Share

Surat Cerai

Tak ada angin ataupun hujan, Naufal datang dengan mengatakan hal paling menyakitkan setelah perjuangan Aruna selama ini. "Kak, maksudnya apa ini?" Jelas saja Aruna harus mempertanyakan maksud dari ucapan suaminya. "Ada apa sebenarnya, Kak?" Aruna merasa setahun belakangan ini hubungan mereka baik-baik saja, walaupun memang Naufal belum sepenuhnya menerima kepergian Niken.

"Aku sudah mengatakannya tadi, kita akan bercerai!" tegas Naufal.

Dada Aruna naik turun, daun telinganya tidak salah dengar lagi. Kata keramat itu keluar.

"Aku lelah. Kamu bisa pergi sekarang atau mungkin besok pagi, tapi tolong jangan ganggu aku!" Naufal melangkah kembali ke depan hendak beristirahat.

Aruna menyusul cepat, mengekor di belakang Naufal. "Kak, harusnya kamu memberikan alasan untuk ini. Jadi, apa yang membuat kamu menceraikanku?" Langkah Naufal terhenti, begitu pun dengan Aruna. "Aku ini istrimu yang sudah menemani selama enam tahun. Aku menerima semua keputusanmu, aku bahkan menerima putusan poligami dari kamu. Apa semua rasa cinta dan kasih sayangku selama ini kurang? Kita bisa bahas baik-baik kalau memang ada masalah yang perlu diselesaikan." Aruna mencoba mempertahankan pernikahan. Entah apa yang ada di benak wanita berhijab itu.

Naufal lelah. "Kamu seharusnya sudah tau alasan terbesarnya." Naufal berbalik badan, menatap lekat Aruna. "Kamu itu mandul!" Nada bicaranya tinggi dengan tangan menuding Aruna.

Kata mandul itu menyayat hati Aruna. Seperti halnya pisau tajam, kata itu nyatanya memang menyakitkan dan sanggup mencincang semua perasaan wanita mana pun.

"Sudah paham sekarang?" Naufal memijat pelipis kanan, sakit sekali. "Malam ini kamu bisa tidur di kamar tamu, jangan ganggu aku!" Sekali lagi lelaki itu membalikkan badan, meninggalkan Aruna sendirian di ruangan tamu.

Sop ayam yang dibayangkan akan terasa nikmat saat disantap bertiga, nyatanya masih sangat hambar. Sebab, bumbu-bumbunya belum pas. Sama seperti hubungan pernikahan Aruna dengan Naufal, hanya Aruna yang merasa sudah sangat cocok. Namun, nyatanya mereka memang tidak baik bersama sejak lama.

Tangis Aruna pecah disaksikan oleh Abizar. Tangan mungil itu meraih pipi Aruna seolah memahami kesedihan sang ibu sambung. Aruna memeluk Abizar. Ia mungkin bisa menerima perceraian ini. Akan tetapi, pasti sangat sulit berpisah dengan Abizar yang sudah dianggap anak kandung sendiri. "Ibu, tidak mau berpisah denganmu, Nak. Ibu, mau kamu ada di sisi Ibu." Pelukan hangat diberikan pada Abizar, penuh cinta dan kasih sayang. Berharap saat anak ini beranjak dewasa bisa menerimanya pula sebagai ibu sambung, bukan saat kecil saja.

***

Lima bulan berlalu, Aruna keluar dari rumah Naufal tanpa membawa apa pun, kecuali beberapa potong baju. Pengajuan perceraian sudah diproses oleh pihak pengadilan. Baik Aruna maupun Naufal, hanya tinggal menunggu sidang dan keputusan akhir.

Mengenai harta gono gini, jelas saja Aruna akan mendapatkannya. Naufal pun berjanji memberikan hak Aruna sepenuhnya. Perceraian ini didukung penuh oleh kedua orang tua Abizar, dan sang adik pun nyatanya diberi tahu. Namun, Aruna sendiri tidak mengetahui reaksi Dzaki seperti apa.

