. Kondisinya benar-benar drop, karena itu aku harus menjaga perasaannya.” Adam menggenggam tangan Melati.“Memangnya sakit apa dia, Mas?” tanya Melati.“Gejala ginjal,” jawab Adam lirih.Mata Melati membelalak tak percaya. Ginjal? Begitu parahkah, sehingga Adam begitu khaw
Genap satu bulan tak ada kabar dari Melati. Jiwa Melati sungguh dirundung pilu. Rasa rindu kian bergelora. Melati ingin meneleponnya kembali, tapi takut jika yang menerima istrinya.Sementara itu hubungan Melati dengan Dion makin dekat. Namun, sejauh ini pria berkulit putih itu tak mengerti kalau Melati seorang istri simpanan. Sementara Dion, sudah mengurus perceraian dengan istrinya. Dia sudah tak sanggup bertahan dengan sang istri yang pengkhianat. Ya, dikhianati berkali-kali oleh orang terkasih pasti rasanya sangat menyakitkan. Mungkin itu yang terjadi pada Aisyah, istri Adam.Sore ini, sepulang dari bekerja Melati duduk di teras. Menunggu kehadiran Adam, walaupun tak yakin pria itu akan datang. Akan tetapi, berharap tidak masalah. Itu yang ada di pikiran Melati.Ketika Melati sedang melamun, tiba-tiba terdengar deru mobil berhenti tepat di halaman. Kemudian, muncullah sosok pria turun dari mobil. Dia tersenyum ke arah Melati. Ternyata dia Dion, Melati pikir tadi Adam. Lagi-lagi se
[Hallo, Mbak masih di situ? Apa maksud Mbak, kalau istrimu? Apa Mbak kenal dengan suami saya, Mas Adam?] Suara dari seberang. Melati tetap membisu. Tak tahu harus menjawab apa. Kemudian, samar-sama terdengar seorang pria berucap. Sepertinya suara Adam. “Ma, ayo makan dulu. Ini buburnya sudah siap.” “Pa, apa kamu punya istri lain selain Mama?” “Apa maksud kamu, Ma? Sudah jangan tanya macem-macem, Mama lagi sakit. Ayo makan dulu, papa suap.” Hati Melati teramat sakit mendengar percakapan Adam dengan istrinya. Sakit apakah Mbak Aisyah, sampai makan pun harus dilayani? Batin Melati. Dia terus mendengarkan lewat telepon yang masih tersambung. “Pa, jawab jujur! Apa Papa selingkuh? Barusan ada yang menghubungi Papa dan bilang istri Papa!” Suara wanita itu terdengar bergetar diiringi isak tangis. “Mama ngomong apa, sih? Nggak ada wanita lain di hati papa. Jangan pernah berpikir macem-macem.” Mendengar jawaban Adam, segumpal daging dalam dada Melati berdenyut nyeri. Melati langsung mem