Masih di Bali. Dan juga hari terakhir mereka di sana. Rossa pagi ini sudah bersiap dengan bikini yang baru dibelikan Tristan. Moodnya sudah jauh lebih baik. Dan nuansa pagi sambil berjemur memang tidak ada yang mengalahkan. Dan perkara pencurian bikininya. Pihak hotel sudah mencari tahu seluruh pekerja, tapi bukan salah satu dari mereka. Jadi itu masih menjadi misteri dan sedang diselidiki. “Anjir, demi apa, Ros? Lo kayak kembang desa.” Wajah Rossa langsung ditekuk begitu mendengar ucapan Gusti. Lelaki itu mengenakan baju tema pantai. Dan catat, tidak berhenti menatapnya sejak tadi. Padahal Rossa mengenakan kain putih untuk menutupi bagian bawahnya, serta cardigan rajut untuk menutupi bagian atasnya. Tapi namanya mata lelaki, tetap saja semuanya terlihat transparan. “Udah, Gus. Lama-lama itu mata jadi tembus pandang. Semuanya udah ready? Biar kita langsung ke pantai sebelah. Lihat bule-bule lagi berjemur.” Lis menengahi, dan beruntungnya tidak ada yang bawel. “Ros, gue m
Liburan di Bali sudah usai dan semua orang sudah kembali ke pekerjaan awal. Termasuk Rossa yang pagi ini sedang berkemas dengan baju-bajunya. Masih libur, jadi masih ada waktu untuk istirahat sejenak. “Babe, lihat CD gue gak?” Rossa yang sedang memasukkan cucian ke mesin cuci langsung menatap Tristan sinis. Dia masih kesal dengan manusia satu di hadapannya ini. Untungnya, mereka ini di ruangan tertutup. “Bab…beb, bisa minggir gak sih? Gue lagi sibuk. Urusan CD lo mana gue tau pea.” Tristan mayun. “Yahh…kirain aja kamu sembunyiin.” Telinga Rossa langsung panas. “Demi apa gue nyembunyiin CD lo anjir, mikir dikit dong.” “Ya kan siapa tau aja. Emang kamu nyembunyiin punya gue?” “GAK LAH.” “Nah tinggal jawab itu aja kan.” Rossa menghela nafas. Padahal masih pagi juga, tapi Tristan sudah membuatnya naik pitam. Rossa tidak ambil pusing dan mulai mengoles roti dengan selai coklatnya. Tapi baru saja baru memasukkannya ke dalam mulut, sudah diambil lebih dulu oleh Tristan.
Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian itu, Rossa masih menyesali apa yang sudah dia lakukan. Pagi ini dia sudah bersiap dengan setelan kantor, dan dengan kebiasaan barunya. Berangkat lebih awal untuk menghindari Tristan. Dia tidak punya wajah. “Ros? Berangkat pagi lagi?” Oh iya. Rossa sampai lupa jika sudah beberapa hari ini, dia berangkat pagi dan berpapasan dengan Zaman. Tetangganya. Dia tidak tahu jika ada orang sepagi itu jika berangkat ke kantor. Kata Zaman, dia lebih senang menghindari macet, jadi berangkat di pagi hari. “Padahal, jam masuk kantormu bukannya lebih siang, tuan Zaman?” “Jawabanku tetap sama, Nona.” Rossa terkekeh sambil menuruni anak tangga. Dan pagi ini dia menumpang dengan mobil Zaman, karena arah kantor mereka searah. Motornya sedang dipinjam sepupunya dan Rossa tidak suka naik mobil. Bukannya tidak suka, tapi mobil itu adalah pemberian Tristan. Dia akan teringat lagi dengan adegan dimana dia mengaku menjadi pacar lelaki itu. Tidak ada lagi kedamaia
Nur Ida, menyambut kedatangan Rossa dengan senang. Saking senangnya, dia lupa jika yang ikut makan malam hanyalah mereka bertiga. Padahal dia sudah memesan banyak makanan. “Ayo sayang, gak usah malu-malu. Masakan mama aku enak kok, tidak beracun.” Rossa tersenyum semanis mungkin. Demi akting yang masih harus dia jalani. Tapi lidah tidak bisa bohong, masakan yang tersaji di atas meja sangat enak. Rossa sampai lupa jika dia sudah makan sore. Dan berbicara soal dinner. Rossa masih teringat soal Zaman yang ekspresinya terlihat kecewa saat dia membatalkan janji mereka. Dan Rossa terpaksa berjanji di lain waktu. “Rossa bisa masak, nak?” Mata Rossa refleks melebar mendengar pertanyaan itu. Dia memang anak kos dan perantau di kota orang. Tapi soal memasak? Rossa tersenyum kikuk sambil menggeleng. Mungkin dirinya tidak akan lulus kualifikasi menjadi menantu?! “Tidak apa. Mama juga gak jago masak, makanya keseringan beli. Ini aja mama beli dari restoran.” Nur Ida tertawa lebar, “kalo kam
