Aruna mengawasi Leonhard dan pak Robby dari jauh, dia tidak bisa membantu pak Robby untuk mendapatkan tender ini karena sang klien datang langsung menilai.
Dan entah karena kharisma atau kejelian Leonhard serta insting kuat yang dimilikinya sampai mampu membuat pak Robby kelabakan menjawab pertanyaan pria itu. Aruna bisa melihat raut kecewa di wajah tampan Leonhard. Beberapa saat kemudian pak Robby dan Leonhard datang mendekati Aruna yang berdiri di pintu keluar. “Terimakasih pak Robby, akan saya pertimbangkan hasil survei kali ini ….” Leonhard tidak ingin berlama-lama, dia menjabat tangan pak Robby untuk berpamitan. “Mungkin nanti saya yang akan menginfokan kepada Pak Robby hasil dari keputusan Pak Leon,” kata Aruna menjadi penengah. “Ya … itu bagus,” balas Leonhard setuju. “Baik, Pak Leon … Bu Aruna … saya tunggu kabar baiknya,” ujar pak Robby penuh harap. Pak Robby mengantar Aruna dan Leonhard ke area depan pabrik. Sama seperti perginya, saat kembali ke parkiran mobil pun Leonhard membantu Aruna melewati jalan jelek dengan merelakan tangannya dipeluk, digenggam sampai dicengkeram gadis cantik itu. Begitu bokong mereka duduk di kabin belakang mobil, Aruna langsung mengajak Leonhard berdiskusi. “Gimana menurut Pak Leon? Apa Pak Leon setuju kalau kita menggunakan bahan baku dari sini?” Leonhard menoleh menatap Aruna sembari menyerongkan posisi duduknya membuat lulut mereka bertemu dan sepertinya Leonhard tidak menyadari hal itu. “Dari yang saya tangkap tadi, banyak sekali kekurangannya … dari harga sangat murah tapi saya tidak melihat adanya quality control yang baik di sana sehingga hasil dari produksi bahan baku diragukan kualitasnya ….” Leonhard memberi jeda, matanya menatap Aruna lekat. Tersirat perasaan segan yang bisa ditangkap dengan baik oleh Aruna. “Saya mengerti Pak,” kata Aruna maklum. “Maaf ya Bu, saya harus melakukan yang terbaik untuk proyek ini karena ini proyek besar.” Aruna tersenyum lebar yang membuatnya tampak semakin cantik sebelum akhirnya merespon ucapan Leonhard. “It’s oke … saya kagum lho sama Bapak karena mau turun langsung survei ke pabrik … biasanya bagian Sourching spesialist seperti saya yang survei.” Leonhard tertawa kecil, suara bariton seksinya membuat bulu kuduk Aruna meremang. Tapi Aruna tidak bohong, dia semakin jatuh cinta setelah melihat kinerja Leonhard untuk perusahaannya. Pria itu tanpa segan mencecar pak Robby dengan banyak pertanyaan untuk memastikan kalau bahan baku yang akan digunakan adalah yang terbaik. “Saya baru saja memecat Sourching Spesialis karena terbukti mendapat suap dari klien.” Leonhard jadi curhat. “Ooh ….” Aruna bergumam. “Sebenarnya ada satu pabrik lagi penghasil bahan baku terbaik tapi ada di kota kecil di Jawa Tengah ….” Kalimat Aruna menggantung. “Itu berarti akan ada cost untuk pengiriman.” Aruna menganggukan kepala membenarkan ucapan Leonhard. “Kalau Pak Leon mau survei … bisa saya antar.” Ekspresi wajah dan gesture tubuh Aruna tampak biasa saja tapi sesungguhnya di dalam hati dia sedang harap-harap cemas menunggu keputusan Leonhard, apakah mereka akan melakukan bisnis trip ke luar kota atau tidak dan Aruna sangat berharap kalau Leonhard