Can is Mine
Bab1: sial
Seorang gadis berambut sebahu dengan setelan kemeja serta celana jeans robek itu dengan santainya mengendarai motor ninja menuju rumah setelah hampir seharian penuh berdiam diri di perpustakaan kampus untuk mengerjakan tugas-tugas yang tak pernah kelar-kelar. Seperti hukuman saja baginya, hampir seharian penuh ia berdiam diri diperpustakaan tanpa boleh keluar sekali pun oleh teman-temannya yang membantu ia mengerjakan tugas-tugas tersebut.Tid!
Sebuah klakson yang berbunyi begitu nyaring membuat seorang Ayana Ayu Wiratmi Kencanasari Putri Handoko terkaget dan refleks menjatuhkan motornya ke trotoar serta membuatnya terjatuh dari motor tersebut, ketika sebuah mobil sedan keluaran teranyar dengan sangat tak berpendidikannya melajur dengan kecepatan tinggi dan hampir menabrak dirinya. Untung saja Ayana bisa dengan cepat menghindar, jika tidak? Entahlah kondisinya akan bagaimana, mungkin saja sudah terbujur kaku dengan darah yang berlumuran ditubuhnya."Woy, bisa bawa mobil gak sih?!" teriak Ayana dengan emosi sambil berdiri dengan mengangkat motornya.
"Awas ya Lu, gue kejar lu!" gerutunya dengan kesal sambil berdiri dan mengangkat motor yang menimpanya dengan sangat kesal.
Sambil menahan nyeri, Ayana kembali mengendarai motor ninjanya dengan kecepatan sangat tinggi demi mengejar mobil yang menyerempetnya. Beruntung jalanan lengang membuat Ayana dengan sangat leluasa membawa kuda besinya tersebut dengan sangat cepat dan berhasil menghentikan mobil tersebut.
Citt!
Suara decitan ban mobil yang beradu dengan aspal berhenti mendadak membuat Ayana yang menghentikan motornya didepan mobil terarebut tersenyum puas. Mungkin pengemudinya saat ini sudah terbentur dashboard disana.Seperti gerakan slow motion, Ayana melepaskan helm dan turun dari motor dengan memainkan rambut sebahunya tersebut kemudian turun menemui sang pengendara yang ugal-ugalan dan membuatnya terjatuh tadi.
"Woy, turun lo?!" ucap Ayana dengan nada tinggi sembari mengetuk kaca pintu mobil tersebut.
"Turun gak lo!" bentaknya ketika sang pengendara masih berdiam diri di mobil tersebut.
"Ada apa?" tanyanya dengan kalem menurunkan kaca jendela mobil tersebut membuat Ayana syok, pasalnya orang yang ada dimobil tersebut ialah Candra Aditya Seftian Nugroho, dosen muda sekaligus musuh terbesarnya yang selalu membuat ia pusing dengan tugas-tugasnya
"Ada apa lo bilang? Lo gak nyadar? Gue jatoh gara-gara lo, kalau gak bisa bawa mobil mending gak usah nyetir!" bentaknya dengan kata-kata pedas sambil memukul pintu mobil tersebut tak peduli orang yang ia bentak itu sangat berpengaruh dalam satu mata pelajaran yang selalu ia ulang ini.
Namun laki-laki itu hanya mengangguk dan menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribuan pada Ayana, membuat Ayana mengernyitkan dahi dalam. Bingung!
"Ambil saja, anggap saja ini sebagai tanggung jawab saya atas kecelakaan yang saya perbuat," ucapnya dingin.
"Wah, lo. Dosen sombong! Gue gak butuh uang! Gue cuma mau ngasih tau kalau lo gak bisa bawa mobil, mending diam dirumah! Ingat, ini jalanan bukan punya nenek moyang lo yang seenak jidatnya lo pake tanpa menuruti aturan lalu lintas. untung gue yang lo serempet, coba kalau orang lain? Bisa mati babak belur lo dihabisi warga" cerocosnya dengan nada tinggi.
"Sudah?" tanya Candra dengan datar kearah Ayana membuat Ayana mengangkat satu alisnya tinggi, heran dengan kelakuan laki-laki dihadapannya yang begitu santuy menghadapi dirinya, musuhnya sendiri.
"Sudah," jawab Ayana dengan wajah kebingungan akan jawabannya sendiri. Candra pun hanya mengangguk dan pergi meninggalkan Ayana yang masih cengo dibuatnya.
