Share

7. Hilang

Turun dari kereta mini, Syahdu masih merengek-rengek menagih janjiku untuk mengajaknya bermain yang tidak-tidak. Membuat jantungku berdebar tak karuan dan aliran darahku berdesir cepat. Kenapa rengekan perempuan nggak normal sanggup menggugah syahwatku.

"Ayo, Mas. Katanya tadi mau ngajak main kayak dulu," rengek Syahdu dan aku pun hanya bisa menelan ludah sambil berkali-kali beristighfar, menguatkan diri.

Bingung, bagaimana harus menjelaskan padanya tapi aku harus berusaha menjelaskan dengan bahasa anak-anak dalam perjalanan kami ke danau.

"Nggak boleh, Syahdu. Permainan itu hanya boleh dilakukan kalau sudah menikah."

"Menikah? Menikah itu bagaimana?"

"Menikah itu seperti Syahdu dan Pak Guntur," jawabku singkat.

"Nggak mau! Syahdu nggak mau menikah! Gara-gara menikah, Syahdu sering dipukul, ditampar, ditendang. Sakit tau, Mas,"celoteh Syahdu sambil sibuk mempraktekkan ucapannya, tangannya menampar pipinya sendiri, kaki menendang tanah dengan wajah memendam amarah.

"Syahdu punya salah? Kok dipukul sama ditampar?" tanyaku dengan antusias karena inilah kesempatanku untuk mengorek tentang pernikahan Syahdu dan Ayah.

"Nggak! Dia maksa-maksa nyium Syahdu lalu buka baju Syahdu. Aku nggak mau! Kutendang saja dia, kucakar-cakar mukanya. Syahdu berteriak kencang minta tolong sama Mbok Nah. Setelah itu tiap dia ada di rumah, pintu kamar selalu Syahdu kunci. Syahdu menang. Dia tidak bisa masuk kamar Syahdu. Tapi tiap hari dia selalu mukul dan nampar Syahdu. Dia selalu membentak Syahdu. Syahdu benci dia!"

"Itu karena Syahdu salah. Syahdu kan sudah menikah, sudah jadi istri Pak Guntur. Syahdu harus melayani Pak Guntur. Apapun yang dilakukan Pak Guntur, Syahdu harus nurut supaya Syahdu tidak di tampar Pak Guntur."

"Nggak mau! Syahdu jijik! Syahdu nggak mau menikah dengan dia. Kalau yang buka baju Syahdu, Mas Banyu, Syahdu nggak marah."

"Kita kan tidak menikah, Syahdu. Nggak boleh. Dosa. Nanti Alloh marah."

"Tapi dulu Mas Banyu boleh." Terlihat raut kecewa di wajahnya.

"Iya, dulu Mas Banyu khilaf. Mas Banyu salah. Maaf ya, karena perbuatan Mas, Syahdu jadi menderita. Syahdu harus kehilangan masa remaja, harus punya anak dan mengasuhnya. Syahdu tidak bisa bermain dengan teman-teman lagi," ucapku perih.

"Bukan salah Mas Banyu. Dulu perut Syahdu membesar karena Syahdu makannya banyak. Syahdu laper terus. Pas perut Syahdu sudah besaaar sekali tiba-tiba perut Syahdu sakit sekali, Mas. Syahdu nggak tahan. Ternyata keluar boneka dari perut Syahdu. Bonekanya bisa nangis kencang, bisa gerak. Syahdu seneng banget karena punya mainan baru. Syahdu sayang banget sama Dinda." Penjelasan Syahdu yang menyayat hatiku, pada kenyataannya Syahdu sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi padanya.

Sesampai di danau, aku memilih mengajak Syahdu duduk-duduk di tepi danau sambil istirahat. Ternyata pegal juga menggendong Dinda yang sedang tertidur pulas. Ada rasa haru ketika melihat raut wajah Syahdu yang sangat bahagia menikmati pemandangan danau. Tapi tiba-tiba dia menangis tergugu saat matanya tertuju pada seorang bapak tua penjaja makanan.

"Syahdu, kenapa nangis?"

"Syahdu kangen Bapak. Syahdu pengin ketemu Bapak, Mas." Tangisnya semakin kencang, spontan kuraih kepalanya, kutaruh di bahu kiriku.

"Bapak Syahdu sudah tenang, sudah bahagia di atas sana."

"Nggak! Bapak di rumah, di kampung! Syahdu pengin pulang. Syahdu pengin ketemu Bapak."

"Iya, nanti kapan-kapan ya kita ke kampung."

"Syahdu maunya sekarang! Ayo, Mas, kita pulang kampung!"

"Nggak bisa kalau sekarang, Syahdu," bujukku tapi malah membuat Syahdu menangis kencang lagi.

Dinda yang tidur di pangkuanku pun akhirnya terbangun dan ikut nangis kencang bersahut sahutan dengan ibunya membuat kepalaku jadi pusing.

"Syahdu, udah diem nangisnya. Ini Dinda jadi ikut nangis, kan." Kucoba tepuk-tepuk pantat Dinda untuk menghentikan tangisnya tapi tetap saja tangisnya semakin melengking.

Tiba-tiba Syahdu meraih Dinda dari pangkuanku lalu membuka kancing bajunya.

"Eh, mo ngapain, Syahdu?" tanyaku sambil memalingkan wajah, takut khilaf.

"Mo nyusuin Dinda. Dia haus," jawabnya polos tanpa rasa bersalah.

"Disini? Jangaaan! Malu dilihat orang. Kita cari tempat yang tertutup dulu, yuk."

"Nggak mau! Syahdu capek. Ini Dinda juga kasihan sudah kehausan banget," jawabnya sambil terus membuka kancing baju dan akhirnya dengan polosnya mengeluarkan susu Dinda.

Buru-buru kubuka jaketku, "Syahdu kamu nyusuinnya di belakang Mas ya, sampingnya tutup dengan jaket ini. Biar nggak kelihatan orang." Proses menyusui pun akhirnya berjalan lancar.

"Syahdu, kamu duduk disini dulu, ya. Tunggu di sini. Mas Banyu ke Mushola dulu. Mau sholat."

"Syahdu ikut, Syahdu juga mau sholat."

"Syahdu bisa?" tanyaku dan dia menggelengkan kepala.

"Ya sudah, Syahdu nggak usah. Tunggu di sini saja. Jangan kemana-mana ya," Syahdu mengganggukkan kepala kuanggap mengerti dengan pesanku, lalu kutinggalkan dia.

Tapi setelah aku kembali ke danau, dadaku berdebar kencang mendapati Syahdu yang tak terlihat lagi di situ. Dengan panik, aku pun berlari menyisir semua tempat di sekitar danau. Nihil, tak ada yang tahu keberadaan Syahdu. Aku bergegas mencari petugas keamanan untuk minta bantuan. Hampir 2 jam kami semua mencari Syahdu tapi belum juga ketemu. Dengan area yang seluas ini, petugas pun juga kesulitan mencari. Ditambah aku tidak punya foto Syahdu.

"Dia bukan siapa-siapamu, Banyu. Tapi kenapa kamu begitu ketakutan kehilangan dia. Bukankah kebetulan, dia menghilang. Jadi kamu tidak punya kewajiban lagi atas Syahdu," batinku yang menggodaku tapi tidak ... Aku tidak mau kehilangan dia.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dewita
lanjut thor
goodnovel comment avatar
SisiliaAshila Gmah
lanjut ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status