mengiyakan. Beberapa saat hening, Leonhard tampak berpikir. “Apa Bu Aruna ada waktu?” Leonhard akhirnya bertanya. “Tentu ada … apa sih yang enggak buat kamu, sayang.” Yang hanya bisa Aruna ungkapkan di dalam hati. “Pak Leon bisanya hari apa? Biar saya atur jadwal saya.” Padahal Aruna tidak memiliki jadwal, Leonhard adalah satu-satunya klien pegangannya karena Aruna baru menduduki jabatan ini, Aruna hanya ingin terlihat sibuk. “Bagaimana kalau besok? Besok saya tidak memiliki jadwal meeting tapi apa kita harus menginap?” Ingin rasanya Aruna salto mendengar pertanyaan itu. “Sepertinya begitu tapi kalau urusan kita cepat selesai dan memungkinkan untuk kembali ke Jakarta … kita bisa langsung pulang.” “Baiklah … tapi sepertinya kita harus pergi lebih pagi.” “Setuju, tapi bagaimana kalau Pak Leon jemput saya ke rumah?” “Oh begitu?” Leonhard terkekeh. “Apa perlu saya juga minta ijin sama pak Arkana karena akan membawa anak gadisnya ke luar kota?” sambung Leonhard bermaksud bercanda sama sekali bukan ingin menggoda. Aruna jadi tersipu, beruntung dia memiliki pipi berwarna pink alami jadi saat merona seperti sekarang tidak terlalu kentara. “Baiklah Bu Aruna, Terimakasih untuk hari ini … sampai jumpa besok, saya jemput ke rumah pagi sekali.” Mobil telah berhenti tepat di lobby gedung kantor AG Group. “Sampai bertemu besok, Pak Leon ….” Aruna membalas sambil membuka pintu mobil lalu turun. Aruna langsung masuk ke dalam gedung, tidak memberikan lambaian tangan atau menunggu mobil Leonhard keluar dari pelataran parkir pasalnya dia sudah tidak dapat menahan senyum berbunga-bunga di bibirnya. “Ih si ibu kenapa?” gumam Intan-sang resepsionis bertanya-tanya setelah Aruna melewati mejanya. *** “Bagaimana survei kamu tadi sama pak Leon?” Papi Arkana bertanya di tengah makan malam. Tumben sekali Aruna bisa makan malam bersama papi mami tapi sayang kedua kakaknya yang belum menikah masih memiliki urusan di luar sehingga mereka harus makan malam tanpa Reyzio dan Narashima. “Pak Leon itu ketat banget, Pi … dia banyak maunya … yang biasanya pak Robby lolos-lolos aja kalau disurvei klien, kali ini kelabakan Pi … dia banyak enggak bisa jawab pertanyaan pak Leon.” Aruna menceritakan. “Wah … karena ya anak muda itu, dia berarti concern banget sama keberlangsungan perusahaannya.” Papi Arkana berpendapat. “Terus gimana? Gagal donk ambil bahan baku dari pak Robby … tapi kita masih punya satu cadangan pabrik lagi, kan?” Aruna menganggukan kepala merespon cepat ucapan papi Arkana. “Udah Aruna tawarkan … dan dia bersedia survei dulu.” Aruna memberikan penjelasan. “Kapan? Sama kamu?” Papi Arkana bertanya. “Besok … mau Papi yang anter pak Leon?” Dalam hati Aruna berharap sang papi menjawab tidak. “Papi ada acara … ya ‘kan Mi?” Papi Arkana mencolek dagu istrinya yang sedari tadi diam saja. “Tahu ah, kalian itu mentang-mentang satu kantor … sebentar-sebentar ngomongin bisnis, apalagi kalau udah ada abang Ghaza, mas Nawa, kak Rey sama mas Nara … Mami dicuekin.” Mami Zara mengerucutkan bibirnya, matanya mendelik manja. Papi Arkana dan Aruna tergelak. “Jangan gitu atuh Mi ….” Aruna membujuk. “Cieee, marah … kesel … ‘kan besok kita mau ke Bali,” kata