~~~***~~~
Ega bergegas menaiki tangga menuju ruangan Zaki dengan langkah riang. Hatinya berbunga-bunga. Pemecatan Ayu memberinya angin segar bahwa Zaki lebih memilihnya. Ia senang sekali karena akhirnya Zaki menyadari dimana seharusnya ia berada. Ia yakin langkahnya untuk menuju pelaminan bersama Zaki akan terwujud sebentar lagi.
Udara dingin menyapanya saat ia masuk ke ruangan Zaki. Zaki sendiri sedang sibuk membuka beberapa file dokumen di atas mejanya.
"Sayang, aku seneng banget akhirnya kamu memecat perempuan itu. Sekarang takkan ada lagi yang mengganggu hubungan kita. Kita bisa segera menikah." kata Ega sambil mendekati Zaki dan duduk di pegangan kursinya.
Zaki menggeliat seakan ingin melepaskan diri dari pelukan Ega membuat Ega cemberut. Dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa Zaki dingin padanya? Harusnya mereka merayakan kemenangan ini dengan wajah gembira, bukan dingin seperti ini, kan?
"Duduk lah di sofa. Ada yang ingin ku tunjukkan padamu.
Terima kasih banyak sudah membaca sejauh ini. Happy reading!! ~~~***~~~ Sore itu, mentari sudah kembali ke peraduannya. Di sebuah apartemen yang mewah. Seorang lelaki berwajah keras, dengan bulu lebat yang mulai tumbuh di bawah dagunya, menengguk botol minumannya entah untuk yang ke berapanya. Ia membanting botol itu ke lantai saat dirasanya botol itu tak jua mengeluarkan air setetes pun. Ia terlihat marah. Tak lama ia berteriak. Suaranya sendu menyiratkan keputusasaan yang dalam. "Neng... Aa kurang apalagi dalam mencintai Neng. Semua Aa berikan buat Neng. Bahkan nyawa pun rela Aa berikan asal Neng selalu bersama Aa. Tapi mengapa kau terus-terusan menolakku?" Laki-laki itu tak mengerti. Di saat perempuan lain menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, Ayu sebaliknya. Ia selalu mencari cari untuk menolaknya. Padahal apa yang kurang darinya? Tampan, iya. Kaya tujuh turunan juga iya. Irfan menendang sofa di depannya sekuat tenaga. Oto
~~~***~~~ Awan tertutup kabut tebal. Hembusan udaranya yang dingin terasa sejuk menerpa kulit. Seorang perempuan berambut sebahu yang baru saja selesai meletakkan lamaran di resto terdekat, turun dari kendaraan roda duanya untukmengangkat telpon. “Neng, kamu mesti hati-hati." Teriak emak. "Ada apa, Emak?" "Katanya Irfan ada di Jakarta. Bisa saja kan dia nemuin kamu trus macem-macem sama kamu. Pokoknya jauhin dia kalau ketemu.Jangan merespon kalau dia mengajak kamu jalan bareng, nonton atau apapun. Emak gak mau anak emak jadi pelakor. Emak gak bakal nganggap kamu jadi anak lagi kalau kamu sampai jadi orang ketiga dihubungan mereka. Ngerti?” Ayu mengiyakan dengan suara tertahan. Setelah beberapa menit, akhirnya obrolan mereka berakhir. Ayu menutup telponnya putus asa. Seandainya mereka tahu kalau Ayu melakukan lebih dari yang Emaknya pikirkan? Entah semarah apa kedua orangtuanya? Mungkin mereka tidak hanya membuangnya, tapi juga membunuh
~~~***~~~ Braakk.... Zaki meringis saat Ayu menabrak kaca pembatas. Sepertinya gadis cantik itu tidak melihat dinding kaca tebal di depannya sehingga ia menabrak dinding tersebut. Memang sih, pintu dan dinding itu sama-sama terbuat dari kaca tebal dan kalau tidak jeli memperhatikan, tidak akan terlihat. Ayu mengusap keningnya dengan wajah memerah karena malu, membuat laki-laki tampan yang sedang meminum kopi itu terkekeh geli. "Kamu gak apa-apa kan, Neng?" Tanya Zaki menggoda. Ia menghadap Ayu yang terlihat lebih segar dan cantik daripada kemarin. Dengan latar panorama senja di belakang tubuh Ayu, membuat sosok Ayu terlihat lebih mempesona. Meski di balik wajah cerianya, ia seperti bidadari yang terluka. Sorot matanya yang kosong seakan menyimpan beribu misteri di dalamnya. "Ga papa .. Ayu gak papa kok." Ayu tersenyum santai seolah ia memang tidak apa-apa. Zaki tertawa pelan, pandangan matanya mengikuti Ayu yang berjalan mengha
~~~***~~~“Kamu sudah tidak perawan?”Zaki shock, benarkah? Gadis sebaik dan semanis Ayu bisa kehilangan kevirginannya. Tapi, bagaimana mungkin? Ayu itu bukan wanita nakal. Ia tahu itu."Siapa yang melakukannya padamu? Apa Irfan?"Ayu tak menjawab, tapi tangisannya yang semakin keras menjelaskan semuanya. Zaki mengepalkan tangannya geram.Bagaimana bisa kamu melakukan itu pada perempuan sebaik Ayu, Fan! Aku janji akan membuat perhitungan denganmu. Lihat saja nanti!Hati Ayu semakin teriris saat melihat Zaki terdiam. Ia yakin Zaki pun kecewa padanya. Memikirkan itu, Ayu dengan tegar, menghapus airmatanya. Seraya tersenyum pahit.” Sekarang Abang mengerti kenapa Ayu tidak bisa menerima Abang?”Kelopak tangan Zaki mengepal, rahangnya mengeras karena marah. Ayu ketakutan. Ia yakin Zaki semakin marah padanya, ia pasti mengira Ayu bukan perempuan bak-baik. Seharusnya ia tidak perlu berterus terang seperti tadi.
