Sarlita serba salah mau menjawab pertanyaan Mamanya. Dia berdalih kalau saat ini dia sangat sibuk dan tidak bisa menemani Mamanya di Jakarta.
“Gak usah, Ma.. soalnya Sarlita juga sangat sibuk. Gak mungkin bisa menemani Mama di Jakarta.”Mama Sarlita menceritakan tentang mimpinya. Dalam mimpinya Sarlita tergelincir saat sedang mendaki bukit, dan mimpi itu memberikan firasat buruk. Sehingga, itulah yang membuatnya telepon Sarlita. “Mama gak usah terlalu memikirkan mimpi itu, aku di sini baik-baik aja kok, Ma.”“Syukurlah, kalau kamu baik-baik saja. Mama semalaman gak bisa tidur setelah mimpi itu. Mama takut terjadi sesuatu dengan diri kamu, Sar.”Sarlita berusaha keras agar Mamanya tidak ke Jakarta dan berusaha meyakini Mamanya, bahwa dia dalam keadaan baik-baik saja. Setelah menutup sambungan telepon dengan Mamanya, Sarlita kembali dihantui berbagai kecemasan. Dia tidak bisa membayangkan kalau setiap malam harus sendiri di kamarnya. Dia sepenuhnya belum percaya pada niat baik Jody, karena dia sangat hapal reputasi Jody di kampus. Jody lelaki yang tidak pernah lepas dari wanita, terlebih saat ini dia sedang hamil. Selepas dari kosan Sarlita, Jody tidak langsung pulang ke rumah. Dari raut wajahnya terlihat kalau Jody sangat mumet dengan segala masalah yang sedang di hadapinya. ***Mobil Jody keluar dari jalan Tol menjelang Komdak, mobilnya menyusuri jalan menuju kawasan SCBD dan masuk ke Pacific Place. Setelah memarkirkan mobilnya di lantai 2 Jody menuju ke sebuah Cafe, tempat dimana Windi suka nongkrong. Begitu masuk ke Cafe dari kejauhan dia melihat Windi dan menghampirinya. “Hai Win.. boleh aku duduk?” sapa Jody. Windi menatap Jody dengan jutek, “Mau ngapain kamu kesini? Setelah sekian lama menghilang begitu saja? Sarlita lagi PMS?”Jody duduk di bangku kosong di sebelah Windi, “Aku kesini karena perasaan bersalahku pada kamu Win, maaf kan aku ya.” rayu Jody. “Ngapain kamu merasa bersalah kalau kamu sendiri sudah kasih pilihan sama aku?” Windi tanyakan itu tanpa menatap Jody. “Justeru aku merasa bersalah karena memberikan kamu pilihan itu, Win. Aku justeru tidak menyangka kalau kamu akan tinggalkan aku.”Windi seakan-akan tidak lagi peduli dengan apa yang dikatakan Jody, baginya meninggalkan Jody adalah pilihan yang terbaik dan Itulah akhir dari hubungannya dengan Jody. Bagi Jody hubungannya dengan Windi belumlah berakhir. “Kamu harus kasih kesempatan padaku, Win, agar aku bisa memperbaiki kesalahanku.” Jody terus merayau Windi“Kenapa kamu mau mengemis seperti itu sama aku? Apa karena lagi bermasalah dengan Saelita? Kebiasaan kamu kan gitu Jod?”“Aku benar-benar merasa bersalah sama kamu, Win. Aku dan Sarlita sering ribut, dia tidak mau mengerti aku.”“Terus! Apa urusannya sama aku? Kok kamu tiba-tiba melow gitu? Kasihan amat kamu baru sadar sekarang.”