“Apa, Tan? Aku? Aku yang nikah sama Kak Naren?” Masih dalam suasana menegangkan pasca diketahui, Bella sang mempelai wanita tak ditemukan di kamarnya. Jangankan Sheilla yang masih speecless mendengar perkataan tantenya barusan, seluruh penghuni rumah tidak ada yang tahu ke mana perginya Bella.
“Iya! Kamu gak salah dengar. Gantikan Bella demi tante, Sayang. Mau, ya?” Wanita paruh baya itu memegang kedua tangan Sheilla, seraya mengangguk meyakinkan keponakannya. “Cuma kamu yang bisa, Shei. Kamu sayang sama keluarga ini, kan? kamu gak mau, kan, kalau om sama tante harus menanggung malu karena ulah kakakmu, Bella?” Sheilla masih mematung. Bibirnya bergetar tak kuasa untuk berucap. Keringat dingin mulai mengucur di pelipis, bahkan juga tangannya yang digenggam Alma—sang tante. Entah ini permintaan atau perintah, sebab sejak Sheilla tinggal dan diurus di rumah ini, Alma tidak pernah bicara selembut sekarang. Mata Alma yang mulai berkaca-kaca membuat Sheilla semakin bimbang. “Om ….” “Kamu gak punya kekasih, kan, Shei? Bisa penuhi permintaan tante kamu?” potong pria berkaca mata yang berdiri menghadap jendela itu. Tidak disangka-sangka oleh Sheilla, jika om-nya juga mengharapkan hal yang sama darinya. Tarikan napas Sheilla semakin cepat. Dia menahan tangis, tidak menyangka sedikitpun alasan dia dibawa ke ruang make-up ternyata untuk hal seperti ini? Gadis itu memejamkan mata, mengumpulkan keberanian ‘tuk berbicara. “A-aku … Om … She-Sheilla gak bisa, Om. Maaf,” lirihnya. “Kenapa, sih, Shei?! Susah banget buat kamu bantu tante.” Alma mulai terlihat emosional. “Kamu itu kami yang urus dari kecil, seenggaknya lakukan ini untuk balas budi, bisa, kan?” Benar kata orang, utang uang bisa dibayar, tapi utang budi … sakit rasanya bila diungkit. “Sheilla bisa lakukan apa pun untuk Om dan Tante. Tapi, tidak untuk menikah. Sheilla masih belum menyelesaikan kuliah, dan lagi, Kak Naren itu, kan ….” “Kenapa Naren, Shei? Bukannya kamu juga sudah sangat mengenal pemuda itu. Setiap dia datang ke sini, kamu pun tampak akrab.” “Itu karena dia tunangan Kak Bella, calon suami anak Om dan Tante. Sheilla menganggapnya sebagai kakak sendiri. Mana mungkin Sheilla menikah dengannya.” “Kamu gak lihat, kan, di mana Bella?! Anak kurang ajar itu pergi dan sekarang tidak bisa dihubungi. Dia sudah melumuri kotoran di wajah keluarga ini.” “Papa ….” Alma menyela. Bagaimana pun sebagai seorang ibu, dia tidak rela jika sang anak dikutuk untuk kesalahan ini. Alma yakin, Bella punya alasan kenapa memilih pergi dari pernikahan yang tinggal beberapa menit lagi akan dilangsungkan. “Memang kenyataannya begitu, kan, Ma?” Om Wira mulai tersulut emosi. “Gara-gara mama terlalu sering memanjakan, anak itu jadi ngelunjak.” “Udah, dong, Om, Tante. Kenapa kalian malah jadi berantem, sih?” Sheilla frustasi. Dia mengusap wajah yang sudah berpoles riasan tipis. Baju kebaya berwarna cream melekat di tubuhnya, sesuai dresscode yang disiapkan di acara pernikahan sang kakak sepupu. “Karena itu kamu harus setuju, kalau kamu gak mau ada perdebatan di sini.” Kembali Alma menegaskan. Kata ‘harus’ bagai belati yang menusuk jantung Sheilla saat ini. Rasanya dia ingin mati saja. “Kamu gak boleh nolak, apalagi hanya karena kamu masih kuliah. Lagi pula, toh, yang biayaain kamu sekolah tinggi itu kami-kami juga,” lanjut Alma. Lagi-lagi, Sheilla menghela napas. “Kasih Sheilla waktu untuk pikirin ini dulu, ya, Tan. Sebentar aja,” mohon Sheilla. “Ok. Jangan lama-lama! Keluarga Naren menunggu keputusanmu.” Alma beranjak meninggalkan ruangan lebih dulu. Wira menyusul setelahnya. Ayah Bella itu mengusap puncak kepala Sheilla sebelum pergi. “Maaf kalau Om, terutama tante kamu terkesan memaksa,” ucap Wira. Sheilla menghela napas kasar. Degup jantungnya seakan