Ayudia menatap selembar kertas di hadapannya. Namanya tertulis disana dan nama seorang lainnya tertulis sebagai dosen pembimbing tesisnya.
"Adam Mahendra? Pak Adam yang killer itu?" Seru Ayudia heboh.Kepalanya seketika terasa pusing. Ia kira perjalanan S2nya akan lebih baik dan mudah dibandingkan saat S1. Awalnya memang begitu. Tapi seharusnya Ayudia sudah curiga. Hidupnya tidak pernah manis jika berkaitan dengan hal akademis. Lulus terlambat saat S1 karena dosen pembimbing yang sensitif dan seringkali bersuasana hati buruk.Dan sekarang? Saat perjalanannya untuk meraih gelar S2 sudah di depan mata, hambatan satu lagi muncul di hadapannya! Dan hambatan itu bernama Adam Mahendra!"Serius, Yu? Dosen pembimbingmu sungguh Pak Adam?" Maya, sahabatnya, melirik ke arah kertas yang ia pegang.Ayudia mengangguk lemah. Seketika ia merasa lemas memikirkan betapa sulitnya ia akan menyelesaikan studi S2nya ini. Adam Mahendra adalah dosen paling terkenals seantero Fakultas Ekonomi Universitas Bhinneka.Tidak, bukan terkenal karena keramahan apalagi kebaikan hatinya. Tapi karena sifatnya yang menyebalkan, mulutnya yang tajam, dan rautnya yang selalu tampak seperti akan menelan siapapun yang ada di hadapannya. Meskipun demikian, Ayudia dan mahasiswi lainnya mengakui bahwa Adam memiliki paras yang luar biasa rupawan. Perpaduan sempurna antara Jawa dan Arab. Dan otak pria itu pun sangat cemerlang. Tentu saja, lulusan Inggris untuk gelar masternya dan lulusan Amerika Serikat untuk gelar doktoralnya.Tapi semuanya berhenti sampai disitu. Adam memang tampan dan cerdas. Cukup. Tidak ada lagi pujian untuknya karena dia adalah si brengsek Fakultas Ekonomi Bhinneka.Dan sekarang Ayudia harus menyelesaikan tesisnya di bawah bimbingan pria menyebalkan itu. Bukankah semuanya terasa seperti mimpi buruk yang menjadi nyata?Dengan kesal Ayudia melemparkan tasnya ke lantai dan menangis di koridor kampusnya. Ia menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya sembari berkali-kali mengutuk nasib buruknya. Mungkinkah Ayudia pernah menjadi penjahat besar di masa lalunya? Kenapa hidupnya buruk sekali?Maya duduk di sampingnya sembari mengusap punggung Ayudia. Ia berusaha keras menghibur sahabatnya itu, namun Maya lebih tahu daripada siapapun bahwa hidup Ayudia tidak akan berjalan mulus setelah ini. Yah, tapi setidaknya ia harus tetap menjalankan tugas sebagai sahabat yang baik, bukan?"Sabar ya, Ayu. Sepertinya Pak Adam tidak seburuk itu kok."Ayudia mengangkat wajahnya dan menatap Maya dengan wajah berkerut."Benar, tidak seburuk itu. Tapi sangat buruk! Kamu lihat, pesanku untuk menemuinya saja belum dibalas sejak tadi, Maya. Padahal statusnya online!" Gerutu Ayudia sembari terisak sedih.Gadis itu kembali menangis lagi. Ah, sialan. Ayudia menjalani studi S2nya dengan beasiswa dan dia memiliki tenggat waktu kelulusan yang harus ia penuhi. Mendapatkan dosen pembimbing seperti Adam sama saja dengan membuat beasiswa Ayudia akan melayang dengan sia-sia. Tentu saja. Hingga sekarang tidak ada seorang pun mahasiswa bimbingan Adam Mahendra yang lulus tepat waktu.Dan entah kenapa Ayudia yakin ia akan bernasib sama dengan mereka."Apa yang kalian lakukan? Menangis di koridor seperti anak remaja saja."Sebuah suara membuat Ayudia dan Maya tersentak. Tubuh keduanya seketika membeku saat menyadari siapa pemilik suara itu. Adam Mahendra berdiri di hadapan mereka dengan pandangan menyelidik dan tangan yang disilangkan di depan dada.Iblis sudah datang.Iblis yang baru saja mereka bicarakan sekarang muncul di