Share

Part 4 Para Penolong

"Di mana ini?" Suara lirih itu mengalihkan perhatian beberapa wanita yang sedang duduk memperhatikan katalog produk kecantikan. Wanita paruh baya yang duduk di sofa tunggal itu pun menghampirinya dan tersenyum hangat padanya.

"Kepala kamu masih pusing? Ada yang sakit?" tanyanya masih dengan senyum yang terpatri di wajahnya. Wanita yang menurut Arum terlihat begitu cantik dan berkelas diusianya yang sudah tidak muda lagi.

"Saya baik-baik saja. Di mana ini? Apa Nyonya yang membawa saya ke tempat ini? Apa ba-"

"Dia sehat, bertahan demi ibunya," selanya.

Arum menghela lega karena bayi dalam kandungannya baik-baik saja. Sempat terpikir hal buruk ketika merasakan sakit seperti tertusuk di bagian perut. Keterbatasan biaya membuatnya tidak ke rumah sakit memeriksakan kandungannya.

"Kata putra teman saya, kamu kelelahan dan stres. Itu tidak baik loh untuk wanita hamil," lanjutnya masih dengan tersenyum. 

Seorang lagi turut menghampiri. "Saat ini kamu di klinik. Tadi pingsan di depan butik tempat saya dan menantu saya belanja. Keluhan kamu apa?" tanya seorang wanita lainnya layaknya seorang dokter.

Arumi hanya menggeleng pelan sebagai jawaban. Usapan lembut wanita yang pertama kali menghampirinya itu di punggung tangannya menyalurkan ketenangan. Kembali terdiam, Arum menatap selang infus di tangan kirinya. Pikirannya kembali bagai roll film yang bergerak mundur. 

Pertemuannya dengan Akram yang tidak pernah ia duga akan bertemu pria itu di sana membuatnya panik seketika. Refleks memegangi perutnya dan beranjak pergi secepatnya. Sejauh yang ia bisa. Bertanya-tanya mungkinkah pria itu sengaja mendatanginya? 

"Rasanya tidak mungkin! Dia tidak mungkin tahu," batin Arum.

Taksi yang ditumpanginya tadi mogok karena ban belakang mobilnya kempes. Terpaksa ia harus turun walau baru saja taksi itu bergerak kurang lebih sekitar satu kilometer. Masuk melewati lorong pasar tradisional agar bisa berkamuflase di sana. Langkahnya bergerak cepat dan tidak ingin menoleh sedikit pun. Menahan diri untuk tidak berlari meski ketakutan itu seakan mengejarnya. 

Hingga akhirnya ia tiba di sisi jalan di gerbang keluar pasar. Lega karena pikiran buruknya tidak terjadi. Akram, pria itu sama sekali tidak mengejarnya. Mungkin lupa atau memang tidak pernah menganggap dirinya sama sekali. Termasuk kejadian malam itu. Malam terkutuk yang sudah menghancurkan kehidupannya.

Pria dari keluarga kaya dan terpandang itu tentu tidak tertarik pada wanita sepertinya. Jangankan berniat bertanggung jawab, mungkin menyadari kesalahannya saja tidak. Bahkan mungkin saja di mata pria itu... dirinya hanya ibarat kertas biasa. Sekali ditulisi, disimpan sejenak dalam tumpukan kemudian akhirnya harus dibuang. Berakhir di tempat sampah yang menjijikan. Atau mungkin saja di mata pria itu, dirinya ibarat pakaian sekali pakai. Tidak berarti.

Saat tahu dirinya hamil, Arum dilanda kebingungan. Melamun seakan menjadi kebiasaan baru baginya dan berdampak pada kinerjanya. Belum lagi kondisi tubuhnya yang bisa dikata tidak bersahabat. Dirinya mengalami gejala awal kehamilan yang benar-benar menyiksanya. 

Baru hampir sebulan ini kondisinya mulai membaik. Mualnya juga sedikit berkurang dan nafsu makannya perlahan bertambah. Sedikit lebih baik dari kondisi tiga bulan sebelumnya yang memaksanya harus resign dari pekerjaannya. Tidak ada sehari pun dilaluinya dengan nyaman. Jika saja westafel dan cermin toilet bisa bicara, mungkin akan mengeluh bosan melihatnya. 

Sampai ketika ia nyaris membuat kerugian besar bagi perusahaan tempatnya bekerja. Arum menyadari jika terus berada di sana, semuanya akan memburuk. Bukan hanya kinerjanya yang akan menurun, tapi kehamilannya juga akan terungkap. 

