BUSSINES TRIP
Hari yang ditunggu-tunggu Aruna akhirnya tiba, dia dan Leonhard akan melakukan kunjungan ke salah satu pabrik yang memproduksi bahan baku. Tadi malam Aruna telah mengisi daya batre ponselnya berikut dengan powerbank. Sambil berdandan dia sering kali mengecek ponsel untuk memastikan tidak ada chat dari Leonhard yang membatalkan janji. “Mi … Pi … Aruna pergi ya, Aruna mau ke pabrik sama pak Leon.” Aruna mengecup pipi papi dan mami kemudian bibirnya mengapit satu helai roti yang baru saja diambil dari piring saji di atas meja. “Sayang, kapan kamu mau pindah ke apartemen?” Mami berteriak dari ruang makan karena Aruna telah melesat cepat menuju pintu depan. “Nanti aja!” Aruna balas berteriak sebelum melewati pintu. Mami mengembuskan nafas panjang sementara papi menggelengkan kepala samar. “Kenapa Aruna boleh tinggal di apartemen tapi Nara enggak?” Narashima terdengar menggerutu. “Iya … enggak adil.” Reyzio menimpali. “Nanti kalian bawa cewek ke apartemen.” Papi Arkana berkomentar. “Papi yakin kalau Aruna enggak akan bawa cowok ke apartemennya ….” Reyzio mengompori. “Kamu yakin, adik kamu yang ambisius itu ada waktu main-main sama cowok?” Papi Arkana mengembalikan pertanyaan Reyzio. “Buktinya dia sampai jarang sarapan untuk bisa tepat waktu sampai di kantor, apalagi yang berhubungan dengan klien—adik kamu concern banget.” Mami Zara menambahkan. Papi Arkana dan mami Zara percaya kalau antusiasme Aruna dalam mengemban jabatannya yang baru adalah karena ambisius bukan karena sedang jatuh cinta. Reyzio dan Narashima tidak berkomentar lagi, memilih menghabiskan sarapan paginya. Sementara itu meski mengemudikan mobilnya sendiri, Aruna sampai di kantor lebih awal. Dia pergi ke ruangannya dulu untuk mendelegasikan beberapa tugas kepada Tasya dan Tezaar. Setelah dua asistennya keluar dari ruangan, Aruna pergi ke toilet yang masih berada di dalam ruangannya untuk merapihkan make up, pakaian dan menambahkan parfum yang dia semprotkan di bajunya. “Jangan berubah ya, tetap cantik kaya gini …,” kata Aruna bicara pada cermin yang memantulkan sosok dirinya. Setelah itu Aruna keluar dari ruangannya melewati meja sang asisten. “Semangat Bu!” Tezaar berseru memberi semangat. “Semoga sukses Bu!” Tasya ikutan berseru. Terselip makna dibalik kalimat penyemangat tersebut, mereka tahu kalau Aruna akan melakukan kunjungan ke pabrik bersama Leonhard. Aruna mengerutkan kening heran karena tidak biasa dua asistennya memberi semangat seperti ini. Beberapa saat kemudian Aruna sampai di lobby, dia duduk di salah satu sofa sembari mematuti layar ponsel. Dia tidak ingin satu detik pun terlewat pesan maupun panggilan telepon dari Leonhard yang tadi mengatakan akan menghubunginya jika sudah dekat dengan kantor. Tiba-tiba ponselnya berbunyi memunculkan nama Leonhard di layar. “Hallo!” Aruna langsung menjawab di nada panggil pertama. “Bu Aruna, sebentar lagi mobil saya memasuki pelataran kantor ….” Leonhard memberitahu. “Baik, Pak … saya ke lobby sekarang,” balas Aruna padahal dia sudah berada di lobby. Setelah panggilan telepon terputus, Aruna merapihkan kembali pakaiannya dengan mengusap bagian bokong untuk menghilangkan kusut setelah tadi dia duduk. Melangkah penuh percaya diri menggunakan heelsnya membuat tubuh Aruna semakin jenjang dan terlihat seksi. Leonhard yang berada