hadapan mereka. Sial sekali nasib mereka. Apakah mungkin tadi pagi Ayudia kejatuhan cicak hingga nasibnya seburuk ini?Ayudia dan Maya buru-buru berdiri dan tertawa canggung. Gadis itu dengan cepat menyeka air matanya dan segera menyunggingkan senyum kepada dosen pembimbingnya."Ah, tidak, Pak. Saya tadi sedang tidak enak badan saja."Tanpa menunggu kata-kata Ayudia selesai, pria itu langsung melangkah pergi dengan tampang tak peduli. Ayudia dan Maya saling bertatapan namun seketiak, Maya memukul bahu Ayudia dan membuat gadis itu mendelik kepada Maya."Apa sih, May?!""Dosen pembimbingmu, Bodoh! Cepat kejar Pak Adam dan minta tanda tangannya!" Seru Maya panik sembari menunjuk kertas yang ada di tangan Ayudia.Ayudia menepuk keningnya. Bodoh sekali dirinya. Alasan ia ingin menemui Adam karena ia ingin meminta tanda tangan pria itu di berkas pengajuan tesisnya. Kenapa ia malah diam saja saat melihat Adam tadi?"Ah, sialan! Tunggu disini, May. Aku akan mengejar Pak Adam." Seru Ayudia seraya berlari cepat ke arah dimana Adam tampak berjalan.Gadis itu memacu langkahnya dengan sangat cepat. Kedua matanya terpaku pada sosok Adam yang berjalan beberapa meter di depannya.Sialan, kenapa langkah pria itu cepat sekali? Ayudia sampai terengah-engah mengejarnya hingga akhirnya ia berhasil menyamakan posisinya dengan Adam. Pria itu berhenti dan melihat ke arah Ayudia dengan tatapan aneh. Seolah Ayudia adalah seekor fauna langka yang baru muncul dari permukaan tanah."Apa lagi?" Tanyanya sebal.Ayudia mengatur nafasnya yang memburu cepat. Jantungnya terasa seperti akan meledak karena ia terus menerus berlari selama tiga menit."Sebentar, Pak. Saya harus bernafas dulu.""Memangnya kamu tadi tidak bernafas?" Balas Adam ketus.Pria itu melirik jam tangannya sekali dan memandang Ayudia lagi."Kalau tidak ada yang perlu dibicarakan, saya akan pergi." Ujarnya hendak membuka pintu mobilnya.Ayudia panik dan segera berdiri tegap menghadap ke arah Adam."Tunggu dulu, Pak. Saya ingin meminta tanda tangan Bapak." Ucapnya buru-buru sambil menyodorkan selembar kertas ke arah Adam.Adam mengambil kertas itu dan membacanya. Formulir persetujuan dosen pembimbing. Ah, rupanya Adam akan menjadi dosen pembimbing dari gadis ini? Ia mengangkat wajahnya dari kertas dan melihat ke arah Ayudia yang memandangnya dengan penuh harap."Ini? Saya harus tanda tangan ini?" Tanya Adam sekali lagi.Ayudia mengangguk mantap. Adam melihat ke arah kertas itu sekali lagi. Lalu tanpa menandatanganinya, ia menyerahkan kembali dokumen tersebut kepada Ayudia. Gadis itu membelalak dan menatap Adam dengan begitu terkejut. Matanya membulat hingga tampak seperti dua bola berwarna hitam di balik kacamatanya."Pak, tanda tangannya?" Ucap Ayudia tak mengerti."Besok saja." Jawab Adam singkat."Ta-tapi saya sudah ada disini, Pak. Tidak bisakah Bapak menandatanganinya sebentar saja?" Bujuk Ayudia lagi."Saya tidak membawa pena." Balas Adam tak peduli.Namun Ayudia tidak mau kalah. Ia sudah begitu letih memacu kakinya hingga tiba disini. Dan ia tidak akan menyerah hanya karena Adam Mahendra menggunakan alasan konyol itu untuk menolaknya."Pakai pena saya saja, Pak."Adam menaikkan sebelah alisnya dan memandang Ayudia dengan tatapan yang menurut Ayudia sangat menyebalkan. Jika saja pria di hadapannya itu bukan dosennya, mungkin Ayudia sudah akan melayangkan pukulan tepat di perut Adam."Besok, Ayu. Bukan hari ini tapi besok."Begitu saja Adam berkata. Tanpa mempedulikan Ayudia yang menatapnya tak percaya, Adam masuk ke mobilnya. Tak lama kemudian, kereta