BUSSINES TRIP
Hari yang ditunggu-tunggu Aruna akhirnya tiba, dia dan Leonhard akan melakukan kunjungan ke salah satu pabrik yang memproduksi bahan baku. Tadi malam Aruna telah mengisi daya batre ponselnya berikut dengan powerbank. Sambil berdandan dia sering kali mengecek ponsel untuk memastikan tidak ada chat dari Leonhard yang membatalkan janji. “Mi … Pi … Aruna pergi ya, Aruna mau ke pabrik sama pak Leon.” Aruna mengecup pipi papi dan mami kemudian bibirnya mengapit satu helai roti yang baru saja diambil dari piring saji di atas meja. “Sayang, kapan kamu mau pindah ke apartemen?” Mami berteriak dari ruang makan karena Aruna telah melesat cepat menuju pintu depan. “Nanti aja!” Aruna balas berteriak sebelum melewati pintu. Mami mengembuskan nafas panjang sementara papi menggelengkan kepala samar. “Kenapa Aruna boleh tinggal di apartemen tapi Nara enggak?” Narashima terdengar menggerutu. “Iya … enggak adil.” Reyzio menimpali. “Nanti kalian bawa cewek ke apartemen.” Papi Arkana berkomentar. “Papi yakin kalau Aruna enggak akan bawa cowok ke apartemennya ….” Reyzio mengompori. “Kamu yakin, adik kamu yang ambisius itu ada waktu main-main sama cowok?” Papi Arkana mengembalikan pertanyaan Reyzio. “Buktinya dia sampai jarang sarapan untuk bisa tepat waktu sampai di kantor, apalagi yang berhubungan dengan klien—adik kamu concern banget.” Mami Zara menambahkan. Papi Arkana dan mami Zara percaya kalau antusiasme Aruna dalam mengemban jabatannya yang baru adalah karena ambisius bukan karena sedang jatuh cinta. Reyzio dan Narashima tidak berkomentar lagi, memilih menghabiskan sarapan paginya. Sementara itu meski mengemudikan mobilnya sendiri, Aruna sampai di kantor lebih awal. Dia pergi ke ruangannya dulu untuk mendelegasikan beberapa tugas kepada Tasya dan Tezaar. Setelah dua asistennya keluar dari ruangan, Aruna pergi ke toilet yang masih berada di dalam ruangannya untuk merapihkan make up, pakaian dan menambahkan parfum yang dia semprotkan di bajunya. “Jangan berubah ya, tetap cantik kaya gini …,” kata Aruna bicara pada cermin yang memantulkan sosok dirinya. Setelah itu Aruna keluar dari ruangannya melewati meja sang asisten. “Semangat Bu!” Tezaar berseru memberi semangat. “Semoga sukses Bu!” Tasya ikutan berseru. Terselip makna dibalik kalimat penyemangat tersebut, mereka tahu kalau Aruna akan melakukan kunjungan ke pabrik bersama Leonhard. Aruna mengerutkan kening heran karena tidak biasa dua asistennya memberi semangat seperti ini. Beberapa saat kemudian Aruna sampai di lobby, dia duduk di salah satu sofa sembari mematuti layar ponsel. Dia tidak ingin satu detik pun terlewat pesan maupun panggilan telepon dari Leonhard yang tadi mengatakan akan menghubunginya jika sudah dekat dengan kantor. Tiba-tiba ponselnya berbunyi memunculkan nama Leonhard di layar. “Hallo!” Aruna langsung menjawab di nada panggil pertama. “Bu Aruna, sebentar lagi mobil saya memasuki pelataran kantor ….” Leonhard memberitahu. “Baik, Pak … saya ke lobby sekarang,” balas Aruna padahal dia sudah berada di lobby. Setelah panggilan telepon terputus, Aruna merapihkan kembali pakaiannya dengan mengusap bagian bokong untuk menghilangkan kusut setelah tadi dia duduk. Melangkah penuh percaya diri menggunakan heelsnya membuat tubuh Aruna semakin jenjang dan terlihat seksi. Leonhard yang berada di kabin belakang mobil yang tengah melaju mendekat ke lobby tanpa sadar memaku tatap pada