Gami berdiri di depan cermin besar dan kinclong. Cermin itu memperlihatkan pantulan diri seutuhnya, mulai dari ujung kaki sampai kepala.
Melalui cermin itu, Gami memandangi cincin permata hitam yang dipungutnya sekitar dua setengah minggu yang lalu. Cincin milik salah satu pengantin yang tewas dalam kecelakaan beruntun.
“Maaf, ya, Mbak, kalau saya lancang memakai cincin ini tanpa seizin kalian. Tapi, saya membutuhkan kekuatan cincin ini untuk meraih cinta sejati saya,” ucapnya sambil mengusap-usap permata hitam. Memandang permata itu membuatnya merasa berhadapan langsung dengan arwah pengantin wanita.
“Jangan marah, ya. Mbak sama Masnya, ‘kan, udah tenang di alam sana. Kalian enggak butuh lagi sama benda duniawi kayak gini. Nah, daripada enggak terpakai dan jadi barang rongsokan, mending saya yang pakai, ‘kan?” pungkasnya. Ditutup dengan cengirang lebar, seolah mengajak pemilik cincin bercanda dengan bujukannya.
Selesai
Dira melongo seperti orang bego. Matanya yang membulat itu hanya menyorot satu titik, yakni wajah Gita.Dalam penglihatannya, wajah Gita seperti disiram cahaya, benar-benar berkilau. Namun, kilauan yang terpancar di wajah gadis itu tidak membuat matanya menyipit kesilauan. Kilauan indah itu justru membuat pandangannya terasa nyaman dan tak sanggup berkedip sedetik pun.“Bang Dira? Habis dari mana?” tanya Gita yang bodoh. Ya, dia benar-benar bodoh. Dia lupa kalau seharusnya dia berakting tidak mengenal Dira.“Kamu kenal saya?” tanya Dira sambil menunjuk wajah sendiri.Gita memalingkan muka dalam keadaan terpejam. Lidahnya mendecak sangat pelan. Memaki diri sendiri dalam hati. Kemudian bersumpah tidak akan gegabah, mengontrol mulut dengan ekstra hati-hat, dan tidak akan bicara duluan sebelum pria itu membuka obrolan.“Emh, saya minta maaf kalau terkesan sok kenal sama Abang. Saya tau nama Abang dari Gami, adik saya,&rdqu
Pada umumnya, orang akan segan mengomentari kekurangan orang lain secara face to face. Tolong digarisbawahi, PADA UMUMNYA!Jangan harap situasi umum seperti itu terjadi kepada kaum low level seperti Gami. Warna kulitnya, jerawatnya, rambutnya yang bau, cara berpakaiannya, hingga tinggi badannya sudah sering menjadi bahan ledekan dan tertawaan seorang Suganda Yudistira.Namun, seakan belum puas, Gami ingin mendengar sekali lagi, bagaimana penilaian Dira terhadap dirinya--dengan cara yang berbeda. Yap, kali ini dia ingin mendengar penilaian Dira tentang Gami melalui perantara Gita.“Saya minta maaf banget, ya, Bang, kalau selama bekerja di sini, adik saya banyak nyusahin kalian.” Umpan awal mulai dilempar.“No worries, Gita. So far selama ini Gami enggak pernah bikin masalah besar.”Gita tidak tahu, apakah Dira berujar demikian karena berhadapan dengannya atau memang seperti itulah kenyataan yang dia rasakan. Maksudnya, sekara
“Adik kamu baik, kok. Bertanggung jawab. Cuma, ya ... jarang mandi.”Dira tergelak sendiri, sedangkan Gita mengulas senyum. Wanita itu mati-matian menahan tangan agar tidak memukul lengan Dira.“Baunya itu kadang-kadang udah ngalahin ‘ranjau Usro’,” tambahnya.Sekarang saatnya Gita berakting. “Ranjau kucing?” beonya seolah tidak tahu apa-apa.“Itu ... kotorannya kucing. Di sini, ‘kan, kerjaan dia bersihin sama merawat kucing-kucingnya Wira.”“Wira?”Bagus Gita! Aktingmu perfect!“Who ...?”“Oooh, jadi kamu cuma tau nama saya, ya?” Dira tampak berbangga hati. Teringat saat pertemuan pertama di depan pagar, Gita langsung mengenali dan menyebut namanya dengan jitu.“Saya pikir Gami juga udah cerita kalau di rumah ini ada dua laki-laki; saya dan adik saya, Wira.”Gita ber-oh pendek sambil mengangguk-angguk
“Di luar dari kebiasaan Gami yang kadang ngeselin, actually, saya udah menganggap dia kayak adik sendiri. Serius.” Dira menciptakan huruf V dengan jari tengah dan telunjuk.Gita diam dan tersenyum. Tulus. Di kepalanya, sorakan gembira seorang Gami menggema. “Yeay! I love you Abang Diraku tersayang. Semoga cepat dapat jodoh biar enggak ngepoin saya sama Mas Wira lagi.”“Pokoknya jangan disuruh berhenti, ya. Ya-ya-ya,” bujuknya sampai menaik-turunkan alis. Membuat Gita tertawa geli.“Kalau soal keamanan, kamu enggak perlu khawatir. Meskipun ada dua pejantan di rumah ini, kita berdua jinak, kok.” Dira tertawa.“Kamu ngerti, ‘kan, maksud saya?”“Iya, Bang. Saya ngerti, kok.” Gita mengangguk. “Saya percaya sama kalian.”Sepanjang dua tahun bekerja di rumah ini, Gami tidak pernah takut dengan yang namanya pelecehan seksual. Justru terkadang, dia berkhayal bisa