di kabin belakang mobil yang tengah melaju mendekat ke lobby tanpa sadar memaku tatap pada sosok seksi itu dan baru dia sadari kalau yang berhasil mengalihkan perhatiannya adalah Aruna setelah mobil sampai di depan lobby. “Selamat pagi Pak Leon,” sapa Aruna saat memasuki mobil lalu duduk di samping Leonhard yang tatap matanya jadi tertuju pada paha Aruna karena pencil skirt gadis itu tersingkap sedikit ke atas ketika duduk. “Pagi …,” balas Leonhard kemudian membuang pandangannya ke arah lain. Dia segan karena Aruna adalah anak dari klien bisnisnya, pria itu juga mengutuk matanya yang lancang memandangi paha mulus Aruna. Tidak ada percakapan tercipta selama beberapa menit karena Leonhard tampak anteng menatap ke luar jendela sebelah kiri sementara Aruna ada di sebelah kananya membuat Aruna bertanya-tanya kenapa Leonhard jadi tidak bersahabat. Lama-lama AC mobil yang bekerja maksimal membuat paha Aruna terasa dingin, dia baru sadar kalau roknya tersingkap lalu berusaha menurunkannya sedikit sambil duduk. Pergerakan Aruna itu mengambil alih perhatian Leonhard yang kemudian membuka jasnya lalu dia sampirkan di paha Aruna. “Dingin ya,” kata Leonhard asal bicara mengalihkan kesan mesum yang mungkin ditangkap Aruna saat dia menyelimuti paha Aruna menggunakan jasnya. “Iya ….” Aruna tertawa kering. “Kok dia tahu? Ya ampun, perhatian banget sih,” sambungnya di dalam hati. Padahal papi dan keempat kakaknya begitu menyayangi Aruna meski sering iseng, mereka selalu melindungi Aruna, memperlakukan Aruna seperti seorang ratu. Menggendong Aruna ke kamar saat Aruna tertidur di mobil sepulangnya mereka dari bepergian, membukakan pintu mobil untuk Aruna, rela memberikan jaket atau mantelnya saat udara dingin. Meski begitu, Aruna masih saja merasa kalau perlakuan Leonhard ini adalah salah satu bentuk perhatian yang sampai membuatnya berbunga-bunga dan mabuk kepayang, mungkin karena Aruna telah mencintai pria itu. “Kepala bagian produksi namanya pak Robby, Pak Leon bisa banyak bertanya nanti sama beliau.” Aruna membuat topik pembicaraan. Dan karena sekarang paha Aruna telah tertutup jas, Leonhard jadi bisa menyerongkan sedikit posisi tubuhnya demi bisa menatap wajah Aruna untuk menanggapi topik pembicaraan tersebut. Leonhard dan Aruna larut dalam obrolan seputar pabrik dan bahan baku yang akan mereka survei sekarang. Aruna pandai menutupi perasaanya, dia tidak canggung atau gugup menghadapi Leonhard bahkan berani menatap mata indah pria itu. Sebagai lawan bicara, Leonhard merasa nyaman dan senang mengobrol dengan Aruna yang cerdas dan pintar dalam menyampaikan sebuah informasi serta bijak dalam menanggapi pendapatnya. Ada satu hal yang menarik perhatian Leonhard ketika mengobrol dengan Aaruna, gadis itu tidak berhenti mengusap pelan ibu jarinya di bagian kerah jas yang menyelimuti paha. Usapan Aruna begitu lembut seringan bulu seolah gadis itu sedang mengusap salah satu bagian tubuh Leonhard, setidaknya itu yang terbesit dalam benak Leonhard. Waktu berlalu, puluhan kilometer telah terlewati dan tanpa terasa mereka hampir sampai di tempat tujuan. “Loh kok … jalannya jadi rusak gini ya, perasaan sebulan lalu masih bagus,” gumam Aruna saat merasakan goncangan kuat di dalam mobil padahal mobil mewah Leonhard memiliki suspensi yang paling bagus di antara mobil mewah lainnya. Leonhard