Share

4. Jalankan Rencana Baru

Kurang dari lima menit, Dara baru masuk ke kelas X-1 dan mendapati Udin udah bertengger di samping Frel—sahabat karibnya—yang sepertinya tanpa cewek itu sadari begitu melihat Frel tengah asyik mengerjakan soal di buku paket pelajaran.

Mengingat jam pertama ada pelajaran matematika, mungkin ia lagi mencoba mengisi beberapa pertanyaan tersebut. Sahabatnya itu emang kayak gitu, dari kecil Frel tergolong sangat cerdas mengenai semua pelajaran eksak. Makanya, Dara nggak kaget sahabat baiknya itu bisa masuk di sekolah elit ini lewat jalur beasiswa prestasi yang kebanyakan diisi oleh jajaran anak-anak dari kalangan teratas.

Mumpung Frel masih belum nyadar, cepat-cepat Dara duduk di bangkunya Udin yang bersebelahan dengan Daniel, si cowok berwajah hitam dan berperut gendut hingga para teman di kelas sering menyebutnya "Kuda Nil".

"Ra, lo ngapain minta tukar bangku sama Udin?"

"Ssttttt, kuda nil diem. Berisik!" jawab Dara sambil melotot tajam.

Daniel langsung jadi patung. Benar kata Udin, emang dia nggak perlu ngebantah cewek satu ini, kalau kumat bisa-bisa dia ketiban sial kayak waktu dulu.

Ya, waktu dulu. Waktu acara MOS. Dia pernah kena hukuman menari jaepong lantaran si Dara kumat. Ditanya siapa bisa nari jaepong, eh, malah Dara asal jeplak aja nunjuk dirinya jago tarian tersebut. Alhasil, karena beban tubuhnya yang sangat subur—ia yang pada saat itu gugup tingkat dewa—akhirnya harus jatuh tengkurap di lantai disebabkan tersandung kakinya sendiri.

Otomatis karena aksinya, semua pada tertawa. Tak terkecuali para OSIS. Ia layaknya badut sedang berpesta dalam tempat yang salah. Sungguh memalukan. Dan ia nggak mau kejadian tersebut menimpanya kembali kalau sampai mengganggu Dara lagi.

Dari ekor matanya, Dara tahu kini Frel udah sadar dan sontak melihat ke arahnya. Namun, ia berlagak diam aja tak menoleh sedikit pun, meski sahabatnya itu terlihat kaget dan kecewa.

Tiba-tiba Bu Sari masuk dengan membawa malapetaka sebuah ulangan dadakan yang membuat Dara syok setengah hidup. Ia belum belajar apa pun, sama kayak teman sekelasnya yang sedang geger menentang ulangan tersebut.

"Tapi bu, harusnya kan info dulu sebelum mau ulangan," protes Adam terdengar di pendengaran Dara.

'Bagus, Dam, bagus!' Dara mendukung meski cuma dalam hati.

"Betul itu, Bu. Harusnya ada pemberitahuan terlebih dahulu, biar kami bisa siapin, Bu," sahut Udin.

"Maksudnya Udin pasti belum siapin kertas contekan tuh, Bu," potong Daniel seketika.

"Nah, itu juga betul, Bu," tambah Udin lagi, dan refleks kedua tangannya membungkam mulutnya sendiri lantaran terlalu bersemangat hingga tidak sadar telah salah ucap.

"HAHAHAHAHAHAHAHAHA." Semua tertawa membahana, gaduh dan berisiknya minta ampun.

Dara masih diam, pelan-pelan ia berpaling ke arah Kenn yang tempatnya berada tepat di belakang Frel—dekat jendela—seperti biasa, cowok itu terlihat dingin dengan wajah datar, tapi benar-benar keren. Dara langsung lumer, rasanya ia ingin sekali menjerit dan jingkrak-jingkrak saat itu juga.

Namun, ia urung. Ia kan dalam tahap menjalankan rencana baru. Harus tetap tenang dong.