besi itu melaju meninggalkan Ayudia yang memandangnya dengan tatapan melongo."Sialan! Sialan! Sialan!" Sejak tadi Ayudia terus menerus mengumpat seperti orang gila. Wajahnya memerah karena amarah dan nafasnya menderu bagaikan seseorang yang baru saja lari maraton sejauh sepuluh kilometer. Maya hanya menatapnya dengan perasaan campur aduk. Kasihan karena sahabatnya ini harus mengalami kesialan luar biasa siang tadi. Tapi Maya juga merasa lucu melihat Ayudia yang terus meracau seperti sebuah radio rusak. "Psikopat! Aku yakin Adam pasti psikopat!" Seru Ayudia lagi dengan emosi. Kali ini Maya tertawa terbahak-bahak mendengar umpatan ajaib itu. Pipinya yang tembam tampak bergerak karen tawanya barusan. "Wah, gila, Yu! Psikopat? Bisa jadi!" Seru Maya memanas-manasi Ayudia. Ayudia meloncat dan duduk di kasur bersama Maya. "Benar, kan?! Mana mungkin ada manusia yang begitu kejam dan tidak berhati seperti Adam! Kalaupun ada, pasti dia adalah psikopat! Pasti ada mayat yang disembunyikan di rumahnya, May!" Balas Ayudia lagi tak mau kalah. Tawa Maya terdengar maki
"Gila, kamu gila sekali, Ayu!" Maya bertepuk tangan heboh saat melihat sahabatnya yang duduk termenung di kantin kampus. Gosipnya sudah menyebar luas ke seantero fakultas. Adam Mahendra baru saja dilabrak oleh seorang mahasiswi. Dan mahasiswi itu tidak lain dan tidak bukan adalah Ayudia. "Iya, sepertinya aku memang sudah gila, May." Ujar Ayudia dengan tatapan kosong ke depan. "Loh? Kenapa? Kok kamu seperti tidak senang? Kamu baru saja jadi mahasiswa paling terkenal di kampus, Yu!" Seru Maya heboh. Ayudia meletakkan gelas yang ia pegang sejak tadi dengan heboh. Ia lalu menatap Maya dengan mendelik. "May! Aku baru saja melabrak Pak Adam, May! Pembimbingku! Aduh, bisa mati aku! Lagipula kenapa aku bisa sampai kesetanan seperti itu tadi?!" Keluh Ayudia dengan kepanikannya sendiri. Gadis itu meracau dalam rasa khawatir. Sepersekian detik setelah Adam menandatangani dokumen tersebut dan meninggalkannya, Ayudia baru menyadari kesalahan apa yang ia perbuat. Ia baru saja dengan gilanya m
Rasa gugup menyelimuti sekujur tubuh Ayudia. Ia berdiri di depan pintu kantor Adam dengan memeluk map berisi proposal tesisnya. Hari ini genap tiga hari sejak hari ia melabrak Adam di pagi hari. Dan sungguh, sekarang Ayudia tidak tahu harus berkata apa dan bereaksi bagaimana kepada dosen pembimbingnya itu. Ayudia menarik nafas dalam beberapa kali. Berusaha membuat rasa gugupnya menguap. "Tenang, Ayu! Prof. Eko kan sudah mengatakan judulmu luar biasa!" Batin Ayudia meyakinkan dirinya sendiri. Setelah merasa lebih baik, ia mengangkat tangannya dan mengetuk pintu di depannya dengan yakin. TOK! TOK! TOK! Tak perlu waktu lama, suara Adam terdengar dari dalam ruangan. "Iya, masuk saja." Ayudia menarik nafas dalam sekali lagi. Baiklah, sekarang atau tidak sama sekali. Lagipula Adam masih manusia dan bukannya monster yang akan memakan Ayudia dalam sedetik. Ayudia meyakinkan dirinya bahwa ia harus sedikit tenang dan melupakan semua kejadian itu. Semoga saja Adam juga melakukan hal yang
