2 keluarga itu baru tau kalau ternyata, Ashana dan Gibran sudah saling kenal. Mereka ternyata bos dan anak magang di kantor setelah mengintrogasi sebentar.
Setelah introgasi mendadak selesai, baru akan dilakukan pemasangan cincin nikah. Kedua keluarga inti sudah berada di dalam kamar untuk menyaksikan momen ini. Pengantin baru ini duduk berhadapan diatas tempat tidur. Gibran, sudah menjulurkan tangannya karena Ashana akan menyematkan cincin nikah dijari manisnya. Setelah menyematkan cincin di jari Gibran, Ashana diminta mencium tangan sang suami. Ashana menurut saja dan Gibran hanya diam tanpa ekspresi saat Ashana mencium tangannya. "Sekarang giliran kamu Bang, yang menyematkan cincin di jari istrimu," titah bu Ratna, mama Gibran. "Maaf Ma, aku tidak bisa," ujar Gibran akhirnya berbicara. "Apa maksud kamu bicara begitu?" tanya pak Esa dengan suara sedikit meninggi. Sementara orang tua Ashana saling menggenggam memberi kekuatan satu sama lain karena takut putri bungsunya dipermainkan. Mendengar bagaimana menantu mereka menolak menyematkan cincin. Ashana dan Dea juga langsung saling tatap saat mendengar ucapan Gibran. "Bos sialan, apa maksudnya begitu? Mau bikin aku jadi janda mendadak?" batin Ashana kesal. "Ini bukan cincin milik Ashana, tentu jarinya tidak akan muat. Tukar cincin hanya sebuah simbolis, aku akan mengganti cincin ini dulu baru menyematkannya ke jarinya," ujar Gibran dengan tenang padahal yang lain perasaannya sudah campur aduk saat Gibran menolak. Mereka semua langsung lega mendengar penjelasan Gibran sedangkan Ashana malah melongo. Ia tidak menyangka bos gilanya itu memikirkan hal sampai segitunya. Setelah sesi memakai cincin selesai, mereka langsung meninggalkan hotel menuju rumah Ashana. Mereka tidak melangsungkan resepsi karena keadaan belum memungkinkan. Sesampainya di kediaman orang tua Ashana, mereka makan siang bersama terlebih dahulu. Orang tua Ashana, memang sudah menyiapkan ini walau mendadak setelah acara di ubah secara dadakan. Kedua keluarga inti dan terdekat makan siang bersama ditambah dengan kehadiran Dea dan Rio sebagai sahabat kedua mempelai. Para tetua terus ngobrol santai sementara pengantin baru hanya diam-diaman saja. "Calm banget si kamu, sakit ya?" bisik Dea ke Ashana yang kebetulan duduk berdekatan. "Nggak, lagi jaga image saja di depan mertua dan keluarganya," bisik Ashana balik. Dea tersenyum meledek. "Percuma jaga image, Pak Gibran sudah tau bobrok-bobrok kamu gara-gara di kantor." "Hush, tapi mertua dan keluarganya yang lain belum tau. Jadi aku masih perlu jaga image." Dea kembali tersenyum meledek sahabatnya itu yang tiba-tiba calm. Padahal biasanya petantang-petenteng, pecicilan dan ceria. "Kalian ngobrolin apa?" tanya bu Vera ke Ashana dan Dea. Ashana dan Dea tersenyum canggung. "Biasa, masalah kampus Bu." "Katanya kamu sudah mau lulus, mikirin apa lagi?" tanya bu Ratna. "Biasa Tante, masalah magang," celetuk Dea dan alhasil ia meringis kesakitan karena mendapat tendangan di tulang keringnya dari Ashana. "Dea kenapa?" tanya bu Vera. Dea dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa tante, hanya tidak sengaja kebentur kursi." Ashana berusaha menahan senyumnya saat mendengar alasan sahabatnya itu. Mereka lanjut makan siang setelah ngobrol sejenak. Setelah makan siang, Dea pamit pulang. Rio diminta mengantar Dea pulang walau Dea menolak tapi tetap Rio lakukan karena perintah dari tetua langsung. Ashana juga kembali ke kamarnya membereskan bajunya karena ia akan segera pindah ke rumah pribadi Gibran. Gibran memang sudah memiliki rumah tapi selama ini masih tinggal dengan oran tuanya karena masih sendiri. Berhubung hari ini ia sudah menikah, ia akhirnya akan menempati rumah itu. Ashana pun harus ikut dengan sang suami dan meninggalkan kedua orang tuanya. Ashana mempacking pakaiannya sendiri tanpa ditemani oleh Gibran karena suaminya menemani bapak-bapak yang lain ngobrol di ruang tamu. Setelah pakaian dan barang yang penting selesai masuk koper, ia pun bergabung di ruang tamu dengan 2 koper besar disampingnya. "Sudah mau berangkat Nak?" tanya bu Vera. Ashana mengangguk, ia tiba-tiba sedih akan meninggalkan orang tuanya. Ia tidak menyangka hari ini akan tiba begitu cepat. Ia dan Gibran pamitan dengan orang tua dan keluarga Ashana. Ashana sekuat mungkin menahan air matanya agar tidak menetes karena enggan membuat ibunya berat