Ayyana jengah dengan jawaban Fakhri yang terkesan santai namun terlihat jelas sedang menahan tawa, ia meraih laptop dan tasnya lantas berdiri tanpa berniat menanggapi ucapan pria itu lagi.
“Loh kamu mau kemana?” cegah Fakhri ikut berdiri.
“Saya nggak ada waktu ngeladenin orang kayak Bapak” sentak Aya kesal
Kali ini tawa renyah sukses keluar dari mulut Fakhri “Saya nggak suka cewek ambekan”
Aya meliriknya jengah. “Saya juga nggak berharap disukain sama Bapak.”
“Sayangnya saya sudah terlanjur suka sama kamu.”
Dengan kekesalah yang sudah mencapai ubun-ubun Ayyana beranjak. “Saya permisi. Assalamu’alaikum,” pamitnya
“Yang mau nikah kakak saya,” jujur Fakhri sebelum Ayyana melangkah lebih jauh. “Kamu kan nggak nanya siapa yang mau nikah, kamu nanyainnya calon istri saya,” lanjutnya kembali duduk dengan santai.
Terlanjur kesal, Ayyana yang kini menghentikan langkahnya tetap tak bergeming dan masih melempar tatapan tajam kearah Fakhri. Pria itu terlanjur membuat moodnya tak baik.
“Saya serius,” ucap Fakhri mencoba meyakinkan. “Kakak saya sibuk ngurus kerjaan, sementara Mamidan yang lain juga ada urusan. Karena cuma saya yang nggak sibuk, jadi saya yang bantu ngurusin pernikahannya.”
Mengingat Tante Dania adalah sahabat baik sang Ibu, Ayyana dengan berat hati kembali duduk dihadapan pria itu setelah lebih dulu menarik nafas dalam-dalam berharap bisa sedikit menenangkan diri.
“Tapi ucapan saya soal calon istri itu nggak bercanda loh,” celetuk Fakhri lagi.
Tatapan Ayyana seketika menajam. “Mungkin Bapak berniat cari WO yang lain?”
Tawa Fakhri kembali mengudara, namun hanya sepersekian detik karena setelahnya ia merasa suasana yang baru saja tercipta terasa begitu asing. Entah sudah berapa lama ia tidak tertawa lepas seperti itu, bahkan ia sendiri lupa kapan terakhir kali ia berbaur seramah ini dengan seseorang.
Tatapannya kembali jatuh pada Ayyana yang kini tengah sibuk menjelaskan beberapa hal terkait konsep pernikahan, jika perempuan itu menganggap Fakhri sosok asing yang baru pertama kali ia temui, Fakhri justru punya pandangan berbeda.
Perempuan berhijab itu sama sekali tidak asing baginya, ia cukup mengenal Ayyana. Bukan hanya sekedar sebagai adik dari Adrie –sahabatnya– tetapi sebagai seseorang yang dulu pernah ia kagumi diam-diam.
oOoOo
“Assalamu’alaikum Mi.”
“Wa’alaikumussalam,” jawab Dania. “Gimana-gimana?” tanyanya antusias.
Kening Fakhri mengkerut. “Gimana apanya Mi?”
“Ih kamu mah. Itu loh yang tadi kamu temui.”
Fakhri tampak berfikir sejenak. “Lumayan.”
Dania semakin bersemangat. Jika biasanya Fakhri selalu kesal bila ditanya perihal gadis yang ingin ia jodohkan namun kini putra keduanya itu bersedia menjawab meski dengan nada ogah-ogahan. Tapi jawaban ‘lumayan’ membuat hati Dania menghangat.
Bisa ia ambil kesimpulan bahwa putranya mungkin tertarik dengan Aya, dan itu sudah jadi satu poin penting. Jadi harapan untuk membuat Fakhri menikah dengan perempuan pilihannya mungkin akan terwujud dalam waktu dekat, kalau bisa sekalian saja dengan Raka –anak pertamanya–.