Sementara itu, kelas semakin ramai dan heboh, saling berebut bicara dan protes. Bahkan Maya—cewek favorit Udin yang katanya mirip dengan idolanya Elvy Sukaesih—juga ikut andil, mengeluh dengan gaya yang dibuat-buat.

Hingga membuat Bu Sari—guru yang terkenal dengan kekillerannya—kontan menyambar penggaris sepanjang 1m dan dipukulkannya ke atas meja dengan kencang, sampai-sampai tuh penggaris patah menjadi tiga bagian.

Semua seketika terdiam. Takut bercampur ngeri. Mereka kicep dan langsung menuruti perintah Bu Sari untuk menyiapkan semua peralatan tulis dan kertas kosong.

"Mampus!" gumam Dara saat tengah melihat soal-soal di tangannya.

Ini sih meski ia belajar seribu kali sambil kayang pun nggak akan pernah bisa. Pertanyaannya susah begini.

Cewek itu pucat sambil garuk-garuk belakang leher. Biasanya kalau ulangan super sulit kayak gini, ia selalu mengandalkan Frel dan tinggal salin tuh jawaban. Nah sekarang, emangnya apa yang bisa ia perbuat?

Dara membentur-benturkan dahinya di atas meja. Ia frustrasi, rasanya pengin nyemplung aja ke rawa-rawa.

"Lo kenapa, Ra?" tanya Daniel panik. Ia takut teman sebangkunya itu kerasukan setan penunggu kelas.

Pertanyaan dari Daniel menjadikan kegiatan Dara terhenti, lalu menoleh ke samping dengan sorot yang menakutkan. Daniel kelabakan, cowok itu cepat-cepat menunduk seraya pura-pura menulis jawaban. Padahal hanya tulisan lingkaran bulat, kosong nggak jauh beda dengan isi di otaknya sekarang.

Tiba-tiba ponsel Dara bergetar pelan dari dalam saku. Ia merogohnya dan mendapatkan pesan dari jasa mata-mata yang dibiayai Rian—Detektif Conan—yang nama kontak udah ia ubah seenak jidatnya.

Detektif Conan: Nona Dara, semua latar belakang yang diinginkan sudah kami dapatkan.

'Wah, cepet juga tuh orang. Baru aja kemarin pesennya, sekarang udah dapat tuh info.'

Dengan segera ia mengetik balasan.

Dara: 😱😱

Dara: Bagus.

Dara: Kirim ke sini ya 😍💃

Edan! Kirim pesan udah kayak ngirim sama si doi aja. Emang luar biasa tuh anak.

Tak berapa lama ponsel Dara kembali bergetar. Ia membuka file P*F yang barusan masuk di ponselnya. Dan astaga ... mata itu seketika melotot, sampai bola matanya hampir nongol keluar. Dara benar-benar kaget, ia nyaris berteriak kalau aja ia nggak cepat-cepat tersadar dan buru-buru membekap mulutnya sendiri.

Ini salah satu alasan kenapa ia harus pindah bangku agak jauh. Agar gerakan mencurigakan darinya nggak terdeteksi siapa pun, apalagi sama Kenn. Bangku dia kan di depan Kenn dan Tomi, tentu dia nggak bakal bisa apa-apa jika ia masih menetap di sana.

Oh tidak-tidak. Itu nggak boleh terjadi. Misinya harus berhasil tanpa ada kendala apa pun.

Dara tengak-tengok ke segala arah. Terlihat Udin—si biang kerok—sedang melakukan aksi gilanya. Apa lagi kalau bukan menyontek jawaban milik Frel dan ketahuan Bu Sari. Dasar bodoh! Ia aja sembilan tahun lebih kerjaannya cuma nyontek jawaban Frel, tapi hanya lima kali ia ketahuan. Hebat kan? Sedangkan Udin, baru sekali aja udah tertangkap basah. Ck, payah!

Menurut Dara, dia hebat. Tapi emang apa hebatnya kalau cuma ahli dalam bidang menyontek? Di sini yang bego sebenarnya siapa, sih?

