Share

Bab 2

    Gus Al masih memandangi wanita yang berjalan terseok-seok di ujung jalan. Di bawah temaram lampu yang remang remang hingga yang terlihat hanyalah bayangan wanita itu. Subuh memang sebentar lagi. Masih terdengar suara qiro' seorang santriwati yang merdu dari dalam masjid, yang menandakan bahwa sebentar lagi akan memasuki waktu subuh.

 

Dua orang bertubuh besar menghampiri wanita di ujung gang. Mencoba untuk mengodanya. Wanita berpostur tubuh tinggi ramping itu terlihat beberapa kali menepis tangan dari laki laki bertubuh besar yang hendak menyentuh area sensitifnya. Gus Al masih belum beranjak dari sembari masjid, tapi tangan lelaki itu terlihat sudah mulai mengepal siap untuk menghajar dua preman yang terus menggoda gadis di bawah temaram lampu jalan.

 

"Jangan!" teriak wanita itu memukul kepala plontos lelaki yang hendak menciumnya dengan tas. Suaranya nyaring terdengar hingga ke tempat Gus Al berada. 

 

"Ngak bisa dibiarkan!" guman Gus Al bergegas bangkit mempercepat langkah kakinya menuju ke tempat wanita itu berada.

 

Tubuh wanita itu kini telah terhuyun di tanah. Lelaki berkepala plontos itu hendak membuka hotpan yang wanita itu kenakan. Namun belum sempat ia melakukannya sebuah tinjauan mendarat mulus tepat mengenai pada bagian pipinya. 

 

Bruggghhhh......

 

Lelaki berkepala plontos itu tersungkur di  atas tanah dengan wajah meringis. Sesekali ia menyeka sudut bibirnya yang berdarah-darah.

 

"Heh, siapa kamu ikut campur urusan kita?" teriak lelaki berambut ikal terlihat kesal pada Gus Al yang mencampuri urusan mereka.

 

"Mau jadi jagoan, lo?" Lelaki botak itu beranjak bangun menjatuhkan tatapan tajam pada Gus Al.

 

"Jangan membuat kotor tempat ini!" ucap Gus Al sinis.

 

"Hahah ... sejak kapan kamu sibuk ngurusin jablay, pak ustaz?" Kedua lelaki itu menertawakan Gus Al.

 

Bogem mentah seketika mendarat pada hidung mancung Gus Al. Gus Al kini jatuh tersungkur di samping wanita yang tengah pulas tertidur karena mabuk. Gus Al berajak bangun, sesekali ia menyeka darah segar yang mengucur dari hidungnya.

 

"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Gus Al seraya mendaratkan tinju kepada lelaki yang sedang setengah sadar karena mabuk itu.

 

Bough ... bough ... bough ... 

 

Kedua lelaki besar itu babak belur dihajar oleh Gus Al. Mereka tersungkur ke tanah tak beraturan. Tidak sekalipun mereka bisa membalas pukulan pendekar Banten itu. Gus Al membuat kedua preman itu lari kalang kabut.

 

"Rasakan kamu!" Sebuah senyuman mengembangkan dari bibir Gus Al melihat pada kepergian kedua preman itu.

 

Gus Al menghampiri wanita yang sedari tadi masih tersungkur di tanah. Beberapa kali Gus Al menepuk lembut pada pipi wanita itu. Namun sepertinya waktu itu sedang mabuk berat. Aroma alkohol menyeruak dari tubuh wanita yang tegulai tak sadarkan diri di depan Gus Al.

 

"Sepertinya aku tidak mungkin menurut dia bangun," gerutu Gus Al. Akhirnya lelaki itu memutuskan untuk menggendong wanita asing itu.

 

"Neng, Neng Salma!" teriak Gus Al dari luar Masjid.

 

Sosok wanita angun berkulit sawo matang muncul dari dalam masjid. Wajahnya terlihat terkejut saat melihat Gus Al menggendong seorang wanita.

 

"Astaghfirullah Gus, siapa itu?" Salma tercekat. Satu tangannya membungkam mulutnya yang mengangga.

 

"Mari kita tolong dulu Neng ,kita bawa ke pondok santriwati. Kasian tadi dia di keroyok sama preman," sahut Gus Al dengan wajah panik.

 

"Baik Gus !" Salma berjalan tergesa gesah menuju pondok santriwati yang diikuti Gus Al di belakang  punggungnya.

 

Gus Al membaringkan wanita itu pada ranjang berukuran sedang. Sepertinya wanita itu tertidur begitu pulas sekali. 

 

"Gus, nemu wanita ini di mana?" tanya Salma yang sibuk menutupi paha mulus wanita yang mengenakan hotpan itu.

