Aku hanya bisa menunduk takut saat tatapan ketiga orang dewasa di depanku, seolah-olah ingin menelanku bulat-bulat, terutama Mas Gusti. Sepertinya ia sanggup menggigit dagingku tanpa perlu dimasak. Apa aku menangis dengan teriakan dan tuduhan itu padaku? Tentu saja tidak, untuk apa? Membela diri? Percuma, mereka tidak akan percaya.
"Mama gak sangka penyebab jatuhnya Hanin adalah kamu, Zia. Kenapa kamu bisa teledor? Apa kamu memang sengaja melakukan ini pada menantu sahku? Apa kamu hanya ingin memiliki Gusti sendirian saja? Mama tidak percaya ini. Kamu sudah Mama perlakukan seperti menanti benar, tetapi kamu licik!" Aku menulikan telinga ini dengan sangat tebal. Karena jika aku memasukkannya ke dalam hati, tentu saja aku kecewa dan sakit hati."Maafkan, Zia, Ma. Zia tidak sengaja. Biasanya.... " Aku hanya berusaha meminta maaf, tanpa membela diri."Gusti, apa yang akan kamu lakukan pada Zia? Mama serahkan pada kamu saja. Sudah selayaknya wanita pembunuh berada di mana, baik disengaja ataupun tidak disengaja." Aku terdiam dengan jantung yang berdetak kocar-kacir. Pembunuh kata mereka? Aku pembunuh? Ya Allah, hanya Engkau yang tahu apa yang terjadi kemarin. Tolong bantu hamba. Batinku pilu.Menjadi istri yang dianggap tidak pernah ada. Diperlakukan layaknya pembantu, lalu kini, mereka ingin memenjarakanku?"Kamu mau menyerahkan diri atau saya yang melaporkan hal ini?" tanya Mas Gusti yang sama saja menyudutkanku."Jika saya bilang saya tidak bersalah, apa Papa, Mama, dan Mas Gusti percaya? Sepertinya tidak. Saya akan menyerahkan diri saja, biar kalian semua senang sudah menyingkirkan wanita seperti saya, tapi bagaimana dengan Hilmi? Apa anak kecil itu tidak akan semakin kehilangan saat dua ibu di rumahnya tidak ada? Apa Mas Gusti bisa mengurus Hilmi, sedangkan Mas Gusti harus bekerja?" tanyaku masih dengan air mata yang membanjiri pipi. Aku tahu ibu mertuaku begitu sayang dengan. Hilmi, semoga saja ia menarik ucapannya untuk menjembloskanku ke penjara.Semua orang dewasa di depanku masih terdiam. Ketiganya saling pandang dan nampak tengah berpikir."Kamu tidak perlu memikirkan Hilmi. Anak angkat itu akan aku kembalikan ke panti asuhan.""Jangan, Mas, jangan begitu. Baiklah, saya akan melakukan apapun asal Mas Gusti tidak mengembalikan Hilmi ke panti. Saya bersedia dihukum seumur hidup asalkan Mas Gusti tetap merawat Hilmi.""Bukan urusanmu, Zia. Apa yang mau aku lakukan pada Hilmi, bukan urusanmu! Lekas pergi ke kantor polisi dan menyerahkan diri, sebelum Hilmi bangun. Kamu bisa melakukannya sendiri, atau mau aku seret!" Kulihat wajah ibu mertuaku pias. Ia mungkin tidak terbiasa dengan kalimat kasar yang dilontarkan putra sulungnya, tetapi aku sudah menganggap kalimat kasar itu adalah makanan sehari-hari.Aku pun mengangguk. Sekilas kulirik jam dinding yang jarumnya masih berada di angka enam. Setengah jam lagi waktunya Hilmi bangun. Aku harus bergegas sebelum putra kecilku itu bangun.Aku tidak punya tas besar. Hanya ada tas ransel ukuran biasa yang hanya muat tiga stel pakaian, mukena, dan tiga set pakaian dalam. Ponsel dan charger pun aku bawa. Dompet bedak aku tinggalkan di kamar. Untuk apa aku bersolek di penjara? Apalagi mungkin saja aku akan dihukum mati.Kuhapus kasar air mata, kemudian kuambil secarik kertas dan membuat pesan singkat untuk Hilmi.Hilmi, Teteh pergi sebentar ya. Hilmi harus nurut sama Oma, Opa, dan Papa. Jangan main HP terus. Teteh sayang