Aku nggak kembali ke kosan, selama tiga hari tersisa waktu bersama Om Andi. Beneran dia serius mau pulang. Selama waktu yang tersisa, aku sama dia jalan-jalan, makan, ke tempat hiburan sepulang jam kerja. “Memang berapa gaji kamu di sana, Om bisa ganti,” katanya. “Bukan masalah gaji aja, Om, tapi ada hal lain.” “Ya, terserah kamu, kalau memang tidak mau ikut Om tidak bisa memaksa.” Om Andi memasukkan baju-bajunya ke koper. “Mungkin kita memang selamanya hanya jadi calon mertua dan menantu.” Dia menutup kopernya setelah semua baju masuk. “Kecuali Om kasih kepastian, kalau Om akan nikahin Indah sebelum ke kampung, udah itu aja. Indah butuh uang, tapi lebih butuh kepastian sebenernya.” Aku menjawab. Ini buat jaga-jaga andaikata aku ikut ke kampung, eh, tiba-tiba dia menikahi perempuan lain. Ya, walau aku yang udah ditiduri sama dia, tapi kalau ada istri sah, tetap saja aku yang salah. “Fungsi menikah menurut kamu apa?” tanyanya sambil duduk di sebelah koper. “Untuk ibadah.” Jawaba
Detik demi detik waktu berlalu membawaku dari pagi sampai akhirnya menuju jam makan siang. Aku sibuk sekali, maksudku, aku menyibukkan diri. Baru satu hari aku ditinggal Om Andi, tapi aku mulai kepikiran. Aku cek handphone, balasan pesan dariku nggak ada. Susahnya menjalin hubungan sama orang tua, nggak ada WA nggak ada messengger, apalagi facebook dan twitter. Ditelpon juga nggak nyambung. “Indah, makan yuk, katanya ditraktir, tuh, sama Pak Hengki. Dari tadi dia lihatin kamu terus, loh.” Kimmi mulai mencolekku yang terus memikirkan Om Andi. Ck, ganggu aja. “Dia, kan, udah punya istri, sih, ngapain cari aku, emang aku pelakor?” Aku menutup sheet kerja di excel dan mulai mengemas handphone serta dompet. Soal makan siang aku masih bisa beli sendiri, kok. “Ya, sama sesekakek itu emangnya apa?” Kimmi mengikutiku. Aku memutuskan nggak mau bergabung dengan rombongan Pak Hengki, biarin deh mau dibilang sombong. “Om Andi kan duda, hati istri mana yang aku sakiti. Aduh capek aku klarifik
Panggilan kami terputus begitu saja. Paling juga karena sinyal yang jelek. Om Andi sudah selamat sampai di rumah sejak kemarin dan dia beritahu aku baru hari ini. Luar biasa. Ya, beginilah menjalin hubungan dengan orang tua, banyak makan hatinya. Di dalam kamar kosan aku terus merenung tentang peringatan dari Tante Nora, udah dua kali. Yang pertama saat di rumah suaminya, lalu terjadilah malam nista yang sudah sering kami ulangi. Kalau sampai dua kali artinya Om Andi beneran bukan orang baik? Terus aku ini emangnya baik? Halah, jelas sekali aku murahan kata beliau. Malam ini aku tak bisa tidur, selain memikirkan dia yang kata Kimmi sudah memelet aku. Diri ini juga mengerjakan presentase buat besok di kantor Pak Hengki. Untung aku perginya sama satu tim, kalau sendirian malas banget. Malam semakin larut ketika aku merapikan pekerjaan. Saat aku menoleh ke kiri, rasa-rasanya aku melihat Silvi. Nggak, please, dia udah mati, tolong jangan menghantuiku lagi. Tapi akhirnya hilang juga. A
Aku ingin pergi, tapi Pak Hengki menggenggam dua tangan dan menahanku di dinding. Sialan. Tapi tepat waktu pula aku muntah di bajunya. Keluar semua isi perutku. “Nggap apa-apa, ini sensasi namanya.” Dia ingin membersihkan bibirku, tapi aku menolak. Aku ingin menjerit tapi nggak bisa. Aku nggak mau disentuh sama si Hengki gila. Aku nggak cinta sama dia. Aku nggak tahu kenapa pintu yang dikunci dari dalam, kok, bisa-bisanya terbuka. Kimmi ada di depan pintu. Pak Hengki menjauh. Aku lihat dia merapikan baju dan celananya yang tadi hampir dia turunkan. “Ditungguin dari tadi, Indah. Lama amat ke toiletnya, ternyata nongkrong di sini, cepetan, kita masih ada kerjaan,” ucap Kimmi. Aku lekas meraih tangannya. “Pusing banget kepalaku, antar aku ke kantor, ya, aku mau istirahat di sana. Gila. Pak Hengki bener-bener kelewatan.” Aku merebahkan kepala di bahu Kimmi. Dia memang lebih tinggi daripada aku dan selalu bisa diandalkan. Kami kembali pakai bus kota soalnya tumben taksi lama banget. Ak