 

"Di ujung gang Neng, seperti nya dia mabuk berat. Kasian kalau sampai tidur di jalan bisa jadi tontonan warga," jelas Gus Al sekilas melihat pada wanita berada di pembaringan kemudian melihat kepada Desi.

 

"Baiklah Gus, lah itu hidung Gus kenapa" Salma menunjuk hidung Gus Al yang mengeluarkan darah segar ,wajah Salma terlihat sangat khawatir.

 

"Ngak apa-apa Neng ,nanti biar di obatin sama Uma aja," balas Gus Al mengusap darah yang keluar dari hidungnya. "Nitip dia ya Neng!" Gus al meninggalkan Salma yang masih mematung di buatnya. 

 

*****

 

POV DESI 

 

     Aku masih terduduk di bawah lampu kerlap Kerlip. Cahayanya yang berwarna warni adalah duniaku. Kuteguk lagi segelas minuman di hadapanku. Kugoyangkan kepalaku ke kiri dan kanan sesuai ritme musik remix yang sedang di putar. Sesekali kuhisap rokok Marlboro mild lebih dalam lagi hingga terasa masuk ke dalam rongga paru-paru. Kuhembuskan asap berbentu O dari bibir tipisku. Ehm ... inilah hidup indah yang sebenarnya.

 

"Des kemana Riri ?" Mami Dian duduk tepat di sebelahku.

 

"Riri, dia udah chek in duluan Mam," ucapaku menaikan nada suaraku agar Mami dia dapat mendengar suaraku.

 

"Kamu sendiri gimana?" Wanita paruh baya itu memandangku.

 

"Aku, sepertinya hari ini aku free Mam,"  jawabku asal. Karena memang hari ini aku sedang free. Mr Jung orang korea yang suka mengajakku jalan kemarin sedang pulang kampung halamannya.

 

"Bagaiman kalau kamu sama orang itu aja Des?" Ucap Mami Dian dengan menunjuk kepada lelaki yang sedang duduk di sudut ruangan.

 

 

"Siapa itu Mam, bayarannya gimana?" tanyaku pada Mami Dian. 

 

"Gampang Des aman Pokoknya." Mami Dian menyunggingkan senyuman 

 

"Oke Mom, boking sekarang deh!" Aku mengambil tas kecilku dan berjalan menuju lelaki laki bertubuh kurus yang sedari tadi memperhatikanku dengan tatapan nakal.

 

*******

 

    Sepanjang perjalanan lelaki itu bertanya banyak hal padaku. Hal-hal yang sangat membosankan. Namun demi uang aku harus menjadi orang yang mengasyikkan tentunya.

 

"Mau cek in di hotel mana, Om?" tanyaku sesekali menyesap rokok yang tinggal setengah di jariku.

 

"Hahaha .... kagak usah di hotel lah di mobil kan bisa." Lelaki itu meraih punggung tanganku dengan tatapan mesra.

 

"Hahh!" Aku membelalakan kedua mataku.

 

"Iniorang emang kagak punya duit atau gimana sih. Kalau kagak punya duit ngapain ngajak chek in jablai," gerutuku dalam hati.

 

Sssrrrrrrtt......

 

Laki laki itu memberhentikan mobilnya tepat di antara pepohonan yang rimbun. Aku mencoba melihat ke luar jendela, sepanjang mata memandang hanya pohon dan pohon yang nampak. Sesekali mobil lain masih melewati jalan itu. Namun bisa dihitung jari. Apalagi kini waktu sudah hampir dini hari, bisa kupastikan tidak akan ada kendaraan yang melintas di jalan gelap ini.

 

"Kok di sini Om?" tanyaku heran bercampur takut.

 

"Kita nggak ngapa ngapain kok cantik. Di sini kamu cuma menemani aku minum saja." Lelaki itu mengambil beberapa botol alkohol dari jok belakang mobilnya. 

 

"Is, kepalaku sudah terasa cukup pening lagi, karena tadi aku sudah cukup banyak minum," gerutuku dalam hati.

 

"Ambilah!" Lelaki itu menyodorkan sebotol minuman padaku. 

 

"Tapi kamu harus menghabiskannya," ucap lelaki itu penuh penekanan.

 

"Buset, ini orang gila kali ya," gumanku dalam hati.

 

Demi uang maka aku teguk minuman itu hingga habis. Kini pandanganku sudah mulai kabur. Bahkan untuk berdiri saja aku sudah sempoyongan. Sialan kenapa harus seperti ini di saat begini. Namun aku masih bisa sedikit menguasai diriku  meksipun kepala ini serasa berputar-putar.

 

Lelaki itu melepas ikat pinggangnya, sekerjap saja ia mencambukku bak sapi pembajak sawah. Aku mengerang kesakitan.  Aku teringat cerita Riri ketika ia mendapatkan tamu yang memiliki kelainan dalam berhubungan. Ia harus melukai dahulu sebelum bercinta.

