Share

Bab 5

    Aku masih duduk di tepi danau. Menikmati pemandangan beberapa orang yang sedang menghabiskan waktunya di danau ini. Terdengar tawa mereka berderai derai. Ada yang sibuk memancing, sibuk bermain dengan anak-anak mereka atau sekedar memadu kasih. 

"Hay, Desi!" sapa seseorang yang membuatku terkejut. Aku memcoba melihat ke sekeliling. Tapi tidak siapapun yang berada di sekitarku.

"Apakah aku salah dengar?" Aku bermonolog dengan diriku sendiri. 

"Tidak kok, aku di sini!" Seseorang berdiri tepat di belakang punggungku .

"Kenapa lelaki itu?" batinku semakin riuh ramai saat melihat kehadiran lelaki tampan itu. Perlahan ia berjalan mendekatiku, lalu menjatuhkan tubuhnya tidak jauh dari tempatku berada. Membuatku semakin gugup saja.

"Desi!" panggil Gus Al meluluhkan hatiku yang sedang tidak tenang.

"Iya!" ucapku hampir mirip seperti orang gagu. Kedua mataku tak berkedip sedikitpun melihat kepada Gus Al.

"Kamu juga suka datang ke sini ya?" Lelaki dengan kaos oblong berwarna putih itu menatap ke arahku. Semburat senyuman tersungging dari kedua sudut bibirnya membuatku hampir meleleh karena pesonanya.

"Iya!" Aku seperti orang yang sedang kebingungan. Entahlah apa yang sebenarnya terjadi pada diriku sendiri.

"Panggil saja Mas," ucap Gus Al tersenyum sangat manis sekali.

"Mas?" Aku sedikit terbelalak. Bagaimana bisa lelaki sedingin es ini kini berubah sehangat mentari. Ya Tuhan, apakah aku sedang bermimpi. 

"Aku juga suka sekali main ke sini," ucapnya membuat kami terasa sangat akrab sekali.

Aku hanya diam melongo. Desiran darahku semakin mengalir deras tapi entah mengapa otakku seolah berhenti begitu saja.

"Des!" Gus Al mengulang lagi panggilannya.

" Iya Gus, eh salah, iya Mas!" 

Duh, kenapa aku menjadi salah tingkah seperti ini membuatku malu saja. bukankah aku sudah biasa menggoda tapi kenapa ini rasanya berbeda. Aku sama sekali tidak dapat berkutik sedikitpun."

"Aku juga suka ke sini Des untuk melihat senja yang temaram. Tapi sayangnya hari ini sedang mendung jadi senja tak terlihat begitu jelas," ucap Gus Al panjang lebar namun aku belum sepenuhnya mencerna ucapannya. Aku benar-benar kacau.

"Oh begitu ya!" balasku dengan otak yang masih terus menerka dari mana lelaki itu mengetahui namaku.

"Des bolehkah Aku mengungkapkan sesuatu!" ucap Gus Al membuatku tercekat. Debaran jantungku semakin bertalu-talu. Apakah yang akan lelaki itu ucapkan padaku.

"Iya!" balasku setelah beberapa kali menarik nafas panjang untuk mengisi kerongkonganku yang terasa sesak. 

Aku harap kali ini wajahku tidak merasa seperti udang rebus. Kalau saja sampai Gus Al menyadari hal itu aku pasti akan sangat malu.

"Aku ingin mengajakmu ta'aruf Des!" ucap Gus Al penuh keyakinan.

"Apa?" Seketika suara lantangku membuat semua orang di sekitarku menatap aneh padaku dan Gus Al.

"Aduh!" Gus Al menepuk lembut pada keningnya.

"Maaf!" ucapku mengigit bibir bawahku dengan wajah malu. Bisa-bisanya aku keceplosan.

"Bagaimana, kamu bersedia kan?" Gus Al terlihat sedang menunggu jawabanku.

"Bagaimana apanya?" Balasku dengan wajah gugup. Ayolah Desi, berpikir. 

Lelaki tampan yang duduk dihadapanku menghela nafas panjang kemudian menarik kedua sudut bibirnya tersenyum manis. "Kamu bersedia kan ta'aruf denganku?" ucapnya lagi.

"Oke baiklah!" balasku mengiyakan permintaan Gus Al. Wajahnya yang mengiba membuatku segera mengiyakan permintaannya.