Aruna pergi ke tempat sebelum menikah dengan Naufal, rumah biasa yang menurutnya paling nyaman. Untung saja Aruna memiliki sahabat terbaik, menerimanya dengan terbuka ketika dalam keadaan sulit.

Cantika, namanya. Wanita berusia dua puluh enam tahun yang bekerja di minimarket. Teman dekat Aruna sejak kecil sampai mereka besar. Keduanya melewati banyak momen paling indah ataupun menyedihkan, menghadapi setiap masalah karena merasa sama-sama sudah tidak punya orang tua ataupun sanak saudara.

Pagi itu setelah salat Subuh, Aruna memasak nasi goreng untuk mereka berdua.

Cantika sendiri sedang mandi, gadis itu mendapatkan sift pagi belakangan ini. Ketika selesai, langsung keluar dan menghampiri Aruna. "Nasi goreng buatanmu memang paling top markotop, Aruna." Kalimat pujian langsung diberikan pada sang sahabat. "Duh, lapar banget aku lihatnya."

Aruna terkekeh geli. "Kamu mah lihat apa saja juga lapar." Masih ingat betul ketika Cantika hanya melihat air putih saja saat puasa ramadhan, katanya sangat menggiurkan. "Aku siapkan di meja makan, ya."

"Ok, Sahabatku." Cantika mengangguk hormat. Segera pergi ke kamar untuk mengeringkan rambut, sedangkan Aruna sendiri menyelesaikan pekerjaan.

Hari ini adalah pengambilan surat cerai, Aruna sudah memantapkan hati untuk berpisah, Ia sudah bersikeras memperjuangkan hak asuh Abizar. Namun, keadilan tidak berpihak padanya. Hanya saja, setiap keinginan itu perlu perjuangan untuk bisa diraih.

Sarapan siap. Cantika juga sudah kembali. Keduanya menikmati sarapan di meja makan sambil berbincang-bincang.

"Na, kamu mau ke pengadilan hari ini?" tanya Cantika yang pastinya sangat mendukung perceraian Aruna dan Naufal daripada menderita seumur hidup.

Aruna tengah mengunyah nasi goreng, diam sebentar. Kemudian, berkata, "Ya, tapi mungkin cuma ambil surat cerai saja." Aruna cukup lega setelah melewati banyak persidangan dan meditasi. Cintanya pada Naufal tertutup rasa marah dan kecewa. "Aku kangen Abizar, Can."

Cantika terdiam dengan sendok di tangan kanan, memperhatikan wajah Aruna yang berubah sendu. Bahkan, ia menjadi saksi betapa menderitanya perempuan itu karena menahan rindu pada sosok anak kecil paling dicintai.

Aruna tersenyum getir. "Aku rindu saat bisa menggendongnya. Entah bagaimana keadaannya sekarang. Abizar tidak pernah diajak ke pengadilan."

Proses perceraian Naufal dengan Aruna memang sudah berjalan selesai dengan keputusan hakim mengabulkan permintaan perceraian mereka.

"Aku rindu pas dia minta makan dan menangis di pangkuanku, rasanya aku benar-benar jadi Ibu." Aruna melanjutkan perkataan setelah menjeda sebentar. Satu tetes cairan bening keluar dari dua bola mata tanpa diminta. "Ternyata ini lebih berat daripada menerima perceraian."

Cantika ikut terluka. Untuk ukuran wanita, Aruna ini bisa dikatakan sangat kuat dalam menjalani cobaan. Dari mulai divonis mandul, dipoligami sampai harus menerima anak dari madunya. Luar biasa, Cantika belum tentu bisa setegar Aruna. "Kamu harus yakin dan tabah, Na. Aku yakin kalau memang Abizar itu memang diciptakan bersamamu, Allah pasti kasih jalan terbaik."