melepasnya. Setelah drama perpisahan, Ashana dan Gibran pamit, mereka berdua satu mobil karena langsung menuju rumah Gibran. Sementara orang tua Gibran ke rumah mereka dulu, kapan-kapan baru mereka akan mampir. Mereka sengaja memberi ruang buat pengantin baru itu untuk berduaan. Mengingat mereka menikah secara mendadak tanpa ada perkenalan walau mereka sudah kenal. Ashana takjub melihat rumah bertingkat 2 milik Gibran setelah sampai di rumah tersebut. Ia menarik 1 kopernya masuk mengikuti Gibran yang menarik 1 koper yang lain. Ashana terus mengikuti Gibran naik ke lantai 2 sampai mereka tiba disebuah kamar berukuran besar. Kamar itu terlihat belum pernah di tempati karena masih sangat polos. "Ini kamar kita," ujar Gibran akhirnya membuka suara setelah dari tadi diam-diaman terus. "Kita sekamar Paj?" tanya Ashana sedikit takut-takut. Gibran yang tadinya membelakangi Ashana, langsung menoleh menatap istrinya. "Iya, kita kan sudah suami istri. Kamu memangnya mau tidur dimana kalau bukan di kamar ini?" "Saya pikir Bapak akan menyiapkan kamar lain untuk saya," cicit Ashana sambil menunduk karena takut melihat tatapan Gibran. Tak Ashana meringis kala Gibran menyentil pelan dahinya. Ashana langsung menatap sengit Gibran sambil mengusap dahinya. "Buang semua pikiran aneh yang ada di otak kecil kamu itu. Ini pernikahan real, bukan pernikahan yang biasa kamu tonton atau baca di novel-novel." "Jadi maksud Bapak, kita tidak akan ada surat perjanjian atau semacamnya?" tanya Ashana memastikan lagi. "Saya tidak akan berbicara 2 kali, Ashana," ujar Gibran dengan tegas. Ashana langsung cemberut mendengar ucapan suaminya itu. Ia tidak menyangka Gibran akan melakukan hal itu, ia pikir Gibran akan seperti tokoh CEO yang ia baca di novel-novel. "Walking closetnya ada disebelah kamar mandi, kamu bisa menyusun pakaian kamu disana," ujar Gibran sambil menunjukan posisi yang ia maksud. "Oh iya Pak, jadi kita hanya tinggal berdua di rumah ini?" "Nanti akan ada pekerja yang akan saya siapkan tapi mungkin besok atau lusa baru masuk." Ashana hanya mengangguk paham. Ia baru tau kalau bosnya itu bisa bicara agak panjang walau masih selalu terdengar dingin. "Ashana, saya memang tidak akan membuat surat perjanjian atau semacamnya tapi saya punya satu permintaan ke kamu," ujar Gibran lagi. "Iya, apa Pak?" "Saya minta pernikahan ini kita rahasiakan dulu, kamu bisa?"Sesuai kesepakatan bersama, pernikahan Ashana dan Gibran dirahasiakan. Gibran tidak ingin membuat berita negatif untuk 2 keluarga jika tau mempelainya tiba-tiba diganti.Ashana tidak masalah sama sekali karena ke depannya ia masih bebas bermain tanpa harus pusing dengan status istri seorang CEO. Selama Ashana merasa diuntungkan, dia sama sekali tidak keberatan soal persyaratan yang diajukan Gibran.Hari pertama menjalani kehidupan menjadi seorang istri. Ashana belum melakukan apa-apa karena di rumah Gibran belum ada bahan makanan.Sekitar jam 6 pagi, Ashana sudah rapi dengan pakaian magangnya. Sementara itu Gibran baru bangun dan sedikit kaget melihat ada perempuan di dalam kamarnya."Kenapa ekspresi wajah Bapak seperti itu melihatku? Lupa kalau sudah punya istri?" tanya Ashana kala tengah menyisir rambutnya dan melihat Gibran dari pantulan cermin meja rias."Tidak, saya hanya kaget melihat kamu sudah rapi jam segini," elak Gibran."Harus dong karena nanti saya telat kalau berangkatny
2 keluarga itu baru tau kalau ternyata, Ashana dan Gibran sudah saling kenal. Mereka ternyata bos dan anak magang di kantor setelah mengintrogasi sebentar.Setelah introgasi mendadak selesai, baru akan dilakukan pemasangan cincin nikah. Kedua keluarga inti sudah berada di dalam kamar untuk menyaksikan momen ini.Pengantin baru ini duduk berhadapan diatas tempat tidur. Gibran, sudah menjulurkan tangannya karena Ashana akan menyematkan cincin nikah dijari manisnya.Setelah menyematkan cincin di jari Gibran, Ashana diminta mencium tangan sang suami. Ashana menurut saja dan Gibran hanya diam tanpa ekspresi saat Ashana mencium tangannya."Sekarang giliran kamu Bang, yang menyematkan cincin di jari istrimu," titah bu Ratna, mama Gibran."Maaf Ma, aku tidak bisa," ujar Gibran akhirnya berbicara."Apa maksud kamu bicara begitu?" tanya pak Esa dengan suara sedikit meninggi.Sementara orang tua Ashana saling menggenggam memberi kekuatan satu sama lain karena takut putri bungsunya dipermainkan.
