Share

bab 41

Author: Mariahlia
last update Last Updated: 2025-03-07 15:08:05

"loh, mbak Nisanya mana tadi buk?" Tanya Desi yang baru saja kembali dari rumah warga, ia sudah tidak mendapati lagi keberadaan Nisa di sana. Padahal Desi ingin sekali ngobrol dengan Nisa, sudah lama sekali ia tidak ngobrol dengan wanita itu.

"Mbak Nisa pulang. Bapaknya ada kerjaan besok, nggak bisa menginap, nak."

Desi mengerucutkan ujung bibirnya. "Yahh. Padahal tadi aku sempat pulang loh buk, udah siapin kamar buat ibu dan bapaknya mbak Nisa. Aku juga udah semprotin parfum di kamar aku, aku pengen tidur sama mbak Nisa, udah lama banget nggak ngobrol, pengen ngobrol semalaman sama mbak Nisa."

Bude Sira tersenyum. "Lain kali saja. Ibu juga nggak bisa menahan mbak Nisa, kasihan dia juga pasti harus menahan diri agar traumanya tidak kambuh." Ucap bude Sira membuat Desi mengerutkan keningnya bingung.

"Trauma? Trauma apa yang ibuk maksud? Mbak Nisa juga baik-baik aja tadi Desi lihat."

Bude Sira menatap sekelilingnya, saat di rasa sepi dan tidak ada orang selain ia dan Desi, bude S
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 102

    Angin pagi di desa itu terasa lebih berat dari biasanya. Matahari memang sudah menampakkan sinarnya, tapi seolah kehangatannya tertahan oleh tabir tipis yang tak kasatmata. Burung-burung yang biasa ramai berkicau di pepohonan kini hanya terdengar sesekali, dengan nada yang sumbang dan pendek, seperti ikut menyadari sesuatu yang sedang bersembunyi di balik alam.Di halaman rumah Arthayasa, beberapa santri duduk melingkar, membaca wirid dengan suara lirih. Obor yang semalam dinyalakan belum sepenuhnya dipadamkan, sisa asapnya masih mengepul tipis ke udara. Ki Darmaya berdiri di tengah halaman, matanya menerawang jauh ke arah timur, tempat Sendang Larung berada.“Waktu kita sempit,” gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Tujuh malam… hanya tujuh malam.”Arthayasa keluar dari rumah dengan langkah sedikit gontai. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi ia memaksa diri untuk tetap tegak. Keris warisan yang selalu menemaninya kini terselip erat di pinggang, seolah menj

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 101

    Angin malam di tepi Sendang Larung belum juga mereda, meski tangan hitam Jagal Hitam telah berhasil ditekan kembali ke dasar. Api obor bergoyang-goyang seakan menari dalam kegelisahan, memantulkan bayangan panjang di wajah para santri yang pucat pasi. Beberapa dari mereka terduduk lemas, masih menggigil akibat aura mencekam yang sempat menyelimuti tempat itu.Ki Darmaya menyeka keringat di keningnya, napasnya berat, tetapi ia tetap tegak berdiri di sisi Arthayasa. “Nak Artha,” ucapnya dengan suara bergetar, “malam ini kau sudah melakukan sesuatu yang hampir mustahil. Tapi jangan lengah. Roh itu belum musnah. Ia hanya terkurung kembali. Ingatlah pesanku: selama gerbang masih terbuka, ia akan selalu mencari jalan.”Arthayasa masih berlutut, kerisnya menancap di tanah basah. Darah yang menetes dari lukanya bercampur dengan lumpur, membentuk pola aneh seperti garis-garis yang berkilau samar di bawah sinar bulan. Dadanya naik turun cepat, sementara matanya menatap kosong ke arah air sendan