Keyakinan seratus persen memenuhi hati Ayudia. Kali ini dia yakin benar Adam tidak akan memiliki alasan untuk menolak penelitiannya lagi. Ayudia sudah mempersiapkan berbagai dokumen yang akan menolong setiap argumentasinya. Dan pisau lipat di sakunya, berjaga-jaga jika ia kehabisan kesabaran dan ingin menusuk pria sialan itu. Ayudia duduk di hadapan Adam dengan senyum penuh kepercayaan diri. Ia menyerahkan map berisi judul penelitian terbarunya dan Adam segera mengambilnya. Pria itu membaca dengan saksama dan hendak berkomentar. "Judul kamu terlalu pasaran. Saya tidak menyetujuinya." Senyum kemenangan merekah di bibir Ayudia. Ia lalu mengeluarkan sebundel dokumen dari tasnya dan meletakkannya di hadapan Adam. "Sebenarnya, tidak, Pak. Saya sudah melakukan pemeriksaan ulang di semua situs dan melakukan pengecekan plagiarisme. Dan hasilnya nol persen. Judul saya benar-benar otentik dan belum pernah diteliti oleh siapapun." Ujar Ayudia dengan mantap. Adam mengangkat wajahnya dan mena
Setiap bimbingan yang dilakukan Ayudia bersama Adam terasa seperti medan perang. Setiap harinya Ayu tak pelak harus menelan puluhan artikel dan buku agar ia bisa membantah dan memberikan argumen yang kuat untuk melawan revisi tidak masuk akal dari Adam Mahendra.Memang, sifatnya sudah jauh lebih baik dibandingkan pertemuan mereka. Adam sudah sedikit lebih jinak. Tidak menerkam seperti singa di padang savanah yang kelaparan.Tapi tetap saja, tidak mudah mendapatkan persetujuan dari seorang Adam Mahendra. Pria itu seolah memiliki standar yang begitu tinggi untuk setiap aspek dalam hidupnya."Wajar saja kalau dia jadi bujang tua. Kerjanya hanya menyusahkan orang saja." Gerutu Ayudia hari itu.Maya hanya terkekeh melihat sahabatnya yang sejak tadi mengomel. Meskipun mulutnya tak berhenti mengomel, jemarinya tetap dengan cepat menari di atas papan ketik. Otaknya berputar seolah ocehan penuh amarah itu tidak sediktpun mengganggu proses berpikir seorang Ayudia."Kan aku sudah menawarkanmu un
Adam melotot mendengar perkataan terakhir Ayudia. Kurang ajar sekali gadis di depannya ini. Apa maksudnya dengan tidak ada seorang pun yang mau bekerja dengannya?Adam yakin benar sifatnya tidak seburuk itu. Ia bukan sosiopat yang tidak berhati nurani dan akan menyiksa siapapun. Bukan pula seorang mesum yang akan menggerayangi asistennya ketika tidak ada saksi mata di sekitar. Kenapa Ayudia dapat menarik kesimpulan konyol seperti itu?“Kamu terlalu memandang tinggi dirimu sendiri, Ayu. Saya akan mencari penggantimu saja. Tawaran tadi saya batalkan.” Putus Adam mantap.Ayudia mengedikkan bahunya, ia yakin bahwa pada babak pertarungan kali ini, ia akan keluar sebagai pemenangnya. “Baiklah, terserah Bapak saja.”“Pergilah. Kamu membuat suasana hati saya menjadi buruk.”Dengan penuh keanggunan, Ayudia menarik kursinya dan berdiri di hadapan Adam Mahendra. Seutas senyum kebanggaan tersungging di bibirnya. Untuk beberapa detik, Adam sempat terkesiap dengan pesona gadis muda itu. Sangat sul
Kali ini Adam Mahendra mengaku kalah. Ia dipukul telak dari permainan yang awalnya ia kira dapat dimenangkan dengan mudah. Dan yang mengalahkannya adalah mahasiswinya sendiri yang berusia sepuluh tahun lebih muda darinya.Mengingat kekalahan itu, membuat Adam merasa sangat malu. Rasanya ia bagaikan mencoreng arang ke wajahnya sendiri. Bisa dikalahkan oleh seseorang yang dianggapnya tidak memiliki level yang sama dengannya telah menciptakan goresan pada harga diri Adam.Namun aneh sekali. Di sudut lain hatinya, kekaguman Adam terhadap sosok Ayudia Cempaka semakin menggebu-gebu. Seolah ia benar-benar terpikat dengan kecerdasan gadis itu. Pesona Ayudia bukan hanya terpancar dari wajah yang seayu namanya, tapi juga otak brilian yang membuatnya tampil bersinar dibandingkan gadis lainnya. Dan Adam semakin tidak bisa menjauhkan dirinya dari kilaunya seorang Ayudia.“Jadi bagaimana? Sudah menemukan pengganti Mattheus?” suara Robi menggelegar saat ia masuk tanpa permisi ke dalam ruangan Adam.
