Share

Bab 3

    Kepalaku masih terasa sangat berat. Rasa kantuk ini menyergaku terus menerus. Aku mencoba membuka kedua mataku yang masih terasa lengket. Tetapi yang ada alam bawah sadar masih menari nari dalam pikiranku.

 

"Argh ... Sial!" decihku memegangi kepalaku yang terasa nyut nyutan. Sepertinya semalam aku terlalu banyak minum alkohol hingga membuatku seperti ini.

 

"Sudah bangun Mbak?" Suara seseorang berkata padaku memaksaku untuk tersadar. 

 

Aku mencoba membuka mataku perlahan. Sepertinya suara  itu bukan suara Riri yang sedang membangunkanku. Suara ini begitu lembut sekali. Tidak seperti suara sahabatku yang bagaikan kaleng rombeng.

 

Netraku melihat' bayangan perempuan sedang duduk di sampingku sambil meletakkan secangkir teh pada nakas. Benar saja ternyata dia bukan Riri. Gadis di depanku ini sepertinya lebih tua dariku melihat dandanannya yang begitu kuno sama sekali tidak modis.

 

"Augh!" Aku mencoba bangun namun lagi lagi kepalaku ini masih terasa berat sekali. Seperti ada benda berat yang menimpanya.

 

"Berbaring saja Mbak, kalau belum baikan istirahat saja dulu!" ucapnya begitu lembut terdengar sangat bersahabat. 

 

"Saya ada di mana?" lirihku mengedarkan pandangan ke sekeliling.

 

"Mbak lagi di pondok Nadratul salas," ucap gadis itu tersenyum ramah padaku.

 

"Hah, pondok pesantren maksudnya?" Seketika kedua mataku membulat penuh, wanita berkerudung itupun terlihat terkejut melihat ekspresiku.

 

"Bagaimana bisa aku berada di pondokan ini. Apakah aku sudah menghilang terlalu lama hingga aku bisa nyasar di tempat ini," batinku kian meronta penuh tanya.

 

Kuedarkan pandanganku ke seluruh ruangan yang didominasi dari papan kayu. Cukup luas ada 5 ranjang tingkat di sana. Tetapi di dalam ruangan ini hanya aku dan perempuan itu.

 

"Siapa nama kamu?" lirihku menatap lekat pada wanita yang berada di samping ranjang 

 

"Salma, Mbak!" sahut wanita bernama Salma itu mengulurkan tangannya padaku.

 

"Aku Desi," balasku menerima uluran tangan Salma.

 

"Ini sudah jam berapa ya?" Netraku mencoba mencari jam dinding di kamar itu namun dinding itu polos tanpa hiasan apapun.

 

"Ini udah waktu sholat ashar, Mbak!" tutur Salma.

 

"Apa? Sudah jam 3 sore!" Mataku kembali membuka lebar dengan menaikan nada suaraku.

 

"Mbak di mana tas saya, saya harus segera pulang ke rumah sekarang," ucapku tergesah-gesah. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling mencari tas jinjing yang seingatku masih kubawa pulang semalam.

 

"Oh, tas itu, sepertinya disimpan oleh Gus Al semalam. Sebentar ya saya tanyakan dulu." Perempuan memakai rok panjang berwarna coklat itu berajak dan meninggalkanku.

 

"Ya Tuhan, kenapa sial sekali nasibku ini," rutukku kesal pada diriku sendiri.

 

Tak lama kemudian Salma datang membawa tas jinjingku dan memberikannya kepadaku. Dengan gerakan cepat aku segera meraih benda pipih dari dalam tas itu. Namun sialnya ponselku justru mati.

 

"Kenapa Mbak?" Wajah Salma penasaran  melihat ekspresi wajahku yang berubah kesal. Hampir saja aku keceplosan mengumpat di depan seorang santri. Beruntungnya aku masih bisa menahannya.

 

"Mbak terimakasih sebelumnya. Tapi saya harus pulang dulu sekarang." Aku menurunkan kaki jenjangku dari ranjang hingga selimut yang menutupi paha mulusku itu pun terbuka.

 

"Astaghfirullahaladzim!" Salma membungkam mulutnya yang mengaga. Sorot matanya melihat pada hotpan yang kukenakan.

 

"Ada apa Mbak?" tanyaku keheranan.

