Grace meminum pil kontrasepsi yang baru ia beli di apotik sepulang kerja tadi. Walau Max berkata akan menikahinya jika ia hamil, Grace sama sekali tidak ingin mengandung anaknya.
Wanita itu menghela nafas sambil berbaring di sofa panjang apartemennya."Setidaknya aku bisa memanfaatkan ke obsesannya padaku untuk menikmati hidup." Ucap Grace sambil memikirkan beberapa strategi kedepannya.Ting TongGrace melirik kearah pintu, ia sempat terdiam sebentar untuk menunggu bel kedua.Ting TongWanita itu bangkit kemudian berjalan membuka pintu apartemennya.Muncul seorang pria dengan buket bunga indah menutupi dirinya membuat Grace mengerutkan dahi."Siapa anda?"Pria itu memiringkan bunganya dan terpampang lah wajah Max yang tampak sangat senang.Grace sedikit terkejut namun kemudia ia memasang wajah ekting yang sangat menipu."Ah, Max. Terima kasih."Grace mengambil buket bunga itu dan menghirupnya dalam-dalam.Grace langsung terdiam begitu menyadari bahwa aroma bunga itu adalah racun yang membuat dirinya merasa terangsang."Max, apa yang kau lakukan?" tanya Grace dengan wajah merah yang sudah merasakan efek obat yang ditanam dibunga itu."Aku ingin menikmati waktu indah dengan wanitaku."Max masuk kedalam Apartemen Grace sambil menggulum bibir Grace dengan sensual.Karena efek obat yang Max berikan, Grace semakin terangsang begitu Max menyentuhnya diberbagai titik tubuhnya."Hentikan! Kau--ahh!"Max menjamah tubuh Grace dengan bersemangat."Bukankah kau ingin menikah denganku? Maka dari itu kau harus segera hamil." Ucap Max sambil mencumbu Grace membuat wanita itu mengalihkan pandangannya.Max sedikit bingung dengan ekspresi Grace. Ia sempat mengedarkan pandangan dan melihat sesuatu yang tersimpan diatas meja makan.Max bangkit lalu mendekati meja itu, Grace yang kebingungan menatap kepergian Max dan terbelak begitu melihat Max menemukan obat kontrasepsi yang baru saja ia minum."Kau meminum obat kontrasepsi ya, hm.."Grace terdiam seribu bahasa. Tatapan mereka saling bertemu begitu Max membalikkan tubuhnya. Ia menatap Grace sambil tersenyum membuat Grace bergidik.Max mendekati Grace dan menarik dagunya."Kalau begitu kita harus berusaha lebih keras agar obat itu tidak berfungsi pada tubuhmu."Grace membelakkan matanya dan Max langsung menjamahnya dengan ugal-ugalan..Pukul enam dini hari, Max baru menyelesaikan permainannya.Grace sempat kebingungat dengan stamina Max yang tidak ada habisnya. Bahkan Grace sudah sampai pingsan dua kali tapi Max tak juga berhenti menghantamnya.Grace merasa dirinya sangat ambruk. Ia hanya melirik kesana kemari mencari batang hidung dari lelaki yang semalaman menyiksa dirinya."Kau sudah bangun?"Grace melirik pada sumber suara. Dilihatnya seorang Max dengan telanjang dada sambil memegang gelas berisi wine sedang memperhatikan dirinya.Max terkekeh sebentar lalu meminum habis wine digelasnya."Aku belum menyelesaikan permainan ini. Kita akan terus melakukannya sampai kamu akhirnya hamil."Grace membelakkan matanya."Tolong cukup. Kita bisa lakukan ini perlahan, aku janji tidak akan meminum obat itu lagi!" seru Grace tak tahan, Max malah tertawa sangat kencang."Baiklah, jika itu permintaanmu apa yang bisa aku lakukan?"Max menjauhkan dirinya dari Grace lalu duduk disofa yang tak jauh dari sana. Ia menuangkan kembali alkoholnya dan meminumnya dengan sekali tegukan."Lelaki itu memang sangat gila!" batin Grace..Max kini sedang berkutat dengan berkasnya. Karena waktu kemarin ia pakai untuk melampiaskan hasrat, hari ini ia jadi banyak kerjaan yang menumpuk yang harus segera