Ayudia sengaja tampil berbeda hari ini. Jika biasanya ia hanya mengenakan celana jeans dan kemeja kasual, kali ini ia sengaja berpenampilan lebih rapi dan memukai. Tak lupa ia memulaskan sedikit riasan pada wajah manisnya. Membuatnya tampak segar dan cerah, namun tidak berlebihan.Ia mematut dirinya di depan cermin. Hari ini Ayudia memakai blus feminim dengan aksen pita di dadanya. Warna merah muda memang sangat cocok untuk kulitnya, membuat Ayudia tampak makin menarik dengan atasan itu. Rok span hitam yang sedikit ketat menjadi padanannya. Menampilkan lekuk tubuh Ayudia yang indah dan kakinya yang jenjang ditopang oleh sepatu hitam bertungkai setinggi lima sentimeter.“Wah, Ayu, kenapa kamu tidak berdandan seperti ini setiap hari?” puji Maya saat ia mengamati Ayudia yang baru selesai bersiap-siap.“Dan mendapatkan teguran dari Bu Ningsih karena pakaianku yang provokatif?” balas Ayudia spontan.Maya tergelak lagi dalam tawanya. Bu Ningsih memang cenderung konservatif. Wanita lima pulu
Ayudia sebenarnya ragu dengan tawaran yang diberikan Adam.Bukan. Bukan karena ia tidak menghargainya. Hanya saja pergi ke konferensi bergengsi hanya sebagai asisten Adam bukanlah sesuatu yang ia inginkan. Ayudia sangat ingin pergi dan menampilkan pemikirannya sendiri. Menunjukkan kemampuannya pada deretan orang jenius di luar sana.Bukannya menjadi asisten Adam dan mengekor di belakangnya sepanjang hari. Alih-alih menelurkan pemikiran emas, yang akan dilakukan Ayudia hanyalah mencatat setiap kata-kata dan diskusi yang dicetuskan Adam. Lalu memindahkannya ke dalam laporan yang akan disetorkan sebagai laporan pertanggung jawaban.Namun sisi lain otaknya terus mendorongnya untuk menerima tawaran itu.Kapan lagi kamu bisa ke Sydney gratis? Dan konferensi ini akan memberimu kesempatan untuk menjalin relasi dengan orang-orang hebat itu, Yu! – pikirnya demikian.Kebimbangan yang memenuhi kepalanya membuat Ayudia terus menimbang-nimbang. Sepanjang sore yang ia lakukan hanyalah memikirkan ke
Tiga hari sudah berselang sejak kembalinya Ayudia ke Bandung. Dan selama tiga hari itu pula, ponselnya tak pernah berhenti berdering bagaikan seorang debitur yang dikejar debt collector. Siapa lagi kalau bukan para tetua di keluarganya yang meminta Ayudia untuk mempertimbangkan lagi keputusannya.Ibunya.Budenya.Dan bahkan kakak kedua dari ibunya, Pakde Warto yang selama ini tidak pernah ambil pusing dengan urusan pribadi keponakannya.Heran sekali, apa yang mendesak orang-orang tua ini hingga mereka begitu memaksa Ayudia untuk menerima perjodohan itu?Ayudia memang sudah melihat foto calon suaminya. Pria itu tampan dengan kulit hitam manis dan tubuh yang tidak terlalu tinggi. Kalau Ayudia bisa memberikan nilai, maka ia akan memberikan nilai delapan untuk penampilan Tomo.Tapi Ayudia tidak pernah mengenalnya. Bagaimana mungkin Ayudia bisa menikah dengannya? Bahkan pria itu tidak pernah muncul sekalipun di hadapannya seolah yang bersangkutan juga sama tidak tertariknya dengan perjodoh
