INICIAR SESIÓN“Keluarlah, Fleur.”
“Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai mempermainkanku, Fleur…!”Anshel menyibakkan pandangannya ke segala arah. Hening sungai begitu pekat. Beberapa detik berlalu, lalu ia menenggelamkan diri kembali.Namun, sebelum Anshel naik mengambil napas, sebuah tangan mencengkeram pergelangannya. Fleur muncul sambil terkekeh, rambutnya basah menempel manja di pipi.“Apa kau mencariku?” bisiknya dengan nada menggoda.Anshel menatapnya—mata yang dulu marah kini berubah penuh lega.“Fleur, jangan lakukan itu lagi. Kau membuatku—”Tiba-tiba sesuatu bergerak cepat di tepi sungai. Anshel menoleh, refleks melindungi Fleur. Matanya menyipit waspada.Di balik semak, lensa kamera berkilau tertangkap sinar matahari.“Ah sial, paparazi.”Fleur mengangkat alis, tantangan berkilat di matanya.Anshel tersenyum tipis. “Mau bermain denganku lagi?”Fleur berusaha menolak.“Fleur, sedikit saja,” kata Philipe. “Aku sudah lama tidak minum Wine, jangan melarangku!” katanya kesal. Anshel hanya tersenyum kecil, ia teringat saat Fleur minum wine dan menciumnya dengan paksa. Namun ia berusaha untuk tetap terlihat lebih tenang, menunduk sebentar sebelum menyesap makanannya. Tak ada yang menebak bahwa pikirannya sedang diselimuti ingatan yang menggelora.Makan malam berlangsung dengan tenang namun terasa canggung. Fleur duduk di antara Philippe dan Smith, ikut terlibat dalam percakapan ringan yang dengan sengaja dijauhkan dari urusan bisnis. Sesekali tawa kecil terdengar, tampak wajar di permukaan—namun terasa dipaksakan.Di ujung meja, Anshel memilih diam. Punggungnya tegak, gerakannya minim, seolah ia sendiri yang menciptakan batas tak kasatmata di sekelilingnya. Ia tidak menatap Fleur terlalu lama. Tidak pula memperhatikan Smith secara terang-terangan. Namun setiap kali Smith tertawa d
“Anshel, tolong lepaskan aku, akan kupikirkan semua keinginanmu, tapi beri aku waktu,” suara Fleur memohon. Anshel tersenyum miring. Lalu ia menghentikan tangannya saat akan membuka kancing baju tidurnya Fleur yang ketiga. “Baiklah, cukup untuk pemanasan malam ini,” gumamnya, Anshel kemudian bangkit dari kasur. Matanya menatapnya sekilas, ia senyum tipis tapi dingin seperti biasa, lalu ia meninggalkan Fleur di kamar menuju kamar mandi. Fleur menghela napas lega. Ia mengancingkan kembali baju tidurnya dan segera bersiap untuk tidur, sambil heran sendiri. Kenapa setelah Ratu Calinda memanggil kami ke istana, Anshel menginap di rumah terus? bahkan ia memaksa satu kamar denganku. Apakah benar dia tidak meniduri gadis itu dan tidak ada hubungan apapun? mungkinkah pada akhirnya, aku harus memberinya keturunan karena desakan neneknya dan demi nama baiknya? pikirn
Fleur,” suara Anshel terdengar lebih rendah dari biasanya, “haruskah aku mengatakan semuanya?” Fleur berdiri. Gerakannya tegas, seolah ia butuh jarak agar bisa bernapas. “Lantas—apa harus—kau menyembunyikan semuanya dariku?” Suasa malam itu menjadi hening sesaat. Udara di ruangan itu terasa menekan. Fleur menatap Anshel tanpa berkedip, menunggu jawaban yang tak kunjung datang. Anshel mendengus pelan, rahangnya mengeras. “Fleur,” katanya kemudian, menyipitkan mata, “kenapa kau pura-pura datang bulan malam itu?” Nada suaranya terdengar seperti godaan—terlalu santai untuk topik yang terlalu pribadi. Bagaimana dia tahu aku berbohong?” pikir Fleur, matanya membesar. Hatinya berdebar, merasa seperti tertangkap basah, meski ia berharap semuanya tetap tersembunyi. Dahi Fleur berkerut. “Kau selalu mengalihkan pembicaraan.” A
Sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal. “Jangan ikut campur.” Anshel menatap layar itu lebih lama dari seharusnya, rahangnya mengeras. Senyum sinis terbit di sudut bibirnya sebelum ia memasukkan ponsel ke saku jas bagian dalam. “Apa dia berencana menghentikanku? Anhel tersenyum sinis. “Tidak akan.” Mobil Anshel meluncur mulus dan berhenti di depan gedung kaca menjulang Noblecrest Bank—jantung dari tiga pilar bisnis utama kerajaannya. Pilar pertama, Noblecrest Bank, mengalirkan dana raksasa untuk pinjaman, investasi, dan perdagangan barang vital seperti energi, obat-obatan, serta bahan baku melalui pelabuhan global. Pilar kedua, Noblecrest Logistics, mengawasi pengiriman kontainer dan rantai pasok lintas benua. Pilar ketiga, Noblecrest Systems, menjaga semuanya tetap aman melalui cybersecurity dan analisis risiko tingkat tinggi. Para staf membungkuk memberi hormat saat ia melangkah masuk. Owen mengikuti di belakangnya. Rapat pun dimulai. Di ruang meeting Noblecrest Ba
“Jawab aku, Fleur?” desak Anshel. Wajahnya tak lagi setenang biasanya—alisnya menegang, sorot matanya gelisah, seolah ada sesuatu yang tengah ia kejar namun tak mampu ia genggam.Fleur menautkan alisnya. Ada jeda singkat sebelum ia bersuara, nada suaranya rendah namun penuh curiga.“Siapa yang sedang kalian bicarakan?”“Itu soal pekerjaan,” potong Anshel cepat. “Kau tidak perlu mengetahuinya.”Kalimat itu justru menambah kerutan di dahi Fleur. Ia hendak mengatakan sesuatu ketika langkah lain mendekat. Philippe keluar menghampiri mereka, senyumnya ringan seolah suasana barusan tak meninggalkan bekas apa pun.“Fleur,” katanya ramah, “besok kalian datang ke Rivershade. Kita makan malam bersama.”Fleur menoleh pada Anshel. Tatapannya tajam, menahan sesuatu yang sejak tadi mengganjal.“Kau tanyakan saja padanya,” ujarnya dingin, “apa aku boleh datang ke sana?”Kesal, ia la
Anshel duduk di tepi tempat tidur, punggungnya tegak, sorot matanya tajam menembus remang kamar. “Fleur,” ucapnya datar. “Apa kau pura-pura sakit?” Di balik selimut, tubuh Fleur menegang. Jantungnya berdegup lebih cepat dari seharusnya. Ia menelan ludah, lalu mengangguk kecil. “Maksudku… aku sakit sungguhan,” katanya akhirnya. “Apa kau mencurigaiku?” Anshel menyipitkan mata, seolah mencoba membaca sesuatu di wajahnya. Sebelum ia sempat berkata apa pun, ketukan terdengar di pintu. “Tuan, ini obat herbal untuk Nyonya.” Anshel bangkit, menerima nampan itu dari pelayan, lalu mengucapkan terima kasih singkat. Ia kembali ke sisi tempat tidur dan menyerahkan cangkir hangat pada Fleur. Dengan bantuan Anshel, Fleur duduk bersandar. Uap tipis mengepul dari permukaan cairan. Hanya teh hangat dengan jahe. Napasnya sedikit mengendur. Emma pernah membuatkan minuman yang sama dulu—tak ada yang







