Share

6. Main dengan Syahdu

"Atas permintaan Pak Guntur, pernikahan itu harus dilakukan diam-diam. Sekedar ijab qobul saja di rumah. Pernikahan mereka hanya pernikahan siri mengingat status Pak Guntur yang sudah beristri. Dan Pak Guntur juga meminta identitasnya disembunyikan.

Setelah Ijab, Mbak Syahdu langsung dibawa ke sini. Masih ingat bagaimana Mbak Syahdu menangis histeris harus berpisah dengan bapaknya. Tapi Pak Fajar tidak bisa berbuat apa-apa karena setelah menikah, Pak Guntur memang lebih berhak atas Mbak Syahdu.

Sepeninggal Mbak Syahdu, Pak Fajar jadi sakit-sakitan, Mas. Selain karena kehilangan Mbak Syahdu, Pak Fajar juga tertekan dengan perlakuan Pak Guntur yang terus-nenerus menuntut haknya atas perkebunan dan pabrik mete. Tapi Pak Fajar tetap berusaha mempertahankan miliknya itu.

Sampai suatu hari, Pak Guntur datang sendiri tanpa Mbak Syahdu ke rumah Pak Fajar, menengok Pak Fajar yang sedang sakit. Di kamar, Simbok sempat mendengar mereka bersitegang. Sepertinya Pak Guntur memaksa Pak Fajar untuk menandatangi sebuah surat tapi beliau menolak.

Tiba-tiba terdengar suara minta tolong dari dalam kamar. Saat Simbok masuk, Pak Guntur sedang membekap Pak Fajar dengan bantal. Tubuh Simbok saat itu tiba-tiba lemas tak bertenaga, kaki juga jadi gemetar tidak bisa jalan. Berteriak pun juga tak mampu. Simbok hanya bisa menyaksikan detik-detik terakhir Pak Fajar yang kehabisan nafas dan akhirnya tak bergerak sama sekali." Tangis Mbok Nah tiba-tiba pecah.

Begitu pun aku. Shock mendengar penjelasan Mbok Nah. Dadaku bergemuruh. Menahan rasa kecewa, amarah. Rasanya tidak percaya, tidak rela dan tidak siap dengan sebuah kenyataan bahwa ayah seorang pembunuh. Sungguh tidak kusangka.

"Jadi, Ayah seorang pembunuh, Mbok?"

"Maafkan Simbok, Mas."

"Lalu kenapa Ayah tidak ditangkap?"

"Tidak ada yang tahu kecuali Simbok. Orang kampung juga tidak curiga karena Pak Fajar memang sedang sakit. Simbok diancam Pak Guntur untuk diam. Simbok takut, Mas. Waktu pemakaman, Mbak Syahdu juga tidak hadir, makanya dia tidak pernah percaya kalau diceritakan soal Bapaknya yang sudah meninggal. Itulah sebabnya Simbok di ajak kesini."

"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku bisa diam saja mengetahui kejahatan Ayah? Apa aku yang harus menjebloskannya ke penjara? Bisakah aku berperang melawan Ayah? Sedangkan hidupku masih sangat tergantung padanya." Peperangan di batinku sangat menyiksaku.

Tiba-tiba Syahdu sudah mengagetkanku dengan teriakannya.

"Mas Banyu, Syahdu dan Dinda susah siap, yuk jalan-jalan." Aku sedikit terpana dengan penampilan Syahdu.

Tubuhnya yang dibalut kemeja denim dan celana panjang terlihat begitu modis. Rasanya sekilas tidak terlihat kalau dia penyandang retardasi mental.

"Mbok Nah, kami berangkat dulu, ya."

"Iya, Mas. Titip Mbak Syahdu ya, Mas."

"Siap, Mbok."

"Mbak Syahdu, Neng Dinda, selamat bersenang-senang ya."

Dalam mobil, mata lentik Syahdu berkeliaran ke luar jendela kaca mobil. Mengamati apa saja yang ada di sisi jalanan. Lalu seketika matanya membulat dengan teriakan takjub. "Wow!"