 

"Itu celana kenapa seperti itu. Masya Allah, mana ada garis memar banyak sekali. Itu aurot Mbak, kalau umi sampai lihat nanti bisa marah besar," beo Salma menujuk hotpants yang aku kenakan dengan wajah syok.

 

"Terus saya harus bagaimana dong?" ucapku menatap wajah Salma.

 

"Mau lewat sih lewat aja. Kalau emang dasarnya jelalatan ya jelalatan aja." Aku menatap Salma yang sibuk mencari sesuatu dari dalam lemari.

 

"Nih, pakai rok saya aja Mbak. Tapi nanti balikin ya!" Salma menyodorkan rok berwarna biru laut dengan mendelikan matanya padaku.

 

"Apa!" Aku menautkan kedua alisku heran mendengar ucapan Salma.

 

"Iya Mbak, di luar ada banyak santriawan dan santriwati sedang berkebun. Maklum Mbak ini kan hari jumad bersih." Salma terus nyerocos tak henti hentinya membuatku semakin kesal.

 

Aku segera mengenak rok yang Salma berikan padaku. Rasanya aku sudah tidak ingin berlama-lama bersama wanita cerewet itu.

 

"Udah kan!" Aku menunjukan diriku pada Salma yang mengenakan rok pemberiannya.

 

"Sudah Mbak, sip!" Salma mengacungkan jempolnya padaku seraya menyunggingkan senyuman kecil. 

 

"Baiklah, terimakasih. Aku mau pulang sekarang!" Aku mengayunkan kaki jenjangku yang kini berbaluk rok Salma yang jelas rok itu terlalu pendek untukku. Karena tubuhku lebih tinggi dari pada tubuh Salma. Hingga akhirnya terpaksa aku mengangkat rok itu sampai bawah lutut agar tidak kelihatan kalau ukurannya tidak pas pada tubuhku.

 

"Mbak Desi, tunggu!" Salma Berlari mengejarku yang hampir sampai pada ambang pintu.

 

Aku mendengus kasar kemudian menoleh pada Salma. "Ada apa lagi Mbak Salma," ucapku dengan nada mengeja, kesal.

 

"Kerudungnya belum, Mbak!" Salma menyodorkan kerudung berwarna senada dengan rok yang aku pakai.

 

Aku menyambar kain panjang dari tangan Salma dan segera mengalungkannya pada leherku dan menutupi kepalaku.

 

"Sudah!" cetusku membulatkan mata pada Salma. Kemudian memutar tubuhku.

 

"Dasar nggak tau malu!" Samar-samar aku mendengar suara Salma menghardikku .

 

Ah sayangnya aku sedang tak berminat untuk berdebat. Kepalaku kini masih terasa pening sekali.

 

Aku bejalan direrumputan yang lapang dengan halaman yang lumayan luas. Aku baru tau kalau di gang Arjuna ada tempat sebagus ini. Santriwan dan santriwati sedang sibuk dengan kegiatan membersihkan lingkungan tempat meraka tinggal. Lingkungan pondok ini begitu terawat, terlihat dari tatanan tamannya yang begitu indah dan rapi. Maklum aku baru pertama kali menginjakkan kakiku di tempat ini.

 

Sebuah netra memperhatikanku dari kejauhan. Ia yang sedang sibuk memotong rumput di depan pondok santriwan. Sepertinya sih begitu, karena yang berada di depan ruangan itu semuanya lelaki.

 

Seorang lelaki memakai kaos oblong berwana putih. Bulu halusnya yang selalu mengusik rasaku. Bukankah dia adalah lelaki impianku. Duh ... Mengapa dia terus saja mengawasiku membuat jantungku berantakan saja.

 

Segera kupercepat langkah kakiku. Aku masih berjalan dengan mengakat sedikit rok yang kekecilan ini dan kerudung biru laut yang masih menutupi rambut panjangku. Meskipun tidak menutupi semua rambutku tapi setidaknya aku hampir sama dengan penghuni tempat ini.

 

****

   Pintu kontrakan masih terbuka berarti Riri masih di rumah. Ternyata berjalan dari gang Arjuna ke Sadewa itu cukup melelah juga. Tetapi lumayanlah hitung-hitung olahraga.

 

"Des, dari mana aja sih lu semalaman kagak pulang pulang?" cerocos Riri yang sedang membenarkan alisnya sesekali melirik pada kedatanganku kemudian pada cermin yang berada di depannya.