Beruntung atasannya memahami kondisinya yang belakangan memang tidak sehat. Alasan sakit dan ingin berobat bisa mereka terima. Untuk jujur jika kondisinya tengah berbadan dua, dirinya tidak mengatakannya pada siapapun. Arum tidak sanggup menahan malu. Malu? Tentu saja. 

Dirinya hamil diluar nikah karena dinodai pria yang sedang mabuk itu. Arum sungguh menyesali keputusannya malam itu menolong Akram. Dirinya justru terjerat dalam sangkar dan dijadikan hidangan untuk pria yang setengah sadar. Bukan hanya amarah yang hadir, tapi juga benci setiap kali mengingat wajah dan ucapan Akram.

Pernah sekali Arum datang ke kantor Yayasan HAS ingin menemui Hastuti. Tepatnya sehari setelah ia tahu dirinya hamil. Mengandung benih dari pria yang tidak pernah ia sangka akan merenggut kesuciannya. Dirinya sendiri bingung bagaimana bisa malam itu dirinya berakhir di tempat tidur yang sama dengan Akram dalam kondisi yang sudah berbeda.

Keponakan dari Ibu Hastuti dan Pak Haslanuddin itu terlihat seperti pria baik-baik. Tapi ketika tiba di sana, dia dapati kabar jika yang dicarinya sedang ke Singapura. Tidak tahu kapan tepatnya wanita itu akan kembali. Wanita pemilik yayasan itu juga tengah berobat ke luar negri. 

Berkali-kali ia mencoba menghubungi Akram. Namun pria itu benar-benar hilang ditelan bumi. Mencoba peruntungan dengan mencoba datang ke rumah orang tua pria itu. Berbekal alamat yang didapatnya dari sekretaris Hastuti. Alasannya tentu saja tentang pekerjaan. Sayangnya harapan Arum harus kandas. Rumah besar dengan pagar tinggi itu seperti tidak berpenghuni. 

Saat bertanya pada satpam yang berjaga, ia pun tahu jika pemilik rumah adalah orang yang sangat sibuk. Arum pun akhirnya menyadari jika Akram adalah putra salah satu politikus yang berpengaruh di kota ini. Ibunya adalah salah seorang dokter spesialis kulit, sekaligus pemilik salah satu klinik kecantikan yang terkenal di kota ini. 

Fakta itu semakin menyurutkan semangat Arum untuk meminta pertanggungjawaban Akram. Bahkan jika pria itu mengatakan ia ingin bertanggung jawab atas perbuatannya, sepertinya dirinyalah yang harus menolak. Belum tentu keluarga pria itu mau menerima dirinya. 

Selama ini Akram selalu bersikap sopan padanya. Walau terkadang ia bisa menangkap tatapan intens pria itu padanya. Perdebatan kadang menjadi hiburan tersendiri kala meladeni pendapat Akram. Tapi sekarang pandangan itu berubah jadi benci.

"Nak, kamu dengar suara saya?" tanyanya seraya meremas lembut tangan kanan Arum. 

Suara lembut itu kembali menyadarkan Arum dari kemelut pikirannya. Tatapan hangat dan senyum menenangkan seorang ibu yang dirindukannya. Seperti tatapan dari pemilik tempatnya bekerja dulu, Darwenda Pradipta.

"Saya baik-baik saja Nyonya, terima kasih sudah bawa saya ke sini. Bayi saya baik-baik saja kan?" tanya Arum sekali lagi. 

"Iya, dia baik-baik saja. Kamu yang tidak baik-baik saja. Wanita hamil itu harus menjaga kondisi tubuhnya," sahut suara lain yang tidak kalah lembut terdengar di telinganya. 

Kini mata Arum membelalak melihat siapa yang berdiri di samping tempatnya berbaring, Tania. Menantu dari pemilik perusahaan tempatnya dulu bekerja. Bagaimana bisa dirinya tiba-tiba bertemu wanita itu? Apa mungkin Tania yang membawanya ke sini? Ke mana perginya wanita berjilbab maroon tadi?

"Nyonya Tania?" ucap Arum ketika wanita yang berprofesi sebagai chef itu memeriksa dahinya.

"Hangat. Kita tidak sedang rapat dengan orang penting perusahaan Arum. Kita itu seumuran, buat apa kamu panggil aku dengan sebutan yang bikin aku ketuaan," ujarnya dengan wajah cemberut, namun beberapa detik kemudian kembali mengulas senyum. "Kamu penasaran ya Arum? Tadi katanya kamu pingsan di dekat sekolah paudnya si kembar."

