Share

Bab 2. Kebohongan

“Apa? Nggak mungkin kamu pasti bohong!” sentak Melati tak terima.

“Halo! Halo!” Tiba-tiba sambungan teleponnya terputus.

Melati mengumpat karena saking kesalnya.

“Siapa, sih, wanita itu? Kurang ajar sekali dia!” Melati mengepalkan tangannya.

Dia terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada diri Adam. Foto di ponsel Reina tadi, juga telepon misterius barusan.

Melati menarik napas dalam. Kemudian, dia ingat tadi saat dia sedang telepon dengan Adam, ada suara seorang wanita. Tiba-tiba denyut jantung Melati begitu sakit. Dia merasa Adam sedang menyembunyikan sesuatu. Lalu, dia pun segera menelepon Adam kembali. Lama tak juga diangkat.

“Kamu ke mana sih Mas? Kenapa nggak diangkat-angkat juga! Ck, jangan-jangan memang kamu berbohong padaku Mas!” Melati marah-marah sendiri.

“Tenang Mel, jangan berburuk sangka dulu, siapa tahu wanita yang bersama Mas Adam di foto itu kakaknya dan bocah perempuan itu keponakan Mas Adam. Iya, kamu harus positif thinking Mel.” Melati menyemangati dirinya sendiri.

Melati mencoba menelepon Adam kembali. Berkali-kali dia menyepam Adam dengan pesan juga selain dengan telepon. Akhirnya, teleponnya pun diangkat.

“Mas! Kamu ke mana saja? Kenapa nggak diangkat-angkat? Hah? Kamu takut ketahuan istri kamu?” tanya Melati dengan suara yang begitu kasar.

“Sayang kamu ngomong apa? Istri? Istri siapa maksudmu? Istriku, kan, kamu,” ucap Adam dengan suara yang tenang.

“Nggak usah bohong Mas! Kalau kamu memang belum punya istri, cepat nikahi aku secara resmi sekarang juga! Aku akan datang ke Sidoarjo sekarang juga!” ancam Melati.

“Sayang, tenangin diri dulu, jangan gegabah. Menikah secara resmi itu nggak gampang, harus banyak persiapan. Kamu harus percaya sama aku, suatu saat kita pasti akan menikah secara resmi.” Suara Adam terdengar tenang.

Mendengar suara Adam yang begitu tenang, rasa curiga Melati kembali berkurang.

“Kamu percaya sama aku, ya? Jangan mikir macem-macem, ok?” ucap Adam.

“Iya Mas,” sahut Melati.

Namun, di pikiran Melati masih belum tenang. Dia masih berpikir keras tentang wanita dan bocah perempuan yang ada di foto bersama Adam. Mereka memang terlihat begitu dekat di fotonya. Melati menarik napas dalam.

“Mas, aku mau tanya sesuatu boleh?” tanya Melati kemudian.

“Tanya apa?” Adam balik bertanya.

“Emmm, Mas Adam punya kakak perempuan dan keponakan perempuan yang masih kecil?” Melati mengatur napasnya yang memburu.

Hatinya sungguh tak tenang. Melati berharap Adam menjawab iya.

“Kenapa kamu tanya seperti itu Sayang?” Suara Adam terdengar heran.

“Ya, cuma pengen tahu aja Mas. Emmm, kamu ingat sama sahabatku, Reina?” tanya Melati.

“Iya, ingat. Kenapa?” tanya Adam lagi.

“Dia, kan, ikut suaminya tinggal di Sidoarjo. Terus nggak sengaja lihat kamu sama perempuan dan bocah perempuan kecil. Dia bilang ke aku, kebetulan dia lagi di Surabaya sekarang.” Melati berkata dengan jujur.

Adam terdiam. Dia seperti bingung mau menjawab apa.

“Mas? Mas Adam? Kamu dengar, kan, aku ngomong apa?” tanya Melati.

“Apa Sayang? Mas nggak dengar, halo, halo.” Tiba-tiba sambungan langsung terputus.

Melati merasa heran, kenapa teleponnya tiba-tiba terputus.

“Masak iya di kota jaringannya buruk?” tanya Melati pada dirinya sendiri.

“Sayang, maaf, ya, tadi tiba-tiba terputus. Sudah malam, mending kamu sekarang istirahat saja dulu. Besok aku akan ke Surabaya.” Pesan dari Adam membuat Melati tersenyum bahagia.

“Sungguh Mas?” tanya Melati.

“Iya,” jawab Adam melalui pesan.