tidak bisa berkomentar karena dia tidak tahu bagaimana keadaan sebulan lalu. “Maaf Pak, Bu!” seru sang driver karena salah mengambil jalan membuat guncangan semakin dahsyat dan karena hal itu Aruna bergerak mencari pegangan di saat yang sama Leonhard mengulurkan tangannya untuk membantu Aruna. Refleks Aruna menggenggam tangan Leonhard cukup erat sementara satu tangan pria itu menahan tubuh Aruna agar tidak tersungkur ke depan. Posisi meresahkan di mana Leonhard setengah memeluknya itu membuat Aruna menahan nafas, dalam hati Aruna berharap kalau waktu berhenti berputar. “Emm … maaf, Pak ….” Aruna mendongak membuat wajah mereka begitu dekat sampai Aruna dapat mencium aroma mint dari nafas Leonhard. “Bu Aruna baik-baik aja?” Pria itu malah bertanya balik disertai raut khawatir dengan kerutan di antara alis dan sorot mata teduh. “Iya ….” Aruna menjauh, melepaskan diri dari Leonhard karena sialnya jalan yang dilalui sudah lebih baik tidak sejelek tadi. Aruna merapihkan pakaiannya, setengah mati menyembunyikan segala perasaan yang bergejolak di dada. Dia tidak ingin Leonhard tahu kalau telah tumbuh sebongkah cinta di hatinya untuk pria itu, Aruna gengsi. Sampai di pabrik, Aruna dan Leonhard disambut pak Robby yang berdiri tepat di samping mobil Leonhard yang baru saja berhenti. Leonhard turun dari pintu di sampingnya begitu juga Aruna namun ternyata tekstur tanah di parkiran pabrik sangat buruk , sama seperti jalanan yang mereka lewati tadi sementara saat ini Aruna menggunakan heels. Aruna menatap nanar heels mahalnya sampai sebuah tangan terulur ke depan menyadarkan gadis itu. “Ayo … saya bantu.” Leonhard tidak memiliki maksud apapun, dia tulus ingin membantu. Aruna mendongak lalu tersenyum, dengan senang hati menerima bantuan Leonhard, menggenggam tangan pria itu untuk turun dari mobil. “Selamat siang Bu Aruna … Pak Leon,” sapa pak Robby ramah. “Siang Pak!” sahut Leonhard dan Aruna kompak sembari berjabat tangan. “Pak … kok jalanannya jadi jelek gini? Satu bulan lalu waktu saya datang masih bagus.” Aruna bertanya setengah menggerutu. “Kemarin ada banjir bandang yang membuat tanahnya basah yang kemudian dilalui mobil-mobil besar jadi ketika mengering tanahnya akan membentuk jejak ban … itu yang membuat jalannya jadi rusak.” Pak Robby menjelaskan. “Oh ….” Aruna bergumam. “Dan mohon maaf nih, Bu … pabrik yang kita kunjungi ada di belakang melewati jalan seperti ini … bugy car tidak bisa digunakan di jalan bertekstur seperti ini jadi mau tidak mau kita harus berjalan kaki … apa Bu Aruna perlu saya carikan sendal jepit?” Pak Robby menawarkan. “Hah? Sendal jepitnya merek apa, Pak?” Sempat-sempatnya Aruna bertanya demikian. Maklum saja, dia anak konglomerat. Sendal jepit yang biasa dia gunakan seharga belasan juta. Pak Robby tertawa. “Sendal jepit biasa yang ada di warung.” Leonhard menoleh menatap Aruna. “Saya ada sepatu kets di mobil tapi ukurannya besar ….” “Enggak usah, aku pake sepatu ini aja.” Aruna memutuskan tidak menerima bantuan dua pria tersebut dari pada menggunakan sepatu yang tidak sesuai dengan ukuran dan kepribadiannya. “Kalau begitu mari ….” Pak Robby merentangkan tangan ke depan lantas berjalan lebih dulu memandu Aruna dan Leonhard. Cara jalan Aruna jadi tertatih membuatnya lambat dan sesekali nyaris tersungkur. Leonhard adalah pria