diselesaikan."Tuan, saya telah membawa berkas untuk ditanda tangani." Ucap Jovel masuk ke ruangan Max.Terdapat Max dan Grace yang duduk diatas pangkuan Max disana. Jovel menghela nafas seolah mengetahui bahwa tugas sekertaris kini akan jatuh padanya."Bagaimana jika anda memperkerjakan Wildan kembali?" tawar Jovel, Max tidak memperdulikan tawaran itu.Jovel yang sudah mengenal atasnya itu lebih baik diam dan berlalu setelah menyimpan berkas yang ia bawa.Begitu membuka pintu, Jovel sedikit terkejut mendapati seorang wanita yang tengah terdiam dengan wajah bersedih disana."Apa kau ada perlu dengan pak Max?" tanya Jovel mengira-ngira, wanita itu langsung menggeleng."Lalu?""Apa.. aku bisa bertemu Grace?"Jovel mengerutkan alisnya, ia menatap lekat wanita itu dari ujung rambut hingga ujung kepala."Siapa dan keperluan apa kamu?" tanya Jovel balik, wanita itu menundukkan kepalanya."Saya adalah sahabat baiknya, Olivia. Saya ingin curhat pada sahabat saya." Guman Olivia lirih membuat Jovel sedikit prihatin."Tunggulah sebentar disini, saya akan mencoba memberitahu."Olivia mendonggak lalu memangguk dengan semangat. Jovel kembali memasuki ruangan yang ditatap lekat oleh Max."Permisi tuan, ada seorang gadis bernama Olivia ingin bertemu dengan Nona Grace." Ucap Jovel sambil membungkuk, Grace langsung bersemangat dan bangkit dari pelukan Max."Aku belum bilang akan mengizinkanmu." Ucap Max menahan pinggang Grace, Grace menghela nafas pelan."Max, tolong izinkan aku sebentar saja. Aku rindu pada sahabatku," gumam Grace sambil menggoda Max dengan memberikan ciuman yang panas."Mmph.. wanita licik. Pergilah."Grace tersenyum senang lalu berlari pelan menuju pintu. Jovel membukakan pintu itu lalu Grace berlalu keluar ruangan."Jovel," panggil Max, Jovel yang hendak pergi langsung terhenti dan membalikkan badannya."Ya, Tuan.""Belikan ramuan penawar dari obat kontrasepsi. Aku harus membuat wanita itu hamil agar tak bisa lepas dariku." Titah Max, Jovel menghela nafas pelan."Baik, Tuan, saya permisi."."Apa kamu baik - baik saja?" tanya Olivia dengan raut sedihnya, Grace mengerutkan dahi."Justru aku yang seharusnya bertanya begitu, apa kamu baik - baik saja?" tanya balik Grace, Olivia menghela nafas lalu menutuo wajahnya dengan tangannya sendiri."Aku tidak baik - baik saja, Grace. Pria itu, ah aku tak sudi menyebut dan mendengar namanya!" ujar Olivia yang langsung diketahui oleh Grace."Kenapa dia? Bukankah kalian akan segera menikah?" tanya Grace sedikit panik, Olivia membuka tangannya."Dia selingkuh, aku tak sudi melanjutkan hubungan ini."Grace membuka mulutnya lebar, ia menahan mulutnya dengan lengannya sendiri seolah tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh calonnya Olivia."Bagaimana lelaki busuk itu selingkuh? Sunggu tidak bisa dipercaya." Sahut Grace yang disetujui Olivia."Aku juga begitu, huh.. hubungan yang sia - sia." Ujar Olivia menghela nafasnya panjang.Mereka terdiam untuk beberapa saat sambil menikmati minumannya."Tapi, apa kami baik - baik saja? Kamu menjadi kekasih pak Max bukan sekarang?" tanya Olivia sedikit khawatir.Ia tahu betul bagaimana sifat teman dekatnya ini. Walau baru berteman sebentar, tapi mereka menghabiskan waktu yang cukup lama."Aku baik - baik saja, percayakan semuanya padaku." Ucap Grace, Olivia sedikit merasa lega."Syukurlah.".Tak terasa mereka berbincang lama, kini langit sudah gelap. Olivia berpamitan pergi menggunakan taxi karena sekarang sudah tidak diantar jemput oleh pasangannya.Grace mencoba mengotak atik ponselnya untuk meminta dijemput oleh bawahan