Wajahnya berbinar seolah menemukan dunia yang belum pernah dia temui. Sepanjang perjalanan Syahdu sibuk menanyakan apa saja yang dilihatnya yang kadang membuatku tertawa lepas karena kepolosannya.

Akhirnya kami sampai di sebuah tempat wisata Mekar Sari. Melihat kereta mini, Syahdu langsung heboh melebihi Dinda. Dan langsung mengundang perhatian banyak orang. Memaksaku harus punya muka tebal.

"Mas Banyu, aku mau naik kereta itu. Ayo naik kereta. Naik kereta api tut ... tut ... tut. Siapa hendak turun," Dan Syahdu pun berdendang sambil menggoyangkan badannya seperti anak TK.

Dengan menggendong Dinda, buru-buru kugamit tangan Syahdu menepi dari kerumunan orang. Serasa mengasuh dua balita.

"Apa yang kamu cari dari wanita seperti ini, Banyu? Sampai kamu rela melakukan hal konyol dan memalukan ini," batinku seperti menertawaiku.

"Hentikan, Syahdu! Iya, iya kita naik kereta!" Aku sedikit meninggikan suaraku berharap Syahdu mengerti, tapi tetap saja dia teriak-teriak merengek.

"Syahdu, kamu dan Dinda tunggu sini, ya. Aku mau beli karcis dulu. Jangan kemana-mana. Tetap disini sampai Mas Banyu datang!" perintahku setelah menyuruh Syahdu dengan memangku Dinda duduk di tempat yang aman.

Bergegas, setelah tiket di tangan aku kembali pada Syahdu. Setelah menunggu beberapa saat, kereta pun datang. Dan sekali lagi Syahdu membuatku malu dihadapan orang-orang.

"Horeeee, aku naik kereta. Naik kereta api tut ... tut ... tut. Ayo kita naik kereta teman-teman!" teriaknya sambil menggandeng anak-anak di dekatnya yang tentu saja membuat mereka ketakutan.

"Ada orang gila! Ibu, ada orang gila! Aku nggak mau naik, Bu. Aku takut," rengek anak-anak sambil bersembunyi di belakang ibunya.

"Mas, maaf ini istrinya yang gila aman nggak ya kalau campur dengan penumpang yang lain? Takutnya nanti melukai yang lain," ucap seorang ibu yang membuatku kesal tidak terima.

"Istri saya nggak gila kok, Bu. Tenang, aman, dia tidak akan menganggu."

Istri? Aku baru saja menyebutnya istriku? Ada apa denganmu, Banyu?

"Awas ya, Mas! Jangan lengah menjaganya! Kami tidak mau anak-anak kami ketakutan dan terluka!" ancam ibu-ibu yang membuatku begidik.

Setelah dapat tempat duduk, Dinda kupangku dan tangan Syahdu kugenggam erat yang membuatnya sedikit berontak.

"Duduk! Diam, Syahdu! Jangan mengganggu anak-anak!" teriakku yang kali ini membuat Syahdu tertunduk ketakutan.

"Syahdu hanya pengin main sama mereka. Syahdu kangen main sama teman-teman," lirihnya dengan wajah sedih yang membuatku merasa bersalah.

"Iya, nanti mainnya. Jangan di kereta, ya."

"Asyiiik, nanti kita main kayak dulu ya, Mas!"pekiknya yang membuatku terkejut sekaligus melongo.

"Main apa, Syahdu?"

"Syahdu nggak tahu namanya. Pokoknya yang dulu yang pas di kamar Embah," ucapnya polos.

"Syahdu kan sudah sering main itu sama Pak Guntur." ucapku sambil menatapnya dalam.

"Nggak pernah! Syahdu nggak mau sama orang jahat itu! Aku tendang, kucakar-cakar saja dia! Syahdu cuma mau main sama Mas Banyu!"

"Ya, Allah. Kuatkan imanku."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yanyan
kasian amat syahdu..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status