Berhubung Bu Sari lagi ngamuk sama Udin, ia kini lebih memilih sesuatu yang lebih penting. Mengorbankan nilai ulangannya sendiri, Dara lekas masuk ke kolong meja. Pun tak menghiraukan tatapan bertanya dari Daniel.

Ia mengeluarkan ponselnya lagi dan segera menghubungi kontak bernamakan Detektif Conan.

"Detektif Conan, filenya udah gue baca nih." seru Dara bersemangat meski dalam keadaan berbisik-bisik di telepon.

"Maaf, Non, jangan sebut saya seperti itu."

"Ah, gitu ya, hehehe. Pokoknya gitu deh. Tapi tunggu, i-itu beneran infonya?"

"Iya, Non. Sudah kami selidiki semuanya."

"Gue sih agak ragu, ya, bisa nggak sih gue dikasih satu bukti Kenn lagi apa gitu? Biar gue bener-bener percaya."

Hening. Di seberang sana, pria berkacamata hitam yang menelepon Dara sedang mengecek sebuah jadwal seseorang. Ia berpikir sejenak, kemudian angkat suara lagi.

"Bisa. Dilihat dari jadwalnya, kebetulan siang nanti Kenn sedang ada pertemuan dengan rekanan di luar. Nona Dara bisa langsung kami tunjukkan dalam jarak aman."

"Woaah, boleh-boleh." Dara semringah. "Gue setuju. Alamat ketemuannya nanti dikirim aja lewat Hp gue."

"Baik, Non. Ada yang perlu ditanyakan lagi?"

"Ee ... untuk sementara ini, nggak dulu. Gue—"

BRUAK!!

Suara gebrakan meja terdengar keras dari atas kepala Dara.

"Lagi ngapain kamu di bawah meja, hah?!"

'Mati gue!'

Dara tahu itu suara Bu Sari. Seketika ia mematikan teleponnya.

"CEPAT KELUAR!!"

DUG!

"Aduh!" Saking paniknya, kepalanya sampai kepentok meja. "I-iya, Bu." Dara cepat-cepat keluar dari persembunyian. "Halo, Bu. Eh, Bu Sari makin cantik aja deh. Oh, ya, Bu Sari tau nggak—" ucapannya terpotong tatkala sang guru tak menggubris, malah semakin melotot kejam, "hehehehe...," tambah Dara akhirnya, sambil cengengesan nggak jelas.

Lima detik berlalu, ia baru sadar. Ada keheningan yang sangat kentara di ruang kelasnya. Ia memberanikan diri untuk menolehkan mukanya ke beberapa titik di bangku. Ternyata cukup banyak yang udah kosong melompong tanpa penghuni.

'Eh? Lagi di mana anak-anak?'

Sontak tubuhnya segera merapat ke arah Daniel. "Nil, yang lain pada ke mana?" tanyanya sambil berbisik.

Melihat Daniel nggak bereaksi, tanpa banyak mikir Dara menendang kaki tuh cowok hingga refleks berteriak, "S-sembilan anak dihukum di luar!"

Ups. Daniel bego!

Bu Sari berkacak pinggang seraya menyemburkan kalimat mematikannya, "KALIAN BERDUA JUGA DIHUKUM!!"

Dara dan Daniel kontan terperanjat. Dara pun baru nyadar bahwa Bu Sari sedari tadi belum berpindah ke mana-mana. Masih di depan bangku mereka.

Mati. Sekarang Dara pun yakin, riwayatnya bakalan tamat.

***

Lift berhenti di lantai 3, kembali ke lantai tempat kelasnya berada. Ia melongokkan kepalanya terlebih dahulu sebelum yakin untuk keluar. Ia takut akan ketemu Frel lagi.

Sudah dua kali ia memencet tombol angka di lift dari turun menjadi naik lagi lantaran sahabatnya tak pernah patah semangat mengejarnya.

Dara tau ia perlu memberikan penjelasan kepada Frel alasan mengapa ia menjauh darinya. Tapi menurut dia, bukan saat ini. Waktunya belum tepat. Ia udah berjanji pada diri sendiri, sebelum semua menjadi jelas ia tidak akan memberikan alasan apa pun pada Frel.