Satu detik!
Dua detik! Tiga detik!Drtt...
Ayana baru tersadar dari kebinguannya saat ponsel disakunya bergetar namun pandangannya tak sedikitpun beralih dari menatap plat mobil yang perlahan menjauh meninggalkanya pergi begitu saja tanpa ada perkataan maaf sedikit pun dari mulut pengendara tersebut.
"Argh, sial! Kenapa gue bisa cengo gini sih! Harusnya gue habisi tuh cowok!" kesalnya sambil berjalan kembali menuju motor ninjanya.
Drtt...
Getaran ponsel semakin mengganggunya, dengan sangat terpaksa Ayan merogoh saku celananya dan mengambil ponsel tersebut."Hallo bi ada apa?" tanyanya kesebrang sana.
"Non, cepat pulang, keadaan rumah kacau. Cepat pulang Non" ucap bi Sumi disebrang sana membuat Ayana kebingungan.
"Ada apa bi?"
"Ceritanya panjang, nanti bibi jelaskan! Yang penting Non cepat pulang!"
Ayana menghela napas kasar, mematikan penggilan dengan sepihak kemudian dengan gerakan cepat ia mengendarai motor kembali untuk pulang kerumah.
***
"Non, tolong. Di kamar ada keributan besar, Non Dinda..." ucap bi Sumi menghampiri Ayana dengan tergopoh-gopoh membuat Ayana yang melihatnya mengernyitkan dahi dalam. Bingung."Kak Dinda kenapa sih? Aelah," decak Ayana.
Dengan terengah-engah bi Sumi menjawab "Non Dinda, bunuh diri"
Kedua mata Ayana membulat sempurna, dengan cepat ia berlari menuju kamar sang kakak.
Gubrak!
Tanpa basa-basi Ayana mendobrak pintu Adinda dengan sekali tendangan, ia melihat sang kakak tengah terbujur tak berdaya dengan mulut berbusa serta tangan mengeluarkan darah sementara Ayah dan ibunya sibuk mengguncang tubuh sang kakak."Kenapa malah sibuk begitu? Ayo cepat bawa kerumah sakit!" teriak Ayana menghampiri mereka.
"Ambulan sedang di perjalanan, Ayah gak tau harus berbuat apa" ujar Handoko panik .
"Yaelah, Yah. Nunggu ambulan mah lama. Ayo bantu Aya angkat kak Dinda, biar cepat di tangani" ujar Ayana sambil berusaha mengangkat sang kak. Handoko yang melihatnya pun dengan panik membantu Ayana mengangkat putri keduanya. Sementara Heni, ibunya Ayana, masih saja sibuk menangis menghkhawatirkan sang putri.
"Bi Sumiiii! Tolong bukain gerbang!" teriak Ayana ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
Dengan cepat bi Sumi menuruti perintah majikannya itu. Sebuah mobol acoard warna hitam pun keluar dari pekarangan rumah tersebut dengan kecepatan tinggi.
"Ibu tenang ya, kak Dinda pasti selamat. Jangan nangis lagi" ucap Ayana menyabarkan sang bunda yang terus-terusan menangis.
Bagi Ayana, hanya butuh waktu lima belas menit untuk ia sampai dirumah sakit padahal rata-rata perjalanan dari rumah Ayana ke rumah sakit itu paling cepat setengah jam. Sungguh Ayana sangat luar biasa mahir menjalankan mobil tersebut tanpa kendala sedikit pun.
Dengan cepat Ayana segera berteriak meminta bantuan pada dokter dan suster disana, beruntung. Semua pekerja rumah sakit begitu cepat bertindak.
"Huh!"
Ayana membuang napas lelahnya, ia duduk di kursi tunggu yang disediakan tepat di dekat UGD. Sembari merintih kesakitan ia melihat kakinya yang memar dan sedikit lecet akibat terjatuh tadi. Bahkan tanpa Ayana sadari jari jempolnya kini telah mengeluarkan darah."Kak Dinda pasti baik-baik saja," ujar Ayana dalam hati dengan begitu yakin.
Melihat kedua orangtuanya begitu sangat mengkhawatirkan sang kakak, membuat hati kecil Ayana merasa iri. Mengapa selalu kakaknya yang mereka khawatirkan bahkan selalu mereka manja, tidak dengan dirinya yang selalu saja menuntutnya untuk bersikap dewasa tanpa pernah sekali pun mereka memanjanya.
