Kalau kalian di posisi Nayra, kalian bakal ngapain, nih?
Nayra langsung melotot tajam. "Bu! Jaga omongan Ibu! Nayra nggak mandul!" "Kalau begitu, kenapa kamu nggak periksa, hah? Buktinya sudah tiga tahun kalian menikah, tapi mana? Nggak menghasilkan apa-apa kan? Berarti kamu beneran mandul, Nay!" Ida sengaja memperkeruh suasana. Mendengar tutur kata Ida membuat Budi menggeleng dan menangis. Hatinya teriris menyaksikan anaknya dihina seperti itu. Begitu juga Nayra yang menitikkan air mata saking emosinya. Nayra terisak. Ia hendak menjawab, namun Ida sudah mendahuluinya. "Kamu sudah untung sama Guna. Guna nerima kamu apa adanya! Eh, ternyata situ yang sok kecantikan minta pisah sama Guna," gelak Ida mengejek. "Bu, cukup! Kenapa Ibu selalu membahas Guna di depanku?! Guna sudah mengkhianati pernikahan kami! Ibu masih saja membela Guna padahal sudah tahu kalau dia selingkuh!" protes Nayra tidak terima. "Aku tahu. Pasti Ibu menjelekkan namaku, tapi memuji Guna di depan tetangga kan?!" tambahnya. Ida memutar bola mata sembari mengembuskan na
Aldo terbatuk-batuk. Ia segera mengusap cairan teh yang membasahi mulutnya menggunakan sebelah tangan. Sementara Arvin dengan cekatan mengambilkan tisu di dekatnya. "Thanks." Aldo langsung menyambar tisu tersebut lalu menyeka bibirnya kembali. Kedua mata tajamnya lantas memperhatikan seorang wanita yang sedang bercermin di sana. Aldo terdiam, ekspresinya geli. Sementara Arvin sudah terbahak-bahak sedari tadi. Sambil memandangi Nayra yang memperbaiki anak rambut di sekitar wajahnya, Arvin tertawa heboh sembari mendaratkan tepukan berkali-kali pada bahu kokoh milik Aldo. "Sssttt… itu Mbak Nayra ngapain, Pak? Hahaha…" Aldo hanya berdeham lirih. Ia mengalihkan pandangannya sekilas karena malu, lantas kembali menyaksikan Nayra yang bergerak mundur dengan air muka tiba-tiba terdiam. "Apa dia sudah sadar kalau ada orang di sini?" bisik Arvin mengikuti setiap gerakan Nayra. Aldo yang juga memantau wanita itu menggeleng tak yakin. Lalu mendadak Nayra memutar tubuhnya. Ia merapikan blous
Nayra langsung berdiri. Seketika ia menunduk untuk memohon maaf. Raut mukanya khawatir. "Maaf, Bu. Saya minta maaf. Tadi tidak sengaja—" Wanita dewasa di hadapannya merengut. "Tidak sengaja, tidak sengaja! Ya berarti kamu memang ceroboh! Lihat, blazerku jadi kotor!" Suaranya terdengar menggeram. Nayra sangat merasa bersalah. Apalagi kalau feelingnya benar, maka wanita di depannya termasuk jajaran orang eksekutif yang nantinya akan mengikuti rapat. Setelah itu, beberapa kali Nayra meminta maaf namun ditolak mentah-mentah oleh wanita tersebut. "Sudah, sana pergi! Lama-lama lihat kamu malah tambah bikin emosi!" bentak wanita itu sambil menggerakkan tangannya kasar untuk mengusir Nayra. Nayra terdiam. Membereskan barang pecah belah yang berserakan di bawah kakinya, lantas segera berderap menjauh dari sana. Nayra memutuskan kembali ke pantry dengan menggerutu. Padahal sejujurnya kejadian barusan bukan murni kesalahannya. Ia sudah membawa nampan dengan sangat hati-hati, tetapi wanita t
"Silaturahmi." Pria yang ada di hadapannya mengulum senyum miring lantas berdiri. Pria itu mengulurkan tangan ke arah Nayra sambil tetap mempertahankan senyumnya. Kedua mata bulatnya menatap lurus ke manik cokelat milik Nayra. Nayra mengatupkan rahang. Tiba-tiba kerongkongannya terasa panas. Nayra teringat dengan kejadian kemaren sore saat jari-jari itu mencengkeram lehernya. Nayra lalu membuang muka. Ia hendak menggiring kakinya menuju kamar ketika Ida tergopoh-gopoh keluar dengan membawa nampan berisi minuman untuk Guna. Nayra mendelik tak percaya. Sampai sekarang bisa-bisanya Ida masih memperlakukan Guna seperti menantunya sendiri. Guna masih menatap Nayra dengan senyum tipis lalu kembali duduk di tempatnya. Sementara Ida meletakkan secangkir kopi hangat di depan Guna. "Nah, minum dulu, Gun. Kamu pasti sudah merindukan kopi di sini kan," goda Ida. Nayra semakin melebarkan kedua matanya memandang Ida. "Ibu apa-apaan sih!" Mendengar respon Nayra yang ketus membuat Ida mendonga