berhenti saat itu juga. Tidak pernah dia membayangkan jika semua ini akan terjadi pada dirinya. Tangan Sheilla yang masih gemetar merogoh ponsel di dalam saku. Mengetikkan pesan pada laman chatting. Sepuluh menit dia menunggu balasan dari pesannya. Centang sudah berwarna biru, tapi pemuda yang merupakan kekasihnya itu tidak membalas. Lebih membingungkan lagi ketika Sheilla berusaha menelepon, nomor itu sudah tidak aktif. “Kamu di mana, sih, Jef?” gumam Sheilla. Pintu kembali terbuka, gadis itu menoleh. Sheilla tahu ini sudah waktunya dia memberi jawaban. “Gimana, Shei? Mau, ya, Nak?” Alma menatap Sheilla lekat. Tatapan penuh harap itu tak kuasa Sheilla tolak. “Demi Om dan Tante … hanya demi reputasi kalian. Sheilla mungkin tidak bisa mengembalikan apa yang sudah Sheilla terima dari keluarga ini.” Serta-merta Alma memeluk keponakan suaminya itu. “Terima kasih, Sayang. Tante janji setelah ini, tante akan bicara pada Naren supaya membiarkanmu tetap melanjutkan kuliah.” Sheilla mengangguk seraya mengulas senyum tipis. Kemudian setelah itu, sang tante memintanya untuk segera bersiap-siap. Dua orang penata rias membawa Sheilla ke tempat duduk yang sudah disediakan. “Bisa kita mulai?” tanya salah satu dari mereka. “Saya minta waktu sebentar,” jawab Sheilla. Dia melangkah menuju bilik toilet. Kembali, Sheilla menghubungi nomor Jefri. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Gadis itu memutuskan untuk mengirim pesan. ‘Kamu harus tau apa yang terjadi sama aku, Jef. Kak Bella kabur dari rumah dan sekarang aku diminta menggantikannya di pelaminan. Kalau kamu benar sayang sama aku … tolong datang secepatnya ke rumah om-ku.’ *** Alarm berbunyi nyaring, mengusik ketenangan tidur Jefri. Dia lantas terjaga. Buru-buru mengambil jam wekernya dan mematikan bunyi alarm yang bising itu. Pukul 08.30, Jefri melotot. Siapa yang menyetel waktu alarm di jam segini, pikirnya. Dia menoleh ke samping tempat tidur. Pemuda 24 tahun tersebut menepuk dahi. Lupa, Jefri tidak sedang berada di kamarnya, melainkan di kamar apartemen milik Priska. Wanita malang itu bahkan masih tertidur pulas dengan tubuh nyaris tanpa busana. "Pris ... ah!" Jefri menyingkap selimut. "Gue jadi terlambat gara-gara lo," umpatnya. Priska menggeliat. Bibirnya menyunggingkan senyum smirk. "Kenapa, sih, Sayang. Heum ... minta tambah? Ayo!" "Gila apa! Gue ada janji. Hari ini, hari pernikahan sepupunya Sheilla. Gue udah bilang ke dia bakal hadir. Coba lihat! Jam berapa ini? Bego banget lo nyetel alarm jam segini," oceh Jefri. Tangannya sibuk mengaitkan satu persatu kancing kemeja. Selesai berpakaian, Jefri tak lupa meraih benda pipih miliknya di atas meja. Senyap, tidak satupun notifikasi. "Aneh, biasanya Sheilla bakal terus neleponin kalo telat. Ini, kok, nggak?" Curiga, Jefri memeriksa ponselnya. "Kok, mati? Gak mungkin lowbat, kan? Perasaan semalem sebelum tidur di-cas sampe full. Aduh, Sheilla gak bakal ngampunin gue kalo gini ceritanya." "Ck! Sheilla, Sheilla, Sheilla terus yang ada di kepala lo. Lo lupa apa yang udah kita lewatin semalam, hah?! Atau jangan-jangan lo main sambil bayangin kalo gue ini Sheilla, iya, Jef?" sewot Priska. Wanita itu sudah berdiri dengan tubuh berbalut selimut. "Kalaupun iya, apa masalah lo. Yang penting lo puas, kan?!" ketus Jefri. Dia sejenak terdiam merasai pening di kepalanya akibat efek alkohol semalam belum sepenuhnya hilang. Sambil berusaha menyalakan ponsel, Jefri bergegas membasuh wajah. Air kran mengalir yang dia gunakan membuat keadaannya sedikit lebih baik. "Chat dari Sheilla udah dibaca?" Seketika Jefri kembali menghampiri Priska. "Ini perbuatan lo, iya, kan?!" bentaknya. "Apa, sih!" Priska masih pura-pura tidak mengerti. Dia asyik menikmati sebatang nikotin tanpa peduli amarah di mata