“Itulah yang membuat aku mencari kamu Win, aku sudah salah memilih.” Jody terus bersikap seolah-olah dia sangat membutuhkan Windi. Windi tidak berubah sikap sedikit pun, dia tidak peduli dengan bujuk rayu Jody, hatinya sudah bulat ingin berpisah dengan Jody. Windi tidak memberikan ruang dihatinya sedikit pun pada Jody. Sehingga dia tidak memberikan respon apa pun terhadap pengaduan Jody. Jody yang merasa sudah tidak memiliki harapan untuk balik dengan Windi, akhirnya pergi begitu saja meninggalkan Windi. Baru saja Jody melangkah Windi menahannya, “Tunggu Jod!!” cegah Windi. Jody menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Windi, “Mau apa lagi Win? Kalau kamu cuma mau cuekin aku mendingan biarkan aku pergi.” ucap Jody dengan mimik muka sedih. “Okey.. kalau kamu mau membicarakan soal itu dengan serius, sebaiknya kita ngobrolnya tidak di sini. Sebentar lagi Cafe ini tutup.” cetus Windi. Jody merasa umpannya berhasil dimakan Windi, dan dia mengatur siasat berikutnya. Dia ingin mengajak Windi ke rumahnya, namun dia berpura-pura takut kalau Windi tidak menginginkannya. “Sebenarnya sih aku mau ajak kamu ngobrol di kamarku, tapi aku takut kamu gak mau Win.”“Okey..good idea, tapi kan.. Ini sudah larut malam, Jod?”“Gak apa-apa, Win.. aman kok.”Dengan senang hati Jody dan Windi meninggalkan Cafe di Pacific Place dan meluncur ke rumah Jody. Di dalam mobil Jody terus berakting seolah-olah hidupnya hampa tanpa Windi. Meskipun Windi sudah mengenal watak Jody, tetap saja dia kecele dengan akal bulus Jody. Sampai di rumah Jody keduanya langsung naik ke lantai dua rumah Jody melalui garasi. Sampai di kamar, Jody langsung memeluk Windi dengan penuh kasih sayang, “Terima kasih ya Win.. kamu sudah mau memberikan kesempatan kedua bagi aku.” Jody ucapkan itu dengan berbisik di telinga Windi. Windi menjawabnya dengan memberikan kecupan di bibir Jody dan Jody pun membalasnya dengan penuh kehangatan.Tanpa disadari keduanya sudah bergumul di atas tempat tidur, keduanya memang saling membutuhkan kehangatan. Kesempatan itu dimanfaatkan Jody untuk melampiaskan hasratnya yang tak tersalurkan pada SarlitaKeduanya dalam remang temaram cahaya di kamar terlihat tanpa dibaluti sehelai pakaian pun. Desah nafas berpacu mengiringi rintihan Windi yang tertahan dengan lirih. Keduanya hanyut dalam gairah dan hasrat yang membuncah. Rumah Jody yang jauh dari kesan hangat, rumah yang sepi bak tak berpenghuni. Rumah yang begitu luas sehingga tidak terawasi apa yang terjadi di kamar Jody. Dua insan yang berpagut nafsu terus berganti posisi. Windi yang tadinya berada di bawah, kini meliuk-liukkan tubuhnya di atas tubuh Jody. “Jod.. aku sangat menikmatinya.” Ucap Windi disela desah nafasnya. Jody menatap Windi yang berada di atasnya penuh kemenangan. Jody mengatur nafasnya untuk mempersiapkan serangan berikutnya. Kini Jody membalikkan posisinya dia berada di belakang Windi yang tiduran dengan posis
Satu minggu kemudian.. Pertemuan Sarlita semakin intensif, itupun Sarlita masih diselingi Jody dengan Windi. Jody selalu memanfaatkan kencannya dengan Sarlita untuk sekadar bercinta. Sarlita tidak tahu kalau Jody masih berhubungan dengan Windi. Sementara Windi merestui hubungan Jody dengan Sarlita. Setelah berhubungan intim, Jody mau meninggalkan Sarlita begitu saja. Sarlita tidak bisa menerima sikap Jody tersebut, “Aku hanya tempat pelampiasan nafsu aja, Jod? Setelah itu dengan seenaknya kamu tinggalkan?”“Bukan gitu Sar, aku ada mata kuliah yang gak bisa aku tinggalkan.”“Tapi, gak gitu juga kali, Jod? Basa-basi dulu kek.. atau apalah.”Muka Jody seperti ditimpuk kotoran oleh Sarlita, dia tidak menyangka kalau Sarlita mengawasi sikap dan gerak-geriknya. Jody berusaha untuk menahan diri sejenak, meskipun perasaannya sangat gelisah. “Yaudah Sar.. kalau gitu aku ke kampus dulu ya, aku ada mata kuliah penting hari ini.”“Terus..ngapain kamu ke sini? Udah tahu ada mata kuliah penting