sosok seksi itu dan baru dia sadari kalau yang berhasil mengalihkan perhatiannya adalah Aruna setelah mobil sampai di depan lobby. “Selamat pagi Pak Leon,” sapa Aruna saat memasuki mobil lalu duduk di samping Leonhard yang tatap matanya jadi tertuju pada paha Aruna karena pencil skirt gadis itu tersingkap sedikit ke atas ketika duduk. “Pagi …,” balas Leonhard kemudian membuang pandangannya ke arah lain. Dia segan karena Aruna adalah anak dari klien bisnisnya, pria itu juga mengutuk matanya yang lancang memandangi paha mulus Aruna. Tidak ada percakapan tercipta selama beberapa menit karena Leonhard tampak anteng menatap ke luar jendela sebelah kiri sementara Aruna ada di sebelah kananya membuat Aruna bertanya-tanya kenapa Leonhard jadi tidak bersahabat. Lama-lama AC mobil yang bekerja maksimal membuat paha Aruna terasa dingin, dia baru sadar kalau roknya tersingkap lalu berusaha menurunkannya sedikit sambil duduk. Pergerakan Aruna itu mengambil alih perhatian Leonhard yang kemudian membuka jasnya lalu dia sampirkan di paha Aruna. “Dingin ya,” kata Leonhard asal bicara mengalihkan kesan mesum yang mungkin ditangkap Aruna saat dia menyelimuti paha Aruna menggunakan jasnya. “Iya ….” Aruna tertawa kering. “Kok dia tahu? Ya ampun, perhatian banget sih,” sambungnya di dalam hati. Padahal papi dan keempat kakaknya begitu menyayangi Aruna meski sering iseng, mereka selalu melindungi Aruna, memperlakukan Aruna seperti seorang ratu. Menggendong Aruna ke kamar saat Aruna tertidur di mobil sepulangnya mereka dari bepergian, membukakan pintu mobil untuk Aruna, rela memberikan jaket atau mantelnya saat udara dingin. Meski begitu, Aruna masih saja merasa kalau perlakuan Leonhard ini adalah salah satu bentuk perhatian yang sampai membuatnya berbunga-bunga dan mabuk kepayang, mungkin karena Aruna telah mencintai pria itu. “Kepala bagian produksi namanya pak Robby, Pak Leon bisa banyak bertanya nanti sama beliau.” Aruna membuat topik pembicaraan. Dan karena sekarang paha Aruna telah tertutup jas, Leonhard jadi bisa menyerongkan sedikit posisi tubuhnya demi bisa menatap wajah Aruna untuk menanggapi topik pembicaraan tersebut. Leonhard dan Aruna larut dalam obrolan seputar pabrik dan bahan baku yang akan mereka survei sekarang. Aruna pandai menutupi perasaanya, dia tidak canggung atau gugup menghadapi Leonhard bahkan berani menatap mata indah pria itu. Sebagai lawan bicara, Leonhard merasa nyaman dan senang mengobrol dengan Aruna yang cerdas dan pintar dalam menyampaikan sebuah informasi serta bijak dalam menanggapi pendapatnya. Ada satu hal yang menarik perhatian Leonhard ketika mengobrol dengan Aaruna, gadis itu tidak berhenti mengusap pelan ibu jarinya di bagian kerah jas yang menyelimuti paha. Usapan Aruna begitu lembut seringan bulu seolah gadis itu sedang mengusap salah satu bagian tubuh Leonhard, setidaknya itu yang terbesit dalam benak Leonhard. Waktu berlalu, puluhan kilometer telah terlewati dan tanpa terasa mereka hampir sampai di tempat tujuan. “Loh kok … jalannya jadi rusak gini ya, perasaan sebulan lalu masih bagus,” gumam Aruna saat merasakan goncangan kuat di dalam mobil padahal mobil mewah Leonhard memiliki suspensi yang paling bagus di antara mobil mewah lainnya. Leonhard tidak bisa berkomentar karena dia tidak tahu bagaimana keadaan sebulan lalu. “Maaf Pak, Bu!” seru sang driver karena salah mengambil jalan membuat guncangan semakin dahsyat