Hilmi.Tulisan itu aku selipkan di dalam box mainan. Aku tidak mauas Gusti membaca suratku untuk Hilmi, karena jika ia tahu, maka surat itu akan disobek. Ingin sekali aku memeluk Hilmi, tetapi tidak bisa. Anak kecil tampan itu pasti terbangun jika aku menciumnya dalam keadaan menangis.Ya Allah, aku titipkan Hilmi dalam penjagaanMu. Peliharalah anak yatim piatu ini dari kejahatan dan keburukan orang-orang di sekitarnya. Aamiin."Pa, Ma, Mas, saya permisi." Tidak ada yang menjawab. Ketiganya membuang muka saat aku lewat untuk berpamitan. Hati ini pun semakin sakit dan juga patah. Aku berjalan keluar dan berhenti sebentar memandang sebuah ruangan cukup besar di samping rumah. Aku tersenyum tipis, merasa bersyukur pernah menjadi bagian dari keluarga Mbak Hanin, walau akhirnya aku akan hidup dan mungkin mati di dalam penjara.Bersambung"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali," bisik Galih; menghentikan gerakan tangannya. Melepas keintiman ciuman itu sesaat untuk menatap lekat sangat Istri yang wajahnya sudah bersemu merah. Ditambah riasan bibir yang sudah amat berantakan karena ulahnya. Mata Dia pun berkaca-kaca. Berada dalam kamar pengantin sangat bagus bersama dengan lelaki yang selalu ia cintai sepanjang hidupnya, tentu saja tidak berani ia mimpikan, tetapi kali ini, kenyataan manis sedang ia hadapan bersama sang pujaan hati. "Terima kasih sudah berusaha sejauh ini untuk kebahagiaan saya dan anak-anak," balas Zia sambil menunduk. Tetes air matanya jatuh tepat di punggung tanganku Gusti. Pria ia mengangkat dagu Zia dengan lembut. Menghapus air mata di pipi istrinya dengan bibirnya. Bergantian, kanan dan kiri. Suasana baru itu hanya sesaat, karena kemudian Gusti sudah menghujani Zia dengan ciuman. Ciuman kali ini berbeda dari ciuman yang pernah mereka lakukan sebelumnya, bahkan dalam gairah yang meluap-luap. C
Pov Desta"Mbak kapan sampai? Mana Mas Gusti? Hilmi gak ikut?" tanyaku pada wanita yang sedang duduk di ruang tengah rumahku.Hari ini memang Mas Gusti berencana datang ke Jogja untuk urusan pekerjaan. Ada proyek yang harus ia pantau untuk beberapa hari di sekitar Jogya. Tentu saja aku tidak keberatan jika Mas Gusti menginap di rumahku, apalagi aku sudah lama tidak berbincang dengannya. Namun aku tidak tahu kalau Mas Gusti ke rumah bersama Mbak Hanin. Pria itu sama sekali tidak memberitahu perihal Mbak Hanin yang turut serta."Satu jam yang lalu. Aku bawa makanan tuh! Kata Mas Gusti, kamu jarang masak, makanya dari rumah udah aku masakin, tinggal dipanaskan saja," jawab Mbak Hanin sambil tersenyum manis. Senyuman yang selalu membuat hati ini berdebar. Aku tahu tidak boleh ada debar di jantung ini terhadap Mbak Hanin, tetapi aku tidak bisa menahannya. Dari pada jantungku tidak berdebar, malah lebih repot lagi."Terima kasih, Mbak, saya mau mandi dulu baru makan ya." Tanpa menunggu bala
Semua berkas sudah diurus oleh keduanya. Tanggal pun sudah didapatkan untuk melaksanakan hari bahagia antara Zia dan Gusti. Persiapan pun mulai dikerjakan dengan benar-benar mengerahkan bantuan dari sanak-saudara. Wedding organizer ter-the best juga sudah dipesan Gusti. Ia memang sudah berjanji akan memberikan pernikahan terbaik untuk Zia. Sebagai penebus dosa masa lalu yang sangat berat.Zia yang awalnya menolak karena menurutnya semua terlalu mewah, sedangkan kehidupan pernikahan itu panjang. Ia ingin Gusti sedikit berhemat, tetapi Gusti menolak. Undangan sedang di design dan akan dicetak sebanyak lima ratus lembar. Belum lagi undangan virtual bagi saudara yang jauh dan kiranya tidak bisa dikunjungi untuk diberikan undangan.Mungkin akan ada sekitar seribu undangan yang akan hadir nanti."Zia, sini sebentar!" Panggil Gusti saat Zia tengah berada di ruang makan. Menata makan sore untuk keluarganya. Bik Desi pulang lebih awal karena tidak enak badan, sehingga tidak bisa membantunya s
