Share

Cewek Berengsek Itu
Cewek Berengsek Itu
Penulis: Rehano De

1. Malam Pertama di RS

Rendi membuka mata. Seakan berat terbuka. Mengerjap-ngerjap. Pandangannya hanya melihat warna putih. Rendi memencet kedua ujung mata dengan jempol dan jari telunjuk secara bersamaan. Memejamkan sesaat, matanya terbuka lebih lebar.

Masih putih yang terlihat olehnya sekeliling. Rendi menggerakkan kepala. Memandang ke kiri. Putih yang tampak. Memandang ke kanan. Putih yang terlihat. Hei, di mana ini?

Meragukan matanya, pria muda itu kembali merasa perlu mengucek kedua bola matanya. Mengerjap lalu membuka dengan pandangan mata bulat. Aneh masih putih sekeliling. Dinding dan plafon putih terlihat sempurna.

Rendi tersadar ia tengah tertidur. Memandang ke bawah pada kedua kaki, terlihat tertutup dengan selimut. Selimut juga berwarna putih. Rendi menggerakkan kedua tangan. Tidak ada masalah. Kedua tangannya bahkan sudah beberapa kali bergerak mengusap matanya.

Ia berusaha menggerakkan kaki. Ops! Terasa berat. Terasa nyeri.

Rendi meninggikan dua bantal di belakang kepala. Kepalanya sedikit terdongak ke atas. Ia kemudian lebih leluasa memandang ke seluruh sisi. Menelusuri ruangan dengan pandangan ragu-ragu namun ia segera memastikan bukan tidur di kamarnya.

Kamar berwarna putih semua. Dua lembar kain pintu di sebelah kiri yang menutupi jendela. Juga tirai pembatas di sebelah kanan berwarna putih. Pada sebuah meja kecil dekat dinding di ujung jendela terlihat gelas berisi air putih. Di sebelahnya tergeletak sejumlah kantong plastik kecil. Beberapa papan obat yang sebagian sudah terbuka.

Ini di rumah sakit? Kapan aku masuk? Sakit apa? Rendi mengeleng-geleng berusaha mengembalikan memorinya.

Rendi menghela badannya. Kedua kakinya terasa berat ditarik. Sedikit dapat bergerak ia merasa kepalanya teronggok sepenuhnya di atas bantal. Seraya memejamkan mata ia berusaha mengembalikan ingatannya.

Perlahan ia bisa mengingat. Kemarin atau kemarinnya lagi ia masih melakukan aktivitas sebagaimana biasa. Pagi kuliah hingga tengah hari. Ya diingatnya. Menjelang siang ia malah sudah kembali berada di kost-kostan. Tidak ada yang dikerjakan hingga petang.

Habis magrib pergi ke rumah Tante Upita. Mengajar anaknya, Monika. Lalu pindah ke rumahnya Meylin yang masih berada dalam satu kompleks. Tidak ada masalah. Sudah setahun belakangan ia memberikan les Bahasa Inggris. Tidak hanya pada Monika dan Meylin. Ada belasan muridnya. Datang ke rumah para murid itu.

Namun diingatnya pula malam itu ia hanya mendatangi Monika dan Meylin. Dan Rendi menjadi ingat, sepulang dari rumah Meylin itulah terjadi permasalahan.

Seperti malam-malam sebelumnya, ia mengayuh Poly Strattos S4 dengan santai. Tidak juga ada alasan ia mesti buru-buru pulang. Santai mengayuh sambil menikmati udara malam yang sudah tidak sepanas siangnya.

Ia sudah paham belum dengan jalan itu. Jalan sepanjang 3 km lebih yang mesti dilaluinya sangat mulus. Tidak ada lobang satu pun. Ia bahkan hapal di mana jalan yang retak atau pinggirannya yang tidak rata. Sudah bertahun ia melewati jalan itu setiap harinya.

Rendi mememastikan ia bersepeda di pinggir jalan. Juga tidak laju. Saat tengah melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya depan kompleks perumahan, tiba-tiba ada yang menabraknya.

Tiba-tiba saja ia merasa terbang disundul dari belakang. Ia bersama sepeda sama-sama terlempar. Ia tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Apakah ia dan sepeda bergulung-gulung di bawah mobil? Ataukah sepedanya terbang sementara badannya tertabrak dengan kuat hingga terbanting di atas aspal?

Kemudian Rendi seperti bermimpi dibawa orang-orang. Entah ke mana. Dilarikan dengan menggunakan mobil. Entah mobil siapa. Ia merasa kepala dan kakinya penuh dengan darah. Seluruh badannya terasa sakit. Terutama kaki kanannya. Entah tersebab apa.

“Jadi aku berada di sini karena tabrakan malam kemarin itu?” tanya Rendi dalam hati. Ia kemudian mengangguk-angguk sendiri membenarkan. Ya, terjadi kecelakaan malam sepulang dari rumah Meylin. Tapi siapa yang menabrak?

