Ada yang berbeda dengan Akash sejak kembali dari Megalitera. Dia berjalan tanpa menoleh sama sekali. Sesampainya dalam ruang kantornya yang sejuk, Akash berdiri kaku. Pintu ruangannya nyaris pecah kena hantaman tangannya. Akash menarik kasar dasi yang sedari pagi melingkar asal di lehernya dan melemparnya asal-asalan ke sofa.
Langkah kaki Akash lebar-lebar. Napasnya berat, nyaris menggedor lantai. Wajahnya menggelap. Dan sepasang mata tajam Akash menyimpan bara …. … bara yang sejak pagi tak kunjung padam. Kepalanya masih dipenuhi bayangan Gista. Tatapan dingin perempuan itu, bahkan lebih dingin daripada AC kantornya. Cara Gista meninggalkan kamar tanpa ragu, hanya meninggalkan selembar catatan dan dua lembar uang ratusan ribu di atas meja, bahkan sampai hari ini Ia membalikkan keadaan– meninggalkan Akash jadi pelajaran. “Sialan.” Akash memaki pelan. Leo mengangkat alis. Ia berdiri di pojokan ruang Akash. Ia tak menyangka kehadirannya tak disambut baik dengan pemilik ruangan. “So… Gimana? Berjalan dengan baik?” Akash menoleh. Keningnya berkerut. “Ngapain lo ke sini? Ruang kerja lo gak di sini.” “Kalau dari muka lo sih—” Leo main duduk sembarangan. “—gagal ya.” Leo terkekeh kecil. “Gimana sama Megalitera? Jadi, lo invest?” Akash mendengkus keras. Dia menghempaskan diri ke kursi kerjanya. “Atau … lo malah sibuk ketemu cewek yang nolak lo dua kali?” Akash menoleh. Tatapannya cukup untuk membuat orang normal mundur. Masalahnya, Leo bukan orang normal. Mereka sudah berteman cukup lama, dan Leo tahu persis cara menusuk di tempat yang salah. “Baru kali ini lo gak punya jawaban. Sebenarnya lo datang buat ngecek mereka,” lanjut Leo, “atau lo ngejar si penulis itu?” Sekali lagi tak ada jawaban. Hanya rahang Akash yang mengeras. Leo tersenyum geli. “Kalo gue jadi lo sih, gue bakal tetap bakar duit ke Megalitera. Kapan lagi ketemu cewek yang nolak lo mentah-mentah dua kali? Itu langka, Kash. Dan lo masih kepanasan?” “Bisa sih masuk keajaiban dunia kedelapan.” Pandangan Leo meneliti Akash dengan ekspresi kurang ajar. Akash menghela napas panjang. Sahabatnya datang malah menambah beban pikiran Akash. “Lo bisa diem gak?” Leo nyengir. “Lagian lo ngarep apa dari Megalitera? Lo berharap cewek itu bakal kejar-kejar lo? Kash, lo lucu. Cewek lo segambreng. Kenapa malah ribet sama satu cewek doang?” Ada jeda. Sunyi. Hanya terdengar bunyi jam dinding dan dengung AC. Kalimat Leo masuk telak ke kepalanya. Logika Leo menusuk batinnya, tetapi menyodorkan celah yang terbaca Akash. Kalau dia menjadi investor di Megalitera, bukan hanya lewat jalur belakang, tetapi benar-benar masuk sebagai penyandang dana, maka satu-satunya Representatif yang layak diajak berkomunikasi rutin adalah Gista. Akash merumuskan ide itu menjadi sebuah rencana. Seringai kejamnya muncul. Leo masih bicara entah tentang apa. Akash tak lagi mendengar. Kepalanya sudah dipenuhi hitung-hitungan kemungkinan. Siapa yang harus ditekan. Dokumen apa yang perlu disiapkan. Dan yang terpenting, bagaimana memastikan Gista tidak punya pilihan selain berhadapan dengannya. Ia menghentakkan kakinya seraya meraih telepon di meja kerjanya. Suara dengung terdengar dengan permintaan gila ke sekretarisnya. “Hubungi Megalitera,” suaranya datar tapi tegas. “Bilang kita mau invest. Syaratnya, saya mau satu orang yang jadi representatif. Dan pastikan statusnya incognito.” Sekretarisnya terdengar ragu di