"Atas permintaan Pak Guntur, pernikahan itu harus dilakukan diam-diam. Sekedar ijab qobul saja di rumah. Pernikahan mereka hanya pernikahan siri mengingat status Pak Guntur yang sudah beristri. Dan Pak Guntur juga meminta identitasnya disembunyikan.
Setelah Ijab, Mbak Syahdu langsung dibawa ke sini. Masih ingat bagaimana Mbak Syahdu menangis histeris harus berpisah dengan bapaknya. Tapi Pak Fajar tidak bisa berbuat apa-apa karena setelah menikah, Pak Guntur memang lebih berhak atas Mbak Syahdu.Sepeninggal Mbak Syahdu, Pak Fajar jadi sakit-sakitan, Mas. Selain karena kehilangan Mbak Syahdu, Pak Fajar juga tertekan dengan perlakuan Pak Guntur yang terus-nenerus menuntut haknya atas perkebunan dan pabrik mete. Tapi Pak Fajar tetap berusaha mempertahankan miliknya itu.Sampai suatu hari, Pak Guntur datang sendiri tanpa Mbak Syahdu ke rumah Pak Fajar, menengok Pak Fajar yang sedang sakit. Di kamar, Simbok sempat mendengar mereka bersitegang. Sepertinya Pak Guntur memaksa Pak Fajar untuk menandatangi sebuah surat tapi beliau menolak.Tiba-tiba terdengar suara minta tolong dari dalam kamar. Saat Simbok masuk, Pak Guntur sedang membekap Pak Fajar dengan bantal. Tubuh Simbok saat itu tiba-tiba lemas tak bertenaga, kaki juga jadi gemetar tidak bisa jalan. Berteriak pun juga tak mampu. Simbok hanya bisa menyaksikan detik-detik terakhir Pak Fajar yang kehabisan nafas dan akhirnya tak bergerak sama sekali." Tangis Mbok Nah tiba-tiba pecah.Begitu pun aku. Shock mendengar penjelasan Mbok Nah. Dadaku bergemuruh. Menahan rasa kecewa, amarah. Rasanya tidak percaya, tidak rela dan tidak siap dengan sebuah kenyataan bahwa ayah seorang pembunuh. Sungguh tidak kusangka."Jadi, Ayah seorang pembunuh, Mbok?""Maafkan Simbok, Mas.""Lalu kenapa Ayah tidak ditangkap?""Tidak ada yang tahu kecuali Simbok. Orang kampung juga tidak curiga karena Pak Fajar memang sedang sakit. Simbok diancam Pak Guntur untuk diam. Simbok takut, Mas. Waktu pemakaman, Mbak Syahdu juga tidak hadir, makanya dia tidak pernah percaya kalau diceritakan soal Bapaknya yang sudah meninggal. Itulah sebabnya Simbok di ajak kesini.""Apa yang harus aku lakukan? Apa aku bisa diam saja mengetahui kejahatan Ayah? Apa aku yang harus menjebloskannya ke penjara? Bisakah aku berperang melawan Ayah? Sedangkan hidupku masih sangat tergantung padanya." Peperangan di batinku sangat menyiksaku.Tiba-tiba Syahdu sudah mengagetkanku dengan teriakannya."Mas Banyu, Syahdu dan Dinda susah siap, yuk jalan-jalan." Aku sedikit terpana dengan penampilan Syahdu.Tubuhnya yang dibalut kemeja denim dan celana panjang terlihat begitu modis. Rasanya sekilas tidak terlihat kalau dia penyandang retardasi mental."Mbok Nah, kami berangkat dulu, ya.""Iya, Mas. Titip Mbak Syahdu ya, Mas.""Siap, Mbok.""Mbak Syahdu, Neng Dinda, selamat bersenang-senang ya."Dalam mobil, mata lentik Syahdu berkeliaran ke luar jendela kaca mobil. Mengamati apa saja yang ada di sisi jalanan. Lalu seketika matanya membulat dengan teriakan