"Sekarang kamu lagi di Klinik Mariska. Kamu pasti penasaran kan kenapa bisa ada di sini? Kamu kenapa keluar kalau lagi demam? Kamu jalan sendirian, ya?" tanya seorang wanita lain dengan suara yang ceria. Arum juga mengenal wanita itu. 

"Tanya itu satu-satu! Kamu kayak kakak kamu saja!" tegur wanita berjilbab tadi dengan wajah pura-pura galaknya.

"Ketularan Jendral Gib ini. Aluna kan cuma penasaran Ma? Iya kan Tania? Kamu juga penasaran kan?" tanya wanita berparas mirip Barbie itu kini mencari dukungan pada istri sahabatnya.

"Iya aku juga penasaran. Tadi Mbak Aluna cancel ketemuannya di Kafe ARU karena bawa kamu ke sini. Aku langsung teringat sama ucapan Safwan yang bilang ketemu kamu beberapa hari yang lalu di Kafe ARU," ujar Tania.

"Pertemuan mereka yang bikin kamu salah paham dan kira Safwan selingkuh? Iya kan?" goda wanita cantik bernama Aluna.

"Siapa yang tidak cemburu juga? Safwan bilangnya mau meeting sama klien. Tapi yang aku lihat dia ngobrol berdua sama cewek. Mana tahu kalau itu Arum. Safwan juga sih yang tidak bilang meeting sama pihak entertainment di Kafe ARU! Aku salah paham kan jadinya..." tuturnya membela diri. "Untung bukan selingkuh beneran."

"Bertiga dengan Pak Daffa," gumam Arum. Beberapa waktu lalu ia memang ke kafe itu untuk menemui pemilik toko grosiran untuk wawancara kerja.

"Pantas saja Safwan bilang cemburu kamu itu manis. Hahaha Tania... si Panda satu itu pasti ketawa bahagia deh! Eh... jangan bangun dulu! Arum, kamu itu belum fit. Tempat tidur kamu saja yang sedikit ditegakin ya?" ucapnya tanpa meminta persetujuan dengan menekan tombol di sisi hospital bed yang mulai bergerak. "Si kembarku yang pertama kali lihat kamu. Katanya kamu temannya Om Capwan mereka. Anak-anak aku bilang, pernah ketemu kamu di gedung tinggi. Kafe tempat makan favoritnya mereka."

Jujur saja Arum masih dilanda kebingungan. Ia memang mengenal Tania sebagai istri Safwan. Pria yang dulu menjabat sebagai Manajer Utama PLZT sekaligus CEO Pradipta Event Organizer. Perusahaan yang dirintis oleh Safwan sendiri. Sedangkan Aluna, Arum juga kenal karena dia adalah istri dari seorang dokter yang juga merupakan salah satu pemegang saham di PLZT. Tapi Arum tidak mengenal dua wanita paruh baya lainnya di ruangan ini. Termasuk si kembar yang dimaksud tadi.

"Maksudnya Mbak Aluna itu... Alfa sama Alme waktu kita ketemu di salah satu kafe yang ada di Hotel Pradipta. Ingatkan si kembar yang minta kenalan sama kamu waktu kita juga pertama kali ketemu di sana?" tanya Tania lagi dan akhirnya tersenyum ketika Arum mengangguk. "Oh ya, ini Tante Delia, tanteku. Safwan pernah kan minta tolong kamu pesankan oleh-oleh khas Ambon waktu kamu ikut tinjau ke sana? Nah, kain yang diminta Safwan itu buat tanteku ini."

"Dan itu tanteku sekaligus mama mertuaku," ucap Aluna mengenalkan wanita yang tadi juga sempat menghampirinya dan bertanya seperti dokter. "Neneknya Almeera. Batita cantik yang bikin heboh lobi kantor Pradipta tahun lalu. Kamu pasti ingat wawancara eksklusif CEO Pradipta Furniture sama batita cantik."

Arum tersenyum mengingat kehebohan itu dulu dan mengagumi kepercayaan diri batita menggemaskan itu. Batita kecil yang bilang kalau kacamatanya cantik. Pandangannya menoleh pada Delia yang mengusap sayang rambutnya. Tatapan mata wanita paruh baya dengan rambut disanggul sederhana itu sulit ia artikan. Ada kerinduan dan kehangatan dalam tatapannya.