seberang. “Baik, Pak… tapi—” “Tidak ada tapi,” potong Akash. “Bilang, Gista yang akan jadi perwakilannya.” Leo mengernyitkan dahi. “Man? Yang bener lah?” “Lo gila kalo ngewujudin ide itu. Gista itu penulis, bukan asisten pribadi lo.” Akash hanya mengangkat bahu. Di sofa, Leo membelalakkan mata, menyadari isi kepala Akash. “Mana mau penulis berubah jadi PA?” “Tahu dari mana gue bakal jadiin dia PA gue?” “Wajah lo tampang iblis.” Akash akhirnya berdiri. Gerakannya tenang. Perlahan ia berjalan mendekat ke jendela besar yang menampilkan pemandangan kota. Tangannya menyelip di saku celana, sikapnya tenang tetapi ada aura yang membuat Leo otomatis mengangkat alis. “Gue punya uang,” tegasnya tenang. “Dan kalau dia nggak bisa bertekuk lutut untuk kedua kalinya…” “Gue bakal pastiin, dia harus tau siapa yang pegang kendali.” Akash menyeringai kecil.[Meeting reschedule ya. Lo terusin novel. Sore ini kirim progress ke gue.]Gista mengerjap dan berhenti di tengah jalan. Lola–editornya membatalkan meeting yang dicanangkan sejak beberapa hari lalu. Membahas kemajuan progress Gista di depan fellow writer lainnya.Gista hanya merutuk kecil. Padahal jika waktunya dimaksimalkan ia bisa melakukan riset.Riset.Mendengar kata itu, Gista berpikir keras. Untuk yang tadi– bisa dijadikan bukunya kan? Dimana tokoh female lead bukunya bernama Sarsha terjebak di ruangan kecil dengan male lead bernama Gio. Setelahnya mereka bercumbu hebat. kemudian—“Gis, hape lo bunyi.”Gista gelagapan. Dia mengangguk pada teman kerjanya yang sudah kembali ke kubikelnya sendiri. Sementara Gista menatap layar ponsel dengan heran.Gista enggan mengangkat telepon dari yang tak dikenalnya. Sekali lagi dia menekan tombol merah, menolak panggilan telepon. Gista tak berminat memeriksa histori ponselnya dan langsung berkutat dengan draf novel di mejanya sendiri.Lalu bad
Ada yang berbeda dengan Akash sejak kembali dari Megalitera. Dia berjalan tanpa menoleh sama sekali. Sesampainya dalam ruang kantornya yang sejuk, Akash berdiri kaku. Pintu ruangannya nyaris pecah kena hantaman tangannya. Akash menarik kasar dasi yang sedari pagi melingkar asal di lehernya dan melemparnya asal-asalan ke sofa.Langkah kaki Akash lebar-lebar. Napasnya berat, nyaris menggedor lantai. Wajahnya menggelap. Dan sepasang mata tajam Akash menyimpan bara ….… bara yang sejak pagi tak kunjung padam. Kepalanya masih dipenuhi bayangan Gista. Tatapan dingin perempuan itu, bahkan lebih dingin daripada AC kantornya. Cara Gista meninggalkan kamar tanpa ragu, hanya meninggalkan selembar catatan dan dua lembar uang ratusan ribu di atas meja, bahkan sampai hari ini Ia membalikkan keadaan– meninggalkan Akash jadi pelajaran.“Sialan.” Akash memaki pelan. Leo mengangkat alis. Ia berdiri di pojokan ruang Akash. Ia tak menyangka kehadirannya tak disambut baik dengan pemilik ruangan.“So… Gi
"Apa yang kamu harapkan barusan? Kenapa kamu tutup mata?" Gista membuka mata perlahan. Antara percaya dan tidak, dia akhirnya membelalak. Tangannya sangat susah digerakkan, tetapi harus bergerak. Jadi, dia mengusap dada seraya memalingkan muka. Napas Gista memburu kencang. Dia berusaha menenangkan degup jantung yang liar setelah terlalu lama memejamkan mata di hadapan Akash. Sementara di hadapannya mata Akash menyala oleh gairah. Namun, secepat datangnya, secepat itu juga Akash memadamkan apinya. Tetap saja, dia masih memandangi Gista dengan sorot mata tajam. Seolah pandangannya mampu menelanjangi wanita itu. Gista mengerang dalam hati. Bisa-bisanya dia bersikap begitu konyol dan memalukan seperti itu. Ia pikir ini akan seperti momen dalam novel yang pernah ia baca. Dimana ruangan gelap akan menjadi orang ketiga si tokoh utama. Tapi kenapa ia tak juga menciumnya? Perlahan Gista memegang bibirnya yang mulai mengering. Gista berdeham-deham. Dia bergeser menjauhi Akash. Sembari