Melihat di luar lift nggak ada tanda-tanda kedatangan Frel, ia baru berani keluar. Dara mengembuskan napasnya lega, tapi beberapa detik kemudian bibirnya manyun layaknya istri yang nggak dikasih uang belanja dari suaminya.

Eh, nggak ding. Kan usia Dara belum pantas buat nikah, ia juga nggak kekurangan uang sama sekali.

Dara memasang bibir gitu, soalnya ia teringat di kelas tadi. Ia benar-benar sial. Wajar aja si Daniel nggak bereaksi, nah si guru killer masih betah nongkrong di depan bangku mereka.

Untung aja hukumannya nggak diminta bergabung sama kesembilan temannya di luar, itu berarti ia akan gabung bersama Frel serta Kenn yang dihukum lantaran memberikan contekan, sedangkan si Udin, Tomi dan teman-teman lainnya mendapat hukuman karena ketahuan menyontek.

Hukuman Dara masih dalam tahap ringan kok, disuruh menulis kalimat penyesalan sampai sepuluh lembar. Eh, bukan. Ditambah lima lembar sih, jadinya total menulis lima belas lembar penuh. Itu gara-gara Bu Sari melihat kertas jawabannya belum terisi satu pun.

Lihat, demi Kenn ia bahkan mengabaikan nasib ulangannya meski kertas jawaban masih kosong melompong kayak kain putih tanpa noda.

Yeaah, walaupun tangannya kali ini rasanya mau lepas, ia tetap akan berpikir positif. Di balik kesulitan pasti ada kemudahan, kan? Ya, siapa tahu habis ini ia akan mendapat berkah yang tak terduga.

Nah, benar dugaannya. Tuhan menjawab doa Dara. Kala ia berjalan lunglai di koridor, ia menemukan pemandangan yang luar biasa baginya.

Dari kejauhan, ada tiga kakak kelas terlihat berjalan ke arahnya. Mereka sangat populer di sekolah ini. Gimana nggak populer, selain terkenal dengan ketampanannya, mereka bertiga termasuk cowok yang menduduki Ketua OSIS, Wakil Ketua OSIS dan Sekretaris.

Dan khusus yang menyandang Sekretaris adalah cowok yang membuatnya tertarik ke dalam sebuah ingatan yang pernah ia alami. Masa di mana MOS berlangsung.

"Kamu yang duduk diurutan nomor dua, bisa maju ke depan?"

"Saya, Kak?"

"Iya. Sekarang maju."

Dara maju dengan senyuman manis di wajah. "Ada apa ya, Kak?"

"Kamu bawa hp, ya?"

Tanpa curiga Dara mengangguk-anggukkan kepalanya dengan antusias. "Ah, kakak mau minta nomor hp saya, ya? Boleh-boleh. Boleh banget malah."

"Heh, nggak usah kepedean!" pekik cowok dengan name tag Wakil Ketua OSIS.

Dara menggerutu. "Kan saya ngomongnya sama teman kakak yang Sekretaris. Kok situ yang sewot? Oh, saya tau! Kakak cemburu, ya...?"

Alvin yang saat itu menjabat Wakil Ketua OSIS spontan melotot dan menampangkan wajah murka.

"Cewek item kayak lo, nggak level gue!" celetuk Alvin mulai emosi.

Udah pakai kata lo, gue. Pupus udah pembicaraan formal jika udah sama Dara.

"Tapi kan item manis, Kak."

Alvin langsung muntah seember. Sedangkan teman-teman yang lain pada cekikikan melihat tontonan gratis di depan mata.

Sementara Ari—sang Sekretaris OSIS—terpaksa nahan tawa sambil menundukkan kepalanya.

"Dari awal selama mengikuti MOS, peraturannya dilarang bawa hp. Jadi kamu saya hukum. Ikut saya keluar," perintah Ari kemudian, meski masih dalam tahap kalem.

Dara meringis menyadari kesalahannya. Mau nggak mau ia mengikuti Ari dari belakang.