 

Aku segera mancari knop pintu mobil, berkali lelaki itu menjambak rambutku hingga ikat ramputku pun terlepas dan rambut panjangku pun berderai. Ia terus menghujani tubuhku dengan siksaan tidak perduli sekalipun aku terus memohon ampun dan menangis.

 

"Haha ... rasakan ini jalang! Rasakan ini!" Suara berat lelaki itu terdengar jelas di gendang telingaku. 

 

Ya Tuhan, mana ini knop pintunya. Tanyaku masih terus meraba dengan menahan rasa sakitnya di cambuk oleh lelaki biadab itu. 

 

Cekret!

 

Yes, aku berhasil membuka pintu. Kutendang sekuat mungkin tubuh kurus lelaki yang berada di atas tubuhku, dan segera aku berlari tungang lalang keluar dari mobilnya. Aku terus berlari menembus gelapnya malam dan kejamnya hutan yang mengeluarkan suara suara aneh itu. Aku masih melihat bayangan lelaki kurus itu terus mengejarku di bawah penyinaran lampu jalan yang tak sebegitu terang. Rasanya aku sudah tak sanggup lagi berlari, tubuh ini seakan ingin rubuh dan menyerah tapi aku tidak boleh mati naas seperti ini.

 

"Jangan kabur kamu!" Langkah lelaki itu begitu cepet sekali hampir saja aku tertangkap olehnya.

 

"Tuhan tolong aku sekali ini aja!" pintaku dalam hati. Aku terus membaca mantra itu sepanjang kuayunkan kakiku dengan sempoyongan.

 

Sebuah sinar lampu mobil membuat silau pandanganku. Akhirnya aku sedikit lega melihat ada mobil yang melitas di jalan ini. Setidaknya aku bisa meminta pertolongan, pikirku.

 

Aku melambaikan tangan ku berkali kali ,mobil berwarna biru laut itu berhenti seketika .

 

"Pak buka pintunya pak, buruan! Tolong saya Pak!" Aku mengetuk kaca mobil supir itu dengan perasaan panik.

 

Seketika supir itupun membukan pintunya untukku, seoalah ia tau bahwa aku sedang dalam bahaya.

 

"Jalan Pak buruan, cepat!" ucapku tergesa gesah dengan wajah takut. 

 

Tanpa menjawab supir itu menginjak gas dan mobil taksi itu melaju dengan cepat. Aku menarik nafas panjang dan mendengus keras. Aku sedikit lega, aku kira aku akan mati malam ini .

 

Aku masih melihat lelaki kurus itu di sebrang jalan dengan mulut terus berkomat kamit melihat taksi yang aku tumpangi melaju di sampingnya. Mungkin orang itu sedang mengumpatiku atau entah lah, yang pasti aku tidak bisa mendengarnya dan yang aku rasakan saat ini adalah kepalaku terasa sangat pusing sekali. Nafasku mengebu bagaikan kuda pacu. Jantungku berdegup kencang seolah jatuh dari tempurungnya.

 

"Mau kemana Neng?" tanya supir taksi itu menatapku dari kaca spion mobil.

 

"Turun di gang Sadewa Cilegon aja, Pak." Aku menyandarkan kepalaku pada bangku mobil dan perlahan memejamkan kedua mataku.

 

"Baik neng!" Supir taksi itu mengangguk lembut. 

 

      Hampir subuh buta aku turun dari taksi. Aku sengaja tidak meminta supir taksi itu berhenti di depan kontrakanku karena gang menuju kontrakan begitu sempit sehingga susah untuk dilewati mobil. 

     

Aku masih berjalan sempoyongan, ingin sekali aku segera sampai di kamarku dan membenamkan tubuhku yang penuh luka memar akibat cambukan lelaki sialan itu pada kasur kesayanganku. Namun apalah dayaku dua lelaki yang sedang mabuk itu justru menghampiriku, mencoba untuk mengodaku.

 

"Hallo cantik, main sama Abang yuk!" ucap lelaki plontos itu sambil menyentuh daguku. 

 

"Apa sih!" Aku menepis kasar tangan lelaki itu. 

 

"Ayolah, temenin Abang neng. Nanti Abang kasih neng uang," ucap lelaki berambut ikal itu mendayu. 

 

"Jangan macam macam!" Aku memukul kepala plontos itu dengan tas jinjingku karena ia hendak menyentuh buah dadaku.

 

Kemudian ia mendorongku kasar hingga pelipisku menyentuh tembok yang keras dan setelah itu aku tak tau lagi apa yang terjadi padaku.

 

 

Bersambung ...

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status