“Apa? Nggak mungkin kamu pasti bohong!” sentak Melati tak terima.
“Halo! Halo!” Tiba-tiba sambungan teleponnya terputus.Melati mengumpat karena saking kesalnya.“Siapa, sih, wanita itu? Kurang ajar sekali dia!” Melati mengepalkan tangannya.Dia terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada diri Adam. Foto di ponsel Reina tadi, juga telepon misterius barusan.Melati menarik napas dalam. Kemudian, dia ingat tadi saat dia sedang telepon dengan Adam, ada suara seorang wanita. Tiba-tiba denyut jantung Melati begitu sakit. Dia merasa Adam sedang menyembunyikan sesuatu. Lalu, dia pun segera menelepon Adam kembali. Lama tak juga diangkat.“Kamu ke mana sih Mas? Kenapa nggak diangkat-angkat juga! Ck, jangan-jangan memang kamu berbohong padaku Mas!” Melati marah-marah sendiri.“Tenang Mel, jangan berburuk sangka dulu, siapa tahu wanita yang bersama Mas Adam di foto itu kakaknya dan bocah perempuan itu keponakan Mas Adam. Iya, kamu harus positif thinking Mel.” Melati menyemangati dirinya sendiri.Melati mencoba menelepon Adam kembali. Berkali-kali dia menyepam Adam dengan pesan juga selain dengan telepon. Akhirnya, teleponnya pun diangkat.“Mas! Kamu ke mana saja? Kenapa nggak diangkat-angkat? Hah? Kamu takut ketahuan istri kamu?” tanya Melati dengan suara yang begitu kasar.“Sayang kamu ngomong apa? Istri? Istri siapa maksudmu? Istriku, kan, kamu,” ucap Adam dengan suara yang tenang.“Nggak usah bohong Mas! Kalau kamu memang belum punya istri, cepat nikahi aku secara resmi sekarang juga! Aku akan datang ke Sidoarjo sekarang juga!” ancam Melati.“Sayang, tenangin diri dulu, jangan gegabah. Menikah secara resmi itu nggak gampang, harus banyak persiapan. Kamu harus percaya sama aku, suatu saat kita pasti akan menikah secara resmi.” Suara Adam terdengar tenang.Mendengar suara Adam yang begitu tenang, rasa curiga Melati kembali berkurang.“Kamu percaya sama aku, ya? Jangan mikir macem-macem, ok?” ucap Adam.“Iya Mas,” sahut Melati.Namun, di pikiran Melati masih belum tenang. Dia masih berpikir keras tentang wanita dan bocah perempuan yang ada di foto bersama Adam. Mereka memang terlihat begitu dekat di fotonya. Melati menarik napas dalam.“Mas, aku mau tanya sesuatu boleh?” tanya Melati kemudian.“Tanya apa?” Adam balik bertanya.“Emmm, Mas Adam punya kakak perempuan dan keponakan perempuan yang masih kecil?” Melati mengatur napasnya yang memburu.Hatinya sungguh tak tenang. Melati berharap Adam menjawab iya.“Kenapa kamu tanya seperti itu Sayang?” Suara Adam terdengar heran.“Ya, cuma pengen tahu aja Mas. Emmm, kamu ingat sama sahabatku, Reina?” tanya Melati.“Iya, ingat. Kenapa?” tanya Adam lagi.“Dia, kan, ikut suaminya tinggal di Sidoarjo. Terus nggak sengaja lihat kamu sama perempuan dan bocah perempuan kecil. Dia bilang ke aku, kebetulan dia lagi di Surabaya sekarang.” Melati berkata dengan jujur.Adam terdiam. Dia seperti bingung mau menjawab apa.“Mas? Mas Adam? Kamu dengar, kan, aku ngomong apa?” tanya Melati.“Apa Sayang? Mas nggak dengar, halo, halo.” Tiba-tiba sambungan langsung terputus.Melati merasa heran, kenapa teleponnya tiba-tiba terputus.“Masak iya di kota jaringannya buruk?” tanya Melati pada dirinya sendiri.