Ari mengajak Dara ke sebuah taman di sebelah kantin. Taman di sini memang ada dua. Di belakang gedung guru dan sebelah kantin bagian luar kelas.

Cowok itu berhenti di sebuah sekumpulan bunga warna-warni. Ia menatap Dara. "Dalam dua hari ini, kamu udah dapat hukuman apa aja?"

Mendapati cewek di depannya itu masih tetap diam sambil senyum-senyum sendiri, serta-merta membuatnya mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi.

"Kamu kenapa? Kamu dengar saya?"

Dara masih diam. Khayalan-khayalan indah bertebaran di kepalanya. Di benaknya sekarang, Ari seperti sosok pangeran ganteng dari negara Korea yang di kelilingi oleh banyak bunga dan terpaan hangat mentari. Wajah cowok itu bersinar, bersih dan senyuman manisnya menjadikan kian sempurna.

"Dara? Kamu nggak apa-apa?" pertanyaan serta tambahan memegang tangan, menimbulkan kejut listrik di tubuh Dara.

Ia terkesiap dan matanya mulai berkelip-kelip. "Kakak tau nama saya? Tau dari mana? Kan kita belum pernah kenalan?" tanya Dara heboh.

Walaupun Ari bingung, bukannya jawaban yang ia dapat malah pertanyaan beruntun yang keluar dari bibir cewek tersebut, tetapi ia akhirnya memilih tersenyum kecil.

"Papan nama yang kamu kalungkan di leher kan udah cukup jelas."

"Oh, iya, ya. Hehehe...." Dara cengengesan. "Tapi nggak adil banget sih, kakak bisa tau nama saya dengan mudah sedangkan saya nggak."

"Maksud kamu?"

"Maksud saya ... eee, hehehe ... yaaa, itu ... kakak juga sebutin dong namanya siapa."

Doeng! Seketika Ari melongo. Emang ini acara perkenalan, apa!

"Ari."

Bagus. Ia menyebutkan namanya tanpa sadar, yang sontak membuat Dara menyambar tangan tuh cowok dan disatukan dengan tangannya sebagai salam perkenalan. Jangan lupa, perkenalan yang sangat menggebu dan berapi-api.

"Makasih Kak Ari, makasih. Nama saya Adara Salsabila. Panggil saya Dara, ya...."

Tampak Ari mengerjapkan matanya pelan. Tapi tetap diam. Mungkin terlalu syok mengetahui ada spesies macam Dara di alam bumi yang indah ini.

Tak selang berapa lama, ia berdeham. Dara terkejut dan refleks melepaskan genggaman tangannya. Benar-benar nggak tau malu!

"Gini aja, sebagai hukumannya kamu sekarang rayu bunga di depan itu."

"Eh, maksudnya saya disuruh merayu bunga mawar itu, Kak?"

Cowok di depannya mengangguk.

Mata Dara membelalak. "Kak Ari nggak salah? Ini kan bunga? Mana ada manusia disuruh merayu bunga? Sampai mulut berbusa pun tuh bunga juga nggak bakal jawab, Kak."

Ari menggelengkan kepalanya. "Nggak ada yang salah. Ayo, dimulai. Atau mau ditambah hukumannya?"

"T-tunggu-tunggu, Kak." Dara gelagapan dan panik. Ia mengerang dengan wajah frustrasi. "Kak, ngapain sih harus bunga?! malu tau, Kak. Daripada bunga mending saya milih kakak aja. Udah ganteng, manis lagi," lanjutnya.

Dengan kepercayaan diri yang tinggi ia berjalan mendekat ke arah bunga mawar merah tersebut, lantas ia hirup dengan penuh penghayatan. "Yaaa ... meskipun wajah saya bagaikan bunga semerbak mewangi, tapi tetap aja merayu bunga itu nggak ada kamusnya. Ih, amit-amit, deh." Selepasnya ia berbalik menghadap Ari. "Gimana, Kak, saya boleh dong merayu Kak Ari?"

Di luar dugaan Ari yang sejak tadi diam, kali ini mendadak salah tingkah. Ia senyum-senyum bercampur malu, lalu mengusap belakang lehernya. Wajah dan telinganya pun berubah jadi memerah.