dan karena hal itu Aruna bergerak mencari pegangan di saat yang sama Leonhard mengulurkan tangannya untuk membantu Aruna. Refleks Aruna menggenggam tangan Leonhard cukup erat sementara satu tangan pria itu menahan tubuh Aruna agar tidak tersungkur ke depan. Posisi meresahkan di mana Leonhard setengah memeluknya itu membuat Aruna menahan nafas, dalam hati Aruna berharap kalau waktu berhenti berputar. “Emm … maaf, Pak ….” Aruna mendongak membuat wajah mereka begitu dekat sampai Aruna dapat mencium aroma mint dari nafas Leonhard. “Bu Aruna baik-baik aja?” Pria itu malah bertanya balik disertai raut khawatir dengan kerutan di antara alis dan sorot mata teduh. “Iya ….” Aruna menjauh, melepaskan diri dari Leonhard karena sialnya jalan yang dilalui sudah lebih baik tidak sejelek tadi. Aruna merapihkan pakaiannya, setengah mati menyembunyikan segala perasaan yang bergejolak di dada. Dia tidak ingin Leonhard tahu kalau telah tumbuh sebongkah cinta di hatinya untuk pria itu, Aruna gengsi. Sampai di pabrik, Aruna dan Leonhard disambut pak Robby yang berdiri tepat di samping mobil Leonhard yang baru saja berhenti. Leonhard turun dari pintu di sampingnya begitu juga Aruna namun ternyata tekstur tanah di parkiran pabrik sangat buruk , sama seperti jalanan yang mereka lewati tadi sementara saat ini Aruna menggunakan heels. Aruna menatap nanar heels mahalnya sampai sebuah tangan terulur ke depan menyadarkan gadis itu. “Ayo … saya bantu.” Leonhard tidak memiliki maksud apapun, dia tulus ingin membantu. Aruna mendongak lalu tersenyum, dengan senang hati menerima bantuan Leonhard, menggenggam tangan pria itu untuk turun dari mobil. “Selamat siang Bu Aruna … Pak Leon,” sapa pak Robby ramah. “Siang Pak!” sahut Leonhard dan Aruna kompak sembari berjabat tangan. “Pak … kok jalanannya jadi jelek gini? Satu bulan lalu waktu saya datang masih bagus.” Aruna bertanya setengah menggerutu. “Kemarin ada banjir bandang yang membuat tanahnya basah yang kemudian dilalui mobil-mobil besar jadi ketika mengering tanahnya akan membentuk jejak ban … itu yang membuat jalannya jadi rusak.” Pak Robby menjelaskan. “Oh ….” Aruna bergumam. “Dan mohon maaf nih, Bu … pabrik yang kita kunjungi ada di belakang melewati jalan seperti ini … bugy car tidak bisa digunakan di jalan bertekstur seperti ini jadi mau tidak mau kita harus berjalan kaki … apa Bu Aruna perlu saya carikan sendal jepit?” Pak Robby menawarkan. “Hah? Sendal jepitnya merek apa, Pak?” Sempat-sempatnya Aruna bertanya demikian. Maklum saja, dia anak konglomerat. Sendal jepit yang biasa dia gunakan seharga belasan juta. Pak Robby tertawa. “Sendal jepit biasa yang ada di warung.” Leonhard menoleh menatap Aruna. “Saya ada sepatu kets di mobil tapi ukurannya besar ….” “Enggak usah, aku pake sepatu ini aja.” Aruna memutuskan tidak menerima bantuan dua pria tersebut dari pada menggunakan sepatu yang tidak sesuai dengan ukuran dan kepribadiannya. “Kalau begitu mari ….” Pak Robby merentangkan tangan ke depan lantas berjalan lebih dulu memandu Aruna dan Leonhard. Cara jalan Aruna jadi tertatih membuatnya lambat dan sesekali nyaris tersungkur. Leonhard adalah pria yang sabar, dia tidak merasa kesal dengan keadaan Aruna malah prihatin. “Silahkan pegang tangan saya untuk berpegangan,” kata Leonhard mengulurkan tangannya. Aruna menatap Leonhard sebentar sebelum akhirnya menerima bantuan pria itu dengan melingkarkan tangan di lengan