Aku tak peduli dengan supir taksi yang meregang nyawa karena dicekik kuntilanak, hantu, genderuwo atau sejenisnya. Aku terus saja berjalan hingga berjumpa dengan ojek motor online. Kupikir kalau di tempat terbuka mereka tak akan berani mengganggu. “Bang, bisa antar nggak ke kosan, nggak usah pakai order aplikasi dulu, saya bayar lebih.” Aku menunjukkan pecahan uang 100k padanya. Tanpa banyak basa basi bang ojek langsung setuju. Sebelum benar-benar sampai di kosan aku memintanya singgah ke minimarket sebentar. Aku perlu minuman dingin dan buah-buahan segar untuk mendinginkan kepalaku. Aku borong belanja bahkan sebagian aku berikan pada bang ojek, lumayan untuk menyenangkan hatinya. Sampai di kos aku merasa tenang walau kesepian. Akhir-akhir ini ada saja kejadian yang membuat leherku nyaris keram. Entah kenapa sejak ditinggal Om Andi ke kampung halamannya semua ini terjadi. Padahal aku nggak pernah jahat sama dia. “Kenapa, ya?” tanyaku pada bayangan diri di depan cermin. “Kamu pela
“Nora, kamu cari apa?” Aku terkejut ketika Om Andi sudah ada di dalam kamar. Lekas aku masukkan buku nikah kami atau punya dia. Karena di sini identitasku adalah Nora Syafitri. “Kamu cari apa?” tanyanya lagi. “Nggak ada.” Aku turun dari kursi dan hampir jatuh, untung ditangkap sama Om Andi. “Ada yang kamu ragukan?” Sepertinya Om Andi tahu kegelisahanku. “Ada, Om. Apa boleh Indah bicara, takut nanti Om marah.” “Ya, boleh, kenapa tidak. Kamu, kan, istri, Om.” Ucapan dia membuatku merasa semakin aneh. Nora Syafitri dan Indah Nora Diana itu berbeda jauh. “Apa Om punya dua istri? Yang pertama Nora Syafitri dan yang kedua itu Indah?” tanyaku daripada penasaran. “Bukannya kamu sudah lama tahu,” ucapnya. Oh, Tuhan, jadi aku di sini istri kedua untuk mengurus anak-anaknya? “Terus mana istri pertama, Om?” “Sudah meninggal, tak lama setelah Anton lahir. Kamu sudah tahu kenapa bertanya lagi?” Jawaban Om Andi membuatku kian bingung. Aku ingin bangun dari mimpi ini tapi aku nggak tahu gim
Pagi harinya aku mencuci seluruh tubuh. Udara di tahun delapan puluhan ini terasa sangat dingin luar biasa. Belum bercampur dengan kemunafikan dan dosa. Eh, aku juga seorang pendosa besar, sih. Aku masih jadi yang pertama kali bangun. Kulihat Om Andi masih malas beranjak dari pembaringan. Pun Angga dan Anton yang katanya anakku tak juga bangun dari tidurnya. Apa mereka tidak sholat Shubuh. Karena yang aku kenal dulu Bang Angga orang yang rajin ibadah. Aku sendiri? Nggak usah ditanyain gimana hancurnya jadi orang. “Om, Om Andi, nggak bangun?” Aku mengguncang tubuh lelaki yang sudah jadi suami seperti keinginanku. “Jam berapa?” tanyanya, tapi mata tetap terpejam. “Jam setengah enam pagi,” jawabku. “Kalau di sini penyebutannya jam lima setengah, jangan lupa itu, Nora, supaya kamu gampang berbaur.” Om Andi bangkit dan meraih handuk. Tebakku langsung menuju kamar mandi. Aku rapikan sprei dan baju kami yang berserakan di lantai. Malam tadi kami terlalu menggebu seperti kuda liar yang
Aku ditinggal sendirian di tanah tempat enam batu nisan tertancap. Apa Om Andi punya rencana untuk membunuhku? Tapi dia tidak meninggalkanku. Hanya suaranya yang terdengar tapi orangnya tidak ada. Sejujurnya aku nggak tahu mana yang kuburan Tante Nora mana yang bukan. Soalnya nisannya dari kayu dan tulisannya sudah kabur. Perlahan aku coba berdiri, karena nggak mungkin berlama-lama di sini. Tapi tiba-tiba saja salah satu kuburan terbelah. Aku kaku dan terjatuh. Mendadak seluruh tubuh terasa dingin. Aroma anyir darah tercium dari dalam lubang kuburan. “Om Andi, Om, di mana?” panggilku. Tapi jangannya orangnya, suara saja tidak ada. “Om Andi, jangan tinggalin Indah.”Ada tangan dengan kuku panjang yang terus keluar dan perlahan-lahan kaki juga naik dari lubang kubur. Hasratku ingin pipis di celana sangat besar, tapi aku tahan karena malu. “Om Andi, jangan bercanda sama Indah. Indah mau pulang.” Aku menangis. Hari masih pagi, tapi sudah ada hantu yang keluar. Mana langit mendung sert