“Sayang, maaf, ya, tadi tiba-tiba terputus. Sudah malam, mending kamu sekarang istirahat saja dulu. Besok aku akan ke Surabaya.” Pesan dari Adam membuat Melati tersenyum bahagia.“Sungguh Mas?” tanya Melati.“Iya,” jawab Adam melalui pesan.Setelah itu, Melati pun menutup ponselnya. Dia tersenyum membayangkan besok akan bertemu dengan Adam. Melati pun melangkah menuju dapur, dia pun ingin memakan masakan padang yang dibeli tadi. Melati sampai lupa kalau belum makan. Semua ini gara-gara informasi tidak jelas dari Reina. Namun, Melati tidak menyalahkan Reina, dia yakin sahabatnya itu ingin yang terbaik untuk Melati.***Sementara, di tempat Adam, laki-laki itu kebingungan. Dia berkali-kali menjambak rambutnya dengan kasar.“Bagaimana kalau Melati sampai curiga? Apalagi sahabatnya tinggal di sini.” Adam bermonolog.“Papa kenapa?” Tiba-tiba seorang wanita berhijab lebar sudah berada di samping Adam. Adam langsung menoleh dengan kaget.“Eh, Ma, nggak kenapa-kenapa, ini Papa bingung, besok harus ke Surabaya lagi. Mama nggak apa-apa ditinggal lagi?” Adam berusaha berkata dengan setenang mungkin.“Ya nggak apa-apa, Pa. Kan, biasanya Papa juga pergi ke sana.” Wanita yang ternyata istri Adam itu tersenyum menatap Adam.“Tapi, kali ini sepertinya lama Ma. Mama nggak keberatan?” tanya Adam sambil menatap wanita di hadapannya.Wanita itu tersenyum, lalu menggelayut mesra di lengan Adam.“Papa kayak nggak kenal Mama. Kita ini sudah hampir 8 tahun berumah tangga Pa. Mama udah biasa, kan, Papa tinggal ke luar kota, malah dulu pernah ke luar Jawa juga karena urusan bisnis. Lah, sekarang cuma di Surabaya, deket aja kok. Mama bisa nyusul kalau kangen.” Wanita itu langsung menyenderkan kepalanya di pundak Adam.Adam tersenyum kecut. Dia merasa menjadi penjahat. Istrinya ini begitu tulus menyayangi Adam, tetapi Adam telah mengkhianatinya. Namun, Adam sudah telanjur jatuh hati pada Melati sejak pertama kali bertemu. Adam melihat Melati gadis yang begitu baik dan polos, dia juga merasa Melati berbeda dari perempuan pada umumnya. Dia wanita yang begitu mandiri dan tegas. Namun, salahnya dia berbohong pada Melati, mengatakan pada Melati kalau dia masih single. Adam tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Melati sampai tahu yang sebenarnya. Adam menarik napas dalam.“Papa kenapa? Kok, kayak resah gitu. Apa ada masalah Pa? Masalah di kantor mungkin.” Aisyah, istri Adam, menoleh ke arah Adam dan menatapnya dengan dalam.“Nggak, kok, Ma. Nggak apa-apa.” Adam berusaha untuk tersenyum.“Papa nggak punya selingkuhan, kan, di Surabaya? Papa nggak punya simpanan, kan?” Pertanyaan Aisyah langsung menohok, membuat Adam membeku.“Pa, kok, diam. Jangan-jangan Papa punya simpanan di sana,” tebak Aisyah.“Eh, nggak, kok, Ma. Papa nggak mungkin kayak gitu. Papa sayang Mama dan Anindya, kalian berdua jiwa Papa.” Adam tersenyum, lalu mengecup kening Aisyah.Meskipun di dalam hati, perasaan Adam tidak keruan. Dia menyimpan ribuan kebohongan pada istrinya.“Papa mau pergi berapa lama?” tanya Aisyah lagi.“2 bulanan Ma, soalnya perusahaan cabang di sana lagi banyak masalah. Papa harus menanganinya Ma. Nggak apa-apa, kan, ditinggal 2 bulan?” tanya Adam.“Mama sih nggak masalah, Pa. Tapi, Anindya kayaknya yang nggak bisa lama-lama. Nanti mungkin kalau Anindya tanya, bisalah ajak nyusul ke sana.” Aisyah tersenyum memberikan solusi.