papi Arkana mengingatkan. “Ada apa di Bali?” Aruna bertanya. “Ada seminar dari IDI berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan … mami sebagai pemilik Rumah Sakit harus hadir dan tentunya dianter Papi biar sekalian honeymoon.” Papi Arkana menunjukkan tampang jenaka mengangkat kedua alisnya berkali-kali. “Iiiih jijik … udah tua juga.” Aruna bergidig. Mami Zara dan papi Arkana tergelak sebagai respon kegelian Aruna. “Jadi kamu aja yang temenin pak Leon ya, ‘kan itu calon klien kamu … kamu tunjukin kemampuan kamu, tapi kalau kamu nyerah … Silahkan lambaikan tangan ke kamera.” “Apaan sih, Pi … ah, udah Aruna bilang enggak ada kata menyerah pokoknya.” Aruna bangkit dari kursi. “Aruna udah selesai makan malamnya, Aruna mau tidur karena besok pagi banget pak Leon jemput … pokoknya Aruna enggak mau punya adik ya, jangan macem-macem Papi sama Mami di Bali.” Mami Zara dan papi Arkana kembali mencetuskan gelak tawa saat Aruna membawa langkahnya pergi dari ruang makan menuju kamar. Sampai di kamar, Aruna langsung mengeluarkan koper untuk menyiapkan segala keperluan bisnis trip ke luar kota bersama Leonhard. Dia mengobrak-abrik lemarinya mencari baju tidur semi lingery two pieces untu dikenakan nanti. Aruna akan mengkondisikan kalau mereka menginap dan kalau bisa tidur satu kamar. “Kayanya aku jodoh sama pak Leon, buktinya semesta selalu memberi jalan … bisa-bisanya pak Leon enggak sreg sama bahan baku dari pabrik pak Robby ….” Aruna bermonolog, pipinya kembali merona mengingat kalimat bercanda Leonhard tentang pamit kepada papi Arkana karena akan membawanya keluar kota. “Ya ampun … dia tuh udah kaya pacar aja.” Aruna menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan sembari menghentakan kedua kaki. Aruna masih percaya kalau Leonhard adalah pria single, pasalnya tidak ada cincin di jari manis pria itu dan seharian bersama Leonhard—Aruna tidak melihat pria itu mendapat panggilan telepon atau chat dari kekasih atau istri. Aruna duduk di samping Leonhard selama perjalanan pulang dan pergi ke pabrik, matanya langsung jeli ketika mengetahui Leonhard mendapat pesan dan pesan-pesan yang masuk itu berasal dari orang kantor atau klien dan tidak ada satu pesan dari seorang wanita membuat Aruna semakin yakin kalau Leonhard itu pacarable. Lalu, apakah yang akan terjadi di antara mereka saat perjalanan bisnis nanti? Ikutin terus ceritanya ya, jangan mikir yang berat-berat dulu biar enggak stress 😛 Karena kalau bisa ringan kenapa harus dibuat berat? 😁“Pagi Pak Leon,” sapa Aruna ketika membuka pintu mobil.Senyum manis merekah di bibirnya yang dipoles liptint warna pink.“Pagi Bu Aruna,” balas Leonhard hangat dan ramah.“Papi baru aja pergi anter mami ke Bali jadi Pak Leon enggak perlu minta ijin,” kata Aruna menyambung pembicaraan tadi malam sebelum sempat Leonhard bersuara tentang mampir untuk pamit kepada kliennya tersebut.“Oh ….” Leonhard tertawa dan lagi-lagi suara bariton seksinya membuat Aruna ingin dijamah pria itu di atas ranjang.Bayangkan saja, Aruna dengan hormon remaja menginjak dewasanya belum pernah disentuh oleh pria asing manapun bahkan ciuman pertama belum pernah dia dapatkan.Itu karena Aruna memiliki lima bodyguard yang selalu mengekangnya. “Baiklah,” sambung Leonhard mengerti.Mobil pun melaju usai driver memasukan koper Aruna ke kabin belakang.Leonhard mengamati cara berpakaian Aruna yang lebih casual tapi tetap tidak meninggalkan kesan old money.Aruna tidak memakai stelan blazer dengan pinsil sk
