Aku menutup pelan pintu kamar yang biasa ditempati Mas Gusti dan Mbak Hanin. Pria itu masih menangis sesegukan tanpa suara. Bahunya naik turun, bergetar hebat, menandakan ia dalam keadaan rapuh. Ya, bagaimana dia tidak rapuh, bila cinta sejatinya pergi untuk selamanya?
"Gusti masih menangis?" tanya ibu mertuaku dengan mata sembabnya. Aku mengangguk pelan. "Kita semua terpukul, apalagi Gusti. Mama tidak tahu sampai berapa belas tahun kesedihan ini akan sembuh. Namun Mama berharap kamu sabar menemani Gusti dan juga Hilmi." Pesan mertuaku dengan air mata kembali menganak sungai. Aku hanya mengangguk ikut menangis lagi sambil berpelukan pada ibu mertuaku. "Mandi dulu sana, ganti baju. Baiknya sehabis dari pemakaman kita mandi dan berwudhu. Setelah itu kamu istirahat, temani Hilmi. Untuk urusan tahlilan sampai nanti tiga hari ke depan, biar Mama dan bude-bude yang mengurus." Mama mengendurkan pelukan kami, ia menghapus air mata menggunakan berego hitam yang ia kenakan dan sudah begitu basah oleh air mata."Terima kasih, Ma." Aku pun pamit undur diri untuk masuk ke dalam kamar. Kamar berukuran tidak terlalu besar yang kutempati bersama Hilmi. Anak angkat Mas Gusti dan Mbak Hanin yang berusia kini berusia empat tahun. Anak lelaki yang tampan, solih, dan juga lucu. Bukan aku tidak mengenalnya sejak bayi. Hilmi adalah bayi panti tempat aku pernah diasuh di sana. Seseorang meninggalkannya di depan pintu panti, saat aku baru mulai bekerja untuk Mbak Hanin, sebagai karyawan toko baju muslim online yang cukup ramai pelanggan milik almarhumah. Kupandangi wajah Hilmi yang sangat tampan. Bibirnya merah dan juga pipinya yang bulat. Mbak Hanin begitu sayang dengan Hilmi, begitu juga sebaliknya. Hanya Mas Gusti yang seperti sedikit menjaga jarak pada Hilmi, karena lelaki itu memang sejak awal tegas menolak, anak angkat sebagai pemancing kehamilan bagi Mbak Hanin. "Bunda." Hilmi mengigau memanggil Mbak Hanin. Aku kembali meneteskan air mata karena tidak sanggup menahan kesedihan. Kenapa orang sebaik Mbak Hanin begitu cepat diambil Tuhan? Mungkin hanya beliaulah satu diantara sepuluh ribu wanita yang ikhlas mengijinkan suaminya menikah lagi dengan karyawan sendiri, hanya untuk memastikan bahwa suaminya tidak mandul seperti prasangka orang. Mbak Hanin begitu mencintai dan menjaga nama baik suaminya, maka dari itu, jangan heran melihat betapa besar cinta Mas Gusti pada Mbak Hanin. Namun, sungguh sangat disayangkan karena sampai saat ini, Mas Gusti belum pernah sedikit pun menyentuhku. Kenapa tidak aku saja yang diambil lebih dahulu oleh Tuhan? Mungkin jika aku yang tiada, kesedihan ini tidak terlalu kentara karena aku memang tidak punya siapa-siapa. "Bunda." Gumaman Hilmi berubah isakan dalam tidurnya. "Hilmi, Sayang, bangun, Nak!" Aku mengusap kening putraku sambil menyalakan kipas angin. Tubuhnya basah oleh keringat karena aku lupa untuk menyalakan kipas angin saat meletakkan di kasur tadi. "Teteh, Bunda mana?" pertanyaan Hilmi tidak bisa langsung kujawab. Menahan tangis dengan menggembungkan pipi terpaksa kulakukan agar Hilmi tidak kembali menangis. Anak kecil itu tidak terbiasa memanggilku dengan sebutan ibu, karena memang sejak aku mengenalnya, Hilmi memanggilku teteh yang ia tahu sebagai karyawan bundanya. "Bunda sedang beristirahat sama dedek bayi. Kita tidak boleh ganggu ya." Hilmi mengangguk paham. Anak kecil itu merenggangkan tubuhnya seraya menghela napas. Ia berbalik badan untuk memeluk guling, lalu melanjutkan tidurnya kembali. Aku tersenyum tipis, lalu dengan cepat mengambil pakaian ganti untuk aku bawa ke kamar mandi. Membersihkan tubuh adalah pilihan tepat saat ini, agar saraf di kepalaku yang begitu kusut karena lelah menangis, bisa terurai normal kembali. Lalu, bagaimana nasibku dan Hilmi setelah Mbak Hanin tidak ada? Membayangkannya saja aku tidak berani. Apakah Mas Gusti akan mengusirku, mengingat ia begitu membenciku?Rasa penasaran ini membuatku menggeser gorden jendela. Masih