Ayudia sedang duduk di teras belakang rumah nenek ketika suara-suara khas ibu-ibu desa mulai terdengar dari arah jalan kecil yang membelah sawah. Suara ketawa cekikikan, diselingi bisik-bisik tajam seperti jarum menusuk hati. Ia tidak perlu mengintip pun tahu, pembicaraan itu pasti tentang dirinya. “Udah kayak sinetron itu lho, Mbak kota datang nyari jodoh desa, tapi cowoknya kayak batu es,” bisik Bu Samirah pada Bu Murni, sambil melirik tajam ke arah rumah nenek Ayudia. “Ya Allah, padahal anak-anak kita aja kalau disuruh cuci piring masih mending, lha itu, boro-boro,” sahut Bu Murni yang memang hobi ‘menyelidiki’ orang baru. Ayudia menarik napas panjang. “Astaga... baru juga beberapa hari di sini, gosipnya udah kayak wartawan infotainment,” gumamnya kesal. Namun suara-suara itu makin jelas ketika para ibu-ibu itu berhenti tepat di depan pagar rumah nenek. “Pagi, mbak! Wah, cantik banget bajunya hari ini. Pasti buat ketemu mas Arthayasa, ya?” seru Bu Marni, pura-pura ramah tapi
Ayudia duduk di dapur kecil dengan cangkir teh yang hampir dingin di tangannya. Pagi itu begitu sepi, meski burung-burung mulai bercicit dan embun masih menempel di rerumputan. Suara ayam berkokok bersahut-sahutan dari kejauhan, tapi Ayudia merasa dirinya seperti berada dalam ruang kosong. Ia belum mandi. Matanya sembab karena semalaman nyaris tidak tidur. Bayangan anak kecil di bawah pohon mangga itu terus berputar di kepalanya. Bukan hanya karena sosoknya yang menyeramkan, tapi karena ekspresi wajahnya. Wajah yang begitu tenang... namun menyimpan kesedihan mendalam. Sementara itu, Arthayasa duduk di bale bambu depan rumah seperti biasa, memandangi sawah yang mulai menguning. Boneka Laira kini terbungkus dalam kain putih dan diletakkan di kotak kecil di ruang tengah. Tak ada satu pun yang menyentuhnya, kecuali Arthayasa. Nenek keluar dari dapur, membawa sekeranjang pisang mentah. Ia tersenyum hangat pada Ayudia. "Tidurmu nggak nyenyak, ya, Nak?" tanyanya pelan. Ayudia me
Langit sore di Desa Tegal Asri mulai menguning. Cahaya matahari membentuk bayang-bayang panjang di jalanan tanah yang membelah pematang sawah. Burung-burung kembali ke sarangnya, dan semilir angin membawa harum jerami basah serta suara lembut dari gamelan radio tua di salah satu rumah penduduk. Di tengah ketenangan itu, sebuah mobil hitam berdebu perlahan memasuki desa. Mobil itu mencolok di antara barisan sepeda dan motor bebek tua. Anak-anak kecil yang sedang bermain kejar-kejaran berhenti dan memandang takjub. Beberapa petani yang hendak pulang menatap dengan pandangan heran. Arthayasa sedang duduk di bale bambu depan rumah neneknya, memperbaiki gagang cangkul dengan pisau kecil. Ia menoleh saat mendengar suara mobil. Matanya menyipit. Dari mobil itu, turun seorang perempuan muda dengan koper besar beroda. Pakaiannya elegan dan modis: blazer krem, celana kain putih, dan sepatu hak tinggi yang langsung terperosok di tanah becek. “Astaga… lumpur,” keluh perempuan itu, mengangkat
Pagi itu, langit cerah dengan semburat jingga keemasan membentang di timur. Cahaya matahari menyusup lembut melalui celah-celah dedaunan, menimbulkan pantulan keemasan di embun yang menempel di rumput dan dedaunan. Pohon mangga tua di samping rumah tampak anggun dan tenang, seolah telah menyelesaikan satu putaran kisah yang lama terpendam. Namun, bagi Arthayasa, semuanya belum selesai. Meski malam tadi ia berhasil mengantar Laira pergi dalam damai, firasat dalam dadanya berkata lain. Ada sesuatu yang belum selesai, belum tuntas… sesuatu yang masih tertinggal di rumah tua di seberang sawah. Rumah milik keluarga Darmaji. Setelah sarapan seadanya bersama neneknya—nasi jagung, sayur bayam, dan tempe goreng—Arthayasa menatap sawah yang menghampar hijau di depan rumah. Kabut pagi mulai menipis, memperlihatkan siluet bangunan reyot di kejauhan: rumah kosong yang disebut-sebut ditinggalkan secara tiba-tiba oleh keluarga Darmaji bertahun-tahun silam. “Thaya… kamu beneran mau ke rumah i
Pagi datang dengan sinar mentari yang malu-malu menembus kabut tipis. Udara masih basah oleh embun, dan daun-daun pohon mangga di samping rumah bergoyang perlahan. Seolah mengingatkannya bahwa semalam bukan sekadar mimpi. Arthayasa terbangun di dipan tua di dekat jendela, masih dalam posisi duduk, kepala bersandar di kusen kayu. Kelopak matanya sembab, tapi wajahnya terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Ia bangkit pelan, menyalakan air untuk mandi, lalu duduk sebentar di depan rumah. Neneknya menyusul beberapa menit kemudian dengan nampan berisi teh dan sepiring pisang rebus. “Kamu tidur di sana semalaman?” tanya nenek, meletakkan nampan di meja kayu kecil. Arthayasa hanya mengangguk. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan, tapi lidahnya kelu. Ia menatap pohon mangga tua yang berdiri anggun di samping rumah. Dahan-dahannya menjuntai seperti lengan yang siap merangkul siapa pun yang mendekat. “Nek…” suara Arthayasa pelan. “Dulu, waktu aku kecil… aku sering main sama anak pere
Pagi itu, matahari baru saja naik sempurna di atas perbukitan saat suara riuh terdengar dari halaman depan rumah nenek. Arthayasa baru saja selesai mencuci wajahnya ketika ia mendengar suara-suara nyaring, diselingi tawa cekikikan para perempuan. Ia melongok lewat jendela, dan terkejut melihat kerumunan ibu-ibu berdiri di depan pagar bambu rumah neneknya. Beberapa dari mereka membawa rantang makanan, ada yang sekadar membawa bungkusan daun pisang, dan yang lain tampak hanya ikut-ikutan.Ia lalu melihat sang nenek masuk ke dalam rumah. “Nek, itu siapa aja?” tanya Arthayasa bingung, mengeringkan tangannya dengan handuk kecil.Neneknya tertawa pelan. “Halah, itu tetangga-tetangga yang tiba-tiba rajin silaturahmi. Mereka denger cucuku pulang dari kota, langsung pada ingat rumah ini.”Arthayasa melirik neneknya yang menyembunyikan senyum geli. Ia geleng-geleng kepala, lalu bersiap keluar untuk menyapa mereka.Begitu Arthayasa muncul di teras, kerumunan ibu-ibu itu langsung ramai.“Masya A