Cerita yang dituturkan Ayudia memang terdengar tidak masuk akal. Namun bukan sepenuhnya mustahil untuk terjadi. Karena Adam sendiripun pernah mengalaminya sebanyak tiga kali.Ibu Adam adalah wanita Jawa yang begitu konservatif dan menjunjung nilai tradisional dalam hidupnya. Tentu saja melihat puteranya yang tampan dan mapan tidak kunjung menikah di pertengahan tiga puluh membuatnya khawatir. Bagi ibunya, Adam adalah sosok sempurna yang tidak mungkin kesulitan menemukan isteri dimanapun.Bagaimana tidak? Puteranya tampan, memiliki tubuh yang atletis dan proporsional, karier yang gemilang, dan finansial yang sangat mapan. Tidak ada alasan yang membuat Adam belum menemukan calon isterinya hingga di usia sekarang.Sehingga tidak mengherankan jika ibu Adam sudah mencoba menjodohkannya dengan wanita pilihan ibunya. Tidak tanggung-tanggung, bahkan sudah tiga kali Adam terjebak dalam situasi itu.Namun Adam terus saja menolak ketiganya dengan alasan yang sama.“Saya tidak menyukai mereka, Bu
Perjodohan?Ungkapan yang benar-benar konyol apalagi di zaman modern seperti ini. Khususnya bagi Ayudia yang bahkan tidak pernah memikirkan tentang percintaan apalagi pernikahan. Namun Ayudia tidak pernah mengira jika ternyata ia akan menjadi salah satu wanita yang terikat dalam situasi seperti itu.Situasi perjodohan dimana ia akan dinikahkan dengan pria yang tidak dicintainya.Malam itu adalah malam ketiga sejak Ayudia menggantungkan pertanyaan yang diberikan Adam kepadanya. Dan ia sudah menimbang-nimbang selama berhari-hari meskipun hingga detik terakhir belum juga mampu memutuskan jawabannya.Lalu sesaat sebelum ia hendak terlelap tidur, ponselnya berdering bagaikan lonceng yang membangunkannya secara tiba-tiba. Ayudia mengernyitkan dahinya saat ia melihat nama yang tertera di layar ponselnya.“Bude? Tumben sekali Bude menelepon.” Gumam Ayudia saat menyadari panggilan dari siapa yang tengah masuk ke dalam ponselnya.Ia dengan cepat menjawab panggilan itu dan Ayudia begitu bingung
Kesalahan pertama Adam adalah membiarkan tubuhnya bergerak lebih dulu dibandingkan pikirannya. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan hampir selama hidupnya. Namun ketika ia mendengar kata Ayudia kembali ke kampung halamannya, seketika Adam kehilangan kemampuannya untuk berpikir jernih. Hatinya merasa gelisah dan ia yakin kegelisahan itu tidak akan hilang sebelum Adam bertemu dengan sosok gadis yang dicarinya.Kesalahan kedua Adam adalah pergi begitu saja ke kota kelahiran Ayudia, tanpa mengetahui dimana kediaman gadis itu berada. Demi Tuhan, dimana Adam akan mencari seorang gadis di sebuah kota yang bahkan baru pertama kali ia datangi?Entah sudah berapa kali ia mengutuki kebodohannya selama satu jam terakhir. Karena selama satu jam terakhir pula, yang Adam lakukan adalah berkeliling ke seluruh penjuru kota untuk mencari Ayudia.Bahkan kota Magelang bukanlah sebuah kota yang besar. Luasnya hanya kurang lebih sembilan belas kilometer!Tapi mengapa sangat sulit bagi Adam untuk menemukan
Adam begitu tidak sabar menanti tiga hari itu datang. Setiap pagi ia akan menghitung sisa waktu yang ia berikan kepada Ayudia sebelum memulai harinya. Di dalam hatinya, Adam sangat ingin mendesak gadis itu untuk segera memberikan jawaban atas pertanyaannya. Namun Adam bisa apa selain menunggu?Berkat kesabarannya, tiga hari akhirnya terlewati meskipun setiap malamnya terasa begitu menyiksa Adam. Di hari keempat, sesuai dengan yang diperjanjikan oleh Ayudia, Adam menyongsong harinya dengan senyum secerah matahari.Ia tidak sabar lagi untuk menjemput jawaban yang keluar dari bibir gadis yang begitu ia sukai.Sayangnya, penantian Adam tidak berbuah manis. Berbanding terbalik dari kesabarannya selama tiga hari belakangan. Di hari keempat, tak peduli meskipun Adam sudah menunggu hingga sore hari, Ayudia tak juga menampakkan batang hidungnya.Ayudia bahkan tidak terlihat dimanapun hari itu. Tidak di selasar kampus, tidak di ruang kelas, bahkan tidak juga di kantin. Kekecewaan menghantam ha