banyak saja tamu yang silih berganti memberikan ucapan bela sungkawa pada keluarga besar Mbak Hanin dan Mas Gusti. Aku memang tidak berani terlalu menampakkan diri di luaran sana, karena pernikahanku dan Mas Gusti tidak banyak yang tahu. Hanya keluarga inti, keluarga panti tempat aku tumbuh, serta pejabat RT tempat kami tinggal saat ini. Ke mana Mas Gusti? Aku tidak melihatnya lagi. Tamu yang datang sepertinya teman-teman kantor suamiku itu, terlihat dari pakaian kemeja rapi dengan warna biru muda, persis sama dengan seragam Mas Gusti. Kuputuskan beristirahat sejenak dengan berbaring. Terlalu banyak mengeluarkan air mata sejak kemarin, membuat kepalaku berat. Ditambah kepergian Mbak Hanin tengah malam tadi, semua anggota keluarga histeris dan tidak bisa memejamkan mata. Acara tahlilan malam pertama berlangsung ramai. Para tetangga datang dan ikut mendoakan Mbak Hanin. Bagitu banyak rejeki yang Allah datangkan dari mereka
Aku tersentak begitu kalimat pengusiran itu ditangkap oleh telingaku dengan jelas. Kupandang sekeliling kamar yang masih dalam keadaan temaram. Ada Hilmi yang masih tidur dengan pulas dan suara jangkrik masih sangat nyaring di luar sana. Syukurlah aku hanya bermimpi? Memangnya ini jam berapa? Aku menoleh ke arah meja belajar Hilmi untuk melihat jam weker karena jam dinding di kamar ini mati. Sudah beberapa kali aku meminta tolong pada Mas Gusti untuk mengganti jam dinding itu, tapi suamiku mengabaikannya. Mungkin baginya memang aku tidak penting, apalagi hanya sekedar jam dinding. Ternyata baru jam dua dini hari. Aku menghela napas, sembari menyeka keringat yang mengucur deras di dahi dan leher. Udara terasa sangat panas, padahal saat selesai pengajian tadi, sempat gerimis sebentar. Baju piyama Hilmi saja sudah basah kuyup karena gerah. Kipas angin diputar full, tetapi masih saja kami berdua kegerahan. Aku turun dari tempat tidur untuk membuka pintu kamar sedikit. Hawa dari luar,
Aku hanya bisa menunduk takut saat tatapan ketiga orang dewasa di depanku, seolah-olah ingin menelanku bulat-bulat, terutama Mas Gusti. Sepertinya ia sanggup menggigit dagingku tanpa perlu dimasak. Apa aku menangis dengan teriakan dan tuduhan itu padaku? Tentu saja tidak, untuk apa? Membela diri? Percuma, mereka tidak akan percaya."Mama gak sangka penyebab jatuhnya Hanin adalah kamu, Zia. Kenapa kamu bisa teledor? Apa kamu memang sengaja melakukan ini pada menantu sahku? Apa kamu hanya ingin memiliki Gusti sendirian saja? Mama tidak percaya ini. Kamu sudah Mama perlakukan seperti menanti benar, tetapi kamu licik!" Aku menulikan telinga ini dengan sangat tebal. Karena jika aku memasukkannya ke dalam hati, tentu saja aku kecewa dan sakit hati."Maafkan, Zia, Ma. Zia tidak sengaja. Biasanya.... " Aku hanya berusaha meminta maaf, tanpa membela diri."Gusti, apa yang akan kamu lakukan pada Zia? Mama serahkan pada kamu saja. Sudah selayaknya wanita pembunuh berada di mana, baik disengaja a
"Saya sudah membuat majikan saya terpeleset di rumah dan majikan saya meninggal, Pak. Jadi saya ke sini untuk menyerahkan diri karena sudah ceroboh. Majikan saya dan bayi yang ada di dalam perutnya tidak bisa diselamatkan karena saya. Tangkap saya, Pak!" Kataku saat berdiri di depan petugas yang melongo menatapku.Mungkin ia mengira, aku akan membuat laporan kehilangan, ternyata aku malah mau menyerahkan diri. Seandainya bisa kupotret wajah bingungnya pasti sudah kupotret."Jadi kamu ke sini mau menyerahkan diri?" tanyanya lagi padaku. Padahal tadi aku sudah bilang begitu, kenapa petugas ini malah menanyakan kembali? Ya ampun, aku benar-benar lelah dan tidak mau berdebat. Ketupat sayur padang yang ada di dalam tasku, pasti sudah mengembang karena terlalu lama si Mas Polisi menatapku."Masuk dulu ke dalam, nanti kita akan buatkan BAP-nya!" Aku pun mengangguk paham. Sampai di dalam, aku bingung mau ke mana. Ke arah kanan, polisi sedang duduk di mejanya dengan banyak kertas. Ke sebelah k
