Rendi membuka mata. Seakan berat terbuka. Mengerjap-ngerjap. Pandangannya hanya melihat warna putih. Rendi memencet kedua ujung mata dengan jempol dan jari telunjuk secara bersamaan. Memejamkan sesaat, matanya terbuka lebih lebar.
Masih putih yang terlihat olehnya sekeliling. Rendi menggerakkan kepala. Memandang ke kiri. Putih yang tampak. Memandang ke kanan. Putih yang terlihat. Hei, di mana ini?
Meragukan matanya, pria muda itu kembali merasa perlu mengucek kedua bola matanya. Mengerjap lalu membuka dengan pandangan mata bulat. Aneh masih putih sekeliling. Dinding dan plafon putih terlihat sempurna.
Rendi tersadar ia tengah tertidur. Memandang ke bawah pada kedua kaki, terlihat tertutup dengan selimut. Selimut juga berwarna putih. Rendi menggerakkan kedua tangan. Tidak ada masalah. Kedua tangannya bahkan sudah beberapa kali bergerak mengusap matanya.
Ia berusaha menggerakkan kaki. Ops! Terasa berat. Terasa nyeri.
Rendi meninggikan dua bantal di belakang kepala. Kepalanya sedikit terdongak ke atas. Ia kemudian lebih leluasa memandang ke seluruh sisi. Menelusuri ruangan dengan pandangan ragu-ragu namun ia segera memastikan bukan tidur di kamarnya.
Kamar berwarna putih semua. Dua lembar kain pintu di sebelah kiri yang menutupi jendela. Juga tirai pembatas di sebelah kanan berwarna putih. Pada sebuah meja kecil dekat dinding di ujung jendela terlihat gelas berisi air putih. Di sebelahnya tergeletak sejumlah kantong plastik kecil. Beberapa papan obat yang sebagian sudah terbuka.
Ini di rumah sakit? Kapan aku masuk? Sakit apa? Rendi mengeleng-geleng berusaha mengembalikan memorinya.
Rendi menghela badannya. Kedua kakinya terasa berat ditarik. Sedikit dapat bergerak ia merasa kepalanya teronggok sepenuhnya di atas bantal. Seraya memejamkan mata ia berusaha mengembalikan ingatannya.
Perlahan ia bisa mengingat. Kemarin atau kemarinnya lagi ia masih melakukan aktivitas sebagaimana biasa. Pagi kuliah hingga tengah hari. Ya diingatnya. Menjelang siang ia malah sudah kembali berada di kost-kostan. Tidak ada yang dikerjakan hingga petang.
Habis magrib pergi ke rumah Tante Upita. Mengajar anaknya, Monika. Lalu pindah ke rumahnya Meylin yang masih berada dalam satu kompleks. Tidak ada masalah. Sudah setahun belakangan ia memberikan les Bahasa Inggris. Tidak hanya pada Monika dan Meylin. Ada belasan muridnya. Datang ke rumah para murid itu.
Namun diingatnya pula malam itu ia hanya mendatangi Monika dan Meylin. Dan Rendi menjadi ingat, sepulang dari rumah Meylin itulah terjadi permasalahan.
Seperti malam-malam sebelumnya, ia mengayuh Poly Strattos S4 dengan santai. Tidak juga ada alasan ia mesti buru-buru pulang. Santai mengayuh sambil menikmati udara malam yang sudah tidak sepanas siangnya.
Ia sudah paham belum dengan jalan itu. Jalan sepanjang 3 km lebih yang mesti dilaluinya sangat mulus. Tidak ada lobang satu pun. Ia bahkan hapal di mana jalan yang retak atau pinggirannya yang tidak rata. Sudah bertahun ia melewati jalan itu setiap harinya.
Rendi mememastikan ia bersepeda di pinggir jalan. Juga tidak laju. Saat tengah melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya depan kompleks perumahan, tiba-tiba ada yang menabraknya.
Tiba-tiba saja ia merasa terbang disundul dari belakang. Ia bersama sepeda sama-sama terlempar. Ia tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Apakah ia dan sepeda bergulung-gulung di bawah mobil? Ataukah sepedanya terbang sementara badannya tertabrak dengan kuat hingga terbanting di atas aspal?
Kemudian Rendi seperti bermimpi dibawa orang-orang. Entah ke mana. Dilarikan dengan menggunakan mobil. Entah mobil siapa. Ia merasa kepala dan kakinya penuh dengan darah. Seluruh badannya terasa sakit. Terutama kaki kanannya. Entah tersebab apa.