berotot milik Leonhard. Tadinya Aruna mengutuk banjir yang telah membuat jalanan rusak tapi sekarang dia malah mensyukurinya. Namun sampai di sini pun, Leonhard masih belum merasakan getaran apapun kepada Aruna. Dia hanya bersikap sebagai pria sejati yang harus membantu seorang perempuan terlebih Aruna adalah anak dari klien bisnisnya dan orang yang akan selalu berhubungan intens dengannya untuk urusan bisnis selama beberapa waktu ke depan. Perlu diketahui kalau sesungguhnya Leonhard adalah tipe pria yang tidak mudah tergoda oleh wanita.Aruna mengawasi Leonhard dan pak Robby dari jauh, dia tidak bisa membantu pak Robby untuk mendapatkan tender ini karena sang klien datang langsung menilai.Dan entah karena kharisma atau kejelian Leonhard serta insting kuat yang dimilikinya sampai mampu membuat pak Robby kelabakan menjawab pertanyaan pria itu.Aruna bisa melihat raut kecewa di wajah tampan Leonhard.Beberapa saat kemudian pak Robby dan Leonhard datang mendekati Aruna yang berdiri di pintu keluar.“Terimakasih pak Robby, akan saya pertimbangkan hasil survei kali ini ….” Leonhard tidak ingin berlama-lama, dia menjabat tangan pak Robby untuk berpamitan.“Mungkin nanti saya yang akan menginfokan kepada Pak Robby hasil dari keputusan Pak Leon,” kata Aruna menjadi penengah.“Ya … itu bagus,” balas Leonhard setuju.“Baik, Pak Leon … Bu Aruna … saya tunggu kabar baiknya,” ujar pak Robby penuh harap.Pak Robby mengantar Aruna dan Leonhard ke area depan pabrik.Sama seperti perginya, saat kembali ke parkiran mobil pun
“Pagi Pak Leon,” sapa Aruna ketika membuka pintu mobil.Senyum manis merekah di bibirnya yang dipoles liptint warna pink.“Pagi Bu Aruna,” balas Leonhard hangat dan ramah.“Papi baru aja pergi anter mami ke Bali jadi Pak Leon enggak perlu minta ijin,” kata Aruna menyambung pembicaraan tadi malam sebelum sempat Leonhard bersuara tentang mampir untuk pamit kepada kliennya tersebut.“Oh ….” Leonhard tertawa dan lagi-lagi suara bariton seksinya membuat Aruna ingin dijamah pria itu di atas ranjang.Bayangkan saja, Aruna dengan hormon remaja menginjak dewasanya belum pernah disentuh oleh pria asing manapun bahkan ciuman pertama belum pernah dia dapatkan.Itu karena Aruna memiliki lima bodyguard yang selalu mengekangnya. “Baiklah,” sambung Leonhard mengerti.Mobil pun melaju usai driver memasukan koper Aruna ke kabin belakang.Leonhard mengamati cara berpakaian Aruna yang lebih casual tapi tetap tidak meninggalkan kesan old money.Aruna tidak memakai stelan blazer dengan pinsil sk
“Mohon maaf hanya ada satu kamar … tapi saya jamin aman, tidak akan ada penggerebekan,” kata resepsionis saat Aruna meminta dua kamar untuk dirinya dan Leonhard.Leonhard dan Aruna saling menatap.“Apa ada hotel lain sekitar sini?” Leonhard bertanya kepada sang resepsionis.“Enggak ada.” Dan pria resepsionis serta Aruna kompak menjawab.“Kalau tidak mau tidur di bed yang sama, saya bisa sediakan bed tambahan … kamarnya cukup luas kok dan saya jamin aman,” ulang pria itu lagi di akhir kalimat.“Bukan gitu … masalahnya kami bukan pasangan.” Aruna bergumam meski sebenarnya hatinya jumpalitan di dalam sana.“Wahai semesta … mengapa engkau kooperatif sekali,” kata Aruna di dalam hati, ingin rasanya menjerit bahagia. “Ya siapa tahu setelah pulang dari sini jadi pasangan,” kata pria muda di balik meja resepsionis diakhiri tawa kering karena baik Leonhard dan Aruna memberikan tatapan malas.“Pak Leon keberatan enggak kalau kita satu kamar?” Aruna bertanya dengan tampang datar biasa y
