Aya mengangguk, tangisannya tertahan juga, namun tetap terasa sesak di dalam dadanya. Ia menerima segelas teh manis hangat dari ibu tersebut. “Neng, Aya, semua orang pernah berbuat salah, seharusnya memang keluarga laki-laki itu jangan bertindak begini. Repot memang kalau hidup masih berdasarkan gengsi dan juga strata sosial masyarakat. Hal itu juga kan yang membuat yang kaya akan terlihat makin kaya dan yang miskin kalau nggak bisa bertahan ya akan semakin miskin. Neng Aya yang sabar, yang penting jangan digugurin, anak itu nggak salah.” Aya mengangguk, ia paham betul akan hal itu, setidaknya ia masih punya sosok Rangga dari anak di rahimnya itu.
Satu tahun kemudian. “Kita sudah menikah, Rangga,” ujar wanita bernama Mita yang kini menyandang nama belakang Rangga ‘Satrio’. Keduanya duduk berjajar dipelaminan, sebenarnya, perjodohan itu sudah lama di elu-elukan oleh bunda, tetapi Rangga terus mengelak dengan tujuan mengulur waktu. Selama setahun, ia terus mencari keberadaan Aya secara diam-diam namun, hasilnya nihil.Mita menggenggam jemari tangan Rangga yang tak ia balas genggaman itu. Mereka masih harus tampak harmonis, meskipun raut wajah Rangga tak akan di bohongin aura dinginnya. Bahkan, Ghania yang baru saya mengenyam bangku kuliah, harus rela pulang dari Singapura demi pernikahan memuakkan itu. “Kenapa kamu nggak mau belajar mencintai aku, Rangga? Bahkan Bunda kelihatan bahagia dengan pernikahan kita.” Jemari tangan wanita itu terus menggenggam erat jemari tangan Rangga yang kala itu mengenalan stelan jas putih dan
Tangis Aya pecah, ia memeluk makam berukuran kecil di hadapannya. Lilis dan Ening ikut menangis sembari memeluk Aya. Ketiganya, baru saja memakamkan jenazah putri yang baru enam bulan ia lahirkan. Naya, bayi perempuan itu lahir enam bulan lalu dan langsung mengalami kelainan pada salah satu organ tubuhnya yang tak berkembang sempurna, hingga akhirnya Naya kembali kepada sang pencipta.“Aya, ayo kita pulang, Pak Ustad juga udah pulang dari tadi. Relakan Naya ya, Aya.” Lilis memeluk Aya, lalu merangkul bahu dan membantu beranjak.“Anak Aya meninggal, Ibu…” tangis Aya kembali pecah di dalam pelukan Lilis. Ening beranjak, membantu kakaknya memapah Aya yang masih tampak lemas.“Nanti kita ke sini lagi, sekarang kita pulang, udah sore. Aya yang sabar, ya,” kini Ening ikut bicara. Aya masih terisak.Tak ada orang tua yang mudah merelakan kepergian darah dagingnya. Perjuangan Aya menjalani kehamilannya juga tak mudah, be
Tadir baik berpihak kepada Aya, pertemuannya dengan Sari dan Agung, membuatnya terkejut dengan permintaan kedua orang tua itu. Bahkan, kata-kata itu diucapkan di depan Lilis dan Ening yang begitu haru juga bahagia.“Aya, kami minta kamu tinggal dengan kami, kami akan menyekolahkan kamu untuk ambil kuliah jurusan lain. Kami tidak punya anak lagi setelah kepergian Jovanka, kami sangat terpukul saat itu hingga tidak memikirkan ingin memiliki keturunan lagi. Dan sepertinya, ini takdir kita untuk bertemu. Anggap kami orang tua angkat kamu, Aya, kami berdua paham kondisi kamu dan juga, kami tidak akan meminta pamrih.Kamu bisa lihat, suami saya dan saya sudah masuk usia senja. Kami berdua pensiunan PNS, tetapi, memang kami memiliki bisnis hotel dan restoran konsep keluarga. Bukan sepenuhnya milik kami, kami join bersama beberapa kolega, kami lelah, ingin ada seseorang yang bisa meneruskan usaha itu.” Sari menyudahi kata-katanya karena