“Jadi aku berada di sini karena tabrakan malam kemarin itu?” tanya Rendi dalam hati. Ia kemudian mengangguk-angguk sendiri membenarkan. Ya, terjadi kecelakaan malam sepulang dari rumah Meylin. Tapi siapa yang menabrak?
Rendi tidak tahu. Ia ditabrak dari belakang. Dan itu terjadi di malam hari. Sekitar pukul 21.00. Apakah korban tabrak lagi? Tidak ada orang yang bertangungjawab. Rendi mengibaskan pikiran itu.
Rendi memegang kepala. Terasa ada yang kain kasa membalut di sisi kepala atas bagian kanan. Teraba olehnya perban yang menempel pada kain kasa menempel kuat kulit kepalanya. Berarti ada luka di kepala.
Dilihatnya kembali kedua tangan. Ternyata ada luka di tangan kiri. Dibagian belakang memanjang dari bawah siku hingga pergelangan tangan. Sudah dibaluri dengan obat merah.
Dari kedua kaki, hanya sebelah kiri yang bisa digerakkan. Sementara kaki kanan samasekali tidak bisa bergerak. Terasa sangat sakit ketika hendak digerakkannya.
Rendi menarik kain selimut. Ia ingin tahu apa yang terjadi dengan kaki kanannya. Tidak ada luka-luka. Terlihat olehnya pada kaki kanan persis di bawah lutuh dibaluti pula dengan kain kasa. Pada balutan kain kasa putih itu terlihat bercak-bercak merah.
Rendi menyimpulkan ada yang tidak beres dengan kaki kanannya. Jangan-jangan patah? Dugaan itu mengemuka ketika dirasakannya nyeri yang sangat perih saat ia mencoba menariknya. Berbeda dengan kaki kiri yang dengan mudah bisa ditarik dan digerakkan.
“Kalau memang patah bagaimana ini?” keluh Rendi lagi. Bagaimana dengan kuliah? Bagaimana dengan les yang dilakoninya? Bagaimana ia mendatangi rumah para murid itu? Rendi menelan ludah. Ia merasa bingung.
Beruntung kebingungannya segera berkurang begitu dilihatnya pintu kamar terbuka dan seorang wanita berpakaian putih-putih masuk. Ia punya kesempatan untuk bertanya.
“Wah, sudah siuman ya?” sapa wanita itu dengan senyuman.
Jadi sepanjang malam tadi aku pingsan? Bukan tidur? “Kenapa aku, Sus?”“Anda mengalami kecelakaan. Sekarang tengah menjalani perawatan,” jelasnya.
Suster bergerak mendekati meja. Ia membuka plastik obat dan membuka beberapa tablet dari papannya. Ia menyodorkan pada Rendi dengan sebuah sendok. “Minum obat ini,” katanya.
Rendi menurut. Ia menegakkan punggung. Ia menelan obat yang diberikan.
“Kaki kanan itu aku in kenapa, Sus? Patah?” tanya Rendi yang tidak bisa menahan pertanyaan itu.
Suster berambut pendek itu menganggukkan kepalanya. “Sepertinya begitu. Patah bagian tulang keringnya.”
Rendi menyemburkan nafasnya. Tidak berbeda dengan dugannya. Patah. Kaki kanannya patah.
“Tahu siapa yang menabrak aku? Atau siapa yang ngantar ke rumah sakit?”
Suster menggeleng dengan senyuman. “Mungkin petugas malam mengetahuinya. Bisa tanyakan sama keluarganya nanti,” katanya.
Keluarga? Rendi kembali menelan ludah. Tidak ada keluarganya di sini. Di kota ini ia hanya sendirian. Yang ada hanya kawan-kawan kuliah atau teman sekostan. Mama di Pekanbaru. Dan sudah tenang berada di perkuburan keluarga. Papa entah di mana kini. Sementara dua adiknya bersama nenek di Kampar.
Tentu Fadely, Sudar dan Herman sudah bisa dianggap keluarga. Atau teman-teman dekat lainya di kampus. Irmen, Hedi, Joko dan Risman sepertinya bisa pula disebut sebagai keluarga. Bukankah teman-teman sekosan itu tempat ia berbagi masalah dan kesenangan.
Tentu mereka belum tahu aku berada di sini, bathin Rendi pula. “Ada HP di sana, Sus? Tolong ambilkan,” pinta Rendi seraya menunjuk meja yang di atasnya penuh dengan obatan.
