Share

Bab 4. Kecurigaan

Hari Minggu, Melati sengaja tidak membangunkan Adam karena memang libur. Saat di Surabaya begini, Adam tidak terlalu sering pergi ke kantornya, karena memang hanya kantor cabang. Adam hanya memantau sesekali. Melati pun masuk kembali ke kamar sambil membawa secangkir kopi untuk Adam.

Terlihat Adam menggeliat. Lalu, matanya mengerjap dan tersenyum saat melihat wajah cantik Melati.

“Udah bangun Mas?” Melati melangkah ke ranjang dan duduk di pinggir ranjang.

Adam duduk dan bersender di dinding, lalu meraih tubuh Melati dan memeluknya. Lalu, mencium kedua pipi Melati bergantian.

“Terbangun karena mencium aroma kopi yang harum. Dan langsung nggak ngantuk karena lihat wajah istriku yang udah seger ini.” Adam mencubit hidung Melati dengan gemas.

“Ish, apa sih Mas? Gombal tahu! Udah sana mandi dulu, bau kecut,” seru Melati.

“Iya, sebentar. Aku minum kopi dulu biar segar.” Adam tersenyum genit pada Melati.

Melati hanya membalas dengan senyuman. Wanita itu menatap wajah tampan suaminya yang sedang minum kopi. Lalu, dia pun berlalu ke kamar mandi. Melati hanya menggeleng-geleng melihat tingkah suaminya.

Saat Adam sedang mandi, tiba-tiba ponsel Adam berdering. Melati membiarkannya, karena dia tak pernah lancang memegang ponsel suaminya itu. Namun, karena tak juga kunjung berhenti, Melati pun mengambil ponsel Adam yang tergeletak di nakas. Namun, kening Melati berkerut saat melihat nama yang tertera di layar ponsel suaminya. “Mama Aisya”, tetapi Melati berpikir mungkin itu nama dari mamanya Adam. Tanpa berpikir ulang, Melati pun menekan tombol warna hijau di ponsel suaminya.

“Assalamualaikum, Pa, kok, lama banget sih diangkatnya? Pasti kesiangan ya? Kebiasaan kalau hari Minggu nggak pernah bangun pagi.” Terdengar suara dari seberang yang membuat Melati terkaget.

Kening Melati mengkerut. Pa? Memangnya siapa yang telepon suaminya? Melati bertanya dalam hati. Atau jangan-jangan benar yang dibilang Reina, kalau sebenarnya suaminya sudah berkeluarga? Melati menarik napas dalam. Dadanya terasa begitu sesak.

“Halo, Pa. Kok, diam saja, sih?” tanya orang di seberang.

Bibir Melati kelu, napasnya kembang kempis. Akhirnya, dia pun mematikan sambungan telepon tersebut. Dia tak tahu harus menjawab apa. Dia pun tak tahu siapa yang menelepon suaminya itu. Kenapa panggilannya begitu pada Adam? Bersamaan dengan Adam yang keluar dari kamar mandi. Melati pun segera menghapus air matanya yang mengalir membasahi pipi.

“Sudah selesai mandinya Mas?” tanya Melati sambil tersenyum berusaha menutupi kesedihannya.

“Iya, mandi harus kilat dong. Kan, pengen cepat-cepat menghabiskan waktu berdua dengan kamu,” ucap Adam sambil tersenyum.

Entah, Melati tak merasa bahagia seperti biasanya saat mendengar rayuan dan gombalan dari Adam. Melati merasa Adam menyembunyikan sesuatu. Lalu, dia pun segera berlalu, dia mengatakan akan menyiapkan sarapan untuk mereka.

“Oh iya Mas, aku ke dapur dulu, mau masak. Oh iya barusan ada yang telepon saat kamu mandi, tapi nggak tahu siapa.” Melati pura-pura tidak tahu siapa yang menelepon suaminya itu, supaya Adam tidak curiga kalau Melati sudah mendengar siapa yang menelepon Adam tadi.

“Kok, nggak kamu angkat?” tanya Adam sok polos.

“Nggaklah, kan, teleponnya ke kamu, siapa tahu penting, kamu telepon balik gih,” ucap Melati.

Adam pun hanya mengangguk. Lalu, dia mengecek ponselnya dan matanya membelalak saat melihat bekas panggilannya tadi. Adam merasa kalau tadi teleponnya diterima oleh Melati, tapi saat Adam hendak bertanya ternyata Melati sudah keluar dari kamar. Kemudian, Adam pun menghubungi nomor Aisyah. Sementara, Melati masih berdiam di balik pintu kamar, dia ingin mendengar apa yang dibicarakan Adam dengan orang yang diteleponnya yang tadi memanggilnya dengan sebutan pa.

“Assalamualaikum Ma, tadi Mama telepon, ya?” tanya Adam.

“Iya, tapi Papa diam saja padahal udah diterima, apa signal susah di sana Pa?” tanya Aisyah dari seberang.

