Share

bab 10

Author: Mariahlia
last update Last Updated: 2024-09-26 00:00:38
"Astaghfirullah, Nisa kamu harus bertahan nak, bude akan membawa kamu segera ke klinik." Bude Sira bahkan meminta tolong pada beberapa orang tetangganya yang lewat di depan rumahnya untuk membangunnya membawa Nisa ke klinik. Sungguh dirinya sangat resah, takut terjadi sesuatu pada wanita itu. Terlebih melihat kondisi Nisa yang bisa di katakan sedang tidak baik-baik saja. Kemungkinan buruk bisa terjadi, namun bude Sira berdoa semoga kemungkinan buruk itu hilang.

"Nak, bertahan sayang. Nisa wanita yang kuat. Bude yakin Nisa pasti bisa melawan ini semuanya. Ingat sayang, ada nyawa bayi yang selama ini kamu perjuangkan." Bude Sira tidak berhenti mengucapkan kata-katanya, walaupun Nisa sama sekali tidak merespon perkataannya.

Sungguh, hati bude Sira bergemuruh hebat, apa lagi membayangkan wanita itu selama ini bekerja keras untuk mempertahankan anak yang ada di dalam kandungannya, bahkan keluarga suaminya saja sama sekali tidak peduli.

Nisa seperti hidup sebatang kara, jauh dari kedu
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 52

    Pagi berikutnya, ayam jago nenek berkokok lebih keras dari biasanya, seolah sengaja mengganggu tidur Ayudia. Gadis itu menggeliat malas di ranjang, menarik selimut sampai ke kepala. “Aduh… ini kenapa jam segini udah ribut banget…” gumamnya sambil menutup telinga.Namun nenek tak memberi kesempatan ia bermalas-malasan. “Ayu! Bangun! Kalau mau ikut ke sawah, sekarang waktunya. Nanti kesiangan.”Ayudia mendesah. “Ke sawah? Nek, panas lho…”“Belajar itu jangan setengah-setengah. Kamu kan kemarin sudah mulai belajar metik daun singkong, sekarang coba ikut nenek ke sawah. Lihat padi yang mau dipanen.”"Sudahlah nek, biarkan saja dia. Dia itu memang pemalas! Jangan suruh-suruh dia. Biar saja dia tidur. Atau tidak nenek suruh pulang saja dia ke kota!" Teriak Arthayasa, suaranya menggelegar di penjuru rumah itu. Nenek geleng-geleng kepala, ia tau cucunya tidak benar-benar ingin mengatakannya. Ayudia mengerucutkan bibir. Ia tidak terbiasa dengan pekerjaan desa, tapi rasa penasaran membuatnya

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 51

    "Nek, saya mau jalan-jalan sebentar ya nek." Ayudia pamit pada nenek yang sedang duduk di depan dipan.Nenek tersenyum, menganggukkan kepalanya. "Iya nak, silahkan, tapi jangan lama-lama pulangnya ya?""Iya nek."Ia lalu berjalan menuju ke rumah tetangga, walaupun matahari masih terik, tapi ia entah mengapa ingin pergi ke rumah Bu Rini. Dan setelah sampai di sana, ia di sambut oleh wanita itu, dan di ajarkan memetik daun singkong.Sampai beberapa jam kemudian. Langit sore itu berwarna keemasan, menumpahkan cahaya hangat ke permukaan sawah yang sudah mulai mengering. Angin mengibaskan ujung rambut panjang Ayudia ketika ia berjalan menyusuri jalan setapak berdebu, membawa keranjang kecil berisi daun singkong hasil dari belajar tadi siang di warung Bu Rini. Ia merasa sedikit lega, setidaknya kini ia tidak hanya menjadi bahan gosip, tapi juga mulai diterima—walau sedikit. Namun, langkahnya terhenti ketika dari kejauhan ia melihat tiga pemuda desa nongkrong di bawah pohon jati dekat ti