yang sabar, dia tidak merasa kesal dengan keadaan Aruna malah prihatin. “Silahkan pegang tangan saya untuk berpegangan,” kata Leonhard mengulurkan tangannya. Aruna menatap Leonhard sebentar sebelum akhirnya menerima bantuan pria itu dengan melingkarkan tangan di lengan berotot milik Leonhard. Tadinya Aruna mengutuk banjir yang telah membuat jalanan rusak tapi sekarang dia malah mensyukurinya. Namun sampai di sini pun, Leonhard masih belum merasakan getaran apapun kepada Aruna. Dia hanya bersikap sebagai pria sejati yang harus membantu seorang perempuan terlebih Aruna adalah anak dari klien bisnisnya dan orang yang akan selalu berhubungan intens dengannya untuk urusan bisnis selama beberapa waktu ke depan. Perlu diketahui kalau sesungguhnya Leonhard adalah tipe pria yang tidak mudah tergoda oleh wanita.Keempat kakak Ghazanvar tiba di rumah sakit saat Aruna belum melahirkan, pembukaannya lambat, bahkan sudah diinduksi tapi Dede bayi belum juga mau keluar.“Dek, semangat ya … Kamu pasti bisa,” kata Reyzio sembari mengusap kepalanya.“Mules, Kak ….” Aruna menjawab lemah, wajahnya pucat dan tatapannya sayu. Ghazanvar, Arnawarma dan Narashima tidak bersuara namun matanya memerah berkaca-kaca lantaran tiga tega melihat penderitaan sang adik.“Dek, Abang tunggu di luar ya ….” Ghazanvar membungkuk untuk memeluk Aruna.Aruna hanya mengangguk tanpa berkata-kata, membiarkan keempat kakaknya pergi meski mereka sebenarnya terlihat enggan, ingin menemani Aruna tapi tidak tega.“Jagain Aruna yang bener.” Leonhard menepuk dada Leonhard menggunakan punggung tangannya disertai tatapan tajam mengancam sebelum meninggalkan ruangan.Leonhard mendapat ancaman dari segala arah tapi berhubung telah biasa berada di bawah tekanan
Di rumah sakit, suasana semakin tegang. Aruna sudah dibaringkan di ruang bersalin dan tim dokter mulai mempersiapkan segala peralatan. Leonhard menggenggam tangan Aruna erat-erat, terlihat gugup meskipun mencoba tegar.Wajah pria itu tampak pucat pasi sementara Aruna sendiri begitu tenang karena telah menantikan momen ini.“Aruna, kamu harus kuat, ya. Aku di sini, aku nggak akan ke mana-mana,” kata Leonhard dengan suara gemetar.“Aku tahu kamu enggak akan ke mana-mana. Karena kalau kamu pergi, aku akan kejar kamu, Leon,” sahut Aruna setengah bercanda meski wajahnya menahan sakit.Tiba-tiba, suara papi Arkana yang tengah melangkah masuk terdengar tegas, mengancam dan panik“Leonhard! Jaga anak Papi baik-baik! Kalau dia kenapa-kenapa, kamu akan tahu akibatnya!”“Tenang, Pi … dokter kandungan Aruna sangat ahli di bidangnya,” jawab Leonhard sambil berusaha tidak terpengaruh.Papi Arkana keluar dari ruangan itu dengan ekspresi wajah frustrasi.“Mi, itu Aruna bisa enggak ya melahirkan bayi
Aruna duduk santai di kursi malas living room sambil memijat kakinya yang bengkak.Sudah dua hari, mami Zara dan papi Arkana berkunjung ke rumah futuristik Aruna di Seoul, mereka datang membawa berbagai makanan khas Indonesia yang mengundang nostalgia.Krauk …Krauk …Suara keripik yang Aruna kunyah dengan toples berada di atas pangkuannya.“Keren banget interior rumah kamu ya, potnya bisa nyiram tanaman sendiri.” Mami berceloteh. Mami Zara sibuk mengomentari dekorasi rumah sambil mengelap vas bunga.“Beliin Mami yang kaya gini donk, Pi … di Indonesia ada enggak sih?” “Nanti Leon beliin buat Mami,” kata Leonhard yang baru saja memasuki living room.“Waaah, makasih ya menantu Mami yang paling ganteng.” Mami Zara tersenyum lebar, tentu saja beliau tidak berdusta karena memang Leonhard adalah satu-satunya menantu laki-laki mami.Papi Arkana merotasi bola matanya melihat mami Zara menjawil pipi Leonhard saat tadi sedang memujinya.Beliau kembali menekuni remot untuk menyalakan televisi