“Kamu gak perlu menyesali apa yang sudah terjadi Sar, percuma saja. Keperawanan kamu tidak akan bisa kembali dengan menyesalinya. Kamu harus pikirkan, bagaimana agar Jody tidak pindah kelain hati.”Kristo tanyakan pada Sarlita, bagaimana mereka bisa aman berhubungan intim. Kristo juga tanyakan, apakah setiap berhubungan dengan Jody memakai alat kontrasepsi? “Jody selalu memberikan aku Pil Anti Hamil mas, alasannya agar aku tidak hamil.”“Aku gak bisa mencampuri urusan kamu dan Jody terlalu jauh Sar, tapi aku kasihan sama kamu.”“Sebagai lelaki apakah mas Kristo mau menerima gadis yang sudah tidak perawan?”“Kalau aku sih tidak pernah mempersoalkan masalah itu Sar.. bagi aku yang penting aku suka dan cinta."Mendengar jawaban Kristo, Sarlita lega hatinya. Dia merasa masih mempunyai peluang untuk mendapatkan cinta seorang lelaki. Itu kalau seandainya Jody meninggalkannya. “Aku suka dengan sikap mas Kristo, karena sangat bijak dalam menentukan pilihan.”“Kamu gak usah terlalu terbebani
“Maaf Jod.. apa yang terjadi tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku dan Mas Kristo hanya ngobrol kerjaan.” Sarlita merasa serba salah. Tanpa banyak bicara, Jody tarik lengan Sarlita dan menyeretnya menjauh dari Kristo. Kristo hanya tercengang melihat perlakuan Jody pada Sarlita. Di dalam mobil, Jody tidak berkata sepatah kata pun. Dia memandang lurus ke depan dengan berbagai kekecewaan yang berkecamuk dibenaknya. “Jod.. aku salah, maafin aku ya..” Sarlita memelas pada Jody“Udahlah.. nanti saja kita bicarakan, jangan salahkan aku kalau nanti aku selalu mencurigai kamu, Sar.”Sarlita hanya bisa menitikkan airmata, posisinya memang sedang salah. Tidak ada pembelaan yang patut dia lakukan. Sampai di kosan, Jody langsung mencecar Sarlita dengan berbagai pertanyaan, “Seperti apa sih sebetulnya hubungan kamu dengan Kristo? Kok dari awal aku kenal kamu, dia sangat intens mendekati kamu?”“Lho? Kan aku selalu terbuka sama kamu, Jod? Setiap ada job dari mas Kristo, kamu selalu tahu?”Rahan
Waktu berlalu begitu cepat, penderitaan Sarlita semakin berat. Sudah satu minggu Jody menghilang begitu saja, ponselnya tidak bisa dihubungi sama sekali. Sarlita tidak mungkin mencarinya di kampus. Dalam kepanikankannya, Sarlita berniat untuk ambil cuti semester. Dia ingin mencari pekerjaan yang bisa untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari. Meskipun, kiriman dari orang tuanya masih lancar. Tapi, Sarlita ingin mengantisipasi keadaan, kalau tiba-tiba orang tuanya tahu keadaan yang sebenarnya. Dengan berat hati, Sarlita menghubungi Kristo, “Hai mas.. apa kabar? Mas kecewa ya dengan kejadian waktu itu?”“Sar.. aku tidak ingin kamu menghadapi masalah, kamu sedang hamil, Sar.”“Justeru aku sedang bermasalah, mas. Aku butuh pekerjaan, Jody Ghosting, mas. Aku bingung menghadapi masalah ini sendirian.”Kristo memberikan saran pada Sarlita, agar mencari Jody ke rumahnya. Sementara Sarlita menghindari itu, dia tidak ingin bertemu dengan orang tua Jody. “Ya gak bisa gitu, Sar, kamu harus lakuk