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 100

    Keesokan harinya, Arthayasa mendatangi Ki Darmaya. Wajahnya tegas, meski jelas sekali kelelahan menghantam tubuhnya. “Ki, aku ingin melaksanakan ritual Kawelasan Purnama itu. Aku tidak peduli risikonya.” Ki Darmaya menggeleng perlahan. “Nak Artha, ritual itu bukan hal sepele. Jika gagal, roh Jagal Hitam akan menjadikan tubuhmu sebagai wadah. Kau akan kehilangan jiwamu, dan anakmu tetap tidak selamat.” “Lebih baik aku yang menanggungnya, daripada anakku jadi korban,” sahut Arthayasa mantap. Ki Darmaya menatapnya dalam-dalam, lalu akhirnya menghela nafas. “Baiklah. Tapi kau harus tahu, ritual ini hanya bisa dilakukan di tempat roh itu dikurung—Sendang Larung. Dan hanya bisa dilakukan saat bulan purnama. Itu berarti… dua malam lagi.” Arthayasa mengangguk, menggenggam kerisnya erat. “Aku siap.” Malam itu, Arthayasa tertidur lelap karena terlalu letih. Dalam tidurnya, ia bermimpi berada di tepi sendang yang sunyi. Airnya hitam pekat, memantulkan cahaya bulan seperti cermin retak. Da

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 99

    Hujan mulai reda menjelang tengah malam, meninggalkan aroma tanah basah yang pekat dan kabut tipis yang merayap dari arah hutan jati. Desa kecil itu masih dirundung duka. Jenazah Ki Sangkala baru saja dikebumikan sore tadi, dan malam ini, langit seakan ikut menyesali kepergiannya dengan mendung yang enggan terbuka. Di rumah Arthayasa, lampu minyak masih menyala temaram. Ayudia sudah tertidur, kelelahan setelah menyusui bayinya. Arthaputra, bayi kecil yang lahir di malam penuh petir itu, kini berbaring tenang di samping ibunya. Nafas mungilnya naik turun dengan ritme yang membuat hati siapa pun luluh. Namun tidak bagi Arthayasa. Ia duduk di serambi, menatap kosong ke arah gelap sawah yang tertutup kabut. Di tangannya, keris pusaka keluarganya berkilat samar terkena cahaya lampu. Bayangan wajah Ki Sangkala, luka di dadanya, dan tanda hitam berbentuk telapak cakar itu terus menghantui pikirannya. Sejak Ki Darmaya datang dan menyebut nama Sang Jagal Hitam, tidur Arthayasa tak lagi pe

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 98

    Hujan masih deras mengguyur malam itu. Kilatan petir menyambar langit, seakan membuka tabir kegelapan yang sedang mengintai desa. Di rumah kecil Arthayasa, tangisan bayi masih menggema, membawa harapan baru bagi keluarga dan seluruh warga. Namun di balik harapan itu, kabar kematian Ki Sangkala mengguncang hati semua orang.Arthayasa berdiri kaku di ruang tengah. Tubuhnya masih basah oleh peluh setelah membantu proses persalinan Ayudia, namun wajahnya sudah pucat pasi mendengar berita yang dibawa santri kecil itu.“Bagaimana bisa…? Ki Sangkala?” suara Arthayasa serak, seolah tak percaya.Santri kecil itu masih terengah-engah, matanya berkaca-kaca. “Aku melihat sendiri, Pak Artha. Beberapa warga menemukan jasad beliau di tepi hutan jati. Tubuhnya membiru, seolah kehabisan darah. Dan… di tanah, ada jejak aneh, seperti cakar besar yang pernah para petani lihat di sawah.”Ayudia yang masih berbaring lemah usai melahirkan, menoleh panik. “Artha… jangan pergi malam ini. Kau baru saja menolon

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 97

    Angin malam masih berhembus lembut, namun keheningan desa tidak lagi terasa sama. Setelah pertarungannya dengan Ki Rengga, Arthayasa tahu bahwa kedamaian yang sedang dinikmati desa hanyalah selapis tipis ketenangan yang bisa pecah sewaktu-waktu. Tubuhnya penuh luka, tapi batinnya jauh lebih tercabik. Ia merasa seakan takdir menolak memberinya kesempatan untuk benar-benar hidup tenang bersama Ayudia.Beberapa hari setelah malam itu, Arthayasa hanya bisa berbaring di rumah. Luka di lengannya dalam, bekas sabetan keris naga Ki Rengga, dan hingga kini masih terasa panas seperti terbakar meski Ki Sangkala sudah memberikan ramuan terbaiknya. Setiap malam, luka itu berdenyut, seakan ada sesuatu yang berusaha bangkit dari dalam dagingnya.Ayudia setia mendampinginya. Perutnya kini semakin membesar, tanda bahwa bayi mereka kian mendekati kelahiran. Meski dirinya sedang mengandung, ia tetap merawat suaminya dengan sepenuh hati—membalut luka, menyiapkan ramuan, bahkan sesekali menenangkan Arthay

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status