Pujian tak pernah membuat Gista besar kepala. Namun, pagi itu, saat Lola memanggilnya ke ruang editor, pujian justru terasa seperti jebakan.“Good job! Nah, gini dong, Gis. Lo kalo mau usaha, pasti bisa nulis adult romance.”Lola memberi isyarat agar Gista mendekat. Suara kursi putar digeser terdengar di ruang rapat kecil Megalitera. Gista kini berhadapan dengan laptop Lola yang menampilkan draf bab pertama naskahnya.“Premis lo udah oke. Chapter pertama juga udah lumayan bagus, lebih bagus dibanding yang kemarin. Ini udah ada jiwanya, meski masih tipis banget. Mature vibes-nya udah keliatan, Gis. Tapi masih belum nendang, belum bikin basah kuyup pembaca. Gue butuh yang nuansanya hot banget, lebih heavy lagi biar pembaca sampe blingsatan.”Kritikan Lola membuat kepala Gista pening. Namun, wanita itu tak menunjukkannya. Dia hanya menatap kosong ke layar laptop.“Kalo yang kemarin kurang spicy, ini kurang basah. Tambahin lagi, Gis. Lo harus bisa bikin cerita yang panas ngebakar. Pokok
Akash bukan orang yang terbiasa melakukan hal bodoh. Seluruh tindakannya cermat dan terencana. Namun, malam ini pengecualian. Melihat wanita itu berdekatan dengan John, Akash tiba-tiba tergoda untuk menariknya pergi.Menolongnya? Entah. Akash merasa belum sedekat itu untuk menolong seseorang yang asing. Dia tak mengenal Gista. Hanya berbekal selembar kartu nama dan ocehan omong kosong dari mulut wanita itu, harusnya tak serta-merta membuat Akash bergerak dari kursinya.Namun, ada sesuatu dalam diri Gista yang membuatnya mengesampingkan sebentar rasionalitas. Menyelamatkan Gista dari John bisa jadi adalah sesuatu yang berguna di masa depan.Sayangnya, konsekuensi atas tindakannya harus diterima Akash di muka. Open room bersama wanita cantik di kamar hotel yang luas, kedap suara, dan berfasilitas penuh ternyata mulai menguji batas pertahanan Akash.“Kamu yakin?” Akash bersandar di pintu kamar mandi. Perhatiannya malah teralihkan pada gestur Gista yang sangat menarik.Ya, menarik. Karena
Gista menoleh kanan kiri. Dia sudah menghabiskan dua gelas lemonade miliknya, yang ngomong-ngomong rasanya makin pahit. Sekarang dia sedang menunggu gelas ketiga sambil mencari-cari target berikutnya.Sayangnya ternyata sulit bagi Gista untuk menemukan orang yang cocok. Helaan nafasnya berat. Setelah ditolak Akash Salim, level malas Gista malah naik tinggi.Deadline dari Lola adalah problem tersendiri yang memaksa Gista harus mengalahkan rasa malas. Dua puluh empat jam sudah berkurang banyak. Kalau ingin membuat naskah super spicy seperti permintaan editornya, Gista harus tahu tentang hasrat, gairah, dan bercinta.Dia bisa menulis hal lain dengan mudah. Namun, tiga hal itu adalah topik berat yang susah diurai oleh Gista. Ada alasan khusus yang membuatnya kesusahan dan akhirnya terdampar di bar mencari-cari subyek yang tepat untuk riset.“Mr. John, long time no see. Gimana kabarnya? Insiden kemarin oke-oke aja, eh?”Gista menoleh sekilas. Seorang pria bule berjas abu-abu, berumur sekit