Nayra gesit membolak-balikkan kertas diary yang sekarang berada di genggamannya. Sementara kedua mata cokelatnya lincah mencari halaman yang cocok dengan foto tersebut. Lalu Nayra menemukan sebuah cerita singkat di halaman awal diarynya. Bukan paling depan, namun kisah itu berbaur dengan kisah-kisah lama Nayra sewaktu masih SD. Nayra memang memiliki diary khusus untuk beberapa momen tertentu selama hidupnya. Ia bukan seseorang yang rajin menulis kesehariannya lewat diary. Melainkan peristiwa istimewa yang selalu terngiang di benaknya yang akan ia tulis di situ. Tetapi Nayra tidak terlalu ingat mengenai bocah laki-laki yang ada di dalam foto tersebut. Nayra membaca sekilas tulisan singkatnya di sana. Tulisan seorang bocah yang masih polos dan sederhana. Lalu berikutnya, bayangan tentang kenangan itu menyertainya. [ Dear diary, hari ini aku ikut Ibu ke salah satu mall besar di sini. Aku melihat berbagai macam gaun lucu untuk acara ulang tahunku yang keenam besok. Kedua mataku langsun
"Hah, maksud kamu apa?" Marsella mengernyit tidak paham.Guna menatap lurus ke arah wanita tersebut. Dilihatnya paras cantik Marsella secara lamat. Kedua mata bulat hitam bersinar, hidung mungil juga bibir semerah cherry. Guna gemas, ia langsung mencubit pipi tembem Marsella seperti biasanya."Kamu itu ya, kalau diajak bicara serius sedikit langsung lemot," gelak Guna terbahak-bahak."Aw, sakit tauk!" Marsella memberontak, lalu sekuat tenaga menjauhkan tangan Guna dari kedua pipinya.Guna masih tertawa keras melihat wajah Marsella memerah. Gadis tersebut menekuk wajah sambil mengusap pipinya yang kesakitan. Sedang kedua mata bulatnya mendelik ke arah Guna."Jangan nyubit pipi dong, sakit! Kamu sih nggak mau jelasin secara detail!" gerutu Marsella kemudian."Maaf, Sayang. Kamu terlalu gemoy sih." Guna terkekeh. "Kalau nggak nyubit pipi, nyubit apa coba?" lanjut Guna dengan menaik-turunkan kedua alis tebalnya."Ih, nggak lucu! Jelasin yang tadi!" sungut Marsella yang sudah kehilangan ke
Nayra menatap Ida tak percaya. Apa katanya? Tidak laku?Nyatanya membuka hati pasca trauma oleh karena pasangan yang selingkuh di belakang kita lebih sulit. Apalagi hal itu menyebabkan Nayra menjadi down dan kurang percaya diri."Bu, bukannya Nayra nggak laku. Tapi apa Ibu pernah berpikir bagaimana perasaan orang setelah diselingkuhi? Trauma, Bu. Nayra belum siap untuk memulai hubungan baru lagi. Mending Nayra sendiri.""Halah, kamu itu ada-ada aja alasannya. Yang belum siap, trauma. Nggak laku ya emang nggak laku. Lagian siapa yang mau sama barang bekas kayak kamu!" hina Ida sembari memandang Nayra dengan tatapan remeh.Nayra hanya menggeleng dan heran terhadap sikap ibunya. Ida, ibunya tak bisa memilih mana perkataan yang baik dan mana yang menyinggung hati."Astaga, Bu," gumam Nayra lirih.Tenggorokan Nayra kering, dadanya sesak tak kuasa menghadapi sikap Ida yang selalu seenaknya sendiri. Nayra kesal. Begitu ia menahan emosinya, titik bening dari matanya semakin mendesak untuk kel
Sontak Ida membulatkan kedua mata. Sementara lawan bicaranya di seberang telepon terdengar menjelaskan kondisinya. "Satu juta setengah ya tadi? Aduh, banyak banget—" "Iya, iya. Kamu tenang aja. Nanti bisa aku usahakan. Aku bujuk Nayra dulu," ralatnya kemudian. Ida mengerjap cepat setelah menutup teleponnya. Ia sendiri juga bingung. Bagaimana merengek ke Nayra agar anaknya memberikan uang satu juta setengah lagi. Mengabaikan bayangannya di depan cermin, Ida menggigit jarinya. Ia sedang memikirkan apa alasan yang harus ia keluarkan agar Nayra percaya. Bagaimanapun Ida harus bisa mendapat uang tersebut. ♡♡♡ Nayra meletakkan cangkir di depan meja Aldo dengan takut-takut. Bahkan tangannya ikut bergetar hebat. Aldo yang sedang menatap layar monitor sedikit melirik ke arah tangan Nayra yang sedang gugup. "Kamu coba dulu." Nayra yang tengah mengelap kedua telapak tangannya yang basah oleh keringat di roknya terpegun. "Apa?" "Kamu coba dulu. Biar tahu sudah pas atau belum," ujar Aldo