Subuh-subuh Ashana, sudah bangun lebih awal dari biasanya. Setelah mandi, ia bersiap menuju kamar kakaknya untuk melihat persiapan sang kakak.Namun, langkah kakinya terhenti kala melihat orang tuanya, om dan tantenya kini duduk melingkar di ruang keluarga lantai 2. Ashana dengan ceria dan semangat menghampiri mereka."Selamat subuh semuanya," sapa Ashana dengan ceria.Mereka langsung menoleh menatap Ashana yang tampak bahagia itu. Ashana kaget kala melihat wajah murung mereka khususnya sang ayah."Kalian kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Ashana mulai khawatir melihat raut wajah keluarganya."Duduk dulu Cha," titah sang ibu."Ada apa Bu? MUAnya belum datang atau Kak Al belum bangun?" tanya Ashana.Ibunya menggelengkan kepalanya pelan. Ashana mulai semakin bingung sekaligus khawatir."Calon suami Kak Al kabur?" tanya Ashana lagi."Bukan tapi Aliyah lah yang kabur," ujar Effendy, om Ashana sekaligus kakak pak Aris." Apa Om? Kak Al kabur?" tanya Ashana kaget sampai intonasinya meninggi.
Gibran langsung menjauhkan wajahnya dengan tenang dari Syakilla saat Rio memergoki mereka. Sementara Ashana terus menunduk malu seakan baru ketahuan berbuat mesum padahal tidak terjadi apa-apa."Maaf Bos, saya mengganggu. Cuman mau mengantar kopi ini saja," ujar Rio menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil memperlihatkan secangkir kopi yang ia bawa."Letakan saja diatas meja," titah Gibran sambil berjalan ke kursinya."Kamu ... Kembali bekerja," titah Gibran lagi menatap Ashana yang sudah ikut menatapnya."Baik Pak, saya permisi dulu," ujar Ashana lalu ia keluar dengan perasaan jengkel."Dasar Bos Sedeng, ngapain panggil saya ke ruangannya kalau cuman seperti itu," gerutu Ashana sambil menendang-nendang udara melampiaskan emosinya.Ashana pun kembali ke ruangannya dan memulai bekerja sampai jam 5 sore baru mereka pulang kerja semua. Ashana sampai di rumahnya dengan langkah yang lunglai karena lelah bekerja.Suasana rumahnya lagi ramai-ramainya karena besok kakaknya akan menikah. Ia j
Seorang gadis muda berusia 19 tahun bernama, Ashana melangkah memasuki gedung pencakar langit dengan buru-buru. Ia memperlihatkan sebuah id card yang tergantung di lehernya ke satpam, tanda ia sudah punya akses untuk masuk.Setelah berhasil masuk, ia langsung mencari toilet karena saat ini ia kebelet pipis. Namun, saat akan belok ke bagian toilet ia tiba-tiba terjatuh ke lantai karena tabrakan dengan seseorang.Bugh"Awww, bokongku," ucap Ashana mengeluh sambil memegang bokongnya.Ia menengadah dan menatap seorang pria yang kini ikut menatapnya. "Kenapa malah lihatin saya? Minimal bantuin kek, kan saya jatuh juga karena anda!" ucap Ashana jengkel menatap pria itu yang hanya mematung menatapnya.Ashana menjulurkan tangan kanannya berharap pria itu bisa membantunya untuk berdiri karena bokongnya benar-benar sakit. Namun, yang terjadi pria itu pergi begitu saja tanpa memperdulikan Ashana."Astaga benar-benar ya, bukannya tanggung jawab malah ninggalin begitu saja!" teriak Ashana melihat