“Mohon maaf hanya ada satu kamar … tapi saya jamin aman, tidak akan ada penggerebekan,” kata resepsionis saat Aruna meminta dua kamar untuk dirinya dan Leonhard.Leonhard dan Aruna saling menatap.“Apa ada hotel lain sekitar sini?” Leonhard bertanya kepada sang resepsionis.“Enggak ada.” Dan pria resepsionis serta Aruna kompak menjawab.“Kalau tidak mau tidur di bed yang sama, saya bisa sediakan bed tambahan … kamarnya cukup luas kok dan saya jamin aman,” ulang pria itu lagi di akhir kalimat.“Bukan gitu … masalahnya kami bukan pasangan.” Aruna bergumam meski sebenarnya hatinya jumpalitan di dalam sana.“Wahai semesta … mengapa engkau kooperatif sekali,” kata Aruna di dalam hati, ingin rasanya menjerit bahagia. “Ya siapa tahu setelah pulang dari sini jadi pasangan,” kata pria muda di balik meja resepsionis diakhiri tawa kering karena baik Leonhard dan Aruna memberikan tatapan malas.“Pak Leon keberatan enggak kalau kita satu kamar?” Aruna bertanya dengan tampang datar biasa y
“By the way, ini ‘kan bukan jam kerja … Pak Leon panggil saya Aruna aja … lagian usia kita terpaut jauh lebih tua Pak Leon.” Aruna mulai mencoba untuk lebih dekat dengan Leonhard.“Baiklah, tapi saya juga enggak mau dipanggil dengan sebutan Bapak ya … usia kita enggak beda jauh kok jadi panggil saya Leon aja.” Leonhard memberi syarat.“Ya ampun … pake aku kamu juga enggak?” Aruna membatin.“Kita santai aja ya kalau lagi berdua atau di luar jam kerja … karena mungkin kita akan terhubung selama beberapa tahun ke depan,” cetus Leonhard seolah bisa mendengar apa kata hati Aruna.“Okeee … ide bagus.” Aruna pun setuju.Bersamaan dengan itu soto pesanan mereka sampai.“Kamu benar, sotonya enak ….” Leonhard berujar setelah menghabiskan satu mangkuk soto.“Syukurlah kalau kamu suka,” kata Aruna lega.Eee … cieee, sekarang mereka sudah menggunakan panggilan aku kamu sebentar lagi mungkin sayang.Sepertinya Aruna sedang dikelilingi keberuntungan kar
Pagi sekali Aruna dan dua asistennya sudah memenuhi ruang meeting di gedung AG Group yang dipimpin oleh Arkana Gunadhya.Mereka sedang menyiapkan rapat penting untuk merumuskan kontrak bisnis antara AG Group dengan perusahaan yang dikelola oleh Leonhard.Selang berapa lama tim support datang, Aruna berkoordinasi dengan mereka untuk memberikan data yang nanti akan ditampilkan.Saat jam menunjukkan pukul delapan pagi, Leonhard datang bersama orang-orang dari perusahaannya yang berkepentingan dalam proyek ini.“Selamat pagi!” sapa Leonhard saat memasuki ruang meeting.Sontak semua orang termasuk Aruna menoleh ke arahnya.“Pagi!” sahut Aruna serta yang lain bersamaan.Leonhard melangkah mendekati Aruna yang berdiri di ujung meja rapat sedang menyiapkan data di MacBook papinya.Sementara satu orang dari tim support mempersilahkan rombongan yang membersamai Leonhard untuk sarapan pagi di ruangan sebelah.“Hai …,” sapa Leonhard sembari menatap Aruna lekat.Aruna merasa tatapan Leon