Rendi tidak tahu. Ia ditabrak dari belakang. Dan itu terjadi di malam hari. Sekitar pukul 21.00. Apakah korban tabrak lagi? Tidak ada orang yang bertangungjawab. Rendi mengibaskan pikiran itu.

Rendi memegang kepala. Terasa ada yang kain kasa membalut di sisi kepala atas bagian kanan. Teraba olehnya perban yang menempel pada kain kasa menempel kuat kulit kepalanya. Berarti ada luka di kepala.

Dilihatnya kembali kedua tangan. Ternyata ada luka di tangan kiri. Dibagian belakang memanjang dari bawah siku hingga pergelangan tangan. Sudah dibaluri dengan obat merah.

Dari kedua kaki, hanya sebelah kiri yang bisa digerakkan. Sementara kaki kanan samasekali tidak bisa bergerak. Terasa sangat sakit ketika hendak digerakkannya.

Rendi menarik kain selimut. Ia ingin tahu apa yang terjadi dengan kaki kanannya. Tidak ada luka-luka. Terlihat olehnya pada kaki kanan persis di bawah lutuh dibaluti pula dengan kain kasa. Pada balutan kain kasa putih itu terlihat bercak-bercak merah.

Rendi menyimpulkan ada yang tidak beres dengan kaki kanannya. Jangan-jangan patah? Dugaan itu mengemuka ketika dirasakannya nyeri yang sangat perih saat ia mencoba menariknya. Berbeda dengan kaki kiri yang dengan mudah bisa ditarik dan digerakkan.

“Kalau memang patah bagaimana ini?” keluh Rendi lagi. Bagaimana dengan kuliah? Bagaimana dengan les yang dilakoninya? Bagaimana ia mendatangi rumah para murid itu? Rendi menelan ludah. Ia merasa bingung.

Beruntung kebingungannya segera berkurang begitu dilihatnya pintu kamar terbuka dan seorang wanita berpakaian putih-putih masuk. Ia punya kesempatan untuk bertanya.

“Wah, sudah siuman ya?” sapa wanita itu dengan senyuman.

Jadi sepanjang malam tadi aku pingsan? Bukan tidur? “Kenapa aku, Sus?”“Anda mengalami kecelakaan. Sekarang tengah menjalani perawatan,” jelasnya.

Suster bergerak mendekati meja. Ia membuka plastik obat dan membuka beberapa tablet dari papannya. Ia menyodorkan pada Rendi dengan sebuah sendok. “Minum obat ini,” katanya.

Rendi menurut. Ia menegakkan punggung. Ia menelan obat yang diberikan.

“Kaki kanan itu aku in kenapa, Sus? Patah?” tanya Rendi yang tidak bisa menahan pertanyaan itu.

Suster berambut pendek itu menganggukkan kepalanya. “Sepertinya begitu. Patah bagian tulang keringnya.”

Rendi menyemburkan nafasnya. Tidak berbeda dengan dugannya. Patah. Kaki kanannya patah.

“Tahu siapa yang menabrak aku? Atau siapa yang ngantar ke rumah sakit?”

Suster menggeleng dengan senyuman. “Mungkin petugas malam mengetahuinya. Bisa tanyakan sama keluarganya nanti,” katanya.

Keluarga? Rendi kembali menelan ludah. Tidak ada keluarganya di sini. Di kota ini ia hanya sendirian. Yang ada hanya kawan-kawan kuliah atau teman sekostan. Mama di Pekanbaru. Dan sudah tenang berada di perkuburan keluarga. Papa entah di mana kini. Sementara dua adiknya bersama nenek di Kampar.

Tentu Fadely, Sudar dan Herman sudah bisa dianggap keluarga. Atau teman-teman dekat lainya di kampus. Irmen, Hedi, Joko dan Risman sepertinya bisa pula disebut sebagai keluarga. Bukankah teman-teman sekosan itu tempat ia berbagi masalah dan kesenangan.

Tentu mereka belum tahu aku berada di sini, bathin Rendi pula. “Ada HP di sana, Sus? Tolong ambilkan,” pinta Rendi seraya menunjuk meja yang di atasnya penuh dengan obatan.

Suster mencarinya dengan membuka laci dan rak di bagian bawah. “Tidak ada HP di sini,” jelasnya yang kemudian juga mencari di tempat lainnya.

Di mana HP itu? Rendi kembali menelan kepahitan. Dipastikannya hilang saat kecelakaan itu. Bersamaan dengan itu ia pun tersadar dengan dompetnya yang mungkin sekali tidak diketahui pula di mana keberadaannya.

Rendi hanya mengangguk lemah ketika Suster muda itu pamit. Aduh, bagaimana ini? Bagaimana memberitahu kawan-kawan itu aku berada di rumah sakit.

Pintu kembali terbuka. Bukan suster yang masuk. Seorang wanita muda bertubuh mungil namun padat. Pakai kaos lengan panjang. Sedikit ketat. Ia tersenyum.

“Tante Rieka?” suara Rendi tersentak.

--bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status