"Apa, kenapa aku mengiyakannya. Aduh bodohnya aku ini. Harusnya aku sadar diri siapa aku ini. Tapi hatiku seolah tidak mau menolaknya. Sayang banget lelaki setampan ini dan sebaik ini jika harus disia-siakan," batinku memberontak.

Gus Al masih saja mamandangi wajahku dengan seksama.

"Wajahmu memerah Des!" celetuknya membuat aku menjadi salah tingkah.

"Apa? Benarkah?" Aku menyapu wajahku dengan kedua telapak tanganku. Berusaha menghilangkan rona merah pada wajahku.

"Biarkan saja Des, kamu terlihat cantik kalau begitu!" Gus Al menahan pergelangan tanganku. Sepertinya ada yang memburu membuat jantungku bertalu-talu.

"Oh Tuhan, mimpi apa aku semalam. Rasanya aku ingin menghilang saja dari sini. Duh Gus, jantung ini serasa mau copot saja!" seruku dalam hati.

"Tapi apakah aku boleh minta sesuatu dari kamu!" tutur Gus Al terdengar ragu.

"I-iya!" jawabku terbata.

"Kamu berhenti kerja di tempat hiburan itu ya. Setelah kita ta'aruf aku akan menikahimu dan menafkahimu," ucapnya membuat hatiku terenyuh.

Tidak pernah terlintas dalam benakku jika akan ada lelaki yang mau menikahiku. Namun kini seorang lelaki yang jauh dari anganku datang menawarkan diri untuk menjadi imamku. Aku sungguh tidak pantas bersanding dengan lelaki sempurna Gus Al.

Netraku seketika mengembun, meramunkan  pandanganku. Jawaban apa yang harus aku katakan padamu Gus. Aku sungguh terharu, aku masih menatap kedua bola matanya yang indah dengan mulut terkunci. Mencoba menelisik barang kali ia hanya sedang mengodaku tapi sepertinya tidak. Wajah sendu itu meyakinkan kegamangan hatiku bahwa ia benar-benar serius.

"Kamu tidak perlu khawatir, kamu bisa tinggal di pondok. Tapi bantu bantu Bik Nah di dapur ya. Setiap pagi menyiapkan makanan untuk anak anak dan kamu juga boleh ikut belajar mengaji di pondok," tutur Gus Al begitu lembut padaku. Sorot matanya menawarkan kehangatan padaku.

Aku hanya mengangguk, pertanda mengiyakan permintaannya.

Gus Al menyunggingkan senyuman padaku. Kemudian ia beranjak pergi menuju sepeda motor matic yang ia parkir tidak jauh dari tempat kami duduk.

"Oh iya Des, aku yang sudah SMS kamu semalam. Maaf ya!" tukasnya lagi sembari membalikan tubuhnya sekilas melihat padaku.

"I-iya." balasku terbata.

Laki laki itu kemudian berlalu meninggalkanku yang masih mematung di pinggir danau. 

"Ya Tuhan, apakah ini mimpi!" gumanku menepuk lembut pada pipiku.

*****

Sebuah koper besar berdiri di depan kontrakan. Terlihat gadis kecil mungil itu mondar mandir di depan pintu kontrakan.

"Ri, mau kemana?" tanyaku heran kepada sahabat Riri yang sudah berdandan rapi.

"Aduh Des, kamu dari mana sih? Aku nungguin kamu tau," ucap Riri tergesa-gesa.

"Kamu mau pergi kemana Ri, kok bawa koper segala," balasku heran.

"Aku harus pulang Des, ibu meninggal." Riri menghamburkan tubuhnya di pelukanku menangis sesegukan.

"Inalillahi wa innailaihi rojiun, sabar Ri, sabar." Beberapa saat aku membiarkan Riri menangis dalam pelukanku.

"Pulanglah!" Aku melepaskan pelukan Riri yang masih terisak.

Sebuah mobil luxury telah terparkir di depan pintu kontrakan. Sepertinya itu Broto kekasih Riri yang menjemputnya.

Riri segera memasukan koper besarnya ke dalam bagasi. Kemudian ia menaiki mobil berwarna putih itu. Ia melambaikan tangannya padaku.

Aku narik nafas panjang kemudian mendengus dengan kasar melihat pada kepergian Riri.

*******

    Aku memasuki sebuah ruangan yang cukup luas. Di setiap sudut terdapat rak rak buku yang berjajar rapi dan piala piala yang di letakan di dalam lemari hias. Aku masih duduk di kursi sofa berwarna hijau muda, menunggu seseorang yang sedari tadi memintaku untuk menunggu di sini.