takjub. "Wow!"Wajahnya berbinar seolah menemukan dunia yang belum pernah dia temui. Sepanjang perjalanan Syahdu sibuk menanyakan apa saja yang dilihatnya yang kadang membuatku tertawa lepas karena kepolosannya.Akhirnya kami sampai di sebuah tempat wisata Mekar Sari. Melihat kereta mini, Syahdu langsung heboh melebihi Dinda. Dan langsung mengundang perhatian banyak orang. Memaksaku harus punya muka tebal."Mas Banyu, aku mau naik kereta itu. Ayo naik kereta. Naik kereta api tut ... tut ... tut. Siapa hendak turun," Dan Syahdu pun berdendang sambil menggoyangkan badannya seperti anak TK.Dengan menggendong Dinda, buru-buru kugamit tangan Syahdu menepi dari kerumunan orang. Serasa mengasuh dua balita."Apa yang kamu cari dari wanita seperti ini, Banyu? Sampai kamu rela melakukan hal konyol dan memalukan ini," batinku seperti menertawaiku."Hentikan, Syahdu! Iya, iya kita naik kereta!" Aku sedikit meninggikan suaraku berharap Syahdu mengerti, tapi tetap saja dia teriak-teriak merengek."Syahdu, kamu dan Dinda tunggu sini, ya. Aku mau beli karcis dulu. Jangan kemana-mana. Tetap disini sampai Mas Banyu datang!" perintahku setelah menyuruh Syahdu dengan memangku Dinda duduk di tempat yang aman.Bergegas, setelah tiket di tangan aku kembali pada Syahdu. Setelah menunggu beberapa saat, kereta pun datang. Dan sekali lagi Syahdu membuatku malu dihadapan orang-orang."Horeeee, aku naik kereta. Naik kereta api tut ... tut ... tut. Ayo kita naik kereta teman-teman!" teriaknya sambil menggandeng anak-anak di dekatnya yang tentu saja membuat mereka ketakutan."Ada orang gila! Ibu, ada orang gila! Aku nggak mau naik, Bu. Aku takut," rengek anak-anak sambil bersembunyi di belakang ibunya."Mas, maaf ini istrinya yang gila aman nggak ya kalau campur dengan penumpang yang lain? Takutnya nanti melukai yang lain," ucap seorang ibu yang membuatku kesal tidak terima."Istri saya nggak gila kok, Bu. Tenang, aman, dia tidak akan menganggu."Istri? Aku baru saja menyebutnya istriku? Ada apa denganmu, Banyu?"Awas ya, Mas! Jangan lengah menjaganya! Kami tidak mau anak-anak kami ketakutan dan terluka!" ancam ibu-ibu yang membuatku begidik.Setelah dapat tempat duduk, Dinda kupangku dan tangan Syahdu kugenggam erat yang membuatnya sedikit berontak."Duduk! Diam, Syahdu! Jangan mengganggu anak-anak!" teriakku yang kali ini membuat Syahdu tertunduk ketakutan."Syahdu hanya pengin main sama mereka. Syahdu kangen main sama teman-teman," lirihnya dengan wajah sedih yang membuatku merasa bersalah."Iya, nanti mainnya. Jangan di kereta, ya.""Asyiiik, nanti kita main kayak dulu ya, Mas!"pekiknya yang membuatku terkejut sekaligus melongo."Main apa, Syahdu?""Syahdu nggak tahu namanya. Pokoknya yang dulu yang pas di kamar Embah," ucapnya polos."Syahdu kan sudah sering main itu sama Pak Guntur." ucapku sambil menatapnya dalam."Nggak pernah! Syahdu nggak mau sama orang jahat itu! Aku tendang, kucakar-cakar saja dia! Syahdu cuma mau main sama Mas Banyu!""Ya, Allah. Kuatkan