Suara berisik semakin terdengar di depan pintu ruangan. Tania menggeleng dan Aluna menggedikkan bahu pertanda dirinya juga tidak tahu. Ketika pintu terbuka, muncul dua orang anak kecil. Anak laki-laki dan perempuan itu mengenakan pakaian mirip dengan versi berbeda. Kedua bocah berusia 3,5 tahun itu pun berlari menghampiri tempat tidur Arum dan tersenyum lebar. 

Ketika suara batuk Tania mengalihkan perhatian keduanya. Wajah cemberut Tania langsung berganti tawa ketika si kembar balik menggelitiknya. Suasana di ruangan itu pun mendadak ramai dengan suara tawa ketiganya.

"Tante Alum kenapa bisa pin-san?" tanya Almeera menoleh pada Arum tanpa melepaskan pelukannya pada Tania.

"Ayah tadi bilang na kecapean, Dek," ujar Alfathir yang menoleh pada sang ayah yang sedang merangkul bundanya. Pria yang ramah senyum itu mengangguk pada Arum.

"Iya, Tante Arumi kelelahan, badannya juga demam. Sepertinya belum sempat makan siang dan akhirnya pingsan," ujar suami Aluna yang masih mengenakan snellinya. 

Telinga Arum masih bisa mendengar suara berbisik kedua batita itu. Mengomentari kondisinya yang pucat dan membuat Arum penasaran seperti apa penampilannya sekarang. Pakaiannya sudah terganti dengan pakaian pasien. Mendengar Tania mengatakan kondisinya sudah mulai membaik, si kembar itu loncat-loncat berseru senang. Tanpa Arum duga, si kembar mengajaknya untuk jalan-jalan dan makan donat di kafe tempat mereka pertama kali bertemu dulu.

Dokter spesialis BTKV itu tersenyum ramah kemudian beranjak memeluk wanita paruh baya yang berjilbab maroon itu. "Mama sudah makan siang belum?"

"Belum, tadi panik waktu mama sama si kembar dapati Arum pingsan. Untung Aluna datang jemput setelah anterin map kamu yang tertukar. Mama panik lihat ada yang tiba-tiba ambruk terus dikerumuni tidak jauh dekat gerbang sekolah. Tahu sendiri kan bagaimana keponya anak-anak kamu? Nyeret neneknya karena penasaran. Eh, Alme langsung teriak memanggil Tante Aluuummm.... Alfa sih santai tenang kayak biasanya minta telpon kamu atau kakeknya. Anak itu tahu juga kalau hari ini kamu di klinik bukan di rumah sakit."

"Maaf sudah merepotkan," ucap Arum tertunduk dan air matanya mulai luruh.

"Eh, kenapa nangis?" tanya Mariska, wanita yang berjilbab maroon itu panik. "Saya nggak niat jahatin kamu. Saya cuma ngadu sama putra saya yang telat balas pesan."

"Kamu sih, Mar! Sudah tahu dia ibu hamil. Hormon wanita hamil itu tidak stabil dan perasaan mereka itu sensitif!" tegur Delia seraya duduk di tepi tempat tidur dan mengusap air mata Arum.

"Maaf, aku nggak kayak kamu sensinya waktu hamil. Makanya lupa! Kamu tahu sendiri aku keguguran mulu! Nggak sampai punya anak."

"Mama... jadi aku sama kakakku tidak dianggap nih?" kata Bara pura-pura merajuk.

"Upss, sorry Bara. Mama keceplosan! Lupa ada cucu yang kepo akut," lirih Mariska tersenyum mengusap sayang lengan putra angkatnya. Aluna dan Bara hanya mengulum senyum karena kedua anaknya sudah menatap bingung ke arah mereka bertiga. 

"Arum, kamu mau makan apa?" tanya Tania sambil mengusap sayang puncak kepala si kembar di kanan kirinya.

"Aku belum lapar," jawab Arum yang sebenarnya bingung ingin mengatakannya. 

Ada sebuah menu yang sangat ingin dinikmatinya. Tapi tentu saja ia tidak ingin merepotkan mereka semua. Sudah cukup membuat mereka kerepotan membawanya ke sini. Dirinya masih punya rasa malu.

Pintu ruangan kembali terbuka dan muncul Safwan membawa dua paper bag ukuran besar. Aroma masakan yang mulai tercium itu menerbitkan senyum di wajah Aluna. Wanita itu langsung melepaskan genggaman tangan suaminya kemudian menghampiri sahabatnya. Melirik kedua anak kembarnya dan memberi kode bahwa inilah yang sejak tadi mereka inginkan. 

