Malam itu, setelah segala rutinitas selesai dan Nenek sudah masuk ke kamar, aku duduk di sisi ranjang sambil merapikan selimut. Suasana kamar tenang, hanya ada suara angin malam yang sesekali menyelinap dari jendela yang sedikit terbuka. Mas Afnan sedang duduk di kursi dekat meja kecil sedang membaca sesuatu dari ponselnya, terlihat tenang seperti biasa.
Tapi, tidak di hatiku.
Semenjak kejadian tadi sore, pikiranku tak bisa diam. Tatapan Mas Afnan di spion, elusan lembut di kepala, dan cara dia begitu protektif, membuat satu pertanyaan itu terus berputar di benakku. Dan untuk memastikannya, aku harus bertanya secara langsung.
Ragu-ragu, aku menatapnya. “Mas ....”
Mas Afnan menoleh pelan, “Hm?”
Aku menarik napas. “Waktu di TPA tadi … Mas kayak marah. Atau—cemburu, ya?”
Hening. Mas Afnan hanya menatapku beberapa detik sebelum senyum tipis itu terbit di sudut bibirnya. Ia bangkit dari kursi, berj
Aku berjalan di samping Mas Afnan menuju teras depan rumah. Mobil dinas sudah terparkir, dan sopir Papa tampak bersiap menunggu di balik kemudi. Tapi tangan Mas Afnan masih menggenggam tanganku begitu erat, seolah enggan melepaskan walau hanya untuk sebentar.Aku menatapnya, lalu membungkuk sedikit untuk mengecup punggung tangannya dengan takzim. “Selamat bekerja, Suamiku,” ucapku lembut sambil tersenyum manis. “Semangat ya!”Tapi bukannya beranjak ke mobil, Mas Afnan malah menarikku ke pelukannya. Pelukan hangat dan erat yang penuh berat hati. “Masyaa Allah, Saf ... kamu semanis ini mah ikut sama aku aja yuk. Sekalian jalan-jalan.”Aku tertawa kecil, menahan rasa gugup yang sempat datang sesaat sebelum kami keluar tadi. “Mas nggak akan fokus kerja kalau aku ikut,” sahutku menggoda, mencoba membuat perpisahan ini terasa lebih ringan.Mas Afnan meringis, lalu cemberut seperti anak kecil yang permintaannya dit
Pagi itu udara terasa berbeda. Mungkin karena kenyataan bahwa hari ini Mas Afnan akan pergi untuk beberapa hari. Atau mungkin, karena pemandangan di hadapanku sekarang.Mas Afnan berdiri di depan cermin. Mengenakan celana bahan hitam dan kemeja putih yang rapi. Sebuah jas formal berwarna hitam ia kenakan menyempurnakan penampilannya. Baru kali ini aku melihatnya dalam balutan pakaian seperti itu. Dan jujur saja, aku terpaku. Dia tampak sangat ... tampan.Mataku menelusuri setiap detailnya. Rahangnya yang tegas, rambutnya yang disisir rapi, dan sorot matanya yang penuh percaya diri. Suamiku. Lelaki yang dulu kuanggap hanya jodoh titipan, sekarang berdiri di sana seperti tokoh utama dari cerita hidupku sendiri.Mas Afnan menoleh dan menemukan aku yang berdiri terdiam menatapnya. Senyum jahilnya langsung mengembang. “Kenapa? Baru sadar suaminya ganteng banget pakai jas kantor?” godanya sambil merapikan kerahnya.Aku buru-buru memalingkan wajah, m
“Kalau aku tahu ini yang mau Papa katakan,” ucap Mas Afnan terdengar dingin dan tegas. “Aku nggak akan pernah mau datang ke sini.”Aku menoleh ke arahnya. Nafas Mas Afnan masih memburu dengan rahang yang mengeras.Azzam yang duduk di seberang malah menyeringai kecil. “Kau pikir aku sudi kau datang kembali ke rumah ini?”Suasana langsung menegang. Mas Afnan menajamkan pandangan dan bersiap menyahut, tapi suara Papa mendadak menggelegar.“Sudah cukup kalian berdua!”Seketika ruang makan itu hening. Mas Afnan memalingkan wajahnya, sementara Azzam tampak menahan ejekannya.Papa melanjutkan, kali ini dengan nada lebih tenang tapi jelas berat, “Papa mohon, Nak. Ini semua juga demi masa depan kamu.”Aku bisa merasakan bagaimana hati Mas Afnan memberontak. “Dari awal aku udah bilang kan, kalau aku nggak mau ikut campur soal kantor.”Dan seperti yang kuduga, Azzam k
“Aku minta maaf, Safa. Maaf ... karena sudah membuat kamu menangis di malam pertama kita. Padahal, dari awal kamu tidak pernah memaksa aku, aku yang mengiyakan pernikahan ini terjadi.”Suara Mas Afnan terdengar berat. Seolah menahan sesal yang sudah lama tertahan. Aku menghela nafas panjang, lalu membalikkan tubuh. Menghadapkan sepenuhnya tubuhku ke arahnya, meski pelukannya belum juga terlepas dariku.Kutangkupkan tanganku di kedua sisi wajahnya yang hangat, tapi masih menyorot sendu. Aku menatap matanya dalam-dalam dan mencoba meyakinkannya dengan senyum terbaikku.“Tapi sekarang kamu udah berubah, Mas. Kamu udah jadi sosok suami yang baik buat aku. Bahkan, sekarang aku justru merasa istri yang paling beruntung di dunia ini karena memiliki kamu,” ucapku disertai tawa pelan.Niatku ingin mencairkan suasana, sekaligus agar Mas Afnan tidak perlu lagi merasa bersalah. Namun, Mas Afnan tetap diam.Sepasang matanya masih menatapku l