“Jadi kamu setuju kan kalau sama Aya?”
“Kan aku selalu bilang, siapapun yang Mami pilih aku setuju.”
Senyum Dania perlahan luntur. “Mami juga nggak akan maksa kalau memang kamu nggak suka,” Dania menekankan setiap ucapannya.
“Tapi tanpa sadar, itu yang udah Mami lakukan dari dulu,” ucap Fakhri sendu.
Ia menatap Dania dengan semua luka yang ia punya, sedari dulu perempuan di hadapannya ini adalah orang yang paling mengerti dirinya lebih dari siapapun tapi kenapa maminya justru tidak bisa mengerti keadaannya saat ini.
“Semua yang Mami lakukan itu demi kebaikan kamu,” Dania memalingkan wajah mencoba mempertahankan egonya sendiri. “Mami itu cuma mau lihat kamu bahagia Fakhri. Mami maunya kamu menikah dengan perempuan yang memang kamu suka, kamu cintai.”
“Sementara Jihan? Bagaimana caranya kamu bisa bahagia kalau setiap kali kamu sama dia, cuman ada rasa bersalah yang Mami lihat?” lanjut Dania menggebu.
Fakhri menghela nafas. “Kasih aku waktu mi… Kasih aku waktu untuk belajar jatuh cinta sama Jihan.”
“Berapa lama lagi? Sudah enam tahun dan sampai sekarang pun, Mami nggak lihat kamu punya perasaan lebih sama dia. Pandangan kamu bahkan masih sama, nggak ada bedanya sejak awal.”
Bukannya tidak mengerti diri sendiri, karena nyatanya apa yang Dania ucapkan memang benar. Namun Fakhri masih belum sembuh dari kenangan buruk masa lalunya, ditambah tekanan pertanggung jawaban dari Jihan yang terasa seolah menghantuinya setiap saat.
Dari arah tangga, Rama yang melihat ketegangan antara sang istri dan putranya beranjak menengahi. “Anak kita baru pulang kerja Mi, nanti ajah kalau mau ngajak rebut.”
Dania memijat pelipisnya berusaha menenangkan diri. “Istirahat sana, nanti Mami cari perempuan yang lain.”
“Terserah Mami,” ucap Fakhri beranjak.
Pandangan Dania berubah sendu saat menatap punggung anaknya yang mulai menjauh, ia tahu ia egois tapi ia melakukan ini semua juga demi kebaikan Fakhri. Dania tidak ingin Fakhri hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah seumur hidup jika ia terjebak pada perempuan bernama Jihan itu. Karena baginya, apa yang menimpa keluarga Jihan, sama sekali bukan kesalah Fakhri.
Di kamarnya, Fakhri duduk di sofa dengan pikiran berkecamuk. Memikirkan pekerjaan di kantor yang menumpuk, permintaan Mami yang begitu sulit hingga pikiran tentang Jihan yang selalu menuntut tanggung jawab atas kematian keluarganya.
Pandangannya beralih saat mendengar notif pesan masuk di ponselnya, nama Daffa muncul sebagai pengirim pesan, sepupunya itu mengirim potret seorang perempuan yang tak lain adalah Jihan sedang sibuk menikmati beberapa cemilan di apartemen Daffa.
‘Dia dari pagi ngikutin gue mulu, nggak mau lepas sebelum dapat respon dari lo.’
Tanpa membalas pesan Daffa, Fakhri beralih membuka pesan dari Jihan yang sudah menggunung padahal baru sehari ia hiraukan.
‘Jadi bagaimana soal pernikahan kita?’
‘Apa orang tua kak Fakhri sudah memberikan izin untuk kita menikah?’
‘Kak? Balas? Kak Fakhri nggak akan lari dari tanggung jawab kan?’
‘Ingat. Karena kak Fakhri, aku kehilangan semua keluarga aku.’