imanku.""Mas Banyumu, Syahdu!""Mas Banyu?!" Aku tersentak, " Ngapain Mas Banyu di sana, Mas Adit?""Kan aku bilang, orang itu jadi pasienku, pasien Dokter Hans, berarti apa?""Berarti Mas Banyu gila?!""Iya, Syahdu. Tadi Mas Adit juga nggak percaya. Keadaannya sangat menyedihkan. Yang keluar dari mulutnya cuma namamu dan Dinda. Syahdu ... Dinda ... Gitu terus. Tatapan matanya kosong. Dan yang lebih menyedihkan dia buta, Syahdu.""Mas Banyu!" Aku pun menangis histeris."Tadi aku sempet tanya saudara yang kebetulan menjenguknya. Kamu tahu ternyata Banyu mendonorkan mata buat putrinya yang sangat ia cintai dulu sebelum dimasukkan ke penjara.""Jadi mata Dinda itu mata Mas Banyu, Mas Adit?" Mas Adit mengangguk dan aku pun menangis sejadi jadinya."Mas Adit! Syahdu mau ketemu Mas Banyu, Mas Adit! Anterin Syahdu ke Mas Banyu!" rengekku."Enggak, Syahdu! Untuk keadaan sekarang belum aman.""Pokoknya Syahdu mau ketemu Mas Banyu! Kalau Mas Adit nggak mau nganterin, Syahdu mau kesana sendiri! minta d
Sampai akhirnya kami harus kembali ke perantauan. Mas Adit sudah sembuh total dan menutuskan untuk melanjutkan kuliah lagi. Dito sudah berumur 3 bulan jadi sudah aman untuk melakukan perjalanan jauh."Kamu yakin, Dit membawa Syahdu ke Jakarta? Apa bisa dia mengasuh 2 anak sendirian?" tanya Mama khawatir."Syahdu bisa kok, Ma." jawabku"Jangan sepelein Syahdu, Ma. Dia memang punya kekurangan. Tapi dia juga punya naluri seorang ibu. Nih buktinya, Dinda tumbuh dengan baik dan sehat.""Iyo Yo, Dit. Cantik lagi nih Dinda nya."."Maaf ya, Mbak Syahdu, Mbok Nah nggak bisa ikut. Mbok Nah pengin menikmati masa tua di kampung.""Iya, Mbok Nah, nggak pa pa. Sekarang Syahdu udah bisa ngapa ngapain sendiri, udah diajarin masak Mbok Nah juga kan. Yang penting Syahdu ada di samping Mas Adit. Itu sudah cukup.""Iya, Mbak Syahdu, Mbok Nah sudah tenang sekarang, Mbak Syahdu pasti aman dan bahagia sama Mas Adit. Mas Adit nitip Mbak Syahdu, ya.""Iya, Mbok. Tenang saja.""Dit, sudah kamu nurut sama Papa,
"Syahdu nggak pa pa. Syahdu janji nggak selingkuh. Mas Adit juga janji jangan nyari istri lagi, ya?""1 istri saja aku nggak bisa ngasih nafkah batin, gimana mau 2, Syahdu. Kamu ada-ada aja. Kamu tuh yang bisa selingkuh.""Nggak, Syahdu nggak bakal selingkuh. Syahdu sayang Mas Adit.""Lha iya, selingkuhanmu dah di penjara. Mo selingkuh sama siapa.""Mas Adiiiiiit!" Kucubit saja lengannya.***Setelah latihan tiap hari bersamaku, 2 bulan berikutnya, Mas Adit akhirnya bisa berjalan normal kembali walaupun masih pakai tongkat. Semangat Mas Adit yang menggebu gebu telah mempercepat proses penyembuhan.Pagi ini kami berdua jalan pagi menyusuri jalanan pedesaan yang masih sepi. Udaranya segar sekali. Diusia kehamilanku yang sudah mendekati lahiran, disarankan banyak jalan biar persalinan lancar katanya. Makanya tiap hari, Mas Adit yang bersemangat ngajak jalan, sekalian terapi buat Mas Adit juga."Duuuh, yang terkenang dengan seseorang ...," ledek Mas Adit sambil menyikut lenganku ketika k