Aku hanya bisa diam di sofa dan mencoba terlihat tenang, meski dadaku ikut bergemuruh, sejak kulihat ekspresi Mas Afnan usai menerima telepon barusan. Wajahnya tegang, alisnya mengerut, dan nada bicaranya tadi pun terdengar seperti menahan sesuatu yang ingin diluapkan.Saat dia duduk di sampingku, aku langsung menoleh pelan, mencoba menebak-nebak isi pikirannya.“Mama minta kita ke Jakarta buat nginep,” ucapnya datar, tapi dari sorot matanya aku tahu hatinya tidak tenang.Tubuhku otomatis menegang. Jakarta. Rumah Mama Diana. Dan itu berarti ... Azzam.Aku menunduk sesaat, mencoba menyembunyikan reaksi gugupku. Tapi Mas Afnan rupanya masih terus bicara.“Kenapa Mama tiba-tiba nyuruh kita ke sana sih?” keluhnya dengan suara frustasi yang terdengar jelas. “Dan yang paling buat aku jengkel, Azzam juga ternyata sudah balik ke rumah. Aku rasa anak itu pasti ngadu yang aneh-aneh ke Mama.”Aku menahan nafas. Tengg
Malam semakin larut. Hanya suara detak jam dinding dan hembusan angin dari celah jendela yang menemani lamunanku. Di sebelahku, Mas Afnan sudah terlelap dalam tidurnya. Wajahnya terlihat damai sekali. Lelaki yang selama ini kusebut suami, yang dulu sempat membuatku menangis dalam diam, namun kini justru membuatku tersenyum tanpa alasan.Aku menatap wajahnya lama. Ada sesak yang perlahan menjalari dadaku. Air mata menetes tanpa bisa kutahan. Rasanya tak adil. Dia telah berusaha berubah, telah menjadi suami yang luar biasa untukku, tapi justru difitnah oleh saudaranya sendiri di hadapan orang tua mereka.“Kenapa, Azzam?” bisikku pelan dan hampir tak bersuara. “Kenapa kamu tega lakukan semua ini ke Mas Afnan?”Aku menyeka air mata yang terus mengalir. Aku tahu Mas Afnan tak pernah sempurna, kami melalui banyak luka, banyak hal yang membuatku hampir menyerah. Tapi hari ini, dia sudah berubah. Dia mencintaiku, dan aku bisa merasakannya.
Motor berhenti perlahan di depan TPA dan aku langsung melirik ke samping, melihat Mas Afnan yang masih duduk tegak, matanya menyapu sekeliling area itu dengan seksama. Lagi-lagi. Aku sampai harus menahan senyumku yang nyaris tumpah.“Tenang, Mas,” ucapku sambil menepuk pelan lengannya. “Nggak ada yang bisa gantikan posisi Mas di hati aku kok. Nggak usah cemburu.”Mas Afnan langsung memicingkan mata ke arahku, ekspresinya datar tapi aku tahu dia kepancing. “Siapa juga yang cemburu?” sahutnya ketus.Aku menahan tawa. Duh, Masku ini … muka kamu itu lho, udah kayak papan reklame yang tulisannya ‘aku cemburu’ tapi masih aja gengsi ngaku. Aku menyandarkan telapak tanganku pada tangannya yang masih menggenggam setang motor, lalu dengan cepat mengecup punggung tangannya, membuat dia langsung melirikku tajam dengan mata melebar.Aku menyeringai menggoda. “Udah sana berangkat, Mas. Nanti telat ngurusin Ma
Aku mencuci muka lagi dan lagi. Entah sudah berapa kali. Tapi hawa panas di wajahku masih belum juga reda. Rasanya pipiku seperti menyimpan bara api yang tak kunjung padam. Benar-benar panas.“Ya Allah, Safa ... tenang. Tenang,” gumamku pelan sambil menatap bayangan sendiri di cermin kamar mandi. Ya ampun, sudah seperti kepiting rebus saja pipiku ini.Padahal, ini bukan pertama kalinya Mas Afnan bersikap romantis. Bahkan, kami sudah lebih dari itu. Tapi kenapa sekarang rasanya beda, ya? Kenapa sentuhannya tadi bisa buat jantungku serasa hampir copot? Kenapa tatapannya terasa menusuk langsung ke dalam hati? Dan kenapa reaksiku harus secanggung dan segugup ini? Haduh, Safa.Aku menggerutu lagi sambil mengusap wajah dengan handuk kecil. Tapi belum sempat aku benar-benar menenangkan diri, suara ketukan pelan di pintu membuat tubuhku menegang seketika.Tok! Tok!“Saf … Safa,” panggil suara Mas Afnan. Suaranya
“Udah ah, Mas. Sana nunggu aja di meja makan,” ucapku pelan, mencoba mengusirnya dengan halus. Bukan karena tak suka, tapi karena aku sendiri sudah tak tahan dengan sikap manisnya yang makin hari makin bikin jantungku nyaris copot dari tempatnya.Tapi bukannya menjauh, Mas Afnan malah mematikan kompor. Aku refleks menoleh, terkejut. “Eh, lho—Mas?”Belum sempat kuprotes, tanganku ditarik lembut dan tubuhku diputar hingga aku kini berdiri menghadapnya sepenuhnya. Nafasku tercekat. Mata itu ... tatapan matanya yang lekat dan dalam membuatku tak bisa bergerak.Mas Afnan mengangkat tangannya, menyentuh rambutku yang memang hari ini aku cepol asal karena kupikir tidak akan ke mana-mana. Tangannya bergerak perlahan, merapikannya dengan gerakan lembut yang membuat leherku terasa panas.Aku baru saja akan berkata sesuatu saat jemarinya menyentuh bibirku.“Boleh?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Aku mene