“By the way, ini ‘kan bukan jam kerja … Pak Leon panggil saya Aruna aja … lagian usia kita terpaut jauh lebih tua Pak Leon.” Aruna mulai mencoba untuk lebih dekat dengan Leonhard.“Baiklah, tapi saya juga enggak mau dipanggil dengan sebutan Bapak ya … usia kita enggak beda jauh kok jadi panggil saya Leon aja.” Leonhard memberi syarat.“Ya ampun … pake aku kamu juga enggak?” Aruna membatin.“Kita santai aja ya kalau lagi berdua atau di luar jam kerja … karena mungkin kita akan terhubung selama beberapa tahun ke depan,” cetus Leonhard seolah bisa mendengar apa kata hati Aruna.“Okeee … ide bagus.” Aruna pun setuju.Bersamaan dengan itu soto pesanan mereka sampai.“Kamu benar, sotonya enak ….” Leonhard berujar setelah menghabiskan satu mangkuk soto.“Syukurlah kalau kamu suka,” kata Aruna lega.Eee … cieee, sekarang mereka sudah menggunakan panggilan aku kamu sebentar lagi mungkin sayang.Sepertinya Aruna sedang dikelilingi keberuntungan kar
Pagi sekali Aruna dan dua asistennya sudah memenuhi ruang meeting di gedung AG Group yang dipimpin oleh Arkana Gunadhya.Mereka sedang menyiapkan rapat penting untuk merumuskan kontrak bisnis antara AG Group dengan perusahaan yang dikelola oleh Leonhard.Selang berapa lama tim support datang, Aruna berkoordinasi dengan mereka untuk memberikan data yang nanti akan ditampilkan.Saat jam menunjukkan pukul delapan pagi, Leonhard datang bersama orang-orang dari perusahaannya yang berkepentingan dalam proyek ini.“Selamat pagi!” sapa Leonhard saat memasuki ruang meeting.Sontak semua orang termasuk Aruna menoleh ke arahnya.“Pagi!” sahut Aruna serta yang lain bersamaan.Leonhard melangkah mendekati Aruna yang berdiri di ujung meja rapat sedang menyiapkan data di MacBook papinya.Sementara satu orang dari tim support mempersilahkan rombongan yang membersamai Leonhard untuk sarapan pagi di ruangan sebelah.“Hai …,” sapa Leonhard sembari menatap Aruna lekat.Aruna merasa tatapan Leon
Meeting dilanjutkan keesokan harinya tapi tanpa papi Arkana yang telah memiliki janji dengan klien lain.Meski begitu tetap dilakukan secara serius dan kondusif.Seperti meeting kemarin, meeting hari ini pun Leonhard dan Aruna duduk bersisian.Tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut karena Leonhard yang tidak memiliki Sourching Spesialist turun langsung dalam memilih bahan baku sehingga pasti selalu berhubungan dengan Aruna.Hanya Tasya dan Tezaar yang peka kalau ada benih-benih cinta di antara Leonhard dan Aruna, pasalnya dari tatapan serta gesture tubuh Leonhard setiap kali bicara dengan Aruna menunjukkan kekaguman dan minat yang besar.Pernah tanpa sadar Leonhard terus menatap Aruna yang tengah menjelaskan sesuatu.Semua orang juga menatap Aruna tapi tatapan Leonhard berbeda, matanya berbinar dengan seulas senyum di bibir.“Fix … pak Leon juga suka sama bu Aruna.” Tezaar berkomentar.“Sssttt ….” Tasya mendesis, menempelkan telunjuknya di bibir karena suara Tezaar nyari
