"Kamu nggak ada praktik poli hari ini?" tanya Gendhis keesokan harinya, tepat saat sang suami selesai mandi dan hanya mengenakan setelan santai. "Enggak, pengin libur dulu. Semua reservasi kuminta mundur besok," jawab Rai, ia berbaring di sebelah istrinya. "Nggak ngurus perusahaan?" "Udah di-handle sama Bang Ardi, aku tinggal nunggu laporan aja." "Ketua yang ini rada santai ya? Perasaan Ben sibuk urus bisnis deh sebelum kasih posisi ketua ke kamu, Rai," desis Gendhis. Sesekali ia meringis karena rasa mual yang memenuhi perutnya. "Kan udah ada kerjasama ke perusahaan punya kamu, jadi aman aja, Benji sama Bastian udah bisa diandelin. Persaingan bisnis sekarang udah sehat, nggak kayak jaman dulu. Bisnis logistik sama kargo udah aman, semua tinggal terima laporan," sebut Rai. "Ann sama Ben bener-bener mempersiapkan masa depan kamu dengan maksimal," ucap Gendhis. "Kamu dipersiapkan buat jadi dokter profesional tanpa harus terganggu samu urusan bisnis keluarga," tandasnya.
"Baru pulang?" sambut Gendhis saat Rai masuk melalui pintu samping, seusai memarkir mobilnya di garasi. "Iya, ada cito tadi pas udah mau jalan pulang," sebut Rai langsung mengecup kening istrinya sebagai obat lelah. "Kamu udah makan?" tanyanya. Gendhis langsung memberi gelengan pada Rai, "Aku nungguin kamu. Pengin ramen kuah, Ketua," pintanya manja. "Ya Tuhan," Rai seketika memeluk kepala istrinya dan membawanya ke bawah ketiaknya, "mau kupesenin?" "Ketua nggak bisa masakin?" "Kalau aku yang masak, seadanya bahan, Ane-san," ucap Rai. "Mau?" "Mau," kata Gendhis. "Kamu bersih-bersih dulu nggak pa-pa," katanya. "Nggak kelamaan? Masih bisa nunggu?" "Nggak pa-pa." Rai mengangguk, ia letakkan slingbag miliknya di atas nakas ruang tamu. Lantas, diiringi Gendhis ia masuk ke dalam kamar dan langsung menuju ke kamar mandi. Seperti sudah hafal kebiasaan sang suami, Gendhis membantu menyiapkan baju ganti. "Cepet amat mandinya, Rai?" tegur Gendhis saat suaminya keluar d
"Baru keliatan kantong janinnya, Sayang," kata Rai menunjuk hasil USG sang istri layar. "Nanti kucek lagi kalau udah di usia 8 mingguan, biasanya udah keliatan. Kita rencanain fetomaternal juga ya," gumamnya nampak sangat berkonsentrasi. "Rasa begah perutku, Rai," keluh Gendhis. "Tadi pagi juga rada mual," ujarnya. "Bawaan perubahan hormon, wajar kok," balas Rai. "Sebelum-sebelumnya nggak begini. Pas kena K.E.T itu juga nggak begini banget," ungkap Gendhis. "Nggak pa-pa, biar kamu lebih manja ke aku," jawab Rai mengulum senyum, ia sempatkan melirik Suster Tiwi yang juga tersenyum gemas. "Enak ya Sus jadi istri dokter obgyn, nggak repot bikin appointment buat konsultasi," kekeh Gendhis ikut menoleh Suster Tiwi. "Home visit tiap hari, siaga tiap saat ya Mbak," balas Suster Tiwi. "Sehat selalu Mbak Gendhis dan bayinya, nggak sabar ketemu sama Dokter Christ junior," tambahnya."Makasih ya Sus," ucap Gendhis. "Untungnya punya dokter ganteng yang bisa diandalkan," katanya lagi.
"Kamu praktik poli jam berapa hari ini?" tanya Gendhis saat Rai keluar dari kamar mandi. "Satu jam lagi aku jalan, kenapa? Mau nitip sesuatu?" tawar Rai. Setelah keberangkatan Ben dan Ann kemarin lusa, Gendhis mulai mau mengajak suaminya bicara, meski kadang kata yang ia ucapkan masih singkat dan ala kadarnya. Makan bersama dan duduk menikmati sore di halaman tengah yang menghadap ke kandang para hewan juga sudah kembali menjadi rutinitas pasutri ini. "Aku mau ikut periksa, apa harus bikin appointment dulu?" tanya Gendhis lagi, misterius. "Kenapa? Karena telat mens ya?" tebak Rai. Gendhis memberikan anggukan, ia membuka laci nakas paling atas. Diambilnya sebuah benda keramat yang sempat diberikan oleh Rai tempo hari. "Aku udah test kemarin pagi, mau ngomong langsung akunya masih males. Menurut Dokter Christ, dua garis begitu artinya positif, kan?" Rai membeku di tempatnya berdiri, berusaha mencerna keterangan yang Gendhis sampaikan barusan. Tatapannya berganti-gan
Hingga keesokan harinya, mood Gendhis masih berantakan dan ia masih tetap enggan mengobrol dengan sang suami. Rai sudah melakukan berbagai cara untuk merayu sang istri, memasakkannya makanan favorit, memijit kakinya yang Gendhis keluhkan terasa pegal dan sakit. Sang ketua klan benar-benar tak ada harga dirinya di depan sang istri yang mengambek. "Sarapan yok," ajak Rai muncul di pintu kamar. Gendhis yang tengah mematut tubuhnya di depan cermin enggan menoleh. Ia masih kesal, gemas dengan perlakuan Rai yang seperti tak serius membujuknya agar berhenti marah. "Ada Ann di bawah, dia sama Ben mau ke Jepang, tinggal di sana, menghabiskan masa tua. Mau pamitan sekalian sama keluarga besar, siang ini penerbangannya," sebut Rai membuat istrinya mau tak mau menoleh pada akhirnya. "Kenapa kemarin mereka nggak ngombong kalau mau pindah tinggal di Jepang?" celetuk Gendhis spontan. "Iya, katanya nggak mau bikin kita kepikiran, makanya hari ini dadakan pamitan, rencana mau berangkat
Setelah beristirahat beberapa hari di rumah, Gendhis mendapat banyak kunjungan, terutama dari keluarga besar Rai. Hidup sebatang kara di dunia tanpa keluarga tak membuat hidup Gendhis menjadi sepi seusai menikahi Rai. Ia banyak diberi limpahan kasih sayang, perhatian dan perlindungan, membuatnya merasa sangat cukup dan tidak kekurangan apapun. "Rai, aku belum mens, udah telat satu minggu ini, tapi aku belum berani pake testpack," bisik Gendhis saat mengantar Ben dan Ann menuju halaman depan. "Siklus menstruasi kamu emang nggak lancar dan berantakan kan? Mau kucoba cek?" tanya Rai justru bercanda. "Ih," Gendhis spontan mencubit perut seksi suaminya. "Aku beneran galau ini, Dokter Christ. Ditenangin kenapa sih istrinya," dumalnya. "Nanti dites aja biar kita tau, nggak nebak-nebak lagi," ucap Rai, ia lantas melambaikan tangan ke arah mobil Ben yang sudah mulai meninggalkan halaman. "Rasanya badannya gimana? Ada tanda-tanda mau menstruasi nggak?" sambungnya. Gendhis menggel