"Aamiin." Aruna menghapus air mata di pipi. Tersenyum manis. "Habiskan dulu sarapanmu biar bisa menghadapi pelanggan hari ini."

Cantika tertawa kecil, selalu saja ada kebahagiaan di sela kesedihan. Bagaimanapun mereka harus bisa meneruskan perjalanan hidup, sekali pun jalannya sulit.

Sarapan selesai. Aruna sendiri membersihkan dapur lebih dulu di rumah sewaan mereka, sedangkan Cantika sudah berangkat pukul setengah tujuh tadi karena masuk lagi.

Setelah semuanya selesai, Aruna bersiap diri pergi ke pengadilan. Kemudian, membuka toko. Usai keluar dari rumah Naufal, Aruna membuka toko kue seadanya dengan uang tabungan yang ada. Setidaknya bisa menghidupi dirinya sendiri sembari mencari hiburan atas kerinduan terhadap Abizar.

Semua sudah siap, Aruna bergegas pergi menggunakan angkutan umum untuk sampai ke pengadilan agama yang jaraknya sekitar sepuluh menit dari tempat mereka.

Sepanjang perjalanan Aruna banyak terdiam, memperhatikan jalanan sambil menikmati keadaan kota. Semuanya tidak ada bedanya, macet dan penuh polusi.

Bus berhenti di halte dekat pengadilan agama. Aruna berhenti, berdiam diri sebentar sambil menghela napas kasar. "Bismillah, aku harus lebih kuat setelah ini."

Dengan langkah pasti Aruna segera berjalan ke arah kanan sekitar lima meter, lalu berbelok ke gerbang pengadilan agama. Hari ini datang, statusnya sudah berubah menjadi janda usai perjuangannya selama enam tahun mengabdi pada Naufal.

Pengambilan surat cerai berjalan lancar. Aruna keluar dengan perasaan lega. Masa lalu harus dikubur dengan dalam agar bisa menjemput masa depan yang lebih baik. "Bismillah, aku sebaiknya fokus kembangkan toko. Semoga saja suatu saat bisa bertemu Abizar juga," kata Aruna melangkah pasti ke depan.

Surat cerai di tangan. Aruna tak lagi terikat hubungan apa pun dengan Naufal ataupun keluarganya, berharap setelah ini kehidupannya bisa lebih baik. Fokus memperbaiki diri dengan terus mendekat pada Yang Maha Kuasa adalah hal yang baik. Nyatanya perceraian ini cukup menorehkan luka dalam dan trauma untuk wanita berhijab itu. Terlintas dalam pikiran Aruna untuk tidak mempercayai lelaki mana pun, tetapi itu terdengar egois. Karena, tidak baik juga memukul sama rata atas kesalahan satu orang saja.

***

Seorang lelaki muda mendorong koper setelah berhasil turun dari pesawat yang mengantarkannya ke negara tujuan. Kaca mata hitam menutupi lelaki itu, belum lagi setelan jas hitam yang semakin menonjolkan karismanya.

"Kenapa belum ada yang menjemput?" Lelaki itu berdiri di tengah lalu lalang orang lain. Memperhatikan sekitar dengan melepaskan kacamatanya. Kepulangannya bukanlah sesuatu yang mendadak, seharusnya ada yang datang menjemput. "Astagfirullah, padahal aku sudah bilang akan pulang. Apa mereka lupa?" Pemuda itu mencoba memahami keadaan. Memang sudah terbiasa dengan kesendirian.

Pada akhirnya lelaki itu memilih memakai lagi kacamata, kemudian mendorong koper ke arah pintu luar. Menjadi saksi beberapa orang yang juga sama baru tiba di bandara dan dijemput keluarga besar. Lebih baik mencari taksi untuk pulang daripada menunggu sesuatu yang belum pasti.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fansa
ceritanya menarik. Aruna yang kuat.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status