Rossa pagi ini tersenyum riang membayangkan sesuatu yang melintas di otaknya. Dia tidak bisa menjelaskan perasaannya setelah otaknya memberi perintah untuk memberi kesempatan. Ya. Rossa memutuskan untuk memberi kesempatan pada Tristan. Siapa tahu, lelaki itu adalah jawaban dari doanya selama ini. “Senyum aja dari tadi, Ros. Sampai-sampai kopinya mau penuh itu.” Refleks Rossa berjalan mundur saat sebuah tangan melintas dekat perutnya. Itu terlalu dekat. Dan lelaki itu adalah Rudi. Mereka bertemu lagi di pantry, sebab Rossa memang sedang menyiapkan segelas kopi untuk dirinya sendiri. “Rudi?” “Astaga, beneran melamun ternyata. Tadi gue malah nyapa, tapi gak disapa balik. Gue pikir lo emang lagi kesel.” Rudi terkekeh, “ini, awas loh. Lain kali hati-hari, kalo kena air panas tangan lo bisa memar.” Situasinya cukup canggung. Apalagi fakta yang baru Rossa dapat. Sebisa mungkin Rossa menjaga jarak. Dia tidak ingin merusak hubungan pertemanannya dengan Lisa. Wanita yang banyak membantun
Sayangnya, tim dari divisi utama tidak mendapatkan informasi apapun dari Rossa yang keukeuh menutup mulutnya. Sampai-sampai di sogok nasi padang Pagi Sore pun, Rossa tetap menolak. Bagaimana mungkin Rossa mengatakan apa yang terjadi di dalam? Bisa jadi satu kantor heboh dengan apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi tahu dia ada hubungan dengan Tristan. Belum juga terjadi, tapi membayangkan apa yang akan dia dapatkan, Rossa sudah ngeri sendiri. “What the? Demi apa?” Suara heboh Superstar membuat perhatian Rossa yang sedang tertuju pada layar di depannya teralihkan. Lelaki itu langsung membuat kerumunan. “Apa-apa, lo kenapa heboh banget?” “Please, ini pak bos gak sih?” sekali lagi Super Star menunjukkan ponselnya, “ini pak bos kan?” “Demi?” Mbak Lis ikutan nimbrung dan memperhatikan dengan seksama, “ini emang pak bos, dilihat dari sudut pluto-pun ya emang dia. Tapi pertanyaannya, siapa cewek ini?” Mata Rossa membulat. Gambar itu? “Wahh…pak bos ada cewek baru lagi?” Hana memberi o
Tristan bolak balik di depan mobil sambil menatap pergelangan tangannya. Sudah lebih dari beberapa jam Rossa tidak kunjung membalas pesannya. Dia takut jika terjadi hal yang sama dengan wanita itu. Sudah polos, lugu lagi. Tristan tidak bisa membayangkan apa yang ada dipikirannya saat ini. “Jake, lo temenin gue sekarang.” “Eh…huh?” Jake yang sudah hampir masuk ke dalam mimpi langsung terbangun karena suara Tristan, “kenapa bos? Sudah pagi kah?” wajah Jake seperti hilang arah, dia baru saja kehilangan jejak mimpinya. “Gue potong gaji lo.” “SIAP. Ada apa, bos?” Jake langsung sigap bangkit berdiri. Nasib…nasib. Tadi dia sudah hampir tidur tapi Tristan mendadak berdiri di depan pintu apartemennya. Bahkan tanpa mengatakan apapun, lelaki itu langsung menyeretnya pergi. Keduanya sudah masuk ke dalam club. Untungnya klubnya tidak terlalu ramai, mata Tristan langsung tertuju ke arah tengah. Tepatnya dimana Rossa sedang berada. “Bos, gue harus apa?” “Kita ke sana.” “Tapi….” Jake menghel
Seperti memang malam ini mereka tidak diberi kedamaian. Baru saja tiba di depan apartemen, seseorang tengah berdiri didepan apartemen dengan wajah pucat. Refleks Rossa memutar bola mata malas, apalagi melihat Tristan yang melepas rangkulan mereka dan lekas menuju Sasa. Rossa berdiri cukup jauh. Sengaja memberi jarak untuk mereka berdua. “Sa? Yaampun, kenapa malam-malam begini ada disini.” Sasa bangkit dan menatap Tristan ketakutan. Dia hampir saja menangis, namun sekuat tenaga dia tahan. “Something happened?” “Aku ditipu, semuanya ludes. Mereka ambil semua yang aku punya.” “Mereka? Maksudnya siapa, Sa? Berapa yang habis?” “Aku gak sengaja ngeklik file dari ponsel, trus tiba-tiba semua yang ada di rekening aku udah ludes. Sekitar 600 juta, aku gak…gak tau mau ngomong apa sekarang. Padahal besok ada acara meeting dengan para pemegang saham di resto.” “Okey sekarang tenang dulu, kita bicara di dalam. Sudah ratusan kali Tristan bilang, kalo aplikasi rekening kayak m-bangking, jan