Zia yang tidak diperbolehkan keluar dari kamar, akhirnya memutuskan mandi untuk menyegarkan tubuh dan kepalanya. Baju daster lama favorit ia pakai walau sudah sobek bagian ketiak. Ia merasa tidak perlu khawatir akan pakaian itu karena tidak mungkin juga ia mau mengangkat tangan sampai kelihatan ketiaknya. Suara riuh-ramai di luar kamar menandakan anak-anak sudah pulang dari sekolah. Mungkin mereka sudah langsung bercengkerama dengan Desta, sedangkan ia masih dipingit di kamar.Menurutnya Gusti terlalu lebay dengan melarangnya bertemu Desta tanpa ditemani dirinya. Padahal jika ingin jujur, ia pun rindu pada Desta. Bukan rindu layaknya pasangan lawan jenis, tetapi rindu sebagai saudara. Zia pun akhirnya tertidur setelah lama menunggu di atas kasur. Wanita itu tidak tahu bahwa suaminya sudah pulang dan langsung masuk ke dalam kamar. Ia berbaring terlentang dengan kedua tangan berada di atas kepala, hingga terlihatlah lubang pada baju dasternya, tepat di bagian ketiak. Gusti terkekeh.
"Alhamdulillah, Mama senang lihat kamu dan Gusti sudah akur," kata Bu Nadia sambil mengusap rambut Zia. "Maafkan Gusti atas kesalahannya yang dulu. Mama saat mengetahui Hanin dan Desta... " Bu Nadia tak sanggup meneruskan ucapannya. "Sudah, Ma, jangan diingat lagi ya. Mbak Hanin juga sudah tiada. Kasihan jika kita terus saja mengingat hal buruk tentang Mbak Hanin, padahal almarhumah melakukan itu karena rasa cintanya yang luar biasa pada Pak Gusti. Saya mengerti sekali posisi Mbak Hanin yang merasa serba salah." Tanpa terasa, air bening sudah menggenang di pelupuk matanya. Bagi seorang Zia, Hanin adalah layaknya kakak, ibu, yang tidak akan pernah tergantikan posisinya. Ia menyayangi Mbak Hanin seperti saudara sendiri. Jadi apapun yang dikatakan orang tentang wanita itu, Zia sudah tutup mata. Hanin adalah pribadi yang baik, hanya saja ia menghalalkan segala cara untuk menyenangkan hati suaminya. "Mungkin ini takdir. Mama berkali-kali bilang begitu sama Gusti. Dua belas tahun merek
"Saya belum mengantuk. Bagaimana kalau kita diskusi tentang pernikahan saja?" tanya Gusti saat mereka sudah berbaring di ranjang. Zia menoleh dengan tatapan bingung. Pernikahan apa lagi? Kenapa ia tidak pernah bisa memahami apa maksudnya Gusti? "Pernikahan siapa, Pak?" tanya Zia. Wanita itu menoleh ke samping dengan datar. "Pernikahan kita.""Maksudnya?" Zia semakin tidak paham. "Saya ingin kita menikah kembali secara resmi. Biar punya buku nikah dan anak-anak juga memiliki akte lahir." Zia terdiam. Perasaanya campur aduk antara senang dan juga bimbang. Ia belum yakin sepenuhnya bahwa Gusti sudah berubah. Bisa saja lelaki di sampingnya ini sedang merencanakan sesuatu. "Kenapa, gak mau ya?" tanya Gusti yang kini sudah berbaring miring menatap Zia. "Lurus aja tidurannya bisa gak, Pak?" Zia mendorong Gusti hingga lelaki itu tidur kembali dengan posisi lurus menatap langit-langit kamar. Pria itu tertawa, tetapi ia menurut. Posisinya kembali seperti semula. "Zia, saya serius. Saya ma