Ting …Tong …Aruna bergegas berlari menuju pintu unit apartemennya sesaat setelah mendengar suara bel.Tidak lupa dia memeriksa kembali penampilannya di cermin besar dekat pintu.Aruna merasa harus terlihat sempurna karena tamu yang datang ke apartemen yang baru dihuninya tiga hari ini adalah Leonhard dan Reynaldi.Ceklek …Begitu pintu apartemen terbuka, tatapan Aruna dan Leonhard bertemu.“Selamat malam Aruna ….” Leonhard menyapa seraya memberikan satu paperbag berisi dessert dari toko kue ternama.“Selamat malam, Leon … kenapa repot-repot,” kata Aruna mengecek isi paperbag.Leonhard menanggapi dengan senyuman.Aruna celingukan mencari sosok lain tamunya selain Leonhard.“Reynaldi enggak bisa ikut, mendadak dia ada urusan.” Leonhard memberi tahu.“Jadi, cuma kita berdua?” Aruna membatin.“Oh … kalau gitu silahkan masuk.” Aruna mundur beberapa langkah untuk memberi ruang kepada Leonhard.“Tadinya mau aku batalin
Setelah menutup pintu, Aruna bersandar pada benda tersebut kemudian melorotkan tubuhnya hingga terduduk di lantai.“Leon sudah mulai notice, iya kan? Dia mulai ada rasa sama aku, iya kan?” Aruna bertanya pada dirinya sendiri.“Dari kemarin dia natap aku terus, udah gitu tadi ngusap bahu aku dan sebelum pulang muji aku lucu … apalagi alasannya kalau dia udah mulai suka sama aku, iya kan?” Aruna bertanya lagi tapi tidak ada yang bisa menjawab karena hanya dirinya sendirian di apartemen.Aruna bangkit dari lantai, meletakan kedua telapak tangannya di pipi yang terasa hangat karena belum berhenti tersipu.Dia pergi ke kamarnya untuk mencuci wajah di wastafel di dalam kamar mandi.Setelah mengusap wajahnya menggunakan air, Aruna bercermin sembari mengipas-ngipas wajahnya yang masih terasa panas dengan tangan.“Terus setelah ini aku harus gimana? Masih pura-pura jual mahal, kah? Atau ceritanya peka terus nyambut setiap kode dari dia gitu? Atau gimana? Ya Tuhan, Aruna harus gimana? Aru
Tok …Tok …Ceklek …Aruna dan Arumi yang sedang asyik mengobrol seketika menoleh ke arah pintu.Sosok Reynand masuk memunculkan senyum di bibir kedua perempuan cantik itu namun pudar ketika sosok perempuan ikut masuk mengikuti Reynand dari belakang.“Aruna … kamu udah makan malem? Aku bawain makanan ini, tadi Danisa yang beli.” Reynand menunjuk gadis yang kini berdiri di sampingnya.Arumi dan Aruna masih bingung, keduanya menatap Reynand dan gadis bernama Danisa secara bergantian.“Oh … ini Danisa, mamanya lagi dirawat di sini juga, beberapa hari lalu kami bertemu di coffe shop ….” Lalu Reynand beralih ke Danisa. “Danisa, kenalin ini Arumi adik aku dan Aruna kakak sepupu aku.” Danisa mengulurkan tangan sembari tersenyum ramah.“Hallo … aku Danisa.” Danisa memperkenalkan diri.Meski masih heran karena setau mereka—Reynand adalah sosok pendiam, dingin dan tertutup kepada orang baru apalagi perempuan tapi Arumi dan Aruna mencoba menya
Sikap Tasya berubah seratus delapan puluh derajat menghadapi Tezaar.Dia butuh waktu untuk menata hatinya setelah penolakan Tezaar kemarin dan tentunya menerima kenyataan kalau pria itu akan menikah.Karena pekerjaan mereka dilakukan tanpa mengobrol dan sungguh-sungguh jadi lah pekerjaan cepat selesai.Sebelum sore mereka sudah dalam perjalanan kembali ke Jakarta namun karena berbarengan dengan jam pulang kerja, jadilah Tasya dan Tezaar harus melewati kemacetan.Saat pergi tadi Tezaar sengaja duduk di depan di samping driver untuk memberi Tasya ruang agar bisa menerimanya kembali dan sekarang saat pulang Tezaar memilih duduk di kabin belakang bersama Tasya yang duduknya terlalu mepet ke pintu seakan enggan berdekatan dengannya.Tezaar menoleh menatap Tasya yang pandangannya lurus ke depan dengan kepala bersandar pada kaca jendela, gadis itu sedang melamun.“Hei … laper enggak?” Tezaar bertanya memulai pembicaraan karena sepanjang jalan baik pergi tadi maupun sekarang saat pulang