Meeting dilanjutkan keesokan harinya tapi tanpa papi Arkana yang telah memiliki janji dengan klien lain.Meski begitu tetap dilakukan secara serius dan kondusif.Seperti meeting kemarin, meeting hari ini pun Leonhard dan Aruna duduk bersisian.Tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut karena Leonhard yang tidak memiliki Sourching Spesialist turun langsung dalam memilih bahan baku sehingga pasti selalu berhubungan dengan Aruna.Hanya Tasya dan Tezaar yang peka kalau ada benih-benih cinta di antara Leonhard dan Aruna, pasalnya dari tatapan serta gesture tubuh Leonhard setiap kali bicara dengan Aruna menunjukkan kekaguman dan minat yang besar.Pernah tanpa sadar Leonhard terus menatap Aruna yang tengah menjelaskan sesuatu.Semua orang juga menatap Aruna tapi tatapan Leonhard berbeda, matanya berbinar dengan seulas senyum di bibir.“Fix … pak Leon juga suka sama bu Aruna.” Tezaar berkomentar.“Sssttt ….” Tasya mendesis, menempelkan telunjuknya di bibir karena suara Tezaar nyari
Ting …Tong …Aruna bergegas berlari menuju pintu unit apartemennya sesaat setelah mendengar suara bel.Tidak lupa dia memeriksa kembali penampilannya di cermin besar dekat pintu.Aruna merasa harus terlihat sempurna karena tamu yang datang ke apartemen yang baru dihuninya tiga hari ini adalah Leonhard dan Reynaldi.Ceklek …Begitu pintu apartemen terbuka, tatapan Aruna dan Leonhard bertemu.“Selamat malam Aruna ….” Leonhard menyapa seraya memberikan satu paperbag berisi dessert dari toko kue ternama.“Selamat malam, Leon … kenapa repot-repot,” kata Aruna mengecek isi paperbag.Leonhard menanggapi dengan senyuman.Aruna celingukan mencari sosok lain tamunya selain Leonhard.“Reynaldi enggak bisa ikut, mendadak dia ada urusan.” Leonhard memberi tahu.“Jadi, cuma kita berdua?” Aruna membatin.“Oh … kalau gitu silahkan masuk.” Aruna mundur beberapa langkah untuk memberi ruang kepada Leonhard.“Tadinya mau aku batalin
Setelah menutup pintu, Aruna bersandar pada benda tersebut kemudian melorotkan tubuhnya hingga terduduk di lantai.“Leon sudah mulai notice, iya kan? Dia mulai ada rasa sama aku, iya kan?” Aruna bertanya pada dirinya sendiri.“Dari kemarin dia natap aku terus, udah gitu tadi ngusap bahu aku dan sebelum pulang muji aku lucu … apalagi alasannya kalau dia udah mulai suka sama aku, iya kan?” Aruna bertanya lagi tapi tidak ada yang bisa menjawab karena hanya dirinya sendirian di apartemen.Aruna bangkit dari lantai, meletakan kedua telapak tangannya di pipi yang terasa hangat karena belum berhenti tersipu.Dia pergi ke kamarnya untuk mencuci wajah di wastafel di dalam kamar mandi.Setelah mengusap wajahnya menggunakan air, Aruna bercermin sembari mengipas-ngipas wajahnya yang masih terasa panas dengan tangan.“Terus setelah ini aku harus gimana? Masih pura-pura jual mahal, kah? Atau ceritanya peka terus nyambut setiap kode dari dia gitu? Atau gimana? Ya Tuhan, Aruna harus gimana? Aru