Fakhri mengusap wajahnya kasar. ‘Berhenti merecoki Daffa, dia tidak ada kaitannya dengan masalah ini.’
“Tolong jaga adik gue dengan baik.”Tangan Fakhri bergetar hebat, cairan darah bertebaran dimana-mana, bahkan kini pakaian putihnya pun sudah setengahnya berwarna merah.Pria di pangkuannya saat ini terus saja menggumamkan satu kalimat yang sama, pesan untuk ia menjaga adiknya.“Lo harus kuat Za, sebentar lagi ambulans datang. Lo harus bertahan.” Ucapnya sesak.Air matanya sudah tak terbendung, tak kuasa menyaksikan sahabatnya kesakitan dan tak berdaya.“Gue titip Jihan, ya.”“Jaga dia baik-baik.”“Reza… Lo harus kuat.” Tubuh Fakhri bergetar hebat memeluk tubuh berlumur darah itu. Keringatnya bercucuran, ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika sampai Reza kenapa-kenapa.“Dia udah pergi Fakhri, kita harus bisa ikhlas.” Ucap Daffa memegangi pundaknya dari belakang.“NGGAK! NGGAK MUNGKIN.” Fakhri berteriak histeris, sosok Reza yang tadi berbaring dengan lumuran darah di pangkuannya kini sudah berada diatas brangkar rumah sakit dengan kondisi pucat pasi bersama kedua orang tuany
“Lah, pengantin baru bangunnya cepat banget?” Ujar Adrie mendekati Ayyana yang sudah bergelut di dapur bersama Luna, keduanya tengah sibuk membuat sarapan.“Emang ada aturannya kalau pengantin baru harus bangun siang?” Tanya Ayyana balik.“Ya kan kasian suaminya tinggal, minimal tungguin kek sampai bangun.”“Apa sih? Dia tuh udah gede, Gio ajah kalau bangun langsung keluar kamar sendiri.”“Ya beda lah.”“Terus Kak Adrie sendiri gimana? Kak Alma udah dari tadi disini.”“Kita mah udah lama nikahnya Aya.”“Sama ajah.”Luna yang mendengar perdebatan mereka hanya geleng-geleng kepala, syukurnya Ayu datang dan segera melerai mereka berdua. “Heh? Ini kenapa pagi-pagi udah pada ribut sih?”“Tuh Bu, Kak Adrie yang mulai.”“Ya kan kasian Bu, suaminya ditinggal.” Bela Adrie. “Teman Kakak tuh, harus kamu layani dengan baik.”“Iya tau, nanti aku kasih pelayanan bintang lima buat Pak Fakhri.”“Eh, kok manggilnya gitu?” Sela Ayu. “Masa suami masih dipanggil Pak sih, belajar panggil Mas mulai sekara
“Dia gadis yang lucu,” Ucap Fakhri tanpa mengalihkan pandangnya.Bayangan sosok gadis dengan seragam khas anak SMP tengah menggebuki seorang siswa SMA dengan ransel putihnya terlintas dalam benak Fakhri, pelan tapi pasti senyum di bibirnya pun kian mengembang.“Katanya nggak pernah menjalin hubungan karena terlalu sibuk tapi kayaknya Bapak punya kenangan indah soal cinta pertama.” Ejek Ayyana.“Mungkin lebih baik tidak saya ceritakan, takutnya kamu malah cemburu sama dia.”“Enak ajah.”“Jadi mau dengar?”Ayyana angkat bahu seraya menegakkan badan, bersiap mendengar cerita asmara seorang Fakhri.“Dia cantik.” Kata pertama yang menggambarkan sosok gadis itu, namun cantik relatif jadi Ayyana tak terlalu antusias.“Usianya empat tahun lebih muda dari saya, namanya sering saya dengar dari obrolan teman-teman di tongkrongan, tapi karena kata mereka dia punya kakak yang galak, jadi sulit untuk mendekatinya.”“Awalnya saya biasa ajah, sampai akhirnya kita pertama kali bertemu di depan sekolah