Perkataan Aisyah tentu membuat Adam merasa panas dingin. Telepon istri sahnya tadi sudah diterima, tetapi tak ada suara. Atau jangan-jangan Melati sudah menerimanya? Adam bertanya dalam hati. Namun, Adam segera menepis pikiran buruk tersebut.

“Tadi, Papa habis mandi Ma, jadi belum sempat ngomong, terus Papa matiin.” Adam terpaksa berbohong.

“Kirain kenapa Pa. Papa Anindya nanyain Papa terus, boleh ya Mama ajak Anindya ke Surabaya?” tanya Aisyah.

“Eh, ja-jangan Ma, Papa, kan, lagi kerja. Kalaupun Mama sama Anindya ke sini, Papa nggak mungkin bisa ajak Mama jalan-jalan.” Adam berusaha mencegah istri sahnya itu datang ke Surabaya.

“Ya udah kalau gitu, nanti Mama kasih penjelasan ke Anindya.” Aisyah terdengar pasrah.

“Ya udah Ma, Papa lagi sibuk. Nanti lagi kita sambung, ya,” ucap Adam.

Lalu, Adam pun mengakhiri panggilan teleponnya itu. Adam tidak sadar jika Melati mendengar semua percakapannya dari balik pintu. Air mata Melati tak bisa ditahan lagi. Dia begitu kaget dan syok dengan apa yang didengar, bahkan saat mendengar panggilan Mama dan Papa serta menyebut nama seseorang. Kenapa kamu harus berbohong dan menipuku Mas? Melati bertanya dalam hati. Melati menarik napas dalam. Untuk saat ini dia akan diam dulu, menunggu waktu yang pas untuk bertanya pada Adam. Melati harus bisa mengecek ponselnya, dia ingin mengetahui rahasia yang disembunyikan Adam darinya.

Melati pun segera menghapus air matanya dan bergegas menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Meskipun dadanya begitu sesak setelah mendengar kenyataan yang baru dia tahu, tetapi dia berusaha untuk bersikap biasa saja. Melati tidak boleh gegabah. Bisa jadi wanita yang dipanggil Mama tadi memang sahabatnya dan itu panggilan sayang mereka berdua. Dan Adam juga pernah berkata kalau anaknya itu sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Itu yang Melati ingat. Melati pun menarik napas dalam.

Cukup lama Melati bergelut di dapur, setelah beberapa saat akhirnya selesai juga. Dia segera memanggil Adam. Mereka pun menikmati sarapan dengan hikmat, tak ada candaan yang dilontarkan Melati pada Adam. Adam merasa ada yang aneh.

“Sayang, kamu kenapa? Kok, tumben diam, nggak kayak biasanya.” Adam menatap Melati dengan dalam.

“Mas, kenapa kamu nggak jujur aja padaku?” tanya Melati tanpa melihat ke arah Adam.

“Apa maksudmu? Aku nggak ngerti Mel.” Adam menghentikan aktivitas makannya dan mengangkat dagu Melati. Melati pun hanya terdiam, matanya sudah berkaca-kaca.

“Kamu nangis?” tanya Adam. “Sayang, kamu kenapa? Jangan diam saja kayak gini,” ucap Adam.

Melati langsung menangkis tangan Adam dengan kasar. Lalu, Melati berdiri dan meninggalkan Adam. Melati tak melanjutkan sarapannya, hatinya terlalu sakit hingga nafsu makannya langsung menguap begitu saja. Adam yang bingung dengan sikap Melati langsung berlari mengejar Melati yang keluar menuju balkon.

“Sayang, kamu sebenarnya kenapa?” tanya Adam.

“Nggak usah pura-pura nggak ngerti Mas! Sampai kapan kamu akan berbohong dan menutupi semuanya?! Jangan dikira aku bodoh dan nggak ngerti apa-apa!” sentak Melati.

“Sayang, coba kamu bicara pelan-pelan dan jangan sambil marah-marah nggak jelas gini,” ucap Adam dengan tenang.

“Apa katamu? Aku marah-marah nggak jelas? Aku marah padamu Mas! Kenapa marah? Karena kamu sudah menipuku! Kamu pikir aku nggak dengar pembicaraan kamu di telepon tadi? Bahkan aku lihat siapa yang nama yang tertera di layar ponselmu! Aku menerima panggilan itu dan mendengar dia memanggilmu Pa! Panggilan Pa itu sudah membuktikan kalau dia itu istrimu!” Melati begitu murka pada Adam. Dia memukul-mukul dada Adam.

“Penipu kamu Mas! Penipu!” sentak Melati sambil mendorong tubuh Adam.

“Sayang, dengarkan penjelasanku dulu.” Adam mendekap erat tubuh Melati. Melati berusaha untuk berontak, tetapi kalah karena tubuh Adam lebih besar dan tenaganya lebih kuat.

“Lepas Mas! Lepas! Aku benci kamu!” sentak Melati.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status