“Sorry Bro, kemarin gue enggak bisa ikut ke apartemen Aruna … padahal gue ingin banget.” Reynaldi berdecak lidah kesal sembari menyimpan kedua tangan di pinggang setelah langkahnya sampai di samping Leonhard yang tengah mengolah tubuh di atas mesin treadmill.“It’s oke, terus gimana keadaan adik lo?” tanya Leonhard menoleh menatap Reynaldi.“Kemarin tiba-tiba adik gue mengalami syok kardiogenik makanya orang rumah sakit telepon gue, tapi mereka tangani dengan baik dan sekarang udah normal tapi ya itu … belum bisa keluar dari ICU.” Tampang Reynaldi tampak sendu.Leonhard mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.“Padahal gue kangen sama Aruna,” seloroh Reynaldi seraya melangkah menuju sofa di sudut ruang gym dan tanpa pria itu tahu kalau Leonhard mendelik sinis padanya.“Si Nova enggak dateng?” Reynaldi bertanya basa-basi setelah menjatuhkan bokongnya di sofa.“Sepi banget ini rumah … kaya rumah bujangan, gue tahu kalau lo sama Nova nikah karena bisnis tapi apa lo enggak bisa bujuk
Tok …Tok …Ceklek …Aruna dan Arumi yang sedang asyik mengobrol seketika menoleh ke arah pintu.Sosok Reynand masuk memunculkan senyum di bibir kedua perempuan cantik itu namun pudar ketika sosok perempuan ikut masuk mengikuti Reynand dari belakang.“Aruna … kamu udah makan malem? Aku bawain makanan ini, tadi Danisa yang beli.” Reynand menunjuk gadis yang kini berdiri di sampingnya.Arumi dan Aruna masih bingung, keduanya menatap Reynand dan gadis bernama Danisa secara bergantian.“Oh … ini Danisa, mamanya lagi dirawat di sini juga, beberapa hari lalu kami bertemu di coffe shop ….” Lalu Reynand beralih ke Danisa. “Danisa, kenalin ini Arumi adik aku dan Aruna kakak sepupu aku.” Danisa mengulurkan tangan sembari tersenyum ramah.“Hallo … aku Danisa.” Danisa memperkenalkan diri.Meski masih heran karena setau mereka—Reynand adalah sosok pendiam, dingin dan tertutup kepada orang baru apalagi perempuan tapi Arumi dan Aruna mencoba menya
Sikap Tasya berubah seratus delapan puluh derajat menghadapi Tezaar.Dia butuh waktu untuk menata hatinya setelah penolakan Tezaar kemarin dan tentunya menerima kenyataan kalau pria itu akan menikah.Karena pekerjaan mereka dilakukan tanpa mengobrol dan sungguh-sungguh jadi lah pekerjaan cepat selesai.Sebelum sore mereka sudah dalam perjalanan kembali ke Jakarta namun karena berbarengan dengan jam pulang kerja, jadilah Tasya dan Tezaar harus melewati kemacetan.Saat pergi tadi Tezaar sengaja duduk di depan di samping driver untuk memberi Tasya ruang agar bisa menerimanya kembali dan sekarang saat pulang Tezaar memilih duduk di kabin belakang bersama Tasya yang duduknya terlalu mepet ke pintu seakan enggan berdekatan dengannya.Tezaar menoleh menatap Tasya yang pandangannya lurus ke depan dengan kepala bersandar pada kaca jendela, gadis itu sedang melamun.“Hei … laper enggak?” Tezaar bertanya memulai pembicaraan karena sepanjang jalan baik pergi tadi maupun sekarang saat pulang