"Eh, Aluna! Jangan asal main tarik-tarik aja! Istri aku bisa cemburu!" sewot Safwan yang merasa dirinya diseret paksa oleh sahabatnya. Ibu dari dua anak itu seakan lupa jika di sini juga ada suaminya yang bisa cemburu dengan tingkahnya. 

"Ck! Kamu dicemburuin? Tania mikir dua kali Saf! Kamu kan Aladin bucin. Lagipula, suami aku lebih dari segalanya! Aku nggak tertarik sama panda kayak kamu! Lebih keren suami aku yang kayak harimau putih. Levelnya beda banget sama kamu. Pesanan aku mana?" ungkapnya sambil berkacak pinggang di depan Safwan karena tidak mendapati bungkusan khusus.

"Nggak ada!" balas Safwan yang tidak kalah sewot ketika menyerahkan paper bag yang satunya lagi pada Aluna dan beranjak memeluk istrinya.

"Kamu batalkan rapat?" tanya Tania saat suaminya itu berdiri di belakangnya dan melingkarkan lengan di perutnya. Kini bergelanyut seperti ulat bulu dengan menyandarkan dagunya di pundak sang istri. Sepertinya sedang lupa tempat.

"Bukan aku yang cancel, tapi Pak Fadlan," jawab Safwan yang melirik si kembar bergantian. 

Senang sekali melihat keduanya mendongak dengan bibir manyun. Melihat itu Safwan langsung melepas pelukannya pada sang istri. Kemudian berpindah ke depan si kembar. Berjongkok merentangkan tangan menyambut pelukan keduanya. Sementara Aluna yang berdiri membelakangi mereka tanpa melihat apa yang terjadi mulai mendumel meluapkan kekesalannya.

"Katanya sayang sama anak-anak aku? Katanya senang mau manjain anak aku? Katanya mau ketemu si kembar dan habiskan waktu sebelum bulan madu lagi? A' Bara... Safwan tarik busur panah mau tancap aku," adu Aluna manja pada suaminya karena Safwan kembali menatap penuh permusuhan padanya. Di belakang mereka Mariska dan Delia hanya geleng-geleng kepala.

"Gara-gara kamu tuh yang sering bilang mau tancap, Alme juga ikutan. Niatnya mau tangkap malah sering bilang tancap. Kamu kesal karena makanan pesanan kamu nggak ada? Mau gimana lagi kalau restonya nggak buat? Sorry, kamu bukan wanita hamil yang ngidam," balas Safwan berbisik pada Aluna. 

"Om Capwan, bulan madu itu apa?" tanya Alfa yang terdiam dengan jari yang masih memegang potongan perkedel kentang. 

"Bu-lan di la-ngit, cama madu yan... manis... yan ada di kul-kas. Iya kan Om?" tanya Alme yang mengungkapkan pendapatnya saat masih mengunyah makanannya. Safwan meringis dan menahan diri tidak mencekik Aluna sekarang. 

"Benelan Ayah?" tanya Alfa menoleh pada ayahnya. Dokter Bara menggeleng sembari menelan makanannya.

Satu-satunya orang yang tidak tertawa mendengar jawaban Safwan yang terus mengelak adalah Arum. Wanita yang berstatus pasien itu melihat keceriaan mereka. Mengusap perutnya yang sudah sedikit membuncit, ia berdoa kala dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit. Semoga kelak anaknya tidak bertanya di mana keluarganya yang lain. Pamannya tentu tidak akan menerimanya. Adik sepupunya saja mereka anggap beban meski ia rutin mengirimkan uang bulanan.

Tok tok tok! 

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Arum. Kini ia menatap Safwan karena mungkin saja pria itu mengajak orang lain ke tempat ini. Sudah cukup mereka para penolongnya di dalam ruangan ini saja yang tahu tentang kondisinya yang sedang hamil.

### 

Bersambung.... 

Rat!hka saja

Kamu tidak akan pernah sendiri dan Tuhan tidak akan membiarkanmu terpuruk. Buka mata dan hati, masih ada yang jauh lebih menderita darimu, jadi bertahan, bersabar dan berjuanglah!

| Sukai
Komen (1)
goodnovel comment avatar
yenyen
agak bingung di part ini hubungan antar kekeluargaan dan kolega
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status