Usai makan malam, lantunan musik dari pemain saxophone yang ada di sudut kabin terdengar semakin mendayu. Menggoda Adam untuk mengajak Ayudia berdansa meskipun gadis itu mati-matian menolaknya.“Ayo kita berdansa, Yu.” Ajak Adam mengulurkan tangannya kepada Ayudia.Ayudia mendelik dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tangannya mencengkeram bangku yang ia duduki seolah menolak dengan keras ajakan Adam untuk melantai.“Tidak! Saya tidak mau, Pak. Saya tidak bisa berdansa.” Protes Ayudia tidak setuju.Namun Adam bukanlah pria yang bisa ditolak. Ia selalu punya cara untuk mewujudkan keinginannya. Entah itu dengan kata-kata manis atau bujukan penuh keyakinan. Dan Ayudia pun akhirnya luluh dengan bujukan itu.“Saya akan mengajarimu, tenang saja. Tidak perlu merasa malu. Lagipula tidak ada siapapun disini, hmm?”Ayudia menghela nafas pelan dan mengangguk lemah. Ia bisa apa? Adam sudah mengajaknya makan di tempat yang begitu indah seperti ini. Rasanya menolak ajakan dansa dari dosennya itu
Adam seolah tidak ingin menyia-nyiakan waktunya bahkan sedetik pun. Seperti janjinya, tepat pukul tujuh malam ia tiba di depan rumah kost Ayudia. Lengkap dengan pakaian super rapi dan wangi serta mobilnya yang sudah dipoles hingga mengkilap.Adam tidak ingin satu kesalahan kecil merusak kencan pertamanya dengan Ayudia malam ini. Karena itu berkali-kali ia memeriksa semuanya sebelum berangkat untuk menjemput gadis kecintaannya.Dan sungguh, Adam sama sekali tidak menyesalinya. Terlebih lagi ketika ia melihat sosok Ayudia yang tampak begitu mempesona tengah berdiri di hadapannya. Gadis itu tersenyum tipis dengan wajah yang tersipu malu. Ayudia mengenakan dress selutut berwarna merah maroon dengan model kerah sabrina berbahu terbuka. Pakaian itu membungkus tubuh ramping Ayudia dengan begitu sempurna, memperlihatkan pundaknya yang simetris bagaikan model, dan kakinya yang jenjang dan menggoda.Ditambah lagi wajah cantiknya yang dipulas dengan riasan. Tidak terlalu mencolok tapi sangat pas
Sekembalinya di kost, Ayudia benar-benar menyesali keputusannya telah menerima ajakan Adam untuk berkencan. Entah apa yang ia pikirkan tadi sehingga ia mau menyetujuinya.Mungkin karena suasana di antara mereka yang terasa begitu intens.Mungkin juga karena rasionalitas Ayudia yang selalu tumpul jika bersama Adam.Atau mungkin karena Ayudia sudah terpikat pada tatapan dua mata indah itu.Ayudia tidak bisa memahami kegamangan yang ada di dalam dirinya sendiri. Sesuatu yang sangat jarang terjadi kepadanya. Selama ini Ayudia selalu mengerti apa yang ia inginkan dan apa yang ia rasakan. Namun kini semuanya tampak begitu samar.Bagaikan tulisan tinta yang terhapus air hujan. Bagaikan pepohonan yang bersembunyi di balik kabut. Dan bagaikan kaca yang dilapisi oleh embun.Semuanya buram. Semuanya tidak jelas. Dan Ayudia merasa tidak cukup pintar untuk menerjemahkan perasaannya sendiri.“Haruskah aku menelepon dan meminta saran Maya?”Ayudia baru hendak menelepon sahabatnya, namun sekejap kemu