Hari hariku selanjutnya terasa suram melihat Dinda yang lebih banyak nangisnya daripada diemnya. Selalu rewel, nangis terus nggak pagi, nggak siang, nggak malem. Naluri seorang ibu, bisa merasakan apa yang dirasakan Dinda. Dia kesepian dan ketakutan.Yang bisa menghiburnya hanya suaraku dan suara Mas Adit. Setiap kami diam dia nangis. Penginnya kita ngomong terus, ngajak ngobrol dia. Tidurpun nggak bisa lepas dari kami. Minta kupeluk juga Mas Adit."Tapi, Dit, anak Anggita yang di perut ini juga butuh kamu" rengek Anggita manja ketika Mas Adit ijin mo tidur di kamarku "Tolong dong, Nggit. Ngalah dulu. Kasihan, Dinda. Dia pengin tidur dipeluk papanya. Kamu jangan egois kayak gitu!" Seru Mas Adit.Akhirnya Mas Adit sekarang tidur bersama kami tidak peduli Anggita sewot. Buat Mas Adit kebahagiaan Dinda lebih penting dari segalanya.Satu satunya harapan kami hanya menunggu ada orang yang mau mendonorkan matanya. Papa terus berusaha. Mas Adit yang bersikeras pengin mendonorkan mata akhirn
Setelah seminggu dirawat akhirnya aku boleh pulang. Senangnya ... walaupun ada yang kurang karena Dinda masih dirawat di Rumah sakit di Semarang. "Syahdu, nanti ada kejutan buatmu." ucap Mama ketika perjalanan pulang dari rumah sakit. Hanya Mama dan sopir yang menjemputku karena Papa dan Mas Yoga nungguin Dinda di Semarang. Dan Mas Adit nungguin Anggita yang lagi sakit katanya."Kejutan buat Syahdu? Kejutan apa, Ma?" "Kalau aku ngomong sekarang namanya bukan kejutan dong, Syahdu. Nanti nyampe rumah."Setelah melewati hamparan sawah, kami pun sampai di rumah Mas Adit. Terlihat Mas Adit yang sudah menyambutku di pintu gerbang."Akhirnya, istriku yang lucu menggemaskan ini kembali juga ke rumahku." "Mas Adit!" Kupeluk Mas Adit yang duduk di kursi roda. "Syahdu, lihat ini ada siapa?" panggil Mama, Aku melepaskan pelukan Mas Adit menoleh ke arah Mama.Seorang wanita tua yang pakai kebaya berdiri di samping Mama. Kuusap usap mataku. Rasanya tidak percaya. "Mbok Nah!" Aku berlari ke ar
Bunga ilalangPart 34_Merajut_memori_lama"Dinda kritis di rumah sakit, Dit.""Dinda ... Dinda kenapa, Mas Adit?!" Aku yang mendengar nama Dinda disebut langsung teriak panik tapi Mas Adit tak menjawabku malah menjalankan kursi rodanya menjauh dariku.Tapi lamat-lamat aku bisa mendengar percakapan mereka."Kritis kenapa, Pa?" "Kecelakaan di tol Semarang. Polisi mengejar mobil yang dikendarai Banyu. Perhitungan mereka kalau ditangkap di jalan, mereka tidak sempat merencanakan sesuatu untuk menggunakan Dinda sebagai tameng.""Lalu, Pa?""Tapi ternyata perhitungan polisi meleset. Banyu menabrakkan mobilnya pada besi pembatas jalan dengan kecepatan tinggi, Dit. Menurut pengamatan polisi dia sengaja menabrakkan karena tidak terlihat mobil oleng atau menghindari sesuatu.""Innalilahi. Apa maunya, Banyu itu! Bisa bisanya dia senekat itu! Terus bagaimana keadaan mereka, Pa? Keadaan, Dinda?""Semua kritis, Dit, termasuk Dinda. Mereka di rawat di rumah sakit di Semarang. Ini Papa dan Mas Yog