Max."Grace?"Grace refleks mendonggak ketika ada yang menyebutkan namanya."Ah, Alvin? Apakabar!" sahut Grace bersemangat membuat Alvin ikut tersenyum senang."Aku sangat baik, Grace. Bagaimana denganmu sendiri?" tanya balik Alvin."Aku sangat baik, Alvin."Alvin tersenyum menatap Grace membuat Grace sedikit kebingungan."Ah, untuk yang terkhi--"BrukGrace terhuyung kearah Alvin ketika ada orang yang entah sengaja atau tidak menabraknya. Grace terjatuh bersama Alvin dengan posisi Grace yang menindih lelaki itu.Mereka terbeku beberapa saat dengan posisi itu sebelum akhirnya Grace tersadar dan buru - buru bangkit."Ah, aku minta maaf, aku tidak sengaja." Ucap Grace tak enak."Tidak apa - apa, kamu juga tertabrak orang tadi." Sahut Alvin tersenyum, Grace melihatnya sedikit tenang."Kalau begitu aku pergi duluan. Terimakasih Alvin, sampai tertemu kembali." Pamit Grace begitu sebuah civic berhenti didepannya."Iya, hati - hati, Grace." Balas Alvin.Grace memasuki mobilnya dan berlalu."Tolong tunggu sebentar lagi sayang, kamu akan segera masuk kedalam dekapanku.."Alvin menampilkan smirknya sambil menatap kepergian Grace."Istri saya?" tanya Jovel pura-pura kebingungan."Yah, istrimu. Siapa tahu dia akan berteman dengan Grace." Jelas Max, Jovel menghela nafas lega."Saya tidak punya istri tuan, anda tidak perlu khawatir." Jelas Jovel, Max mengerutkan alisnya.Max tahu kalau saat ini Jovel sedang berbohong. Tapi dari itu semua, Max sangat mengerti jika Jovel tidak ingin memberitahukan identitas istrinya itu."Baiklah, segera bawa Olivia kemari. Kamu tidak perlu menempatkannya disisiku, buat saja dia ingin bertemu Grace walau sebentar." Titah Max. Jovel membungkukkan badannya. "Baik tuan."Jovel keluar dari ruangan Max dan berpas-pasan dengan assisten dari Riksan."Apa tuan Max didalam?" tanyanya, Jovel mengangguk."Tuan muda ingin bertemu, apakah bisa?"Jovel sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Tuan muda yang ia maksud pasti adik tiri Max, apakah Max akan baik-baik saja jika bertemu denganya?"Akan ku tanyakan terlebih dulu."Jovel masuk kembali ke ruangan membuat Max menatapnya bingung. "Kenapa?""
"Jadi, kamu akan menandatanganinya?" tanya Riksan begitu mendengar kalau Max memanggilnya.Max mengangguk lalu mengambil berkas yang diberikan assisten Riksan. Max membaca sekilas berkas itu, menandatanganinya lalu memberikannya pada Riksan."See?"Riksan menerima berkas itu dan mengembangkan senyuman."Bagus, akhirnya kamu memiliki pemikiran dewasa." Max membuang muka sambil menghela nafas."Sekarang berikan istriku!" tegas Max membuat Riksan terkekeh pelan."Tenang. Jo! Jemputlah Grace dengan hati-hati. Dia adalah wanita kesayangan anakku." Titah Riksan yang langsung dituruti oleh assistennya.Kepergian Jo bertepatan dengan Jovel yang baru saja datang membawa Grace. Semua tatapan itu refleks melirik padanya."Ah, ternyata kau sudah kabur."Grace terlihat tenang lalu melirik pada Max. Max bangun dari duduknya dan berjalan kearah Grace.Mereka berpelukan untuk waktu yang lama. Menjalarkan kerinduan karena beberapa saat mereka tidak bertemu karena masalah keluarga Max yang sangat meru