~~~***~~~ Zaki menggiring Ayu pulang ke kosnya sore itu juga. Yeah, ia hanya menggiringnya saja dari belakang kendaraannya, karena Ayu membawa vinot kesayangannya. "Sampai bertemu besok pagi, Neng. Sekarang istirahat yang cukup supaya besok Neng mempunyai tenaga untuk ngedate sama Abang!" Ayu tersipu, ia mengangguk. Setelah melambaikan tangannya, Zaki pun melajukan mobilnya pergi. Hatinya sedang berbahagia. Ia pun menyalakan musik radio dengan volume kencang, seraya ikut bernyanyi bersama sang penyanyi dengan suara seraknya. Ia tidak peduli ada yang mengumpati suara tidak merdunya. Yang penting ia bisa meluapkan kebahagiaannya saat ini! Mobilnya berhenti di depan lampu merah, begitu juga mobil berwarna putih di belakangnya. Setelah beberapa detik berlalu yang terasa membosankan, lampu kembali berwarna hijau, Zaki melajukan kendaraanya begitu juga mobil di belakangnya. Zaki berhenti un
~~~***~~~ Pagi yang segar. Mentari tidak terlalu terik, udara juga tidak terlalu panas, mungkin karena semalam hujan. Sisa tetesan hujan pun masih berjatuhan dari dedaunan yang bergoyang tertiup angin. Semua kesejukan itu berbanding terbalik dengan kondisi Zaki yang tak hentinya mengelap keringat yang menetes dari pelipisnya. Padahal ia tidak sedang berolah raga apa pun. Celana jeans hitam, kaos putih, jam tangan dan sepatu kets sudah dia pakai semua. Berkali-kali ia mematut dirinya di cermin, untuk memastikan penampilannya sudah sempurna. Tapi entahlah, Zaki masih merasa ada yang salah terus hingga ia mesti membenahi penampilannya lagi dan lagi. Jantungnya pun tak hentinya berloncatan saking groginya. Dia seperti abg yang baru pertama kali berkencan. Takut saltum, bau ketek, kentut tiba-tiba dan lainnya. Padahal ia sudah sering berkencan dengan banyak wanita tapi baru kali ini ia grogi seperti ini. Tak jauh berbeda dengan Zaki di aparte
~~~***~~~ Ayu melambaikan tangannya pada Zaki, yang pamit pulang karena mereka sama-sama sudah kelelahan setelah bersama seharian ini. Meskipun waktu baru menunjukan pukul 8 malam. Sik asik sik asik dengan dirimu … Sik asik sik asik dekat denganmuDan aku berharap moga kamulah … Yang akan menjadi … jadi suamiku! Ayu asik bersenandung ria lagu dangdut favoritnya sambil tangannya bergerak mencari kunci di tasnya. Namun belum tangannya sampai menyentuh tas, tiba tiba ada yang menarik tangannya menjauh dari pintu. Ayu sontak menoleh terkejut. Tampak Irfan dengan wajah memar menatapnya nyalang. "A Irfan !" Ayu menjerit ketakutan. Irfan mencekal lengannya kencang, menariknya menjauh dari pintu. Sorot mata Irfan yang liar membuat Ayu merinding. "Lepasin Aa ... sakit!" Teriak Ayu, sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Irfan. Saya
~~~***~~~ Setelah pulang dari karaoke itu, Irfan memaksa Ayu berkemas, ia akan mengajaknya pulang kampung besok. Ia berencana melamar Ayu setibanya mereka di kampung. Tak peduli orangtua mereka merestui atau tidak, ia akan tetap menikahi Ayu. Bahkan ia akan memberitahu kedua orangtua masing-masing kalau ia dan Ayu sudah berhubungan jauh. "Setibanya di kampung, Aa bakal langsung lamar kamu lalu kita nikah." Kata Irfan sebelum Ayu keluar dari mobil untuk mengambil baju-bajunya di kos. Ayu hanya mengangguk pasrah. Benaknya malah membayangkan apa reaksi Zaki kalau tahu Irfan memaksanya menikahinya padahal mereka sudah berpacaran. Apa Zaki akan kecewa padanya, menganggapnya perempuan jahat, atau mungkin membencinya. Kalau saja Zaki nekad mengajaknya kawin lari, Ayu bersedia. Sepertinya hidup bersama Zaki lebih menentramkan batinnya daripada hidup bersama Irfan. Tapi Irfan benar, Zaki bisa saja hanya i