“Makasih.” Ucap Dita begitu mobil Daffa berhenti di depan rumahnya.“Sama-sama Kak,” jawab Kayla dan Vano di bangku belakang, sementara Daffa hanya berdehem singkat.Begitu Dita keluar dari mobil, Kayla dan Vano kompak mengulurkan buket yang tadi ditangkap Daffa dan mendorong pria itu ikut keluar.Daffa hanya menghela nafas pelan, kesal dengan diri sendiri yang tak bisa menolak permintaan kedua bocah SMA itu.Dita menautkan alis, heran mengapa Daffa ikut keluar, “Kenapa?” Tanyanya.Dengan canggung, Daffa berjalan mendekat. Suasana malam yang terasa sejuk tiba-tiba saja berubah panas dan gerah. Daffa kembali berdehem, berusaha menormalkan perasaannya sendiri.Ia heran, kemana perginya rasa percaya diri yang ia punya dan bangga-banggakan selama ini? Bahkan ia mengakui dirinya sebagai pria yang mudah memikat hati perempuan mana pun. Tapi kenapa ia justru gugup berhadapan dengan Dita yang sudah jelas pernah ia taklukkan dulu.“Buat lo,” ucapnya mengulurkan buket tersebut.“Ngapain ngasih
"SAH!"Ucapan para saksi yang duduk di sisi Fakhri membuat pria itu menghembuskan nafas lega."Alhamdulillah," lirihnya bersama beberapa orang yang lain termasuk Adrie, Raka dan orang tua mereka yang turut menyaksikan akad nikah tersebut.Hilman bahkan meneteskan air mata haru setelah berhasil menjadi wali nikah untuk putri satu-satunya.Setelah itu, Ayyana dengan pakaian pengantin putihnya keluar bersama Luna dan Alma sebagai pengiring pengantin.Fakhri menatap lamat perempuan yang kini sudah sah menjadi istrinya, perempuan yang pernah mengatakan bahwa takdir kadang suka melempar lelucon. Dan kali ini ia kembali membenarkan hal itu, nyatanya Ayyana yang dulu sempat ia sukai diam-diam saat perempuan itu masih berstatus siswa SMP, ternyata kini berhasil ia persunting sebagai istri meski dengan berbagai drama pelik.Begitu mereka berhadapan, Ayyana lantas diarahkan untuk menyalami tangan sang suami dan Fakhri sendiri membacakan doa pernikahan pada sang istri, lalu ditutup dengan mengecu
Dita sejak tadi hanya mengaduk makanannya tanpa minat, perasaannya masih belum membaik sejak hubungannya dan Alvin kandas terhalang keyakinan Hal itu sebenarnya sudah jadi pertimbangan sejak awal, namun pengakuan Alvin yang bersedia untuk pindah meluluhkan hatinya. Tapi semua tak semulus yang mereka rencanakan, nyatanya untuk menyatu dalam ikatan pernikahan bukan hanya melibatkan dua orang tapi dua keluarga "Obat sakit hati tuh apa sih Ayy?" Lirih Dita frustasi Ayyana yang sedang asyik menyantap makanannya berhenti sejenak, memperhatikan sahabatnya yang seolah kehilangan semangat hidup Sesakit itu ya putus cinta? "Temukan cinta yang baru" Jawab Ayyana "Cinta yang abadi" "Nggak segampang itu" Keluh Dita "Lagian mana ada cinta yang abadi. Dunia aja fana kok" "Ada kok. Cinta pada Allah dan Rasulullah" Dita terdiam, ia bersandar pada kursi lalu tertunduk "Gue udah melenceng terlalu jauh kayaknya" Selama ini, Ayyana selalu mengingatkannya, Ayyana selalu memberinya nasehat bahkan s