Sampai di depan ruangan Arumi, Aruna langsung membuka pintunya.Di dalam sana masih ada om Kaivan dan tante Zhafira.“Om … Tante … pulang aja, biar Arumi sama aku,” kata Aruna setelah menyalami kedua orang tua Arumi diikuti Leonhard.“Oke deh, kami pulang dulu ya … mungkin Tante sama om agak lama di Bandung jadi nanti Arumi ditemani Reynand.” Tante Zhafira memberitahu.“Oke Tante … Om, hati-hati di jalan.” “Titip Arumi, ya sayang.” Tante Zhafira berpesan.“Kami duluan Pak Leon,” ujar om Kaivan saat meninggalkan ruangan dan berbalas anggukan kepala dari pria itu.“Kapan mulai theraphy?” Aruna bertanya seraya meletakan paperbag berisi dessert kesukaan Arumi di atas meja.“Minggu depan.” Arumi menjawab.“Lekas sembuh ya Arumi.” Leonhard akhirnya buka suara.“Makasih Pak Leon.” Arumi menyahut.Leonhard mengangguk sambil tersenyum tipis.“Aku pulang ya.” Leonhard pamit kepada Aruna.Aruna mendekat kemudian memeluk Leonhard
“Amore ….” Enzo yang duduk di tepi ranjang meraih satu tangan Arumi yang bebas.Malam hampir larut, hanya ada mereka berdua saja di ruangan itu karena papa dan mama sudah pulang untuk beristirahat.“Besok aku akan pulang ke Italia untuk menyelesaikan beberapa urusan di sana lalu aku akan kembali untuk membangun bisnis dengan papa kamu di sini dan menikahi kamu … kamu tunggu aku ya, aku usahakan hanya seminggu di Italia.” Arumi menggelengkan kepala. “Pergilah Enzo, tapi aku tidak akan menunggumu … jangan berjanji apa-apa … kamu bebas, aku tidak berharap apapun padamu.” Bukannya Arumi sok jual mahal tapi justru dia tidak ingin membuat Enzo terikat karena sadar diri dengan keadaannya.Menurutnya, Enzo adalah pria baik dan berhak mendapatkan wanita yang sempurna.Enzo terkekeh, dia tidak mengambil hati ucapan Arumi justru sangat mengerti makna tersembunyi dibalik ucapannya itu.Bergerak ringan, Enzo membaringkan tubuhnya di samping Arumi dalam posisi miring kebetulan ranjang pasi
Om Kaivan dan tante Zhafira baru saja keluar dari ruangan mami Zara setelah sebelumnya dokter Patologi menjelaskan hasil lab yang kini tengah tante Zhafira peluk.Keduanya melangkah pelan dengan tatapan kosong menuju kamar Arumi.Sampai di sana, mereka melihat Arumi sedang disuapi makan siang oleh Enzo.Pria itu begitu tekun merawat Arumi pagi siang malam tanpa lelah atau pun mengeluh padahal Arumi belum memutuskan menerima cintanya.“Mau Mama atau Papa aja yang sampaikan hasil lab ini ke Arumi?” Om Kaivan meminta pendapat istrinya.“Papa aja, Papa yang paling dekat dengan Arumi.” Tante Zhafira mengusap pundak suaminya kemudian mendorong pelan untuk masuk ke dalam ruang rawat itu.Enzo dan Arumi seketika menoleh saat sosok om Kaivan mendekat ke area ranjang pasien.Enzo tidak sengaja mengalihkan pandangan ke arah sofa set di mana di atas mejanya terdapat MacBook yang terbuka sebagai media Enzo memantau pekerjaan di Italia, di sana juga telah duduk tante Zhafira yang memberi kod
Tok …Tok …Tasya yang sedang mager akhirnya harus bangkit dari peraduannya karena mendengar suara pintu diketuk.“Siapa lagi sih hari sabtu gini ganggu aja.” Dia menggerutu karena merasa tidak memiliki janji dengan Rocky.Mengingat di Jakarta Tasya hanya memiliki om Roger dan kini sedang dekat dengan Rocky jadi kehidupannya hanya seputar mereka selain pekerjaan.Ceklek … “Tezaar.” Tasya bergumam dengan mata membulat dan kedua alis terangkat tidak pernah menyangka Tezaar akan berada di depan pintu kossannya.“Tasya … boleh aku masuk?” Raut wajah Tezaar tampak sendu.“Masuk aja ….” Tasya membuka pintu lebar-lebar.Tezaar duduk di satu-satunya sofa yang ada di sana.Sofa yang menghadap televisi itu hanya cukup untuk dua orang jadi mau tidak mau Tasya dan Tezaar berdesakan di sofa itu.Tezaar merogoh tasnya lalu mengeluarkan sebuah undangan pernikahan berwarna coklat.“Perut Marisa semakin besar, aku harus segera menikahi dia