Setelah itu, Melati pun menutup ponselnya. Dia tersenyum membayangkan besok akan bertemu dengan Adam. Melati pun melangkah menuju dapur, dia pun ingin memakan masakan padang yang dibeli tadi. Melati sampai lupa kalau belum makan. Semua ini gara-gara informasi tidak jelas dari Reina. Namun, Melati tidak menyalahkan Reina, dia yakin sahabatnya itu ingin yang terbaik untuk Melati.

***

Sementara, di tempat Adam, laki-laki itu kebingungan. Dia berkali-kali menjambak rambutnya dengan kasar.

“Bagaimana kalau Melati sampai curiga? Apalagi sahabatnya tinggal di sini.” Adam bermonolog.

“Papa kenapa?” Tiba-tiba seorang wanita berhijab lebar sudah berada di samping Adam. Adam langsung menoleh dengan kaget.

“Eh, Ma, nggak kenapa-kenapa, ini Papa bingung, besok harus ke Surabaya lagi. Mama nggak apa-apa ditinggal lagi?” Adam berusaha berkata dengan setenang mungkin.

“Ya nggak apa-apa, Pa. Kan, biasanya Papa juga pergi ke sana.” Wanita yang ternyata istri Adam itu tersenyum menatap Adam.

“Tapi, kali ini sepertinya lama Ma. Mama nggak keberatan?” tanya Adam sambil menatap wanita di hadapannya.

Wanita itu tersenyum, lalu menggelayut mesra di lengan Adam.

“Papa kayak nggak kenal Mama. Kita ini sudah hampir 8 tahun berumah tangga Pa. Mama udah biasa, kan, Papa tinggal ke luar kota, malah dulu pernah ke luar Jawa juga karena urusan bisnis. Lah, sekarang cuma di Surabaya, deket aja kok. Mama bisa nyusul kalau kangen.” Wanita itu langsung menyenderkan kepalanya di pundak Adam.

Adam tersenyum kecut. Dia merasa menjadi penjahat. Istrinya ini begitu tulus menyayangi Adam, tetapi Adam telah mengkhianatinya. Namun, Adam sudah telanjur jatuh hati pada Melati sejak pertama kali bertemu. Adam melihat Melati gadis yang begitu baik dan polos, dia juga merasa Melati berbeda dari perempuan pada umumnya. Dia wanita yang begitu mandiri dan tegas. Namun, salahnya dia berbohong pada Melati, mengatakan pada Melati kalau dia masih single. Adam tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Melati sampai tahu yang sebenarnya. Adam menarik napas dalam.

“Papa kenapa? Kok, kayak resah gitu. Apa ada masalah Pa? Masalah di kantor mungkin.” Aisyah, istri Adam, menoleh ke arah Adam dan menatapnya dengan dalam.

“Nggak, kok, Ma. Nggak apa-apa.” Adam berusaha untuk tersenyum.

“Papa nggak punya selingkuhan, kan, di Surabaya? Papa nggak punya simpanan, kan?” Pertanyaan Aisyah langsung menohok, membuat Adam membeku.

“Pa, kok, diam. Jangan-jangan Papa punya simpanan di sana,” tebak Aisyah.

“Eh, nggak, kok, Ma. Papa nggak mungkin kayak gitu. Papa sayang Mama dan Anindya, kalian berdua jiwa Papa.” Adam tersenyum, lalu mengecup kening Aisyah.

Meskipun di dalam hati, perasaan Adam tidak keruan. Dia menyimpan ribuan kebohongan pada istrinya.

“Papa mau pergi berapa lama?” tanya Aisyah lagi.

“2 bulanan Ma, soalnya perusahaan cabang di sana lagi banyak masalah. Papa harus menanganinya Ma. Nggak apa-apa, kan, ditinggal 2 bulan?” tanya Adam.

“Mama sih nggak masalah, Pa. Tapi, Anindya kayaknya yang nggak bisa lama-lama. Nanti mungkin kalau Anindya tanya, bisalah ajak nyusul ke sana.” Aisyah tersenyum memberikan solusi.

“Eh, jangan! Jangan ke sana!” potong Adam dengan cepat.

Aisyah mengernyitkan dahi saat mendengar jawaban Adam.

“Loh, kenapa Pa? Kan, Surabaya-Sidoarjo nggak terlalu jauh, nggak masalah, kan, kalau kami ke sana? Kok, nggak boleh?” tanya Aisyah dengan heran.

“Ma, Papa itu kerja. Jadi sebaiknya Mama nggak usah ke sana. Papa, kan, nggak liburan.” Adam berusaha menjawab dengan tenang agar Aisyah tidak curiga.

“Bukan karena Papa takut ketahuan selingkuh?” Aisyah menatap tajam Adam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status