Jefri. "Lo baca pesan dari Sheilla, lo juga matiin ponsel. Sheilla nelepon gue berkali-kali." "Santai aja lagi. Sepupunya, kan, yang nikah, bukan si Sheilla lo itu. Telat dikit wajar lah namanya juga tamu undangan takut banget gak kebagian makanan perasmanan." Priska mulai ikut tersulut seperti sebatang rokok yang terselip di antara dua jemarinya. Benda bulat yang baru separuh habis itu dia letakkan di atas asbak. "Itu dia masalahnya," lirih Jefri. "Ah, gak guna ngomong sama lo!" Jefri berlalu setelah membentak Priska. Namun, belum sampai memegang gagang pintu, Priska memanggilnya. "Tuh, ambil. Butuh, kan, lo buat beli bensin. Asal lo tau, kalo lo sama Sheilla, lo gak bakal dapet semua itu. Uang dan juga kenikmatan. Pacaran berapa lama lo sama Sheilla, pernah gak dia ngajak lo kayak gue ngajak lo begini? Gak pernah, kan?! Dah, pergi sana! Kejar cewek lo yang gak berguna itu. Jangan sampe lo balik lagi ke sini mohon-mohon ke gue." Hilang harga diri, Jefri sudah mengakui hal itu sejak lama. Tepatnya sejak mengenal wanita bernama Priska yang tak lain bosnya sendiri. Sekarang, bukan waktunya memikirkan nasib sialnya yang harus terjebak dengan buaya betina di hadapannya itu. Masalahnya, Sheilla dipaksa menikah. "Apa dia itu lagi ngerjain gue kali, ya? Gara-gara gue gak datang-datang plus susah dihubungi?" Batin Jefri. Dia sudah berada di baseman apartemen. Merogoh kantung celana dan mengambil kunci motornya. Tak lupa sebelum pergi, Jefri memindahkan uang yang diberikan Priska, dari saku ke dalam dompet.”Lo tau gue udah balik, tapi lo gak ada niatan buat nemuin gue gitu?” Suara Bella masih bisa Sheilla dengar di seberang sana. “Kenapa? Terlalu nyaman lo, ya, sama posisi lo sekarang. Inget, Sheilla, kalo bukan karena gue lo gak bakal ada di tempatnya Naren sekarang.”“Apa-apa? Karena Kakak?" Sheilla tersenyum kecut. "Kenapa, Kak Bella nyesel?” tanyanya.“Kalo iya, lo mau balikin Naren ke gue?”Sheilla memindahkan ponsel ke telinga kiri. Tangan kanannya memilin ujung kaus yang dia kenakan. Lantas mendongak menatap Narendra. Dalam satu garis lurus tatapan mereka bertemu. “Kak Naren bukan barang yang bisa Kakak taruh gitu aja, lalu Kakak ambil lagi ketika Kakak membutuhkannya.” Dapat Sheilla lihat Narendra sedikit terkejut dengan apa yang diucapkannya. Dia terus saja menatap.“Dan, ya, kali ini … boleh aku serakah? Aku mau tetap di sini. Lagi pula, Tante Alma sendiri yang sudah mengusirku keluar dari rumah kalian. Aku tidak punya tempat kembali selain tetap berada di sini.” Lanjut Sheill
Meminta Jenar pulang lebih dulu bersama anak-menantunya, sementara Hasan masuk ke dalam mobil yang sudah ada sopir siaga di sana. Duduk di bangku belakang seraya mendial nomor Wira."Kita bertemu di kantorku," ucap Hasan singkat, mengakhiri panggilannya.Hasan tiba tepat ketika Wira juga turun dari mobil. Keduanya lantas masuk ke dalam kabin lift demi bisa ke lantai paling atas. Tempat di mana ruangan Hasan berada."Soal film itu, aku baru saja menontonnya dengan anak-anak, juga Jenar," ungkap Hasan begitu dia duduk di atas sofa. Wira meneliti penampilan Hasan lantas membalas, "Pantas, pakaianmu tidak seperti biasanya. Lalu, apa kamu tidak memperhatikan ada yang aneh dengan penayangan film itu?""Entahlah, mungkin karena terlalu senang dengan perubahan sikap Narendra beberapa hari ini, aku sampai tidak memperhatikan yang lain." Hasan tidak mengerti kapan Narendra mulai bersikap tak acuh padanya. Seingat Hasan, setelah pertunangan Naren dengan Bella. Bukan! Jauh sebelum itu. Pertama,