Sampai di depan ruangan Arumi, Aruna langsung membuka pintunya.Di dalam sana masih ada om Kaivan dan tante Zhafira.“Om … Tante … pulang aja, biar Arumi sama aku,” kata Aruna setelah menyalami kedua orang tua Arumi diikuti Leonhard.“Oke deh, kami pulang dulu ya … mungkin Tante sama om agak lama di Bandung jadi nanti Arumi ditemani Reynand.” Tante Zhafira memberitahu.“Oke Tante … Om, hati-hati di jalan.” “Titip Arumi, ya sayang.” Tante Zhafira berpesan.“Kami duluan Pak Leon,” ujar om Kaivan saat meninggalkan ruangan dan berbalas anggukan kepala dari pria itu.“Kapan mulai theraphy?” Aruna bertanya seraya meletakan paperbag berisi dessert kesukaan Arumi di atas meja.“Minggu depan.” Arumi menjawab.“Lekas sembuh ya Arumi.” Leonhard akhirnya buka suara.“Makasih Pak Leon.” Arumi menyahut.Leonhard mengangguk sambil tersenyum tipis.“Aku pulang ya.” Leonhard pamit kepada Aruna.Aruna mendekat kemudian memeluk Leonhard
“Amore ….” Enzo yang duduk di tepi ranjang meraih satu tangan Arumi yang bebas.Malam hampir larut, hanya ada mereka berdua saja di ruangan itu karena papa dan mama sudah pulang untuk beristirahat.“Besok aku akan pulang ke Italia untuk menyelesaikan beberapa urusan di sana lalu aku akan kembali untuk membangun bisnis dengan papa kamu di sini dan menikahi kamu … kamu tunggu aku ya, aku usahakan hanya seminggu di Italia.” Arumi menggelengkan kepala. “Pergilah Enzo, tapi aku tidak akan menunggumu … jangan berjanji apa-apa … kamu bebas, aku tidak berharap apapun padamu.” Bukannya Arumi sok jual mahal tapi justru dia tidak ingin membuat Enzo terikat karena sadar diri dengan keadaannya.Menurutnya, Enzo adalah pria baik dan berhak mendapatkan wanita yang sempurna.Enzo terkekeh, dia tidak mengambil hati ucapan Arumi justru sangat mengerti makna tersembunyi dibalik ucapannya itu.Bergerak ringan, Enzo membaringkan tubuhnya di samping Arumi dalam posisi miring kebetulan ranjang pasi
Om Kaivan dan tante Zhafira baru saja keluar dari ruangan mami Zara setelah sebelumnya dokter Patologi menjelaskan hasil lab yang kini tengah tante Zhafira peluk.Keduanya melangkah pelan dengan tatapan kosong menuju kamar Arumi.Sampai di sana, mereka melihat Arumi sedang disuapi makan siang oleh Enzo.Pria itu begitu tekun merawat Arumi pagi siang malam tanpa lelah atau pun mengeluh padahal Arumi belum memutuskan menerima cintanya.“Mau Mama atau Papa aja yang sampaikan hasil lab ini ke Arumi?” Om Kaivan meminta pendapat istrinya.“Papa aja, Papa yang paling dekat dengan Arumi.” Tante Zhafira mengusap pundak suaminya kemudian mendorong pelan untuk masuk ke dalam ruang rawat itu.Enzo dan Arumi seketika menoleh saat sosok om Kaivan mendekat ke area ranjang pasien.Enzo tidak sengaja mengalihkan pandangan ke arah sofa set di mana di atas mejanya terdapat MacBook yang terbuka sebagai media Enzo memantau pekerjaan di Italia, di sana juga telah duduk tante Zhafira yang memberi kod
Tok …Tok …Tasya yang sedang mager akhirnya harus bangkit dari peraduannya karena mendengar suara pintu diketuk.“Siapa lagi sih hari sabtu gini ganggu aja.” Dia menggerutu karena merasa tidak memiliki janji dengan Rocky.Mengingat di Jakarta Tasya hanya memiliki om Roger dan kini sedang dekat dengan Rocky jadi kehidupannya hanya seputar mereka selain pekerjaan.Ceklek … “Tezaar.” Tasya bergumam dengan mata membulat dan kedua alis terangkat tidak pernah menyangka Tezaar akan berada di depan pintu kossannya.“Tasya … boleh aku masuk?” Raut wajah Tezaar tampak sendu.“Masuk aja ….” Tasya membuka pintu lebar-lebar.Tezaar duduk di satu-satunya sofa yang ada di sana.Sofa yang menghadap televisi itu hanya cukup untuk dua orang jadi mau tidak mau Tasya dan Tezaar berdesakan di sofa itu.Tezaar merogoh tasnya lalu mengeluarkan sebuah undangan pernikahan berwarna coklat.“Perut Marisa semakin besar, aku harus segera menikahi dia
