Share

Bab 4

Cekrek!

 

Terdengar seseorang membuka knop pintu. Namun rasanya aku malas sekali untuk bangun dan melihatnya. Aku masih ingin bermalas malasan di kasurku yg empuk menyaksikan acara komedian laki laki berambut merah yang sedari tadi mengocok perutku.

 

"Desi, ih kamu ini!" sergah Riri dengan wajah kesal sambil menenteng banyak kantong kresek di tangannya menghampiriku.

 

"Apa sih Ri, Aku masih sibuk nonton TV nih," balasku tanpa menoleh sedikitpun pada Riri.

 

"Bantuin dong ih!" protes Riri. 

 

"Iya, iya Ih!" Aku segera mengerjap bangun dan mengambil sebagian kantong yang ada di tangan riri dan meletakannya di atas meja makan.

 

"Lagian kamu belanja banyak banget sih Ri. Kan nyusahin diri kamu sendiri." Aku kembali menjauhkan tubuhku pada sofa yang berada di depan televisi.

 

"Heh, ini tu mumpung Des, mumpung lelaki tua itu banyak duitnya. Kan dia baru aja dapat proyek baru." Riri tertawa kegirangan, dasar matre. 

 

"Iya, mumpung di belanjainkan?" aku memonyongkan bibirku sedikit ke depan melihat pada Riri yang menarik kedua sudut bibirnya tersenyum lebar 

 

"Iya Des, kamu tau aja. Ini tuh rejeki anak sholeha, Desi," timpal Riri.

 

 

"Hahah ... bukan anak sholeha Ri, tapi jablai Sholeha." Aku tertawa terpingkal pingkal puas meledeki Riri.

 

"Yah, ngak apa-apa lah Des. Siapa juga yang mau seperti ini, mungkin ini sudah takdir kita." Riri pun tertawa terkekeh tak kalah hebohnya denganku  

 

"Eh itu kresek yang warna ijo pesenan spesialmu, aku kasih gratis, nggak usah bayar." Riri tertawa menujuk pada sebuah kantong kresek berwarna hijau.

 

"Dasar kamu!" aku mengerutu dan mengambil sebungkus nasi uduk dari dalam kresek yang berada di atas meja makan.

 

"Des kamu tau nggak, lelaki tua itu ngajakin aku nikah tau," ucap Riri  yang sedang menikmati sebatang rokok Marlboro mild di sampingku.

 

"Terus Lo mau gitu?" Aku yang masih sibuk mengunyah nasi uduk melirik pada Riri yang memasang wajah berpikir. 

 

"Ya, maulah Des. Lagi pula aku juga sudah capek Des kerja seperti ini terus," balas Riri sekilas melihat ke arahku.

 

"Emang kamu di madu. Bukankah si Broto itu sudah memiliki istri dan anak?" Aku menyudahi makanku. Akhirnya kenyang juga makan sebungkus nasi uduk terenak di kota Cilegon.

 

"Ya, ngak apa-apa sih Des. Yang penting kan dinafkahi," tukas riri mengepulkan asap rokoknya membentuk bulatan kecil yang mengudara.

 

"Yang namanya jablay semakin tua pasti semakin ngak laku Des. Apalagi sekarang anak masih ingusan aja udah pada jual diri ." Riri menjeda ucapannya dengan wajah getir.

 

"Aku juga rindu anakku Des, mamakku sekarang sudah sering sakit-sakitan. Aku pengen merawatnya di kampung. Aku sudah lelah bekerja seperti ini. Tidak mungkin juga selamanyakan aku jual diri. Aku pengen kaya orang-orang punya kekuarga yang harmonis, punya suami, dan keluarga," suara riri mendadak terdengar begitu berat. Seperinya ia sedang menahan embun yang sedari tadi menutupi pandangannya.

 

Aku memeluk tubuh mungil Riri agar ia bisa menumpahkan segala kegundahan dalam hatinya. Kubiarkan wanita itu terisak dalam pelukanku.

 

"Sepertinnya memang benar apa yang Riri katakan. Tidak mungkin seumur hidupku akan begini. Tapi lelaki mana yang mau menikah dengan wanita kotor sepertiku ini," batinku semakin mengembara jauh.

 

"Bodoh!" rutukku berdecak kesal pada pikiran sendiri.