"Sialan!"Max membanting semua barang di rumahnya membuat kegaduhan besar di rumah. Para pelayannya hanya menunduk melihat tuannya marah besar karena tidak berani sama sekali dengan Max."Aku tidak menyangka pelayanku sendiri mengkhianatiku." Gumam Max yang dapat didengar oleh seluruh pelayan di rumahnya.Max menatapi pelayan itu satu-satu. Memelototi mereka dengan tajam membuat nyali mereka makin menciut."Sania!"Orang yang dipanggil itu keluar. Ia berjalan mendekat kearah Max sambil tetap menundukan kepalanya.Max menatap lekat orang itu. Sania yang sudah lama menjadi kepala pelayan hanya bisa menunduk menerima kenyataan bahwa dirinya lah yang akan disalahkan."Tuan, tolong kendalikan diri anda!" Jovel tiba-tiba datang seperti penyelaman untuk para pelayan.Max menatap Jovel dengan tajam dan kini membuang muka. Jovel mendekati tuannya lalu menunduk dengan sopan."Tuan, jika memang anda ingin istri anda kembali, coba pertimbangkan kembali tawaran ayah anda." Ucap Jovel membuat Max t
Beberapa hari berlalu, kini Grace dan Max sudah kembali lagi ke negara asal. Jovel yang sudah setia menunggu di bandara langsung membawa laki-laki itu menuju kantor membuat Grace bergeleng kepala."Pulanglah ke rumah. Aku akan segera pulang." Titah Max. Grace hanya mengangguk menurut lalu melambaikan tangan pada Max yang kini sudah pergi berlalu.Grace menatap kepergian Max yang diiringi dengan Jovel. Seseorang pun menepuk pundaknya membuat Grace membalikkan badan."Nyonya, mari ikuti saya." Ucap seseorang yang memakai baju pelayan yang sering ada di rumahnya.Grace tersenyum dan mengangguk lalu mengikuti pria itu.Sebenarnya Grace sedikit asing dengan pelayan dihadapannya. Pelayan di rumah Max memang terbilang cukup banyak, tetapi pasti selewat Grace mengenal wajah pelayan itu."Silahkan masuk nyonya."Grace ditambah bingung lagi ketika melihat mobil yang tidak pernah ia naiki itu. Max tidak pernah membeli mobil yang modelannya seperti ini."Em, apa ini mobil Max?" tanya Grace. Pelay
"Keluarkan Olivia dan buang dia jauh-jauh dari Grace." Jovel sangat bahagia dalam hatinya. Max akhirnya memerintahkan untuk membuang Olivia dimana pria itu tidak akan menganggangu Olivia lagi."Satu lagi, uruslah perusahaanku di Bali untuk sementara waktu. Aku tidak bisa keluar kota untuk saat ini."Jovel membungkuk dengan sopan lalu pergi berlalu untuk segera melaksanakan perintah atasannya. Jovel melangkah dengan senangnya sambil membuat surat rekomendasi untuk Olivia bekerja di perusahaan Bali agar bisa terus bersamanya.Sampai setelah rencananya semua itu berjalan lancar, Olivia malah merobek surat rekomendasinya membuat Jovel mematung kaget."Aku akan pergi sendiri."Gadis itu pergi berlalu begitu saja membuat Jovel segera berbalik dan menarik lengannya. "Jangan tinggalkan aku!"Olivia tersentak mendengar itu dan berbalik melihat Jovel yang kini sudah menangis dengan wajah sedihnya.Wanita itu pastinya sangat tidak percaya dengan ekspresi itu. Selama ini Jovel yang selalu tidak
Jovel menghela nafas panjang. Sudah dua hari berlalu dari libur tuannya memberatkan harinya. Padahal dirinya sudah sibuk mengurus perusahaan Max yang ada di Bali, kini dirinya juga harus mengurus perusahaan di Jakarta. Yang benar saja.Namun untungnya ia mempunyai istri yang berbakat sehingga pekerjaannya di Bali sedikit lebih ringan.Kintan masuk ke ruangan Max yang sedang diisi Jovel membuat pria itu kini menyorotnya dengan mata sinis. Sudah dua hari pula gadis itu tidak masuk sehingga pekerjaannya disini tidak ada yang membantu."Kemana saja kau?!" tanya Jovel bengis membuat Kintan mengerutkan alis."Kenapa kamu yang disini? Kemana tuan Max?" tanya Kintan, Jovel mendesah pelan sambil membuang pandangannya tak menjawab pertanyaan Kintan.Kintan merasa tersinggung dicueki seperti itu. Dirinya pun berjalan menghentakkan kaki mendekati Jovel. Ia menarik kerah baju Jovel dan menatapnya dengan lekat."Beritahu aku kemana perginya Max!"Jovel menepis lengan Kintan dari bajunya. Pria itu m