 

"Ya Tuhan, Ri aku tu habis nyasar dan hampir mati tau nggak. Gara-gara tamu gila semalam." Aku membanting tubuhku keras di kasur lantai kami. Kubuang tas jinjingku sembarang.

 

"Hahah ... yang orangnya kurus itu ya?" Riri cekikikan. Namun matanya masih memperhatikan garis horizontal pada alisnya yang belum sejajar.

 

"Kamu tau Ri." Aku mengerjap bangun mendekatkan tubuhku pada wanita yang berada di depan meja rias.

 

"Tahu lah, itu sih barang pahit. Untung kamu bisa kabur. Dulu aku di siksa, di tiduri di tinggal di pinggir jalan dan parahnya lagi kagak di bayar." Riri bersungut-sungut mengingat pengalamannya dengan lelaki gila itu.

 

Aku mendengus lega. Kembali menghempaskan tubuhku pada kasur. "Untung aku semalam kabur!" gumanku.

 

"Terus semalaman kamu tidur di mana?"

 

"Oh semalam, nggak tau bagaimana ceritanya. Tau-tau aku sudah berada di dalam pondok pesantren di gang sebelah tau Ri." Aku beranjak bangun dari tempat tidur dan duduk mendekati Riri yang kini sedang mengulaskan kuas pada bibirnya.

 

"Apa? Ketemu dong sama Gus ganteng." Riri membelalakan bola matanya memandangku penasaran.

 

"Boro-boro ketemu, yang ada malah wanita cerewet yang menjamin baju ini nih," gerutuku dengan kesal.

 

"Hahah ...ya ngak apa-apa lah, latihan jadi istri Gus muda. Bukankah kamu naksir sama Gua itu kan?" ledek Riri terkekeh.

 

"Enak saja!" balasku melemparkan bantal pada wanita yang sibuk memilah baju di dalam lemari.

 

"Udah ah, aku mau kencan sama Mas Broto," ucap Riri asal setelah menemukan baju yang cocok dari dalam lemari.

 

"Apa, Mas Broto?" sergahku. "Masa iya Ri, kamu mau kencan sama laleki yang pantas di sebut kakek kamu itu," imbuhku menautkan kedua alisku.

 

"Iya, nggak apa-apa Des. Daripada yang lain cuma mau enaknya aja dan duitnya susah." Riri mencoba dress berwarna merah marun yang membuatnya terlihat sangat cantik.

 

Aku mendengus halus, menarik sedikit senyuman. Memang menjadi perempuan malam tidak semudah dengan apa yang orang lihat. Andaikan ada pekerjaan lain, pasti mereka akan memilih pekerjaan lain itu. Begitu pun dengan diriku.

 

"Ya sudah, aku mau tidur. Hati-hati di jalan Ri!" balasku.

 

"Iya tenang aja sih Mas Broto bawa mobilnya pelan-pelan kok. Kamu mau di bawaain apa kalau aku pulang nanti?" Riri mengambil tas jinjingnya yang berada di atas meja rias.

 

"Ehm, nasi uduk aja Ri yang ada di pasar baru."

 

"Baiklah!" balas Riri berlalu meninggalkanku.

 

     Aku kembali menengelamkan tubuhku pada kasur. Perlahan rasa kantuk mulai menyerahku dan semakin membuatku terbuai.

 

Dreg! Dreg! Dreg!

 

Benda pipih yang bergetar membuyarkanku dari rasa kantuk. Dengan malas aku meraih benda pintar itu lalu menyentuhnya lembut pada layar ponsel.

 

[Siapa nama mu?]

 

[Lain kali jangan berjalan sendiri di malam hari] 

 

Tulis pesan masuk di gawaiku dengan nomor yang tidak ku kenal.

 

"Hari gini masih SMS jadul amat," ucapku menatap layar ponsel. Kemudian menekan tombol kembali dan melemparnya di samping bantal tempat kuberbaring. Aku paling tidak suka membalas pesan dari nomor tidak dikenal.

 

"Apa mungkin dia adalah lelaki itu?" 

 

Sejenak aku berpikir dengan benak yang melambung tinggi. Membayangkan jika seseorang yang mengirimiku pesan adalah Gus Al.

 

"Duh, kenapa aku jadi senyum-senyum sendiri!" 

 

 

****

 

Bersambung ...

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status