"Assalamualaikum ...," ucap wanita memakai kerudung menjuntai hingga hampir menyentuh pinggang itu padaku.

"Wa alaikum salam..!" sahutku.

"Ini toh kawannya Al yang mau bantuin Bik nNah mengurus kantin?" Wanita paruh baya itu tersenyum padaku.

"Apa mungkin itu ibunya Gus Al?" batinku.

"Iya Bu!"

"Panggil saja Umi, Di sini semua memanggil Umi," ucap wanita ini terdengar ramah.

"Loh, Umi ada di sini!" ucap Gus Al yang baru datang mengenakan kaos oblong berwana putih dan celana gombrang berwarna hitam. Ia jauh terlihat lebih muda jika mengenakan baju casual seperti ini. 

"Iya tadi Bik Nah yang bilang ada tamu." 

Aku hanya mengangguk, tersenyum dan mengatakan iya. Sungguh semua ini bukan duniaku aku tidak yakin bisa menjalaninya.

"Ini Umi ku Des!" Gus Al memperkenalkan ibunya padaku.

"Udah kenal Al ,tadi sudah ngobrol kok!" sahut wanita itu.

"Namanya siapa?"

"Desi Umi," ucapku pada calon mertuaku itu. Lebih tepatnya ibunya Gus Al.

"Asli orang mana?"

"Dia itu orang jawa tengah Mi. Di sini merantau sama temannya dan butuh pekerjaan. Dia pun serius ingin belajar mengaji Mi." Gus Al menjelaskan panjang lebar pada ibunya.

"Oh, bagus itu!" Umi menegaskan seraya menyungingkan ulasan senyuman.

Gus Al mengedipkan sebelah matanya padaku. Seoalah memberi kode agar aku mengikuti permainannya. 

"Benarkah demikian?" ucap Umi melihat padaku.

"I, iya Mi!" ucapku terbata.

****

Aku menelusuri lorong pondok pesantren yang cukup luas itu. Berjalan memunggungi lelaki yang sudah membelaku tadi.

"Hey!" Rasa penasaran ini tidak bisa lagi kutahan. Lelaki yang sedari tadi berjalan di depanku itu diam seribu bahasa. Tidak seperti dirinya di hari lalu yang hangat bagaikan mentari senja.

Gus Al hanya membalikan tubuhnya kemudian menatapku. Mulutnya terkatub tidak mengeluarkan satu aksara pun.

"Oke baiklah kalau itu mau mu!" Aku berdecak kesal.

Hingga tiba di kantin pondok pesantren yang terletak di sudut tanah seluas 2 hektar itu. kemudain Gus Al mengenalkan aku dengan Bik Nah, wanita yang sedikit berisi namun masih terlihat sangat bugar itu. Kemudian ia menunjukkan kamar untukku yang terletak di belakang kantin bersebalahan dengan kamar Bik Nah

.

"Ini kamarmu?" ucap Gus Al menunjukkan ruangan yang lebih sempit dari pada kontrakanku.

"Apa?" Aku mmbulatkan bola mataku menatap pada kasur lantai yang tipis dan satu lemari baju yang terbuat dari plastik di dalam kamar itu.

"Kok gini!" Gus Al memotong ucapanku, Menatap wajahku dengan sorot mata yang begitu tajam.

"Perbanyak bersyukur, jangan banyak mengeluh," ucap Gus Al berlalu meninggalkanku.

"Laki laki itu cepat sekali berubahnya," gerutuku.

Aku membaringkan tubuhku di atas kasur kapuk yang tipis sekali kemudian kubuka kerudung warna merah marun yang membalut rambutku sedari tadi. Gerah sekali atau mungkin karena aku baru pertama kali memakainya 

Aku menyunggingkan senyumanku. Di sini tidak ada rokok, tidak ada alkohol yang ada hanya riuh tawa anak anak yang sedang belajar mengaji terasa sejuk dan menetram kan jiwa.

Brug! Sesuatu jatuh tepat di wajahku.

"Aw!" Aku bergegas untuk bangun.

"Itu selimut, siapa tau kamu nanti kedinginan,"  ucap Gus Al yang berdiri di depan pintu memandangku dengan menahan tawa.

"Aish!" Hampir saja aku mengumpat lelaki itu. Namun aku hanya berani' berdecak kesal.

****

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status