Aruna tahu kalau papinya yang memiliki jasa keamanan swasta telah mengutus seseorang untuk mengawasi.Bisa jadi orang itu adalah Pilot dari privat jet sewaan tuan Lee yang akan ditumpanginya sekarang atau mungkin awak kabin atau bisa jadi driver yang menjemput mereka nanti di Korea, staf hotel atau mungkin mereka semua adalah orang suruhan papi Arkana.Dan Aruna tidak peduli, sama sekali tidak peduli.Mobil yang ditumpanginya bersama Leonhard berhenti di depan sebuah privat jet, Aruna turun dibantu Leonhard dan sampai naik ke dalam pesawat, pria itu tidak melepas genggaman tangannya.Di dalam sana sudah ada Nova dan Dewa yang duduk bersebelahan.Baru sekarang Aruna bertemu lagi dengan Nova dan seketika suasana menjadi canggung.Nova bangkit dari sofa mengulurkan tangan.“Apakabar Aruna,” sapanya ramah.“Kabar baik … kamu dan adik bayi apa kabar?” Aruna balas bertanya.Nova menundukan kepala mengusap perutnya lalu berkata, “Kami baik.” Dia pun menjawab.Tatapan Aruna beralih
“Papiiiii!!!!” Aruna berlarian dari lantai dua memburu papi yang baru saja masuk ke dalam rumah bersama mami.“Loh! Belum tidur.” Papi menghentikan langkahnya di ujung tangga paling bawah dan otomatis langkah mami juga terhenti.Aruna memeluk dada bidang papi yang dibalas beliau dengan pelukan erat.Papi terkekeh meningkahi sikap manja Aruna. “Ada apa?” Papi Arkana bertanya.“Papi, boleh besok Aruna ikut Leon anter istrinya kontrol kandungan ke Korea?” tanya Aruna mendongak sembari menunjukkan puppy eyes menggemaskan.Papi langsung mengalihkan pandangan ke mami yang masih berdiri di sampingnya.“Bilang enggak boleh, Pi.” Arnawarma yang menimpali dari sofa panjang.Aruna mencebikan bibirnya kesal bersama delikan sebal.“Kamu mau ganggu momen bahagia mereka?” Papi Arkana sedang bersarkasme.“Piiii, Dewa pacarnya Nova juga ikut kok … dia enggak mengijinkan Nova berdua aja sama Leon.” Aruna memohon.“Terus nanti ‘kan di sana Leon sama Nova pasti menginap di rumah keluarganya Leo
Baru kali ini Aruna melihat Arumi tampak putus asa padahal biasanya Arumi selalu bisa mengatasi beragam masalah yang muncul dalam hidup bahkan memberi saran terbaik layaknya wanita dewasa.“Kalau dia enggak mencintai kamu, dia enggak akan nungguin kamu di sini selama satu minggu.” Aruna memperkuat apa yang sudah Enzo katakan sebelumnya.Arumi terpekur lama sekali sampai ketika ditegur, dia memilih untuk pura-pura tidur.Hatinya sedang gundah gulana saat ini, dia yang mengalaminya jadi biarkan dia menikmatinya sendiri.Meski matanya terpejam tapi air mata Arumi tidak berhenti mengalir, diam-diam menyusut buliran kristal ungkapan kesedihan itu agar tidak ada yang menyadarinya.Tapi Enzo yang fokusnya hanya untuk Arumi seorang menangkap gerak-gerik ganjil tersebut.Setelah keluarga Arumi pulang menyisakan mereka berdua saja di ruangan itu, Enzo duduk di tepi ranjang Arumi.“Aku tahu kamu enggak tidur,” kata Enzo membuat kelopak mata Arumi terbuka.“Dari tadi kamu menangis tapi ka