Suster mencarinya dengan membuka laci dan rak di bagian bawah. “Tidak ada HP di sini,” jelasnya yang kemudian juga mencari di tempat lainnya.
Di mana HP itu? Rendi kembali menelan kepahitan. Dipastikannya hilang saat kecelakaan itu. Bersamaan dengan itu ia pun tersadar dengan dompetnya yang mungkin sekali tidak diketahui pula di mana keberadaannya.
Rendi hanya mengangguk lemah ketika Suster muda itu pamit. Aduh, bagaimana ini? Bagaimana memberitahu kawan-kawan itu aku berada di rumah sakit.
Pintu kembali terbuka. Bukan suster yang masuk. Seorang wanita muda bertubuh mungil namun padat. Pakai kaos lengan panjang. Sedikit ketat. Ia tersenyum.
“Tante Rieka?” suara Rendi tersentak.
--bersambung—
Rendi tersenyum. Ia berusaha menegakkan badan. Tante Rieka buru-buru mendekat. "Jangan dipaksa kalau belum kuat duduknya," tuturnya seraya membantu memasang bantal di ujung dipan.Rendi mencoba duduk bersandar pada bantal. Posisi badannya lurus. Ia menarik nafas. Berkurang panas yang semula memenuhi punggungnya. Ia merasa punggung penuh keringat karena hawa panas tertekan di sana.Tante Riska meletakkan buah-buahan yang dibawanya di atas meja. Ia kemudian duduk di kursi samping tempat tidur Rendi. Ia menawarkan jeruk. Namun Rendi menggeleng."Bagaimana tante tahu dengan kecelakaan aku?" tanya Rendi usai melirik wanita cantik berusia sekitar 35 tahun itu."Kebetulan saja. Usai kamu ngajar, Meylin minta dibelikan roti. Tante keluar pakai motor aja. Saat itulah lihat ada tabrakan. Ramai orang menolong. Ketika mendekatinya, ternyata kamu. Be
Sudah lima hari Rendi terbaring di rumah sakit. Luka-luka yang berada di kepala, tangan dan kaki sudah mengering. Hampir sembuh. Menunggu waktu penyembuhannya saja. Soal penanganan kaki kanannya yang patah, Rendi memutuskan untuk pemasangan pen. Ia menolak saran Hernan yang mengaku kenal dengan tukang urut.Dari hasil browsing di internet, disimpulkannya pemasangan implan yang terbuat dari logam lebih aman dari resiko kesehatannya dibandingkan dengan pengobatan alternatif. Terlebih pula, kondisi kepatahan di kakinya sangat memungkinkan untuk di pasang pen tersebut.Pertimbangan lainnya adalah waktu penyembuhan. Bila dipasang pen, diketahuinya, dua pekan setelah pemasangan ia sudah bisa menggunakan tongkat untuk bantu berjalanan. Sementara, diperlukan waktu yang jauh lebih lama untuk bisa beraktivitas bila ia berobat pada tukang urut patah.Persoalan biaya teratasi dengan ide dari Tante Rieka. Setelah tidak mendapat kemungkinan mendapatkan biaya, Rendi kemudian b
Gadis berambut sebahu itu tidak bergerak. Ia berdiri di depan kursi. Memandangi Rendi dengan mata menyipit. Rendi tidak mengubris. Melepaskan pandangan ke atas plafon.“Maaf, maksud aku itu...”Rendi memotong dengan suara tajam. “Pergilah. Sudah selesai!”Gadis itu menjulurkan kepala dengan mata membulat. “Jadi. Jadi, kamu menolak damai?” Suara gadis itu terdengar penuh keraguan, tidak percaya diri lagi. Namun pandangan matanya tetap tajam menusuk.Rendi memutar kepalanya menghadap dinding. Ia diam seribu bahasa. Lima atau mungkin sampai sepuluh menit. Diam saja. Rendi tidak tahu apa yang diperbuat gadis itu. Beberapa saat lamanya terdengar keheningan yang mencekam dalam kamar. Setelahnya, beberapa jenak kemudian, ia mendengar bunyi sepatu berdetak-detak. Suara langkah kaki. Mungkin gadis pergi. Baguslah itu. Rendi memejamkan matanya.Beberapa jenak kemudian terdengar lagi suara detak sepatu. Rendi diam tidak ber