Semenjak kembali dari Singapura, Leonhard sibuk sekali karena selain mengurus Asia Sinergy, proyek bersama AG Group juga sangat membutuhkan perhatian sehingga menguras waktunya.Bahkan pernah sekali Leonhard tidak bisa mengantar Aruna kontrol kehamilannya, meski begitu Aruna tidak mempermasalahkan karena Hae-Ja dan salah satu kakak Leonhard bersedia menemaninya bertemu dokter kandungan.Mereka cukup kompak mem-back up Leonhard.Beruntungnya di waktu kontrol bulan ini, Leonhard akhirnya memiliki waktu menemani Aruna.Jangan lupakan Sky, bayi gempal tampan itu selalu ikut ke mana Aruna pergi apalagi sekarang mereka akan mengetahui jenis kelamin si jabang bayi.“Adik … mainan buat adik,” kata Sky terus berceloteh sembari menempelkan mainan bentuk karakter Minnie Mouse ke perut Aruna saat di pangku dalam perjalanan ke rumah sakit.Bukan hanya sekarang, Sky sering kali menempelkan mainan Minnie Mouse ke perut Aruna yang tidak terlalu ditanggapi serius olehnya hanya mengira kalau Sky
“Udara pagi di sini tidak sesegar di rumah kita,” kata Hae-Ja sambil terengah saat sedang jalan santai bersama mami Wulandari di sekitar condominium.“Memang … itu kenapa aku tidak mengajak Aruna, khawatir janinnya menghirup polusi.” Mami Wulandari menimpali.Hae-Ja mengangguk setuju. “Kita lewati satu putaran lagi setelah itu pulang, aku lelah Wulan.” Hae-Ja menunjukkan tampang nelangsa.“Baiklah,” balas mami Wulandari kemudian terkekeh.Setelah menghabiskan satu putaran mengelilingi gedung condominium, mereka akhirnya pulang.Suara tangis Sky menggema begitu mami Wulandari membuka pintu utama condominium.“Sky kenapa, Nan?” Mami Wulandari bertanya.“Sky rewel, Nyonya … enggak biasanya Sky seperti ini, saya juga enggak tahu kenapa.” Nanny tampak kerepotan menggendong Sky yang terus meronta.“Maminya mana?” Mami Wulandari bertanya saat Hae-Ja mengambil alih Sky yang masih saja tantrum.“Di kamar Nyonya, sejak tuan muda pergi … nyonya muda ada di kamarnya terus,” jawab Nanny.
Perlahan Leonhard menurunkan Aruna di atas ranjang lalu merangkak naik ke atas sang istri yang gaun tidurnya tersingkap ke atas.“Leon,” tegur Aruna dengan desahan, pipinya merona dengan senyum dikulum.“Sekali aja, aku janji.” Usai berkata demikian Leonhard memagut bibir Aruna disertai usapan tangannya merayak ke setiap jengkal kulit Aruna menghasilkan jejak panas.Saat tangannya sampai di bokong, Leonhard memberikan rematan lembut dari dalam celana sekalian menurunkannya hingga dia bisa menemukan celah sempit nan hangat yang telah menjadi candu.Bibirnya kini menyasar leher Aruna lalu beralih ke pundak di mana terdapat tali yang menahan gaun tidur seksi itu.Leonhard menggigit tali tersebut untuk melepaskan simpulnya sehingga terekspose lah satu gundukan besar di dada Aruna.Leonhard melakukan hal yang sama dengan tali di pundak Aruna yang lain.Matanya berbinar saat dua gundukan yang tidak tertampung bra itu sekarang seolah menantangnya.T