"Zia, bangun!" Suara hentakan keras diiringi pukulan pada besi pagar tahanan, membuatku tersentak. "Kenapa, Pak?" tanyaku masih dengan kelopak mata yang amat berat. "Udah waktunya makan ya?" tanyaku lagi karena merasa perut ini keroncongan. "Makan terus yang ada di otak kamu, bangun! Ada tamu!""Oh, saya disuruh buatin teh untuk tamunya?" tanyaku lagi masih dalam mode belum sadar sepenuhnya. Polisi muda itu tertawa cekikikan dan enggan menjawab pertanyaanku barusan. Aku pun berdiri, meninggalkan tas ranselku di dalam sel. Tidak mungkin ada yang mengambil karena tidak ada tahanan lain di dalam sel bersamaku. Sepi, mungkin sudah pada mudik. "Eh, mau ke mana jalannya? Bukan belok kanan, itu... ke kiri!" petugas itu menarik tanganku dengan kuat, hingga tubuh ini yang sudah berada di arah kanan, terpaksa berbalik ke arah kiri. "Oh, dapurnya di sana! Berapa banyak tehnya, Pak?" tanyaku lagi. Petugas itu menghela napas, lalu tertawa. Begitu juga dengan petugas lain yang duduk di meja ma
Pak Desta biasa aku memanggilnya. Pria berusia dua puluh sembilan tahun; adik dari Mas Gusti. Selama ini, Pak Desta bekerja mengelola toko bahan bangunan milik papanya di daerah Yogyakarta. Itu yang pernah aku dengar dari Mbak Hanin. Dalam setahun, Pak Desta pulang ke Jakarta hanya satu tahun sekali, pada saat lebaran saja dan datang bertamu ke rumah Mas Gusti sangat jarang sekali. Selama aku bekerja dan tinggal di rumah Mbak Hanin, baru dua kali aku bertemu Pak Desta. Orangnya tidak banyak bicara, tetapi masih bisa dibilang ramah. Kenapa aku panggil Pak Desta? Karena Mas Gusti yang memintanya. Kata Mas Gusti, aku harus sopan dan hormat pada Pak Desta. Mereka memang kakak beradik, tapi sepertinya karakter mereka berbeda. Sebuah kejutan dalam hidupku yang di ujung tanduk ini, saat seorang Pak Desta datang dan menjaminkan diri ini agar bisa keluar dari penjara. Sungguh aneh, tapi semua mungkin memang takdir bagiku yang memang sebenarnya tidak bersalah. "Zia, malah bengong! Ayo, kamu
Untunglah Mas Gusti memiliki adik baik seperti Pak Desta, sehingga aku tertolong. Jika tidak, pasti aku akan awet di dalam penjara.Perjalanan ke rumah Pak Desta memakan waktu setengah jam saja. Kami tidak banyak bicara, bukan karena sungkan, melainkan aku yang kembali tertidur di mobilnya. Saat mobil itu berhenti, barulah aku membuka kelopak mata yang berat ini.Kupandangi sekeliling sambil mengucek kedua mata yang terasa sangat berat ini. Kenapa semua perumahan sama? Model dan bentukannya sama. Jalanannya pun sama saja."Pak Desta, saya kayak ngerasa pulang ke rumah Mbak Hanin, he he he...," kataku dengan mata berkaca-kaca."Kenapa memangnya?" tanya pria itu sambil mengulum senyum."Karena perumahannya kayak sama dengan perumahan Mbak Hanin. Itu, ada pos jaga satpam di dekat pohon nangka." Pak Desta tertawa cekikikan lagi. Entahlah, aku tidak pernah merasa menjadi pelawak, tetapi kenapa pria ini selalu saja menertawakanku?"Zia, nyawa kamu belum ngumpul ya? Ini memang perumahan Peso
Untunglah saat aku menoleh ke arah pagar, mainan Hilmi jatuh dan anak kecil tampan itu berjongkok untuk mengambilnya. Mungkin ia tidak menyadari ada aku bersama Om Desta-nya. Aku pun berbalik badan dan bergegas masuk ke dalam rumah Pak Desta. "Ada Hilmi, Pak, jangan sampai dia tahu saya ada di sini." Aku pun masuk saja tanpa tahu harus ke arah mana dan harus bersembunyi di mana. Dapur adalah tujuan pertamaku, bersembunyi di kolong meja. "Eh, ada anak Om Desta. Sini, ayo, masuk!" Kudengar suara riang Pak Desta menyapa Hilmi. Tidak lama kemudian, suara pagar dibuka. Jantung ini semakin berdegub kencang karena langkah Hilmi dan Desta terasa semakin dekat. "Assalamu'alaikum, Hilmi masuk ya, Om," suara anakku yang lucu itu. Ah, ingin sekali memeluknya dan mengatakan berapa ia sangat pintar. Anak yatim yang pintar dan tampan itu, sungguh sangat disayangkan tidak dipedulikan oleh papanya. "Masuk sini, Gantengnya Om Desta! Kalau mau nonton, di kamar Om saja ya. Di luar, TV-nya rusak," sua