Wanita mana yang tak suka dengan kegiatan arisan, kegiatan yang mampu menunjukkan keakbraban juga saling tau informasi terkait cerita kehidupan masing-masing anggotanya. Bunda sudah begitu mempersiapkan diri, bahkan, ia sudah berada di salon sejak pukul Sembilan pagi, padahal arisan dimulai pukul sebelas siang.Ia sudah duduk tenang sembari menunggu mekapnya selesai dipoles pada wajahnya oleh seseorang yang sudah menjadi langganannya di salon mewah itu. “Arisan di mana Bu Arinda?” tanya wanita itu.“Di kafe timur tengah, yang di dekat apartemen mewah itu,” jawab Bunda yang beranama Arinda.“Ini arisan yang mana, Bu? Berlian, barang mewah, dollar atau—““Properti.” Jawabnya santai.“Rumah atau apartemen?” tanya mekap artis itu.“Rumah, seharga delapan ratus juta.” Ucapnya santai. Mek
Mita menghidangkan makan malam yang dimasak pembantu, catat, pembantu, bukan dia yang di elu-elukan Arinda saat arisan saat itu. Jangankan memasak, sekedar membuat mie instan saja ia tak bisa. Mita tipikal anak manja, egois, dan tak mau repot, selalu merengeh dan mau semua keinginannya terpenuhi.“Rangga, cobain, tadi Bibi masak ikan asam manis ini,” ujar Mita mencoba melayani Rangga yang justru beranjak dan memilih pergi untuk makan diluar rumah. Mita diam, ia menatap nanar punggung tegap suaminya yang pergi.Malam semakin larut, waktu menunjukkan hampir tengah malam, Mita sudah berada di kamar yang ditempati Rangga, berharap suaminya itu akan terkejut dengan pakaian minim yang ia kenakan malam itu. Ia sengaja tak tidur sebelum Rangga pulang. Terdengar pintu kamar terbuka, Rangga menatap datar tanpa rasa terkejut saat melihat Mita dengan penampilannya yang mencoba menggoda dirinya.“Rangga, kita belum… mmm…” Mita cukup malu
Rangga menepati janjinya, rasa sakit hati, sedih, dan kecewa menjadikan hatinya semakin membatu dan sikapnya pun sedingin kutub es. Ia memang tak pernah pergi dari rumah lagi, atau sekedar duduk di club atau bar bersama beberapa temannya hanya untuk berbincang. Setelah bekerja, ia tak langsung pulang, memilih duduk santai di ruangannya, merenungi sikap bodohnya yang meninggalkan Aya saat itu karena takut dengan ancaman bunda. Setiap malam, tepatnya pukul sembilan, barulah ia beranjak untuk pulang ke rumah.Tiba di rumah, ia juga langsung menuju ke kamarnya. Makanan bibi antar ke kamar juga. Tak sudi berada satu meja dengan Mita yang memilih di rumah saja dengan alasan jika itu tugas utama istri. Masa bodoh, Rangga tak peduli hal itu.“Aku hamil.” ucap Mita seraya menyerahkan amplop putih ke atas meja di hadapan Rangga yang sedang menikmati sarapan paginya, masakan bibi, bukan Mita yang selalu tak ingin ke dapur.Rangga bergeming, ia makan sembari men
Wanita itu berjalan masuk ke area kampus tempatnya mengemban ilmu jurusan bisnis. Jurusan yang bukan jalurnya sama sekali, tetapi karena ia sudah berjanji kepada Sari dan Agung, ia mantap terjun ke dunia yang sama sekali tak ia ingin sentuh sebelumnya.Jemari tangannya mengarah ke papan pengumuman mahasiswi yang lolos mengikuti seminar bisnis. Namanya muncul menjadi salah satu peserta. Ia akan terbang ke Singapura, menghadiri seminar itu, perwakilan dari kampusnya bersama enam orang lainnya dan dua dosen wanita.Dua tahun sudah ia mengenyam pendidikan di sana. Ia melupakan masa lalu juga cerita kelamnya, dan fokus menata hidupnya lagi. Setiap bulan, ia mengirimkan uang untuk kedua orang tua dan Jani, adiknya yang kini sudah masuk SMK jurusan tata busana. Sari dan Agung bahkan sudah pernah Aya ajak ke kampong halaman. Bertemu serta menjelaskan tujuan mengapa mereka ingin mengangkat Aya menjadi anaknya.Selama kurun waktu itu, Aya perlahan mampu melawan rasa getir