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 50

    Ayudia sedang duduk di teras belakang rumah nenek ketika suara-suara khas ibu-ibu desa mulai terdengar dari arah jalan kecil yang membelah sawah. Suara ketawa cekikikan, diselingi bisik-bisik tajam seperti jarum menusuk hati. Ia tidak perlu mengintip pun tahu, pembicaraan itu pasti tentang dirinya. “Udah kayak sinetron itu lho, Mbak kota datang nyari jodoh desa, tapi cowoknya kayak batu es,” bisik Bu Samirah pada Bu Murni, sambil melirik tajam ke arah rumah nenek Ayudia. “Ya Allah, padahal anak-anak kita aja kalau disuruh cuci piring masih mending, lha itu, boro-boro,” sahut Bu Murni yang memang hobi ‘menyelidiki’ orang baru. Ayudia menarik napas panjang. “Astaga... baru juga beberapa hari di sini, gosipnya udah kayak wartawan infotainment,” gumamnya kesal. Namun suara-suara itu makin jelas ketika para ibu-ibu itu berhenti tepat di depan pagar rumah nenek. “Pagi, mbak! Wah, cantik banget bajunya hari ini. Pasti buat ketemu mas Arthayasa, ya?” seru Bu Marni, pura-pura ramah tapi

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 49

    Ayudia duduk di dapur kecil dengan cangkir teh yang hampir dingin di tangannya. Pagi itu begitu sepi, meski burung-burung mulai bercicit dan embun masih menempel di rerumputan. Suara ayam berkokok bersahut-sahutan dari kejauhan, tapi Ayudia merasa dirinya seperti berada dalam ruang kosong. Ia belum mandi. Matanya sembab karena semalaman nyaris tidak tidur. Bayangan anak kecil di bawah pohon mangga itu terus berputar di kepalanya. Bukan hanya karena sosoknya yang menyeramkan, tapi karena ekspresi wajahnya. Wajah yang begitu tenang... namun menyimpan kesedihan mendalam. Sementara itu, Arthayasa duduk di bale bambu depan rumah seperti biasa, memandangi sawah yang mulai menguning. Boneka Laira kini terbungkus dalam kain putih dan diletakkan di kotak kecil di ruang tengah. Tak ada satu pun yang menyentuhnya, kecuali Arthayasa. Nenek keluar dari dapur, membawa sekeranjang pisang mentah. Ia tersenyum hangat pada Ayudia. "Tidurmu nggak nyenyak, ya, Nak?" tanyanya pelan. Ayudia me

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 48

    Langit sore di Desa Tegal Asri mulai menguning. Cahaya matahari membentuk bayang-bayang panjang di jalanan tanah yang membelah pematang sawah. Burung-burung kembali ke sarangnya, dan semilir angin membawa harum jerami basah serta suara lembut dari gamelan radio tua di salah satu rumah penduduk. Di tengah ketenangan itu, sebuah mobil hitam berdebu perlahan memasuki desa. Mobil itu mencolok di antara barisan sepeda dan motor bebek tua. Anak-anak kecil yang sedang bermain kejar-kejaran berhenti dan memandang takjub. Beberapa petani yang hendak pulang menatap dengan pandangan heran. Arthayasa sedang duduk di bale bambu depan rumah neneknya, memperbaiki gagang cangkul dengan pisau kecil. Ia menoleh saat mendengar suara mobil. Matanya menyipit. Dari mobil itu, turun seorang perempuan muda dengan koper besar beroda. Pakaiannya elegan dan modis: blazer krem, celana kain putih, dan sepatu hak tinggi yang langsung terperosok di tanah becek. “Astaga… lumpur,” keluh perempuan itu, mengangkat

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 47

    Pagi itu, langit cerah dengan semburat jingga keemasan membentang di timur. Cahaya matahari menyusup lembut melalui celah-celah dedaunan, menimbulkan pantulan keemasan di embun yang menempel di rumput dan dedaunan. Pohon mangga tua di samping rumah tampak anggun dan tenang, seolah telah menyelesaikan satu putaran kisah yang lama terpendam. Namun, bagi Arthayasa, semuanya belum selesai. Meski malam tadi ia berhasil mengantar Laira pergi dalam damai, firasat dalam dadanya berkata lain. Ada sesuatu yang belum selesai, belum tuntas… sesuatu yang masih tertinggal di rumah tua di seberang sawah. Rumah milik keluarga Darmaji. Setelah sarapan seadanya bersama neneknya—nasi jagung, sayur bayam, dan tempe goreng—Arthayasa menatap sawah yang menghampar hijau di depan rumah. Kabut pagi mulai menipis, memperlihatkan siluet bangunan reyot di kejauhan: rumah kosong yang disebut-sebut ditinggalkan secara tiba-tiba oleh keluarga Darmaji bertahun-tahun silam. “Thaya… kamu beneran mau ke rumah i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status