Shelia masih telentang di spring bed saat didengarnya suara panggilan Bik Mur di balik pintu. “Ada tamu, Non. Mau jumpa, Non!” teriaknya.Shelia tidak beraksi. Ia diam saja. “Ada tamu, Non. Penting sepertinya!” teriak Bik Mur lagi.Gadis itu turun dari tempat tidur dengan bersungut-sungut. Siapa pula yang datang pagi-pagi begini? Menganggu saja. Ia membuka pintu dengan tarikan kemarahan. “Siapa, Bik?”“Ada tamu. Katanya mencari Non Shelia,” jelas Bik Mur pula.“Laki perempuan?’“Laki, Non. Dua orang.”Aduh. Menganggu saja. Laki-laki siapa? Shelia bingung. Ia merasa tidak pula ada janji mau jumpa siapa. Meski begitu, ia tetap turun ke lantai satu. Lalu membukakan pintu ingin tahu siapa yang datang.Ternyata dua pria dewasa berpenampilan necis. Berbadan tegap dengan potongan rambut pendek. Sepatunya hitam mengkilap seakan bisa berkaca di sana.“Maaf, &n
“Belagu dia, Ma,”“Maksud kamu?” tanya Mama di antara suapan sarapannya.“Pria itu belagu. Tidak mau damai. Tidak mau uang damai yang aku tawarkan,” jelas Shelia bersungut-sungut. “Banyak gaya betul dia. Huh! Macam orang kaya pula!”Mama menghentikan suapannya. Memandang lurus ke depan. “Kamu datangi dia ke rumah sakit? Jumpai dia?’“Iya, Ma. Aku datang baik-baik ke rumah sakit. Ngajak berdamai. Eh, dia sama sekali tidak merespos. Malah nyuruh aku pulang.” Shelia menghentakkan siku pada kaca meja makan.“Salah omong kamu mungkin,” duga Mama.“Salah omong apa pula. Itulah yang aku bilang ke dia. Tidak salah!"“Cara masuk kamu, cara ngomong kamu, maksud Mama.”“Aduh, Mama ini gimana?. Masuk ya ketuk pintu. Omong ya sampaikan apa hendak dikatakan. Jelaskan terus terang. Begiitu kan?”Mama mengangguk. &ldqu
Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.Meylin memandang heran.“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Se
Rend tidak hendak membantah. Ia paham watak Fadely. Ia menunggu penjelasan dari pria berambut pendek itu."Aku yakin mereka pasti datang lagi. Masih banyak surat yang mesti ditandatangani untuk menyelesaikan perdamaian. Apalagi laporan di Kepolisian belum dicabut," jelasnya.Sesungguhnya Rendi juga tidak takut menghadapi mereka. Hanya karena kondisi kakinya yang menyebabkan ia mesti menahan diri. Terpaksa menuruti kemauan mereka.Siska kemudian datang. Sendirian. Ia juga membawa sejumlah buah-buahan."Wah, bisa buka kedai buah ini, Bro. Nih, datang lagi tambahan pasokan," ujar Fadely melihatSiska meletakkan buah yang dibawanya pada keranjang rotan di atas meja. Siska tersenyum."Mesti di pintu ditempel pengumuman dilarang bawa buah. Tapi ditulis disarankan membawa angpao saja.""Bagus idenya. Aku buatkan pengumumannya ya?" tanya Siska tertawa. Rendi dan Fadely juga ikut tergelak."Hei, kalian pasti belum saling kenal kan walau
Sheila juga terkejut. Ia menoleh pada Rendi. Namun ia merasa pandangan yang tajam justru datang dari Siska. Siska merasa kepalanya panas.“Kenapa kamu kabur waktu kejadian itu? Tidak menolong?” tandas Siska lebih tajam.“Malam itu aku buru-buru,” jelas Sheila lemah.“Karena buru-buru itulah kamu menabrak orang. Pertanyaan aku kenapa kamu tidak berhenti? Tidak menolong korban yang kamu tabrak.”Sheila diam. Matanya mengerjap-ngerjap.“Kamu tahu kan menabrak orang? Atau kamu lagi mabuk malam itu? Narkoba? Tidak sadar kalau mobil yang kamu menabrak orang,” cecar Siska dengan mata tidak lepas dari wajah Sheila.Sheila menggeleng cepat-cepat. “Tidak. Tidak,” ujarnya kencang. Ia tidak tabrakan itu dikaitkan pula dengan narkotika.Siska terus mendesak. “Lalu kenapa kabur?”“Takut.""Takut apa?""Aku takut dihakimi orang ramai.”