Jody dan Windi terperanjat di atas tempat tidur, Jody tidak mengira kalau Sarlita seketika datang. Sarlita seakan kehabisan kata-kata, dia terduduk di lantai meluruh dalam kemarahan yang memuncak. Jody menghampiri Sarlita dan tangannya menggapai Sarlita untuk mengajaknya bangkit, namun Sarlita menepis tangan Jody. “Ini sangat menyakitkan, Jod.. Apa salah aku Jod.. ?” ucap Sarlita lirih. Sarlita tertunduk menumpahkan kesedihannya dalam tangis pilu. Jody menatap Sarlita yang ada di bawahnya, tidak ada usaha Jody untuk mensejajarkan dirinya dengan Sarlita. Bahkan, dari raut wajahnya tidak terlihat perasaan merasa bersalah. “Kamu Cuma lihat aku ngobrol sama mas Kris, kamu begitu murka. Sekarang, perlakuan kamu lebih dari itu, Jod!!” suara Sarlita meninggi, namun masih terasa pilu. “Aku salah, Sar.. Aku minta minta maaf..”“Untuk apa, Jod? Kalau itu tidak mengubah perilakumu? Aku udah capek, Jod!!” Sarlita katakan itu tanpa menatap Jody. Dia tidak ingin mempresentasikan dirinya mengham
Jody memperlihatkan sikap manisnya pada Sarlita. Namun, Sarlita yang sudah mengenal watak Jody tidak mengubah sikapnya. Dia tidak ingin terhanyut dengan muslihat yang diperlihatkan Jody, Sarlita tidak terlalu menghiraukan kehadiran Jody. “Sar.. aku antar kamu ke dokter ya? Biar kita tahu bagaimana perkembangan janin yang ada dikandungan kamu.” Jody berusaha mengambil hati Sarlita. “Gak usah! Kalaupun aku mau periksa, tidak perlu kamu antar.”“Kenapa Sar? Apa aku sudah tidak pantas bersikap baik terhadap kamu?”“Bukan tidak pantas! Aku hanya ingin melatih diri tanpa kamu, Jod!!”Sarlita seakan tidak mempercayai semua kebaikan Jody. Baginya, apa yang sudah dilakukan Jody itu tidak termaafkan. Bahkan Sarlita sudah mempersiapkan diri jika harus berpisah dengan Jody. “Kenapa kamu tidak memberikan ruang sedikitpun padaku, Sar? Jangan bikin aku bingung menghadapi situasi ini.”“Pilihannya ada di tangan kamu, Jod. Aku hanya menerima apapun yang akan menjadi keputusan kamu.”***Hari demi ha
Saat Mama Sarlita sudah berada di Jakarta, hal pertama yang menjadi pusat perhatiannya adalah perubahan fisik Sarlita. “Wajah kamu kok tembem gitu, Sar? Kamu gak sedang hamil kan?”“Masak hamil sih, Ma? Perut rata gini dibilang hamil?” Sarlita balik bertanya sembari memegang perutnya. Mama Sarlita melihat perut Sarlita dan memegangnya, hampir saja Sarlita menepis tangan Mamanya. “Kamu sudah punya pacar?” Selidik Mama Sarlita“Kok Mama tiba-tiba tanya itu sih? Kan wajar Ma, seusia aku pacaran?”Mama Sarlita menatap wajahnya dengan pasat, “Kenapa? Kamu keberatan Mama tanya soal itu? Mama cuma mau ingatkan kamu, di Jakarta harus hati-hati bergaul.”Deg! Jantung Sarlita serasa dihujam mendengar kata-kata Mamanya, Sarlita berusaha memperlihatkan ekspresi wajah yang biasa saja. “Sarlita tahu diri, Ma .. Mudah-mudah Sarlita bisa menjaga diri.” jawab Sarlita dengan tenang. Mama Sarlita mengajak untuk pindah ke hotel, karena kamar Sarlita terlalu sempit dan tidak cukup untuk bertiga. S