“For your information, saya dan Wira masih single.”Seulas senyum penuh kelegaan tercetak jelas di wajah Gita. Satu tanda tanya besar tentang Wira sudah terjawab. Semakin muluslah jalan Gita untuk menggait sang pujaan hati.Sebenarnya Gita ingin tertawa karena jawaban Dira sedikit berlebihan. Bukankah sebelumnya Gita hanya menanyakan apakah Wira sudah memiliki calon? Kenapa Dira malah menambahkan informasi tentang dirinya sendiri?“Kenapa senyumnya kayak gitu banget, sih? Lega, ya, karena tau saya belum punya pacar?” goda Dira sambil menaik-turunkan kedua alis.Gita ingin sekali menyanggah. Sayangnya, dia masih harus bersikap sopan dan menjaga mulut agar tidak terlihat sama seperti Gami. Sebab itulah Gita hanya tersenyum, tapi tidak mengangguk atau menggeleng.Rupanya, reaksi Gita mengundang spekulasi berkelanjutan. Di mata Dira, Gita malah kelihatan seperti tersipu malu. Tak pelak, pria itu berasumsi bahwa Gita malu mengaku
Gita me-reject panggilan Wira. “Silent-silent-silent.” Dia merapalkan kata itu sambil cepat-cepat menyetel mode senyap di HP-nya.Gita tak jadi mengurungkan niat mengejar Wira. Setelah selesai dengan urusan HP, dia pun berlari mendatangi Wira.Ketukan heels-nya yang beradu dengan keramik membuat Wira dengan cepat menyadari keberadaannya. Pria yang berdiri di ujung tangga itu membalikkan badan, menunggu sampai Gita sampai ke hadapannya.Dalam hati, Gita bersyukur karena Wira mengantongi HP. Artinya, pria itu sudah berhenti berusaha menghubungi Gami.“Mas, maaf kalau saya harus nyamperin sampai ke sini. Saya enggak enak kalau harus teriak manggil nama Mas,” jelas Gita dengan napas terengah-engah. Posisinya berada di bawah Wira dua tingkat.Wira tidak menggubris. Dia hanya menatap Gita dengan tatapan sayu.Dalam hati, Gita merasa aneh dengan cara Wira menatapnya. Pria itu seperti orang yang jengah setelah diganggu terus-
Dalam perjalanan pulang, Gita berpikir keras. Menduga-duga berbagai kemungkinan, kira-kira apa penyebab Wira bersikap sedemikian kasar sampai membanting pintu. Padahal saat masuk rumah, pria itu kelihatan baik-baik saja.“Sebenarnya, apa yang dibilang Bang Dira itu benar enggak, sih?” gumamnya dengan kening berkerut.“Kenapa, Mbak?” Sopir wanita yang sedang menyetir mendengar gumaman Gita. Dia mengira bahwa penumpangnya mengajak bicara.“Oh, enggak, Mbak. Saya cuma ngeluh aja. Kok, bisa macet banget, sih?” Gita terpaksa berdusta. Dia tidak enak hati kalau harus membuat sopir itu malu.Kebetulan, situasi juga sangat mendukung. Taksi yang ditumpangi Gita tak kunjung bergerak sejak 5 menit yang lalu. Terjebak di antara mobil box di depan dan belakang, serta mini bus di sisi kiri.“Maklumlah, Mbak. Menit-menit menjelang magrib gini emang padat. Mungkin karena lalu lintasnya diisi dua makhluk beda alam kali,&nbs
“Bagus yang ini atau yang ini?”Wira bertanya sambil memasang dua topi ke kepalanya secara bergantian. Pertama warna hitam, lalu berganti putih. Dua-duanya memiliki model yang serupa.“Serius, nih, tanyanya ke saya?” tanya Gami yang menggendong Usro.“Pertanyaan saya bukan itu, ya. Tolong diperhatikan lagi jawabannya.”Teguran Wira membuat Gami tertawa. “Mas Wira pakai topi model apa aja tetap ganteng, kok. Mau warna hitam, putih, abu-abu burik, kuning-kuning eek--kadar kegantengannya enggak bakal berkurang.”“Sialan!” Wira memaki, tapi sambil tertawa. Dia juga memukul kepala Gami menggunakan topi putih.Saat ini, Wira dan Gami berada di pasar kaget yang lokasinya tidak jauh dari car free day. Di sini, berbagai macam penjual untuk kelas menengah ke bawah berkumpul. Dagangan yang dijajakan tidak sekadar makanan, tapi juga pakaian, sepatu, mainan anak-anak, serta aksesoris khusus pere