 

Terlihat pandangan Riri jauh menerawang jauh. Sepertinya ia sedang memikirkan nasib yang akan ia jalani. Wanita keturunan sunda yang usianya terpaut jauh dariku ini memang sudah memiliki anak. Setauku kini anaknya sudah berusia 8 tahun. Dulu Riri dijodohkan oleh orang tuanya. Namun tabiat suaminya yang buruk membuat ia memutuskan untuk berpisah. Hingga akhir ia terjun menjadi seorang wanita pemuas nafsu karena tuntutan kehidupa. Meskipun begitu ia tidak pernah menceritakan hal yang sebenarnya kepada keluarganya nya. Yang meraka tau Riri di kota bekerja sebagai seorangpelayan restoran 

 

*****

 

Aku masih berdiri di depan pagar tinggi di hadapanku. Aku mengenakan celana jeans berwarna biru dan kaos street berwarna putih. Kuikat kuda rambut panjangku yang menjuntai.

 

Rasanya aku malas sekali masuk ke dalam pondok pesantren ini.  Keedarkan pandanganku ke sekeliling, netraku terus mencari gadis berkulit sawo matang pemilik rok dan kerudung biru laut yang pernah dipinjamankannya padaku. Namun tidak ada satu pun santri yang keluar atau masuk dari pintu pagar di mana kini aku berdiri di depannya.

 

Kulangkahkan high heelsku melewati halaman hijau yang lapang setalah mengumpulkan keberanianku. Rumput jepang yang tertanam rapi dan bunga-bunga yang menghiasi sepanjang jalan setapak yang kulalui sungguh indah dan membuat hati damai.

 

Kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Beberapa gadis dengan kerudung yang hampir senada membuatku sedikit kesusahan untuk menemukan Salma.

 

"Itu dia!" gumanku saat melihat gadis itu sedang bersama kawan kawannya di depan pelataran teras sebuah kelas.

 

"Hay ... Hay!" Aku melambaikan tanganku pada Salma, namun seperti Salma sama sekali tidak mendengarku.

 

"Is, kenapa tidak dengar sih!" gerutuku kesal. padahal aku sudah berteriak sekeras mungkin agar Salma mendengar suaraku.

 

"Cari siapa Mbak?" 

 

Seseorang menepuk pundakku. Aku begitu terkejut, hampir saja jantungku mau copot dari tempatnya.

 

Aku membalikan tubuhku untuk memastikan siapa yang menepuk pundakku tadi. Takut jika bukan manusia. Ya Tuhan, pikiran apalagi ini .

 

Aku kembali tercekat. Lututku terasa lemas, saat melihat seorang lelaki dengan bulu halus di wajahnya. Bibirnya yang tipis dan hidungnya yang mancung. Sungguh aku sedang menikmati ciptaan Tuhan yang paling Indah yang belum pernah aku temukan sebelumnya.

 

"Mbak!" panggil lelaki itu menyeretku kembali dari lamunan. Segera aku menyadarkan diriku dan membuang rasa kagum yang membuatku seperti orang bodoh.

 

"Oh, itu aku sedang mencari ..," ucapku terbata bata. Sepertinya sulit sekali mengembalikan kesadaran diriku. Sialan. 

 

"Cari aku Gus!" celetuk seseorang yang membuatku terkejut, ia muncul dari belakang punggungku.

 

"Oh, ustadzah Salma!" Lelaki yang dipanggil Gus itu menggangguk lembut. Kemudian pergi meninggalkanku yang masih termenung karena pesonanya saat Salma tiba di hadapanku.

 

"Ada apa Mbak?" tanya Salma menatapku dengan tatapan aneh.

 

"Mau balikin baju kamu nih!" Aku menyodorkan sekantong plastik yang berisi baju Salma yang telah Ia pinjamkan kepadaku. Namun sorot mataku masih memperhatikan kepergian lelaki yang membuatku terpesona.

 

"Mbak, bilang terimakasih dong!" cetus Salma ketus membuatku segera menoleh ke arah wanita itu.

 

" Oh iya Mbak Salma, terimakasih!" Aku menimpalinya. 

 

"Mbak saya bilangin ya, jangan coba-coba dekati Gus Al, karena dia adalah target saya," ucap Salma sembari membuka matanya lebar padaku. 

 

Aku hanya diam dan mengabaikan ucapan Salma yang tidak begitu penting bagiku. Lagi pula buat apa dekat dengan lelaki sombong. Meskipun wajahnya benar-benar mengalihkan duniaku.

 

"Duh ... Apa sih Desi!" 

 

 

****

 

Bersambung ....

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status