"Dok, gimana keadaan putri saya?" tanya Heni dengan cepat ketika salah seorang dokter muda keluar dari ruang UGD membuat Ayana sontak berdiri menghampiri mereka. Lagi, dan lagi ia dibuat terkejut dengan dokter yang menangani kakaknya. Ia adalah pria yang menyerempetnya dan tak bertanggung jawab tadi."Alhamdulillah, pasien masih bisa diselamatkan. Hanya saja kondisi pasien masih lemah dan belum sadar, bu. Kita tunggu saja, sebentar lagi pasien juga akan sadar" jelas dokter tersebut.
"Terimakasih ya dok," ucap Handoko yang berdiri merangkul istrinya untuk menguatkan. Sementara Ayana menatap doktee tersebut dengan tajam.
"Kalau gitu saya permisi," pamit Candra dengan berjalan melewati Ayana yang masih memandangnya tajam.
"Dokter sialan!" gerutu Ayana yang tak ikut masuk kedalam ruangan, ia lebih memilih untuk duduk di kursi tadi dengan melihat-lihat luka dikakinya.
"Ck. Mana berdarah lagi," decak Ayana ketika darah di jempolnya tak kunjung berhenti.
"Ikut saya!" suara tegas seseorang membuat Aya mendongak. Decakan kesalnya semakin keluar ketika melihat seseorang yang begitu menyebalkan berdiri dihadapannya.
"Bunda! Bangun, shalat subuh yuk"Teriakan dua orang yang berbeda nada suara itu begitu mengganggu waktu tidur Ayana pagi ini. Bukannya bangun, Ayana malah sengaja menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya membuat kedua laki-laki beda usia itu berkacak pinggang tak terima. Keduanya saling menatap lekat seolah memberi pesan jika keduanya telah merencanakan sesuatu. SatuDuaTiga"Ayo bangun Bunda, nanti subuhnya telat!"Keduanya kembali berteriak dengan menarik kuat selimut yang tengah Ayana kenakan. Sabiru sudah tidak sabar, ia menaiki ranjang dan memeluk Ayana erat. "Bunda, ayo dong" Sabiru kembali membangunkan Ayana dengan mencium wajah cantiknya. Menyadari ada yang tidak beres membuat Ayana segera membuka mata, ia memeluk Sabiru erat. "Sayang, Ummah masih ngantuk. Kalian duluan aja ya nanti Ummah nyusul" Sabiru menggeleng, ia menarik lengan Ayana untuk segera bangun dari pembaringan. "Ayo bunda, kita berjamaah sama Ayah"Kedua mata Ayana memicing, indra pendengarann
Mata Bisma menyala, jarum suntik yang ia pegang pun mampu dipatahkannya. Ia semakin tersulut emosi, dimana otak Ayana kali ini? Bukankah telat satu jam saja nyawa Sabiru taruhannya sementara jarak pesantren dan rumah sakit ini bisa ditempuh tiga puluh menit belum proses pengecekan golongan darah dan kesehatan. "TOLONGLAH PAHAM, AYA! DIA AYAHNYA, DIA YANG PALING BERHAK MENOLONG SABIRU!" teriak Bisma begitu kencang. Candra begitu syok mendengar pernyataan Bisma, ia pun turun dari ranjang pasien menghampiri Ayana yang berdiri kaku diambang pintu."Apakah yang Bisma katakan itu benar?" tanya Candra tak percaya. Ayana masih membeku enggan menjawab. Kedua tangan Candra terangkat, ia mengguncang tubuh Ayana. "Jawab Aya, apakah itu benar?"Melihat pemandangan tersebut membuat Bisma semakin geram, ia tidak mau membuang banyak waktu hanya karena ini. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah Sabiru, ia ingin Sabirunya selamat. "Aya aku tidak akan pernah memaafkamu jika Sabiruku tidak selamat," lir