“Eh, jangan! Jangan ke sana!” potong Adam dengan cepat.Aisyah mengernyitkan dahi saat mendengar jawaban Adam.“Loh, kenapa Pa? Kan, Surabaya-Sidoarjo nggak terlalu jauh, nggak masalah, kan, kalau kami ke sana? Kok, nggak boleh?” tanya Aisyah dengan heran.“Ma, Papa itu kerja. Jadi sebaiknya Mama nggak usah ke sana. Papa, kan, nggak liburan.” Adam berusaha menjawab dengan tenang agar Aisyah tidak curiga.“Bukan karena Papa takut ketahuan selingkuh?” Aisyah menatap tajam Adam.Pagi masih berembun ketika suara burung gereja mulai bersahutan di halaman rumah. Melati membuka tirai jendela kamarnya dan membiarkan sinar matahari masuk perlahan. Udara sejuk menelusup melalui celah jendela, membawa aroma rumput basah yang menenangkan. Namun, batinnya masih jauh dari tenang. Hatinya masih bising oleh suara-suara yang belum juga mereda.Ia menarik napas dalam, lalu mengambil ponsel. Tangannya sempat ragu, tetapi tetap membuka aplikasi pesan.Belum ada balasan.Pesan yang ia kirim semalam masih terlihat centang dua. Dibaca, tapi tetap dibungkam. Tak ada tanda-tanda bahwa Adam akan merespons. Melati menghela napas, lalu meletakkan ponsel di meja kecil dekat tempat tidur.Ia melangkah keluar kamar, membantu ibunya seperti biasa. Hari itu, cucian cukup banyak. Meski tubuh lelah, Melati tidak mengeluh. Justru, pekerjaan membuat pikirannya sedikit teralihkan.***Menjelang siang, saat Melati sedang menyapu halaman, ponselnya bergetar di saku celana. Sebuah nama muncul di
Mentari sudah tinggi, tapi semangat Melati seperti belum benar-benar terbit. Ia hanya duduk diam di beranda rumah, menggenggam cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Uapnya sudah tak lagi mengepul, menguap seperti semangatnya pagi ini. Pikirannya masih tertinggal pada percakapan semalam dengan Adam, juga pada luka lama yang kembali menganga.“Mel, kamu kenapa, Nak?” tanya Bu Halimah yang baru saja selesai menjemur pakaian. Suaranya pelan, tapi penuh perhatian.Melati buru-buru mengangkat wajah dan tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma pusing sedikit.”Bu Halimah memperhatikan anak gadisnya itu dengan tatapan lekat. Ia tidak sebodoh yang Melati kira. Sejak Melati pulang dari Jakarta, Bu Halimah sudah merasa ada yang aneh. Anaknya jadi sering melamun, kadang tertawa sendiri, lalu tiba-tiba murung. Ponsel yang dulu hampir tak lepas dari genggaman, kini lebih sering disimpan dan bahkan dimatikan.“Pusing karena apa? Habis mimpi buruk?” tanya Bu Halimah mencoba ringan.Melati mengan
Esok pagi, Melati mengerjap karena cahaya matahari menerobos masuk jendela. Matanya sebenarnya begitu berat untuk dibuka. Melati masih mengantuk karena semalam tidur sudah sangat larut. Napas dia embuskan dengan kasar. Dengan malas Melati bangun dan melangkah keluar kamar menuju kamar mandi.Melewati dapur untuk ke kamar mandi.“Anak gadis bangun, kok, matahari sudah tinggi. Gimana bisa cepet dapat jodoh, jodohnya dipatok ayam.” Ibu menggoda Melati ketika dia hendak masuk ke kamar mandi.Melati menoleh dan tersenyum. Ah, Ibu ... tidak tahu kalau anaknya ini sudah mendapat jodoh meskipun dia tidak lagi single.Tanpa menanggapi perkataan Bu Halimah Melati masuk kamar mandi dan menutup pintu. Melati bersender di balik pintu sambil menumpahkan kesedihan. Napas terasa sesak, cairan hangat pun mengalir membasahi pipi.Tuhan ... ampuni Hamba karena telah berbohong pada Ibu. Hamba tak berani berkata jujur kalau sudah menikah, karena hanya menikah siri dan bukan dengan pria single.Melati sege