Pagi-pagi sekali Asisten pribadi Narendra sudah datang. Sudah berada di ruang kerja sejak pukul enam. Narendra menekuri layar kemudian mendongak. "Jadi bagaimana?" "Tuan Besar belum bereaksi apa pun, Tuan." "Papa belum bereaksi apa-apa padahal penanyangan film sudah hampir satu pekan?" Narendra menautkan ke sepuluh jemarinya. "Apa dia tidak memperhatikan berita? Apa mungkin seseorang yang memimpin perusahaan, yang bergerak di bidang industri media, sama sekali tidak update? Dia punya portal berita yang tentu ikut andil menayangkan promosi film ini, bukan?" "Sepertinya Tuan Besar memang tidak terlalu peduli. Saya rasa, Tuan harus mengajaknya menonton film itu. Mungkin dengan begitu dia baru akan bereaksi." Narendra mengangguk-angguk, kemudian meminta Asprinya turun untuk sarapan. "Saya harus ajak Papa nonton film nya, kan? Well, dengan bergabung di meja makan," ungkap Narendra ketika asisten pribadinya itu hanya menatap datar seolah sedang mempertanyakan, tumben mau ikut sarapan? B
Sesampainya di rumah, Narendra memanggil Ratih, pembantu yang biasa membereskan kamarnya. Tidak perlu banyak tanya, wanita 40 tahunan itu langsung menceritakan yang terjadi sepanjang hari ini hingga berakhir Chiko tidak ada di kamar."Nyonya tadi minta kucing itu di bawa ke penampungan hewan liar, Tuan," tutur Ratih. "Bibi hari ini gak kerja." Dia mengeluh sakit. "Jadi, tadi Nena yang bereskan kamar Tuan Muda. Nena bilang kucingnya lompat ke depan dia, terus dia kaget dan teriak. Maafin bibi, ya, Tuan, Non Sheilla.""Gak apa-apa, Bi. Segitunya gak suka kucing sampe di bawa ke Shelter hewan. Chiko bukan kucing liar, ya, yang harus ditampung di penampungan. Dia aku adopsi, lho.""Shei ...." Sheilla menoleh ke sumber suara. Narendra menatapnya seperti sebuah peringatan. Sheilla tahu, ucapannya barusan menyinggung Narendra. Bagaimanapun, yang bermasalah dengan hewan peliharaannya ialah ibu kandung lelaki itu."Kita cari Chiko besok. Mama bukan gak suka kucing, dia hanya …." Narendra tida
Libur akhir pekan, rasanya berdiam diri saja tidak cukup membuat Sheilla betah. Padahal segala sesuatu sudah tersedia di rumah ini. Sheilla menutup layar laptop begitu satu gambarnya dia rampungkan. Beralih pada tas mengambil kartu nama dan ponsel. Sheilla mengetikkan nomor yang tertera di kartu nama tersebut. Mendialnya sampai nada panggilan bersambut."Udah beres?" tanya Sheilla setelah menyebutkan namanya pada lawan bicara di seberang sambungan. "Kira-kira berapa, ya, biayanya? Terus itu ... file-file saya gak hilang, kan?"Narendra memperhatikan Sheilla dari belakang. Dia baru saja masuk setelah berbincang dengan Andrew di ruang kerjanya. "Saya ambil nanti. Kira-kira sejam'an lagi, ya."Begitu telepon berakhir, Sheilla beranjak dari kursi. Sudah membawa serta tas dan ponselnya. Dia terkejut mendapati Narendra sudah ada di belakangnya."Mau ke mana?" tanya Narendra."A-aku mau ambil laptopku yang diperbaiki di tempat servis," jawab Sheilla sekenanya. Enggan menatap Narendra. Dia t
Tyana Bella Wira Utami— gadis yang kabur di hari seharusnya dia menikah—itu baru saja keluar dari persembunyiannya. Oh, tidak! Lebih tepatnya, dari balik bilik toilet. Wajah kusut dengan rambut berantakannya sudah bisa ditebak. Bella tidak sedang baik-baik saja. Sudah beberapa hari ini dia mengeluh pusing. Perutnya acapkali mual setiap kepalanya berdenyut. Rasa ingin mengeluarkan seisi perut, tapi saat terjadi, justru tidak ada yang keluar selain cairan dari air yang terakhir dia minun—sebagai upaya menetralkan rasa mualnya. Pagi ini, setelah memutuskan untuk memeriksa keadaannya, Bella tertunduk di sisi ranjang, membelakangi seonggok daging yang masih tertidur pulas. Ya, siapa lagi dia kalau bukan seseorang yang membuatnya dalam situasi sekarang ini."Ga ... Rangga bangun." Bella memanggil lelaki itu, pelan. Suaranya nyaris hilang sebab menahan isak yang tak mampu dia keluarkan."Rangga," ulangnya, sedikit meninggi. Nihil, laki-laki yang tidur bahkan tak memakai baju itu hanya mengg