Selepas kepergian Candra, Ayana menangis sesenggukan dengan Sabiru yang sudah tertidur dipelukannya. Dengan datar Bisma mengambil sabiru untuk ia tidurkan lalu menyuruh Ayana untuk menjauh agar tidak mengganggu Sabiru. Ayana menurut, ia menjauh dari Sabiru dan terduduk di kursi tunggu yang tersedia diruangan tersebut. "Kenapa tidak jujur saja? pernyataan yang kamu lontarkan itu suatu kebohongan yang suatu saat akan merugikan kamu sendiri" Bisma menyodorkan tisu pada Ayana dengan kecewa. Kenapa Ayana seolah-olah kembali memberikan harapan besar padanya padahal jelas-jelas ia akan kembali merasakan sakitnya kembali ditolak oleh Ayana. Ayana mendongak, ia menerima tisu tersebut untuk menghapus ingusnya. Bisma duduk disampinya, mendengarkan tangis Ayana yang tidak mau berhenti itu dengan setia."Kenapa dia datang disaat aku hampir saja berhasil melupakannya?" tanya Ayana disela tangisnya. "Yang dia bilang itu benar Ya, pertemuan kalian itu sudah menjadi takdir Tuhan. Kamu tidak bisa
Tiga tahun berlaluSenja, kelabu masih saja menjadi peneman hari-hari Candra sejak tiga tahun terakhir setelah ia tidak pernah menemukan Ayana dimana pun. Kedua orangtua pun tidak ada yang memberitahu kemana perginya Ayana sebenarnya. Sejak tigak tahun terakhir pula, hidup Candra diambang keputus asaan. Ia begitu bingung ingin melanjutkan hidupnya seperti apa sementara kehidupan telah berakhir sejak penyesalan terbesarnya itu."Sudah tiga tahun loh, lu gak mau bangkit melupakannya? Gue aja udah punya anak tiga loh" sindir Haris menemui Candra yang tengah terduduk di balkon kantornya. Ya, Candra kembali bekerja di rumah sakit miliknya sebagai CEO sejak ayahnya mengetahui jika Candra sudah putus dengan Hanin. Candra tak tergerak untuk menjawab, ia masih saja menikmati senja yang akan kembali digantikan dengan gelapnya malam. "Gue masih menunggu dia balik, sekali pun dia sudah bukan jadi istri gue tapi gue akan tetap menjadi miliknya. Gue gak mau nikah dengan siapa pun kecuali dengan
Hari-hari berikutnya adalah penderitaan bagi Candra, sesak yang menggunung dihatinya tidak akan pernah runtuh sebelum ia meminta maaf pada Ayana dan Ayana memaafkannya. Menyesal, merasa bersalah dan rindu yang amat besar membuat hari-hari Candra menjadi sangat kelabu.Untuk menuntaskan semuanya pagi ini bahkan Candra bergegas untuk menjemput Ayana dan meminta maaf padanya, wajah yang sayu itu kini sudah menatap sendu pekarangan rumah Herlan. Disana nampak begitu sepi pagi ini dan Candra tidak begitu yakin kalau Herlan akan mengizinkannya masuk. Namun bukan Candra namanya kalau tidak mencoba. Ia berusaha menguatkan hatinya, bersikap bodo amat memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah tersebut. Beberapa penjaga bahkan menyambutnya dengan ramah. Menghela nafas dalam, Candra keluar dari mobil dan berjalan menuju depan pintu rumah tersebut. Belum sempat Candra mengetuk pintu tiba-tiba Adinda keluar dari rumah tersebut dengan pakaian dinasnya. "Kamu, sedang apa disini?" tanya Adinda beg
Sudah hampir tiga bulan sejak perpisahan Candra dengan Ayana, kini dirinya sudah kembali terbiasa menjalani hari-hari. Melakukan pekerjaan rumah tanpa di bantu oleh Ayana. Keterbiasaan itu entah kenapa menjadikan hatinya suram untuk menjalani hari-hari. Ia merasa harinya kurang lengkap tanpa ada pengganggu di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Ayana. Sudah hampir tiga bulan juga Candra tak lagi menjadi seorang CEO dirumah sakit miliknya atau pun di perusahaan milik ayahnya. Hidup Candra kembali lagi kemassa dimana ia hanyalah seorang pegawai rumah sakit biasa di salah satu rumah sakit swasta. Haris, yang merupakan sahabatnya pun tak peduli dengannya. Entah, mungkin ini memang hukuman baginya atas apa yang ia lakukan pada Ayana dulu. Candra menarik napas dalam, menatap kearah sebrang rumah sakit. Dimana ia melihat seseorang yang tidak asing baginya, perempuan yang sedari dulu ia cintai tengah menunggunya duduk santai menikmati secangkir kopi andalan yang disajikan di kafe tersebut.