Malam ini, Melati duduk di teras rumah bersama Bu Halimah. Menyaksikan kerlap-kerlip bintang di langit. Ya, suasana di rumah Melati ini memang tidak begitu ramai, karena rumahnya jauh dari jalan raya. Hanya jalan kampung kecil dan masih banyak pepohonan di sekitar. Jika malam, suasana hening dan terdengar suara jangkrik, yang sudah tidak terdengar di Kota Surabaya.“Melati, kapan kamu mau menikah?”Pertanyaan Bu Halimah sontak membuat Melati terkejut.Melati langsung menoleh.Aku harus menjawab apa atas pertanyaan Ibu? Aku sudah menikah meskipun hanya siri. Melati berkata dalam hati.“Melati kenapa diam? Ibu berniat menjodohkanmu dengan Rehan, anak Bi Minah yang rumahnya di pojok kampung sana.” Bu Halimah menunjuk ke arah utara.Melati masih bergeming, menunggu Bu Halimah melanjutkan perkataannya.“Dia anak yang baik, udah mapan, dan umurnya juga sudah matang. Dia juga berniat cari jodoh kata ibunya. Kamu kenal dia, ‘kan?” lanjut Bu Halimah.Melati menelan ludah, kemudian menghela nap
Keesokan harinya Melati memutuskan untuk pulang kampung sebentar. Dia ingin menenangkan diri. Selain itu juga kangen pada ibunya. Semalam Melati langsung memesan tiket kereta api secara online. Untung saja langsung ada.Pagi ini, Melati segera menuju stasiun Gubeng. Dia akan pulang menggunakan jasa kereta api.Setelah tiba di stasiun, dia berjalan menyusuri emperan stasiun. Orang-orang berlalu-lalang memenuhi emperan. Hendak pulang dan pergi. Menyatu dengan tukang asongan, penjaja koran, dan penjual makanan serta minuman. Hari masih sangat pagi saat Melati tiba di stasiun. Kereta tidak terlalu penuh, mungkin karena belum banyak orang yang hendak bepergian, mungkin juga memang bukan hari libur besar ataupun hari raya. Melati bernapas lega, karena bisa duduk santai sepanjang perjalanan. Dia bergegas masuk ke gerbong kereta.Tak lama kemudian, kereta api pun berdecit, melaju meninggalkan Kota Surabaya. Dia memandang ke luar jendela kereta. Menghirup napas dalam. Dia tidak izin pada Adam.
“Melati, Aisyah sedang sakit. Dia nggak boleh dengar kabar menyakitkan. Kalau aku cerita yang sesungguhnya di saat dia drop, aku takut dia akan tersiksa.” Adam mendekap Melati dari belakang.Mendengar pengakuan Adam, Melati hanya terdiam. Menahan isak tangis. Dada Melati teramat sesak. Kalau dia takut istrinya tersakiti, kenapa bermain api? Apakah dia tidak memikirkan Melati yang juga menderita karena hubungan tersembunyi ini? Mengapa hanya istri pertamanya saja yang perlu dijaga perasaan hatinya?“Pergi saja kamu, Mas. Jangan pernah ke sini lagi! Sebaiknya kita memang berpisah.” Suara Melati bergetar menahan amarah.“Sayang jangan pernah minta berpisah. Aku nggak mau. Sabarlah sebentar, saat ini Aisyah sedang sakit. Kondisinya benar-benar drop, karena itu aku harus menjaga perasaannya.” Adam menggenggam tangan Melati.“Memangnya sakit apa dia, Mas?” tanya Melati.“Gejala ginjal,” jawab Adam lirih.Mata Melati membelalak tak percaya. Ginjal? Begitu parahkah, sehingga Adam begitu khaw