Aruna tahu kalau papinya yang memiliki jasa keamanan swasta telah mengutus seseorang untuk mengawasi.Bisa jadi orang itu adalah Pilot dari privat jet sewaan tuan Lee yang akan ditumpanginya sekarang atau mungkin awak kabin atau bisa jadi driver yang menjemput mereka nanti di Korea, staf hotel atau mungkin mereka semua adalah orang suruhan papi Arkana.Dan Aruna tidak peduli, sama sekali tidak peduli.Mobil yang ditumpanginya bersama Leonhard berhenti di depan sebuah privat jet, Aruna turun dibantu Leonhard dan sampai naik ke dalam pesawat, pria itu tidak melepas genggaman tangannya.Di dalam sana sudah ada Nova dan Dewa yang duduk bersebelahan.Baru sekarang Aruna bertemu lagi dengan Nova dan seketika suasana menjadi canggung.Nova bangkit dari sofa mengulurkan tangan.“Apakabar Aruna,” sapanya ramah.“Kabar baik … kamu dan adik bayi apa kabar?” Aruna balas bertanya.Nova menundukan kepala mengusap perutnya lalu berkata, “Kami baik.” Dia pun menjawab.Tatapan Aruna beralih
“Papiiiii!!!!” Aruna berlarian dari lantai dua memburu papi yang baru saja masuk ke dalam rumah bersama mami.“Loh! Belum tidur.” Papi menghentikan langkahnya di ujung tangga paling bawah dan otomatis langkah mami juga terhenti.Aruna memeluk dada bidang papi yang dibalas beliau dengan pelukan erat.Papi terkekeh meningkahi sikap manja Aruna. “Ada apa?” Papi Arkana bertanya.“Papi, boleh besok Aruna ikut Leon anter istrinya kontrol kandungan ke Korea?” tanya Aruna mendongak sembari menunjukkan puppy eyes menggemaskan.Papi langsung mengalihkan pandangan ke mami yang masih berdiri di sampingnya.“Bilang enggak boleh, Pi.” Arnawarma yang menimpali dari sofa panjang.Aruna mencebikan bibirnya kesal bersama delikan sebal.“Kamu mau ganggu momen bahagia mereka?” Papi Arkana sedang bersarkasme.“Piiii, Dewa pacarnya Nova juga ikut kok … dia enggak mengijinkan Nova berdua aja sama Leon.” Aruna memohon.“Terus nanti ‘kan di sana Leon sama Nova pasti menginap di rumah keluarganya Leo
Baru kali ini Aruna melihat Arumi tampak putus asa padahal biasanya Arumi selalu bisa mengatasi beragam masalah yang muncul dalam hidup bahkan memberi saran terbaik layaknya wanita dewasa.“Kalau dia enggak mencintai kamu, dia enggak akan nungguin kamu di sini selama satu minggu.” Aruna memperkuat apa yang sudah Enzo katakan sebelumnya.Arumi terpekur lama sekali sampai ketika ditegur, dia memilih untuk pura-pura tidur.Hatinya sedang gundah gulana saat ini, dia yang mengalaminya jadi biarkan dia menikmatinya sendiri.Meski matanya terpejam tapi air mata Arumi tidak berhenti mengalir, diam-diam menyusut buliran kristal ungkapan kesedihan itu agar tidak ada yang menyadarinya.Tapi Enzo yang fokusnya hanya untuk Arumi seorang menangkap gerak-gerik ganjil tersebut.Setelah keluarga Arumi pulang menyisakan mereka berdua saja di ruangan itu, Enzo duduk di tepi ranjang Arumi.“Aku tahu kamu enggak tidur,” kata Enzo membuat kelopak mata Arumi terbuka.“Dari tadi kamu menangis tapi ka