Kenangan itu sampai sekarang masih membuat Dara gemas. Membekas di ingatannya. Jarang ada cowok seperti itu. Momen yang nggak pernah bisa Dara lupa hingga sekarang.

Dan ketika ia masih mesam-mesem mengingat kejadian yang tak bisa ia lupakan tersebut, tanpa ia sadari ketiga kakak kelasnya kini udah berhenti tepat di depannya. Menatap aneh pada cewek yang saat ini berdiri tepat di tengah, menghalangi jalan mereka.

"Wooooaaah, kayaknya ada tembok tak kasatmata lagi memblokir jalan kita, nih!" celetuk Alvin dengan suara yang sengaja dikerasin.

Dara tersentak. Ia mencoba memfokuskan pandangannya kepada mereka bertiga. Mengerjap-ngerjap polos. Serius, kali ini polos banget soalnya si Dara emang lagi kaget.

"Lo ngomong apa sih, Vin?! Nggak sopan banget," sahut Kevan pelan sembari menatap Alvin tajam.

"Tau tuh, Kev. Tuh anak emang perlu dihajar."

"Enak aja! Bukan gue yang dihajar, tapi lo!" balas Alvin begitu mendengar Ari mulai jadi kompor.

"Nggak salah? Beberapa hari lalu siapa yang udah kena gampar karena ketahuan janji sama dua cewek sekaligus. Enak nggak tuh? Hahahaha...." Ari tertawa ngakak.

Namun seperti biasa, Kevan hanya geleng-geleng kepala melihat dua kelakuan sobatnya. Kemudian beralih melihat cewek yang masih berdiri dengan pandangan bingung.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Kevan dengan sorot khawatir.

"Lo ngomong sama siapa, Kev?" Alvin mulai lagi.

"Nggak usah pedulikan dia," tukas Kevan sembari tersenyum ke arah Dara. "Lo butuh bantuan? Atau ada yang mau lo omongin?"

Dara yang saat ini kesadarannya udah mulai terkumpul, spontan mengangguk-anggukkan kepala seraya tersenyum cerah, nunjukin giginya.

"Eh, bentar-bentar! Kok ada gigi terbang tapi nggak ada orangnya, ya?" Sedetik kemudian kepala Alvin celangak-celinguk. "Mana orangnya?" imbuhnya tanpa memperhatikan Dara.

Songong banget emang tuh cowok. Dara mati kutu. Pucat pasi. Ia tau apa yang Alvin maksud.

Akan tetapi tak selang berapa lama, Dara kesal juga. Ia mengepalkan kedua tangan di masing-masing sisi tubuhnya sambil matanya mendelik marah.

"Gue mau nyapa Kak Ari bukan lo!" semprot Dara langsung.

"Eh, si panci gosong marah, hahaha...." Bukannya tersinggung, Alvin malah menimpali dengan santai sembari terbahak-bahak.

Kevan—Ketua OSIS SMA bakti Airlangga—menghela napas lelah. Sahabatnya itu emang terkadang rada kelewatan jika bercanda.

"Ar, lo kenal dia?" tanya Alvin pada akhirnya, seraya menoleh ke arah Ari.

Masalahnya Ari hanya diam aja. Ia mengerutkan dahinya seolah-olah berusaha berpikir keras.

"Udaaaaah, lo pasti nggak kenal. Ayo, kita lanjut jalan!" serobot Alvin sebelum sahabatnya menjawab satu patah kata pun.

Selain menyeret Ari, ia juga mengajak paksa Kevan yang dari awal sebenarnya nggak setuju sama sikap Alvin. Tapi mau gimana lagi, tuh cowok kali ini ngotot banget, seakan nggak mau dibantah.

Padahal, sesudah mereka lanjut jalan, diam-diam si Alvin menengok ke belakang dan menjulurkan lidahnya. Mengejek siapa lagi kalau bukan Dara. Yang membuat Dara seketika mencak-mencak di tempat.

Hahaha ... kasian banget Dara.

...........................***.........................

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status